juta/mm3 28 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Jumlah Eritrosit Pengamatan terhadap jumlah eritrosit dilakukan pada saat ayam berumur 10 minggu. Data hasil pengamatan jumlah eritrosit Ayam Lokal Jimmy Farm disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit Ayam Lokal Jimmy Farm Ulanga P1 P2 P3 P4 P5 n 10 6 / mm 3 darah 1 2,73 3,34 3,51 3,55 2,92 2 2,99 3,18 3,29 3,24 2,84 3 3,04 3,56 3,92 3,28 3,44 4 3,28 4,01 3,58 3,33 2,73 Rataan 3,01 ± 0,23 3,52 ± 0,36 3,58 ± 0,26 3,35 ± 0,14 2,98 ± 0,31 Data yang diperoleh memperlihatkan nilai eritrosit terendah terdapat pada perlakuan P5 yaitu sebesar 2,98 x10 6 / mm 3 dan tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 3,58 x 10 6 / mm 3. Guna memperjelas rataan nilai eritrosit dari setiap perlakuan data disajikan dalam Ilustrasi 1. 4 3 3,01 3,52 3,58 Jumlah Eritrosit 3,35 2,98 2 1 Jumlah Eritrosit 0 P1 P2 P3 P4 P5 perlakuan Ilustrasi 1. Rataan Jumlah Eritrosit Ayam Lokal Jimmy Farm yang Diberi Energi dan Protein Ransum Berbeda
29 Dari Tabel 6 dan Ilustrasi 1 terlihat rata-rata jumlah eritrosit pada semua perlakuan berada pada kisaran 2,98-3,58 juta/mm 3, Hasil tersebut dalam kisaran normal, sesuai pernyataan Jain (1993) bahwa jumlah eritrosit ayam yaitu 2,5-3,5 juta/mm 3. Hasil Analisis Ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa pemberian ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda, berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap jumlah eritrosit. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan kandungan protein dalam ransum dapat menghasilkan jumlah eritrosit yang berbeda pada ayam lokal Jimmy Farm. Hasil uji lanjut untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan tehadap jumlah eritrosit menggunakan Uji Duncan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji Duncan Perlakuan Terhadap Jumlah Eritrosit Perlakuan Rata-rata (10 6 /mm 3 ) Signifikansi P5 2,98 a P1 3,01 a P4 3,35 ab P2 3,52 b P3 3,58 b Keterangan: Huruf yang sama pada kolom signifikansi menunjukan tidak berbeda nyata (p 0,05) Hasil Uji Duncan menunjukkan bahwa jumlah eritrosit pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P4 dan P5, namun berbeda nyata dengan P2 dan P3. Dari seluruh perlakuan, P4 tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan. P1 (Energi 2750 kkal dan Protein 15%) memiliki kandungan energi yang lebih rendah namun memiliki kandungan protein yang sama dengan P4 (Energi 2950 kkal dan Protein 15%), sementara P5 (Energi 2950 kkal dan Protein 17%) memiliki
30 kandungan energi dan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1. Sementara itu, P1, P2 (Energi 2750 kkal dan Protein 17%) dan P3 (Energi 2750 kkal dan Protein 19%) memiliki kandungan energi yang sama namun memiliki kandungan protein yang lebih tinggi. Hal tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan kandungan energi cenderung tidak berpengaruh, sementara peningkatan jumlah protein cenderung meningkatkan jumlah eritrosit. Peningkatan protein ransum yang diiringi dengan peningkatan energi ransum tidak efektif dalam meningkatkan jumlah eritrosit. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah eritrosit adalah nutrien, dan nutrien yang paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan eritrosit adalah protein. Menurut Praseno (2005) protein merupakan salah satu bahan dasar untuk pembentukan eritrosit (erythropoiesis) selain glukosa dan berbagai aktivator. Jumlah eritrosit yang menurun pada perlakuan P5 dapat diakibatkan dari kandungan energi yang tinggi yang menyebabkan ternak akan cepat berhenti makan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Rahayu (2011) bahwa ayam memenuhi energi sesuai dengan yang diperlukan, bila energi di dalam ransum rendah ayam akan makan lebih banyak, begitu pula bila kandungan energi ransum tinggi, akan mengurangi asupan makannya. Dengan berkurangnya asupan makanan mengakibatkan protein yang terakumulasi dalam tubuh sedikit meski kandungan protein dalam ransum meningkat. Pembentukan eritrosit atau proses erithropoiesis membutuhkan energi dan protein, dimana energi berperan dalam sintesis eritrosis, sintesis eritrosit dapat dikelompokan menjadi proses anabolisme didalam tubuh. Eritrosit terbentuk dari protein sederhana berupa asam-asam amino yang sebelumnya mengalami proses katabolisme di dalam hati. Setelah protein diubah menjadi asam-asam amino, maka
31 dengan proses absorpsi melalui dinding usus, asam amino tersebut sampai dalam pembuluh darah. Proses absorpsi ini ialah proses transport aktif yang memerlukan energi. Perpindahan asam amino dari dalam darah ke dalam sel-sel jaringan juga merupaka proses transport aktif yang membutuhkan energi (Poedjiadi, 1994). Pemberian energi dengan taraf 2750 kkal/kg sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok yang ditunjukan dengan jumlah eritrosit yang normal. Dengan energi 2950 kkal/kg terlihat dapat menghambat proses penyerapan protein akibat berkurangnya asupan protein dan hal ini diperlihatkan dari jumlah eritrosit terendah yang dimiliki oleh P5. 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Hemoglobin Pengamatan kadar hemoglobin dilakukan menggunakan Metode Sahli. Data hasil pengamatan kadar hemoglobin ayam lokal Jimmy Farm yang diberi ransum dengan energi dan protein berbeda disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Hemoglobin Ayam Lokal Jimmy Farm Ulangan P1 P2 P3 P4 P5 g/dl.. 1 6,90 6,90 6,80 6,70 6,30 2 7,75 6,35 5,90 8,00 6,70 3 7,25 9,20 8,40 6,80 6,30 4 8,50 6,80 9,40 6,05 6,20 Ratarata 7,60 ± 0,69 7,31 ± 1,28 7,63 ± 1,57 6,89 ± 0,81 6,38 ± 0,22 Rataan nilai hemoglobin dari masing-masing perlakuan secara berurutan adalah 7,6; 7,3; 7,63; 6,89 dan 6,38 g/dl. Rataan nilai hemoglobin tertinggi diperoleh perlakuan P3 atau dengan pemberian ransum dengan kadar energi sebesar 2750 kkal/kg dan kandungan protein sebesar 19% sedangkan nilai terendah terdapat pada perlakuan P5 atau dengan pemberian ransum dengan kadar energi 2950
gr/dl 32 kkal/kg dan kandungan protein sebesar 17%. Dari Tabel 8 didapatkan nilai rataan kadar hemoglobin seluruh perlakuan berada pada kisaran 6,38-7,63 gr/dl hasil tersebut lebih rendah dibandingkan pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988) yang menyatakan bahwa pada umumnya unggas memiliki hemoglobin antara 7,0 gr/dl- 10,9 g/dl, namun menurut Azhar (2009) kadar hemoglobin sebesar 6-9 gr/dl pada ayam masih berada pada kisaran normal. Guna memperjelas rataan nilai hemoglobin dari setiap perlakuan disajikan dalam Ilustrasi 2. 8 7,5 7 6,5 6 5,5 7,6 7,31 Hemoglobin 7,63 6,89 6,38 P1 P2 P3 P4 P5 Perlakuan Hemoglobin Ilustrasi 2. Rataan Hemoglobin Ayam Lokal Jimmy Farm yang Diberi Energi dan Protein Berbeda dalam Ransum Hasil Analisis Ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa pemberian energi dan protein ransum berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai hemoglobin ayam Lokal Jimmy Farm. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian energi dan protein ransum berbeda memperlihatkan nilai hemoglobin yang relatif sama. Pemberian ransum dengan kadar protein 15-19% dan energi 2750-2950 kkal masih mampu mempertahankan kondisi normal hemoglobin. Dengan begitu pemberian ransum dengan kandungan protein 19% maupun pemberian ransum dengan kandungan energi 2950 kkal tidak efektif dalam meningkatkan kadar hemoglobin ternak.
33 Protein merupakan komponen dalam hemoglobin sehingga dalam pembentukan hemoglobin, peran protein terutama asam amino glisin sangat dibutuhkan (Andriani dkk, 2010). Glisin didapatkan dari hasil retensi protein yang kemudian dimetabolisme dan protein dalam tubuh ternak diperoleh dari ransum yang dimakan karena unggas tidak memiliki kemampuan mensintesa protein sendiri. Banyaknya asam amino yang tersedia untuk pembentukan hemoglobin tergantung keseimbangan antara pembentukan asam amino dan penggunaanya. Energi dibutuhkan dalam sintesa hemoglobin, namun dari hasil penelitian, perlakuan dengan pemberian ransum energi tinggi (2950 kkal) ternyata tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar hemoglobin ternak. Kandungan energi yang tinggi pada ternak dapat menyebabkan menurunnya retensi nitrogen pada tubuh ternak. Hal tersebut karena ternak akan lebih sedikit mengkonsumsi ransum, karena ternak unggas akan berhenti makan ketika kebutuhan energi sudah terpenuhi. Dengan sedikitnya asupan ransum maka protein yang diperoleh pun tidak akan terakumulasi banyak dalam tubuh meski kandungan protein ransum tinggi. Hal tersebut juga menjadi faktor kadar hemoglobin yang tidak terpengaruh oleh ransum perlakuan. Peran protein dalam tubuh ternak dapat tersalurkan dalam pemenuhan energi ternak. kondisi hemoglobin yang relatif sama pada semua perlakuan dapat diakibatkan juga dari tersalurkannya protein untuk pemenuhan energi bukan untuk pembentukan hemoglobin. Glukoneogenesis merupakan jalur pembentukan glukosa dari prekursor-prekursor non karbohidrat (asam-asam amino dan asamasam lemak) (Sporer dkk., 2008; Rahardja, 2010). Saat ternak berada dalam kondisi yang kurang baik, pemanfaatan asam-asam amino memasuki jalur siklus Krebs menjadi meningkat. Terkait dengan sintesis hemoglobin, maka tampak
34 bahwa ketika laju glukoneogenesis meningkat untuk pemenuhan energi, asam-asam amino pembentuk hemoglobin (terutama glisin dan metheonin) lebih diutamakan masuk ke dalam jalur siklus Krebs untuk sintesis energi yang menyebabkan laju pembentukan hemoglobin mengalami penurunan (Sturkie, 1976; Guyton dan Hall, 2010; dan Andi Mushawwir, 2005). 4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Nilai Hematokrit Pengukuran nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan hematokrit scale. Rataan Nilai hematokrit dari setiap perlakuan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rataan Nilai Hematokrit Ayam Lokal Jimmy Farm Ulangan P1 P2 P3 P4 P5.%... 1 35,00 31,50 33,28 30,50 32,50 2 33,00 29,25 33,25 35,00 27,00 3 24,50 38,50 33,00 38,35 32,15 4 30,50 37,00 39,00 29,50 30,50 Rata-rata 30,75 ±4,56 34,06 ± 4,40 34,63 ± 2,91 33,34 ± 4,11 30,54 ± 2,51 Rataan nilai hematokrit setiap perlakuan secara berurutan adalah, 30,75; 34,06; 34,63; 33,34; 30,54. Rataan nilai hematokrit tertinggi terdapat pada perlakuan P3, yaitu 34,63% dan nilai terendah terdapat pada perlakuan P5 yaitu 30,54%. Guna lebih memperjelas, rataan nilai hematokrit dari masing-masing perlakuan disajikan dalam Ilustrasi 3.
% 35 35 30 25 30,75 34,06 34,63 Hematokrit 33,34 30,54 P1 P2 P3 P4 P5 Perlakuan Hematokrit Ilustrasi 3. Rataan Nilai Hematokrit Ayam Lokal Jimmy Farm yang Diberi Energi dan Protein Ransum Berbeda Rataan nilai hematokrit ayam lokal Jimmy Farm berada pada kisaran 30,54-34,64% hasil tersebut masih berada pada kisaran normal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Smith dan Mangkoewidjojo (1988) bahwa nilai hematokrit normal pada ayam, berkisar antara 24-43%. Data hematokrit dalam Tabel 9 dianalisis menggunakan Analisis Ragam. Hasil analisis (Lampiran 5) menunjukkan bahwa pemberian energi dan protein ransum berbeda berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap nilai hematokrit ayam lokal Jimmy Farm. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian energi dan protein ransum berbeda menghasilkan nilai hematokrit yang relatif sama. Nilai hematokrit yang relatif sama sejalan dengan hasil kadar hemoglobin ayam lokal Jimmy farm. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai hematokrit adalah kadar hemoglobin dalam tubuh ternak. Swenson (1970) menyatakan bahwa kadar hematokrit, hemoglobin dan eritrosit mempunyai hubungan positif. Seperti yang diutarakan oleh Frandson (1992) bahwa hematokrit adalah persentase sel-sel darah dalam cairan darah atau besarnya volume sel darah merah atau eritrosit di dalam 100 mm 3 darah.
36 Nilai hematokrit yang relatif sama terhadap semua perlakuan dapat diakibatkan dari kadar hemoglobin yang juga memiliki hasil yang sama terhadap semua perlakuan. Hematokrit dan hemoglobin memiliki hubungan yang sangat erat, dimana kadar hemoglobin dapat mempengaruhi nilai hematokrit darah. Pada dasarnya perhitungan hematokrit dilihat dari kandungan hemoglobin yang merupakan pigmen pada eritrosit, karena secara visual kehadiran eritrosit dalam darah dapat dilihat dari warna merah pada darah yang timbul akibat hemoglobin yang terkandung dalam eritrosit. Warna merah pada hemoglobin disebabkan oleh heme, suatu ikatan metalik mengandung sebuah atom besi (Swenson, 1984). Eritrosit menjadi acuan dalam penentuan nilai hematokrit karena eritrosit merupakan sel darah yang paling dominan. Namun dalam penelitian ini jumlah eritrosit yang berpengaruh nyata tidak sejalan dengan kadar hemoglobin dan nilai hematokrit yang memiliki hasil berpengaruh tidak nyata pada semua perlakuan. Hal tersebut dapa terjadi karena adanya kerusakan pada sel eritrosit, atau kelainan pada sel eritrosit. Wardhana, dkk (2001) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya nilai hematokrit dipengaruhi oleh kerusakan eritrosit, penurunan jumlah eritrosit dan ukuran eritrosit. Perbedaan nilai hematokrit dengan jumlah eritrosit dapat juga disebabkan dari volume plasma darah yang lebih besar. Seperti yang diketahui sebelumya hematokrit merupakan persentase sel-sel darah di dalam darah. Darah tersusun atas sel-sel darah yang terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit yang bersirkulasi dalam cairan yang disebut plasma darah. Plasma darah adalah cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah. Plasma darah terdiri atas protein (albumin, globulin dan fibrinogen), lemak darah bentuk kolesterol, fosfolipid, lemak netral, asam lemak dan mineral anorganik terutama kalsium, potassium dan iodium. Sel
37 darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit (heterofil, eosinofil, basophil, limfosit dan monosit) dan trombosit (Yuwanta, 2004). Volume plasma darah yang lebih besar dapat memperkecil nilai hematokrit.
38