BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemiskinan bukanlah hal baru bagi Negara Indonesia dan negara berkembang pada umumnya. Kemiskinan seolah-olah identik dengan negara berkembang, yang umumnya tertinggal dalam hal perekonomian. Kemiskinan sepertinya juga menjadi sesuatu yang telah mengakar dan menjadi permasalahan yang tidak terpecahkan. Kemiskinan sebagai masalah besar yang dihadapi dalam pembangunan negara berkembang dewasa ini, terkait dalam dimensi politik, sosial maupun ekonomi yang menjadikan masyarakat miskin sulit untuk keluar dari kemiskinan. Dimensi politik terlihat dari tidak dimilikinya wadah organisasi yang mampu memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat miskin guna pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka sendiri. Dimensi sosial muncul dengan tidak terintegrasikannya masyarakat miskin dalam institusi sosial yang ada, sedangkan dimensi ekonomi terlihat dari rendahnya penghasilan yang mengakibatkan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup sangat terbatas (Situmeang, 2010:3) Hal inilah yang kemudian menyebabkan negara-negara berkembang berusaha untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan dan program-program yang diharapkan dapat menjadi solusi bagi pengentasan kemiskinan. Demikian halnya dengan Negara Indonesia,
pemerintah terus-menerus berupaya menerapkan kebijakan-kebijakan dan program-program yang bertujuan untuk memerangi kemiskinan. Program dan kebijakan tersebut secara terus-menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan bergantinya pemerintahan. Pada masa orde baru, program-program pengentasan kemiskinan diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar seperti. pemenuhan sembilan bahan pokok, upaya peningkatan kemampuan para petani di pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kemudahan para petani dalam menggarap sawah ladangnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata dengan program inpres kesehatan, dokter dan tenaga para medisnya, sekolah, guru dan perlengkapan lainnya, serta mengusahakan adanya listrik masuk desa dan perbaikan sarana pedesaannya lainnya. Program-program tersebut bisa dikatakan berhasil dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai seperti, kemudahan yang diperoleh petani dalam menggarap sawah ladangnya, semakin banyaknya masyarakat yang dapat menikmati fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak dan terwujudnya listrik masuk desa yang sangat bermanfaat bagi masyarakat baik untuk beraktivitas maupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah program-program tersebut menimbulkan dampak baru dalam menanggulangi kemiskinan pada masyarakat, yaitu hilangnya daya kreasi dan inovasi dari masyarakat dan menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap program-program yang diluncurkan pemerintah, dan yang terburuk adalah program ini tidak menciptakan kemandirian dan berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat.
Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh pemerintah. Pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) fase I dan fase II, Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah. Langkah pemerintah menerapkan pola pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat adalah bahwa melalui pemberdayaan, masyarakat diharapkan dapat mendefinisikan dan menangani masalah yang mereka hadapi, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Hal tersebut dikarenakan paradigma pemberdayaan memandang bahwa masyarakat harus menjadi pusat pembangunan sekaligus pelaku utama pembangunan (people centered development), berbeda dengan kecenderungan dalam pelaksanaan program pemerintah sebelumnya, yang sifatnya sentralistik, dimana program-program yang ditujukan untuk masyarakat direncanakan, dilaksanakan serta dievaluasi oleh pemerintah sendiri. Pola perencanaan pembangunan seperti ini menyebabkan keterlibatan masyarakat yang sangat kecil, padahal masyrakat sendirilah yang merasakan dampak dari program-program tersebut. Selain itu, pola perencanaan pembangunan yang bersifat sentralistik mengakibatkan kurangnya kemampuan masyarakat untuk
mengendalikan maupun memberi masukan dalam proses pembangunan serta terjadi ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah. Melalui pemberdayaan diharapkan masyarakat miskin menjadi berdaya dan mengurangi ketergantungan yang terus menerus terhadap pemerintah, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah kemudian meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada tahun 1999, sebagai program pembangunan berbasis masyarakat. Di dalam program tersebut, ada upaya pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri memiliki konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan perekonomian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada program ini masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Masyarakat menjadi mandiri dan memiliki kesadaran akan pentingnya partisipasi mereka terhadap pembangunan. Bahkan masyarakat akan memiliki kesempatan lapangan pekerjaan dalam pelaksanaan program ini. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri adalah program berbasis pemberdayaan masyarakat yakni basisnya adalah bagaimana upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memecahkan persoalan terkait peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Proses pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Salah satu bagian dari (PNPM) Mandiri adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan adalah program pengembangan dari program pemberdayaan masyarakat perkotaan yang sebelumnya telah dilaksanakan pemerintah yaitu Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), yang telah dilaksanakan sejak tahun 1999. Tujuan dan latar belakang (PNPM) Mandiri Perkotaan yaitu memberdayaan masyarakat miskin perkotaan agar dapat terlepas dari kemiskinan, secara mandiri dan berkelanjutan. Ciri-ciri kemiskinan pada masyarakat perkotaan dapat dilihat dari keadaan seperti, tingginya jumlah pengangguran dan jumlah pencari kerja, tingginya jumlah penduduk yang tidak bersekolah pada usia sekolah, ketidakmampuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, tidak adanya akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama kebutuhan pangan. Dengan melihat fakta yang terjadi pada mastyarakat perkotaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemiskinan yang terjadi pada masyarakat perkotaan terjadi pada tiga bidang yaitu bidang ekonomi, bidang sosial serta bidang lingkungan.
Oleh karena itu melalui (PNPM) Mandiri Perkotaan, diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengatasi kemiskinan melalui program-program pemberdayaan yang dikenal dengan istilah tridaya yaitu pemberdayaan di bidang ekonomi, bidang sosial serta bidang lingkungan. Di bidang ekonomi pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pemberian pinjaman kepada masyarakat miskin yang memiliki usaha, maupun untuk membuka peluang terciptanya usaha baru yang efektif. Di bidang sosial pemberdayaan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sosial seperti memberikan bantuan kepada masyarakat lanjut usia, perbaikan kualitas gizi ibu hamil melalui pemberian makanan bergizi, dan lain-lain. Sedangkan di bidang lingkungan, pemberdayaan dilakukan melalui perbaikan sarana dan prasarana lingkungan seperti pengaspalan jalan, perkerasan jalan, pembuatan parit dan lain sebagainya. Dari tiga masalah utama kemiskinan yang dialami masyarakat, terlihat jelas bahwa permasalahan sesungguhnya yang dihadapi masyarakat adalah rendahnya tingkat perekonomian masyarakat, sehingga mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika masyarakat miskin memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik, tentu saja permasalahan lainnya dapat diatasi. Sebagai contoh jika masyarakat memiliki kemampuan perekonomian yang baik, tentu saja masyarakat tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti, dapat menikmati fasilitas kesehatan yang layak, memiliki tempat tinggal yang memadai, serta mampu menikmati fasilitas pendidikan hingga tingkat menengah umum bahkan hingga tingkat perguruan tinggi. Dengan demikian maka sudah layak dan sepantasnya pemerintah membantu peningkatan perekonomian masyarakat
menuju ke arah yang lebih baik, melalui program-program pemberdayaan seperti (PNPM) Mandiri Perkotaan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab utama kemiskinan adalah karena rendahnya tingkat perekonomian masyarakat, maka penulis tertarik untuk melihat bagaimana upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi adalah dengan memberikan pinjaman kepada masyarakat miskin yang memiliki usaha berskala mikro maupun untuk menciptakan peluang usaha. Program ini diberi nama Program Pinjaman Bergulir, yang merupakan bagian dari (PNPM) Mandiri Perkotaan. Pada Program Pinjaman Bergulir, masyarakat diberikan kepercayaan untuk mengelola sejumlah dana pinjaman yang dikucurkan oleh pemerintah, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan usaha berskala mikro yang dimiliki oleh masyarakat. Sehingga diharapkan melalui peningkatan usaha berskala mikro tersebut, perekonomian masyarakat yang menerima dana pinjaman bergulir dapat semakin membaik. Kenyataan bahwa + 40% masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki usaha berskala mikro, maka pemerintah merasa perlu untuk meluncurkan program pinjaman bergulir tersebut (pedoman pelaksanaan program pinjaman bergulir, 2008:22). Program pinjaman bergulir pada dasarnya ditujukan untuk masyrakat miskin yang berada pada wilayah desa/kelurahan, dengan kriteria masyarakat miskin yang ditentukan sendiri oleh masyarakat yang akan melaksanakan program pinjaman bergulir. Adapun pengelolaan dana pinjaman bergulir tidak dapat
dikelola secara langsung kepada masyarakat yang bersifat perorangan (individu). Dana pinjaman tersebut harus dikelola oleh unit pengelola keuangan (UPK), untuk kemudian menyalurkannya kepada kelompok swadaya masyarakat (KSM). Pemberian dana pinjaman bergulir kepada masyarakat harus melalui tahapan/prosedur yang dilakukan oleh (UPK), untuk menentukan layak tidaknya kelompok masyarakat yang mengajukan permohonan pinjaman untuk memperoleh dana pinjaman tersebut. Unit pengelola keuangan (UPK) dibentuk dan diawasi oleh badan keswadayaan masyarakat (BKM), selain dua unit pengelola lainnya yaitu unit pengelola lingkungan (UPL) dan unit pengelola sosial (UPS). Kelurahan Karang Berombak adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Medan Barat Kota Medan, yang menerima dana pinjaman bergulir. Dikatakan bergulir karena pinjaman yang diperoleh masyarakat tidak dapat dinikmati seluruh kelompok masyarakat secara bersamaan. Peminjaman dilakukan secara bergantian dari kelompok masyarakat yang telah memperoleh pinjaman, kemudian dilanjutkan dengan kelompok masyarakat lain yang belum memperoleh pinjaman, dengan catatan pinjaman yang diperoleh kelompok masyarakat yang melaksanakannya terlebih dahulu harus dikembalikan secara utuh, barulah kemudian dapat digulirkan kembali kepada kelompok masyarakat lainnya yang belum memperoleh pinjaman. Dengan demikian diharapkan tercipta rasa tanggung jawab, kepedulian dan kerjasama antara kelompok peminjam, terutama bagi kelompok masyarakat yang sedang melaksanakan pinjaman, agar dana pinjaman tersebut tidak hilang melainkan dapat dikembalikan secara utuh, sehingga dapat
dimanfaatkan kembali oleh kelompok masyarakat lainnya yang belum memperoleh pinjaman. Pinjaman yang diperoleh masyarakat tidak hanya dapat dilakukan melalui satu tahap saja, tetapi dapat dilakukan hingga empat tahap, jika pengembalian pinjaman pada setiap tahapan dilakukan dengan baik. Jumlah maksimal pinjaman yang bisa diperoleh setiap anggota kelompok peminjam adalah Rp. 5.500.000, yang diperoleh secara bertahap, mulai dari tahap pertama hingga tahap ke-iv. Tahapan pemberian pinjaman pada pelaksanaan program pinjaman bergulir dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Tahapan Pemberian Dana Pinjaman Bergulir Tahapan Pemberian Besarnya Dana Kategori Pinjaman Bergulir Pinjaman Bergulir Pengembalian Pinjaman Tahap I Rp. 500.000 Selesai (masuk tahap II) Tahap II Rp. 1.000.000 (2 x Selesai (masuk tahap III) Tahap III jumlah pinjaman tahap I) Rp. 2.000.000 (2 x jumlah pinjaman tahap II) Tahap IV Rp. 2.000.000 (sama seperti jumlah pinjaman tahap III) Sumber: Pedoman Pelaksanaan Program Pinjaman Bergulir Selesai (masuk tahap IV) Program pinjaman bergulir mulai dilaksanakan di Kelurahan Karang Berombak pada bulan Februari tahun 2010. Salah satu pertimbangan korkot (koordinator kota) dalam memilih Kelurahan Karang Berombak untuk melaksanakan program pinjaman bergulir dikarenakan kurang lebih 30% penduduk Kelurahan Karang berombak merupakan pengusaha berskala mikro, sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian, khususnya pada penambahan modal usaha melalui pemberian pinjaman. Keterbatasan masyarakat untuk mendapatkan
akses pinjaman kepada lembaga keuangan formal baik itu lembaga pemerintah maupun non pemerintah, menyebabkan sulitnya masyarakat untuk mengembangkan usahanya. Ketidakmampuan untuk mengembangkan usaha menyebabkan usaha yang dikelola masyarakat tidak mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Hal inilah menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat Kelurahan Karang Berombak yang rata-rata pengusaha berskala mikro tetap berada dalam kemiskinan. Kenyataan ini ditunjukkan dengan jumlah rumah tangga miskin yang mencapai 1.469 rumah tangga dari 4.324 rumah tangga di Kelurahan Karang Berombak (sumber: konsultan manajemen wilayah IV Sumatera Utara). Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka diluncurkanlah program pinjaman bergulir bagi masyarakat Kelurahan Karang Berombak. Jumlah dana yang diberikan adalah sebesar Rp. 49.000.000,-. Dana pinjaman tersebut disalurkan kepada 13 KSM pada tahap awal dan kemudian digulirkan kepada 21 KSM, pada tahap berikutnya. Pada tahap awal jumlah pinjaman yang diberikan adalah sebesar Rp. 500.000, pada tahap kedua jumlah pinjaman yang diberikan adalah sebesar Rp.1.000.000. Pembatasan pemberian pinjaman dibatasi hingga tahap kedua, disebabkan keterbatasan dana pinjaman yang disediakan dan masih banyaknya masyarakat yang belum memperoleh dana pinjaman. Masing-masing anggota KSM yang memperoleh dana pinjaman bergulir telah memenuhi persyaratan diantaranya seperti, memiliki usaha berskala mikro ataupun memiliki potensi untuk memulai usaha, memiliki kemampuan untuk mengembalikan dana pinjaman yang diperoleh, telah memenuhi kriteria
masyarakat miskin yang telah ditetapkan serta yang terpenting adalah merupakan bagian dari masyarakat yang berdomisili pada daerah yang menerima dana pinjaman bergulir. Adapun kriteria masyarakat miskin yang ditentukan berkaitan dengan pelaksanaan program pinjaman bergulir di Kelurahan Karang Berombak adalah sebagai berikut: 1. Berpenghasilan maksimal Rp.20.000/hari 2. Jumlah tanggungan dalam keluarga minimal 5 (lima) orang atau lebih 3. Pendidikan rata-rata anak dalam satu keluarga adalah setingkat SLTP, karena ketidakmampuan orang tua 4. Masyarakat yang memiliki pekerjaan tidak tetap, terutama pengangguran 5. Umur jompo miskin di atas 60 tahun, kecuali untuk kondisi tertentu seperti menderita penyakit akut dan cacat 6. Memilik balita dalam keluarga yang mengalami kurang asupan gizi 7. Tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari secara layak 8. Janda miskin Salah satu syarat agar pinjaman bergulir dapat disalurkan kepada masyarakat adalah terbentuknya BKM dan UPK, yang merupakan pengelola program pinjaman bergulir serta KSM, yang menerima dana pinjaman bergulir. Semua anggota kelompok pengelola maupun pelaksana program pinjaman bergulir merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Badan keswadayaan masyarakat (BKM) Kelurahan Karang Berombak yang bertugas mengelola pelaksanaan program pinjaman bergulir adalah BKM Rose. BKM Rose dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh 10 unit pengelola, yang terdiri dari 4 (empat) unit pengelola ekonomi, 4 (empat) unit pengelola sosial dan 2 (dua) unit pengelola lingkungan. UPK sendiri berada di dalam unit pengelola ekonomi dan diangkat serta bertanggung jawab terhadap BKM. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa program pinjaman bergulir ini, bukanlah hanya sebatas program yang mengupayakan peningkatan perekonomian masyarakat saja, tetapi juga menciptakan lembaga sosial masyarakat sehingga masyarakat mampu berorganisasi, dimana melalui organisasi tersebut diharapkan tercipta rasa kepercayaan, tanggung jawab serta gotong royong antara masyarakat yang melaksanakannya. Dengan demikian harapan untuk mewujudkan lahirnya kembali modal sosial di tengah masyarakat diharapkan dapat terwujud. Melihat kenyataan-kenyataan yang telah dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas pelaksanaan program pinjaman bergulir di Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat Kota Medan. 1.2. Perumusan Masalah Beranjak dari uraian latar belakang masalah, maka masalah utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektifitas pelaksanaan program dana pinjaman bergulir dilihat dari aspek kelembagaan, aspek sasaran penerima dana pinjaman bergulir, aspek keberlanjutan usaha dan keberlanjutan program pinjaman, aspek kemandirian dan keberdayaan masyarakat serta aspek pengaruh
program pinjaman bergulir bagi masyarakat di Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat Kota Medan? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan program pinjaman bergulir di Kelurahan Karang Berombak Kecamatan Medan Barat Kota Medan. Tujuan umum ini kemudian di rinci kedalam 5 tujuan khusus, yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimana aspek kelembagaan BKM dan UPK sebagai pelaksana dan pengawas program pinjaman bergulir, terutama KSM sebagai penerima program 2. Untuk mengkaji aspek sasaran penerima dana pinjaman bergulir 3. Untuk mengetahui bagaimana kemandirian dan keberdayaan yang terjadi pada masyarakat, melalui pelaksanaan program pinjaman bergulir 4. Untuk mengetahui bagaimana keberlanjutan usaha dan keberlanjutan progam pinjaman khususnya program pinjaman bergulir di masa yang akan datang 5. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh yang dihasilkan bagi masyarakat melalui pelaksanaan program pinjaman bergulir 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperdalam pengetahuan penulis tentang pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan khususnya program pinjaman bergulir, serta memberi sumbangan pengetahuan bagi
para pembaca mengenai efektifitas program pinjaman bergulir di Kelurahan Karang Berombak di Kecamatan Medan Barat Kota Medan.