BAB II PENDEKATAN TEORETIS

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ANALISIS GENDER DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERDESAAN

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB V PROFIL KELEMBAGAAN DAN PENYELENGGARAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PERDESAAN (PNPM MP) DESA KEMANG

BAB X RELASI GENDER DALAM P2KP

LAMPIRAN. Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Mendalam. Nama :... Peran di PNPM-MPd :...

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. pada umumnya juga belum optimal. Kerelawan sosial dalam kehidupan

ANALISIS GENDER DALAM PE

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Analisis tingkat kesehatan lembaga unit pengelola kegiatan( studi kasus. pada UPK PNPM Kecamatan Kalijambe Kabupaten Sragen ) Oleh : Wawan Apriyanto

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Sari Surya

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah memajukan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Monitoring dan Evaluasi dalam Program Pemberdayaan

BAB I PENDAHULUAN. dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB VII STIMULAN DAN PENGELOLAAN P2KP

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dari situasi sebelumnya. Otonomi Daerah yang juga dapat dimaknai

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENJELASAN VI PENULISAN USULAN DAN VERIFIKASI

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan nasional pada usaha proaktif untuk meningkatkan peran

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan sturktural dan kemiskinan kesenjangan antar wilayah. Persoalan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Wirawan, dalam bukunya yang berjudul Evaluasi, Teori, Model, Standar,

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. merbau pada saat itu disebut Distrik Merbau dengan Ibu Negerinya Teluk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ditetapkan sebelumnya tercapai. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli.

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

(PNPM-MP) adalah bagian dari upaya Pemerintah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BAB I PENDAHULUAN. Perdesaan (PNPM-MP) salah satunya ditandai dengan diberlakukannya UU No. 6

BAB IV IMPLEMENTASI SPP (SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN) DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kemiskinan menjadi salah satu alasan rendahnya Indeks Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan kesejahteraan kepada seluruh warga bangsa dengan cara

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan yang bisa memberikan hasil yang memuaskan, dapat dikatakan juga

BAB I PENDAHULUAN Sekilas Tentang UPK Sauyunan Kecamatan Bojongsoang

EVALUASI KEBIJAKAN PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN SINGKIL KOTA MANADO. Oleh FERA HANDAYANI

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VIII STRATEGI DAN PROGRAM PEMBERDAYAAN FAKIR MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berkaitan, diantaranya, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM EKONOMI BERGULIR DI PNPM MANDIRI PERKOTAAN DESA LUHU KECAMATAN TELAGA KABUPATEN GORONTALO JURNAL OLEH

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

BAB VI PERSEPSI RELAWAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III GAMBARAN UMUM SIMPAN PINJAM KELOMPOK PEREMPUAN (SPP) DESA TUNGU KECAMATAN GODONG KABUPATEN GROBOGAN

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 27 TAHUN 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA,LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan ini

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. salah satu program percepatan penanggulangan kemiskinan unggulan

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN. Sulawesi Tenggara, Indonesia. Kecamatan Ranomeeto terbentuk Pada Tahun

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

SALINAN WALIKOTA LANGSA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN TAHUN 2013

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

KEBERLANJUTAN DAN PENATAAN KELEMBAGAAN PNPM MPd

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang, sebagai negara berkembang

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

2013, No Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional; 3. Peraturan Menteri Pertahanan Nom

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAGIRI HULU NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

7 BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Definisi Gender dan Teknik Analisis Gender Mugniesyah (2007a) mengemukakan pendapat sejumlah ahli dan lembaga yang merumuskan definisi gender, di antaranya dari International Labour Organization (ILO) dan Wood (2001). Menurut ILO (2000), gender mengacu pada perbedaan-perbedaan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang dipelajari, bervariasi secara luas di antara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan dengan perkembangan waktu/zaman. Adapun menurut Wood (2001), gender adalah suatu konstruksi sosial yang bervariasi lintas budaya, berubah sejalan perjalanan waktu dalam suatu kebudayaan tertentu, bersifat relasional, karena femininitas dan maskulinitas memperoleh maknanya dari fakta dimana masyarakat kitalah yang menjadikan mereka berbeda. Dalam konteks Indonesia, dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan, dinyatakan bahwa gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Selanjutnya, dinyatakan bahwa perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam siklus program pembangunan, sejak perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Adapun perencanaan yang responsif gender diartikan sebagai perencanaan yang dilakukan dengan memasukkan perbedaan-perbedaan pengalaman, aspirasi, permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunan perencanaan program. Berkenaan pengertian analisis gender, dalam Inpres No 9 Tahun 2000 dinyatakan bahwa analisa gender adalah proses yang dibangun secara sistematik, untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan

antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. Menurut Moser (1993) sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2002), teknik analisis gender diartikan sebagai pengujian secara sistematis terhadap peranan-peranan, hubungan-hubungan dan proses-proses yang memusatkan perhatiannya pada ketidakseimbangan kekuasaan, kesejahteraan dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Istilah ini diterapkan terhadap proses pembangunan, khususnya untuk melihat bagaimana suatu kebijaksanaan pada program pembangunan mempunyai dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan. Menurut Surbakti dkk. (2001) dalam Mugniesyah (2007b) analisis gender merupakan langkah awal penyusunan tujuan pembangunan yang responsif gender. Analisis gender dilakukan dengan memperhatikan 4 (empat) faktor utama guna mengidentifikasi ada tidaknya kesenjangan gender. Keempat faktor tersebut adalah: 1) Faktor akses. Apakah perempuan dan laki-laki memperoleh akses yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan? 2) Faktor kontrol. Apakah perempuan dan laki-laki memiliki kontrol (penguasaan) yang sama terhadap sumber-sumber daya pembangunan? 3) Faktor partisipasi. Bagaimana perempuan dan laki-laki berpartisipasi dalam program-program pembangunan? 4) Faktor manfaat. Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan? Selanjutnya, Moser (1993) sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006) menawarkan suatu konsep yang dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh dari manfaat yang dapat dipenuhi oleh program-program pembangunan dalam merespon relasi gender, baik dalam keluarga maupun komunitas, yang dikenal sebagai pemenuhan kebutuhan praktis gender (practical gender needs) dan pemenuhan kebutuhan strategis gender (strategical gender needs). Pemenuhan kebutuhan praktis gender mencakup pemenuhan yang merespon atas kebutuhankebutuhan perempuan yang bersifat segera dan praktis, dalam arti secara segera dapat meringankan beban kerja perempuan, namun tidak merubah status

9 subordinasi perempuan. Adapun pemenuhan kebutuhan strategis gender berhubungan dengan upaya untuk mengurangi atau meniadakan subordinasi perempuan, dalam arti meningkatkan kontrol perempuan terhadap program pembangunan sehingga tercipta kesetaraan gender. Pemenuhan kategori kedua ini berupaya menghilangkan ketidaksetaraan (ketimpangan) antara perempuan dan laki-laki di dalam dan luar rumahtangga serta menjamin hak dan peluang perempuan untuk memenuhi kebutuhan mereka. 2.1.2 Pengertian dan Evaluasi Program Maunder (1972) dalam Mugniesyah (2006) menyatakan bahwa program penyuluhan adalah suatu pernyataan tentang tujuan-tujuan suatu pelayanan penyuluhan yang didasarkan pada suatu hasil analisis situasi yang ada dan kebutuhan-kebutuhan orang di wilayah dimana penyuluhan dilakukan, serta sejumlah masalah yang harus diatasi agar tujuan-tujuan tersebut tercapai. Menurut Raudabough dalam Maunder (1972) sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2006), evaluasi program dapat didefinisikan sebagai suatu proses penilaian atas keberhasilan yang dicapai suatu tujuan program, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam program tersebut. Oleh karena itu, dalam evaluasi terkandung di dalamnya proses pemberian nilai kepada pencapaian tujuan program dan kemudian menetapkan derajat keberhasilan pencapaian tujuan yang dinilai tersebut. Dengan demikian, evaluasi dapat diartikan sebagai pengukuran dari konsekuensi yang dikehendaki dan tidak dikehendaki dari suatu tindakan yang telah dilakukan dalam rangka mencapai beberapa tujuan yang akan dinilai. Merujuk pendapat ahli penyuluhan, terdapat tiga kategori evaluasi proyek/program, yaitu: evaluasi awal (ex-ante evaluation atau pre-evaluation), evaluasi proses (process or on-going evaluation) atau disebut juga sebagai monitoring atau evaluasi formatif dan evaluasi akhir (ex-post evaluation) atau disebut juga evaluasi sumatif (Mugniesyah 2006). Masih dalam Mugniesyah (2006), Aninomous (1989) mengemukakan bahwa evaluasi sumatif atau evaluasi yang dilakukan setelah proyek/program berakhir adalah suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak kegiatan-kegiatan proyek atau program sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan program. Tujuan dari

evaluasi adalah mengubah seperangkat sumberdaya yang tersedia (input) untuk menghasilkan output atau keluaran, effect atau pengaruh dan impact atau dampak. Input (masukan) adalah semua jenis barang, jasa, dana, tenaga manusia, teknologi dan sumberdaya lainnya, yang perlu tersedia untuk terlaksananya kegiatan dalam rangka menghasilkan output (hasil) dan mencapai suatu tujuan program atau proyek. Menurut The United Nations ACC Task Free on Rural Develeopment on Monitoring and Evaluation (1984), program adalah seperangkat aktivitas, proyek, proses atau jasa yang diorganisasikan untuk mencapai suatu tujuan-tujuan yang spesifik. Adapun proyek merupakan bagian dari program yang terencana di dalamnya terdapat serangkaian aktivitas yang berhubungan satu dengan lainnya yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan khusus tertentu dengan anggaran dana dan periode waku tertentu. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sebuah program atau proyek dirancang untuk merubah seperangkat sumberdaya (input) ke dalam hasil-hasil yang diinginkan (sesuai tujuan-tujuan) melalui serangkaianserangkaian akivitas atau proses. Hasil-hasil tersebut dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: keluaran (outputs), pengaruh (effects) dan dampak (impacts). Input atau asupan sebuah program atau proyek bisa berupa barang-barang, jasa, dana, teknologi, informasi dan sumberdaya lainnya yang diberikan kepada mereka yang menjadi sasaran (obyek) program/proyek untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas dengan harapan agar tercapai keluaran (output). Keluaran (output) adalah produk atau jasa yang diharapkan dihasilkan melalui aktivitas yang memanfaatkan input dalam rangka mencapai tujuan-tujuan program. Keluaran (output) sebuah program bisa berupa: (a) fisik, seperti jumlah kelompok tani atau koperasi primer tani, jumlah kilometer jalan dan atau saluran irigasi yang dibangun, (b) jasa, seperti petani dan/atau layanan jasa. Sebuah keluaran program/proyek dimungkinkan menjadi input bagi keluaran lainnya. Sebagai contoh, keluaran berupa jalan beraspal menjadi input bagi aksesibilitas petani terhadap pasar. Pengaruh (effect) merupakan hasil (outcome) dari penggunaan keluaran proyek (project output), seperti peningkatan produksi pada tingkat usaha tani

11 sebagai hasil dari penerapan teknologi budidaya suatu komoditi tertentu. Pengaruh proyek umumnya terjadi setelah selesainya suatu pelaksanaan sebuah proyek. Adapun dampak (impact) adalah hasil-hasil (outcomes) dari terjadinya pengaruh proyek (project effects). Dampak biasanya berlangsung pada tingkatan yang lebih luas, bisa pada tingkat rumahtangga, keluarga dan/atau komunitas tertentu. Perbedaan antara keluaran, efek dan dampak tergantung pada sifat, lingkup dan ukuran proyek, dan lebih dari itu, tergantung pada tujuan-tujuan spesifik dari sebuah program/proyek. 2.1.3 Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) adalah program nasional dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Secara umum PNPM Mandiri dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada dasarnya PNPM Mandiri Perdesaan -selanjutnya ditulis PNPM MPmerupakan pengembangan lebih lanjut dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang sudah dilaksanakan sejak tahun 1998. Visi PNPM MP adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat, adapun kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Adapun misi PNPM MP antara lain: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif,

(3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal, (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat, dan (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan. Terdapat sejumlah kegiatan yang dibiayai melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM MP, meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Kegiatan pembangunan atau perbaikan prasarana sarana dasar yang dapat memberikan manfaat langsung secara ekonomi bagi RTM. 2. Kegiatan peningkatan bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk kegiatan pelatihan pengembangan keterampilan masyarakat (pendidikan nonformal). 3. Kegiatan peningkatan kapasitas/keterampilan kelompok usaha ekonomi terutama bagi kelompok usaha yang berkaitan dengan produksi berbasis sumberdaya lokal, namun tidak termasuk penambahan modal. 4. Penambahan permodalan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPKP). Tujuan dari PNPM MP adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Adapun tujuan khusus dari PNPM MP antara lain : 1. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan. 2. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumberdaya lokal. 3. Mengembangkan kapasitas pemerintah desa dalam memasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif. 4. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat. 5. Melembagakan pengelolaan dana bergulir. 6. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerjasama Antar Desa (BKAD).

13 7. Mengembangkan kerjasama antar pelaku pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sehubungan dengan tujuan diatas, Program dari PNPM Mandiri Perdesaan diharapkan dapat menghasilkan keluaran seperti berikut : 1. Terjadinya peningkatan keterlibatanan RTM dan kelompok perempuan mulai perencanaan sampai dengan pelestarian kegiatan. 2. Terlembaganya sistem pembangunan partisipatif di desa dan antar desa. 3. Terjadinya peningkatan kapasitas pemerintah desa dalam memfasilitasi pembangunan partisipatif. 4. Berfungsi dan bermanfaatnya hasil kegiatan PNPM MP bagi masyarakat. 5. Terlembaganya pengelolaan dana bergulir dalam peningkatan pelayanan sosial dasar dan ketersediaan akses ekonomi terhadap RTM. 6. Terbentuk dan berkembangnya BKAD dalam pengelolaan pembangunan. 7. Terjadinya peningkatan peran serta dan kerja sama para pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan. 2.1.4 Hasil-hasil Studi tentang Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Hasil penelitian Lu lu (2005) yang berjudul Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), menunjukkan masih relatif tingginya ketimpangan akses dan kontrol antara lakilaki dan perempuan terhadap P2KP. Dalam hal akses, jumlah KSM laki-laki yang akses terhadap P2KP sekitar 67,4 persen, sementara KSM perempuan hanya sekitar 24,3 persen; adapun dalam hal kontrol terhadap kredit, jumlah KSM perempuan tergolong kategori sedang yaitu 43,3 persen. Menurut Lu lu, besar kecilnya kontrol berhubungan dengan relasi gender yang ada pada rumahtangga responden. Hal serupa dijumpai Annisa (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Gender dalam Program Penanggulangan Kemiskinan, yang melaporkan bahwa pelaksanaan P2KP masih belum berperspektif gender, tercermin dari relatif lebih tingginya tingkat akses dan kontrol anggota rumahtangga (ARM) laki-laki terhadap P2KP dibandingkan ARM perempuan. Hal tersebut berhubungan dengan

tingkat bantuan dana P2KP yang dialokasikan kepada mereka, dan status atau jabatan mereka di dalam masyarakat. Hasil studi Nugroho (2009) menunjukkan bahwa belum berhasilnya PNPM dalam mengentaskan kemiskinan, disebabkan oleh adanya keterbatasan kemampuan rumahtangga miskin untuk mengakses dan memanfaatkan lembaga sosial yang ada di perdesaan. Selain itu, dikemukakan bahwa waktu pelaksanaan kegiatan PNPM yang relatif singkat menyebabkan perolehan pendapatan masyarakat dalam keterlibatannya dalam program ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap total pendapatan mereka. Hasil penelitian Soraya (2009) yang berjudul Peranan Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan (SPKP) dalam PNPM-PPK terhadap Pendapatan Rumahtangga, melaporkan bahwa penerimaan usaha berpengaruh nyata terhadap sumber pendapatan total. Hal itu didukung oleh hasil dimana perubahan pendapatan yang bersumber dari usaha menunjukkan peningkatan yang positif (sebesar 163,65 persen). Selain itu, jenis usaha juga berpengaruh terhadap sumber pendapatan, antara lain didukung bukti bahwa usaha warung kelontong meningkatkan pendapatan sebesar 284,8 persen, sementara pada usaha dagang makanan hampir separuhnya, sebesar 154,4 persen. Adapun hasil penelitian Anggraini (2011) yang berjudul Pemberdayaan Perempuan dalam Program PNPM-P2KP menemukan bahwa relasi gender menjadi salah satu faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan program PNPM-P2KP, dimana secara umum akses perempuan terhadap program dan lancarnya pengembalian pinjaman tidak memiliki hubungan dengan pemenuhan kebutuhan praktis maupun strategis gender. 2.2 Kerangka Pemikiran Studi Analisis Gender dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan: Kasus di Desa Kemang, Kabupaten Cianjur ini secara umum mengacu pada beragam konsep, pendekatan dan teori berkenaan gender dalam pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Moser (1993) dalam Mugniesyah (2002); Surbakti dkk. dalam Mugniesyah (2007), serta pendekatan program dan evaluasi program dari Maunder (1972) dan Mugniesyah (2006).

15 Disamping itu juga merujuk pada berbagai aspek berkenaan pelaksanaan PNPM MP sebagaimana tercantum dalam Petunjuk Teknis Operasional (PTO) PNPM MP (Depdagri 2008). Sebagaimana tertulis dalam PTO PNPM MP, dinyatakan bahwa pelaksanaan program ini berlandaskan pada prinsip Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), dalam arti bahwa anggota masyarakat laki-laki dan perempuan, mempunyai kesetaraan dalam peranannya pada setiap tahapan program dan dalam menikmati manfaat kegiatan pembangunan. Merujuk pada pengertian evaluasi program, serta dengan menggunakan teknik analisis gender, penerapan prinsip KKG tersebut akan tercermin dari keluaran (output) PNPM MP sebagaimana ditetapkan dalam tujuan PNPM MP. Merujuk pada komponen stimulan dan tujuan PNPM MP yang meliputi aspek-aspek: kelembagaan, dana bergulir atau simpan pinjam, serta sarana sosial dasar dan ekonomi, maka dalam penelitian ini indikator keluaran (output) program PNPM MP menjadi variabel terpengaruh (variabel tidak bebas). Lebih lanjut, dengan merujuk pada Teknik Analisis Gender, terdapat empat variabel terpengaruh, yaitu: Tingkat Akses Laki-laki dan Perempuan terhadap Komponen PNPM MP (Y1), Tingkat Kontrol Laki-laki dan Perempuan terhadap komponen PNPM MP (Y2), dan Tingkat Partisipasi Laki-laki dan Perempuan sesuai komponen PNPM MP (Y3). Adapun komponen PNPM MP tersebut mencakup sejumlah aspek pada tahap perencanaan dan pelaksanaan PNPM MP sebagaimana ditetapkan dalam PTO PNPM MP (Depdagri 2008). Merujuk pada konsep program PNPM MP, serta konsep dan pendekatan evaluasi program sebagaimana dikemukakan di atas, ketercapaian tujuan program (keluaran) PNPM MP diduga dipengaruhi oleh input yang berasal dari program PNPM MP dan pendampingan oleh fasilitator. Sehubungan dengan itu, ada dua variabel pada faktor stimulan fisik dan kegiatan produktif serta faktor pengelolaan oleh kelembagaan PNPM MP di tingkat desa yang diduga mempengaruhi keluaran PNPM MP, yaitu : Tingkat Bantuan Dana BLM (X1) dan Tingkat Kemudahan Sistem Alokasi dan Pengembalian Dana Simpan-Pinjam untuk Kelompok Perempuan (Kelompok SPKP) (X2). Lebih lanjut, mengingat dalam pelaksanaan PNPM MP terdapat sejumlah fasilitator yang mendampingi

peserta penerima stimulan PNPM MP dalam melaksanakan kegiatan PNPM MP, karenanya keluaran PNPM MP juga diduga berhubungan dengan variabel Frekuensi Kunjungan Pendampingan oleh Fasilitator (X3). Mengingat sasaran program adalah rumahtangga miskin dan bahwa stimulan dana diberikan kepada individu-individu yang memiliki usaha, maka diduga karakteristik individu dan rumahtangga tersebut juga mempengaruhi keluaran PNPM MP. Dalam penelitian ini masing-masing ada dua variabel yang diduga mempengaruhi keluaran PNPM MP dari kedua aspek tersebut. Pada karakteristik sumberdaya individu peserta PNPM MP, kedua variabel tersebut adalah Tingkat Pendidikan Formal (X4) dan Status Bekerja (X5). Adapun pada karakteristik sumberdaya rumahtangga yang diduga mempengaruhi adalah Jumlah ARTM Peserta PNPM MP yang bekerja dan/atau berusaha (X6) dan Status Kategori Rumahtangga Peserta PNPM MP (X7). Melalui pemberian stimulan dan pendampingan oleh sejumlah fasilitator, Program PNPM MP dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan. Merujuk pada konsep evaluasi program sumatif, teknik analisis gender, dan tujuan PNPM MP tersebut, maka pengaruh (effect) dari stimulan PNPM MP di kalangan peserta PNPM MP laki-laki dan perempuan, dapat diukur melalui manfaat yang diperoleh mereka; yang dalam hal ini diukur oleh dua variabel, yaitu Tingkat Perkembangan Usaha (Y3) dan Tingkat Kontribusi Pendapatan (Y4). Berdasar capaian manfaat dari kedua variabel pada aspek manfaat tersebut dan variabel Tingkat Partisipasi Laki-laki dan Perempuan sesuai komponen PNPM MP (Y3), serta merujuk pada pendapat Moser (1993) tentang konsep peranan kebijakan pembangunan dalam pemenuhan kebutuhan gender, aspek pengaruh PNPM MP juga diukur melalui variabel Tipe Pemenuhan Kebutuhan Gender (Y7). Jika PNPM MP mampu meningkatkan partisipasi baik peserta PNPM Laki-laki dan Perempuan dalam Perkembangan Usaha (Y3) dan Tingkat Kontribusi Pendapatan (Y4) dikategorikan sebagai mampu mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Praktis Gender. Adapun jika mampu meningkatkan Partisipasi laki-laki dan perempuan ARTM miskin dalam Kelembagaan PNPM MP di desa (TPK, TPU dan SPKP) dikategorikan sebagai mampu mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender.

17 Berdasar penjelasan di atas, hubungan antara variabel-variabel terpengaruh (dependent variables) dan sejumlah variabel pengaruh (independent variables) dalam penelitian ini selengkapnya disajikan pada Gambar 1. 2.3 Hipotesis Pengarah 1. Pengalokasian Stimulan PNPM MP yang responsif gender berhubungan positif dengan akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat yang diperoleh peserta PNPM MP, baik laki-laki maupun perempuan. 2. Frekuensi Kunjungan Fasilitator PNPM MP berhubungan positif dengan Tingkat Akses, Tingkat Kontrol, dan Tingkat Partisipasi Laki-laki dan Perempuan dalam penyelenggaraan PNPM MP. 3. Karakteristik sumberdaya individu berhubungan positif dengan Tingkat Akses, Tingkat Kontrol, dan Tingkat Partisipasi Laki-laki dan Perempuan dalam penyelenggaraan PNPM MP. 4. Karakteristik sumberdaya rumahtangga berhubungan positif dengan Tingkat Akses, Tingkat Kontrol, dan Tingkat Partisipasi Laki-laki dan Perempuan dalam penyelenggaraan PNPM MP. 5. Tingkat akses, kontrol dan partisipasi peserta laki-laki dan perempuan terhadap sejumlah komponen Program PNPM MP berhubungan positif dengan tingkat manfaat PNPM MP yang diperoleh peserta PNPM MP. 6. Penyelenggaraan PNPM MP yang dilandasi KKG memberikan manfaat secara setara kepada peserta PNPM MP laki-laki dan perempuan. 7. Tingkat Manfaat yang diperoleh peserta PNPM MP laki-laki dan perempuan berhubungan dengan kemampuan penyelenggaraan PNPM MP dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan praktis gender dan strategis gender.

Stimulan PNPM Mandiri Pedesaan yang Diterima Peserta PNPM MP X1. Tingkat Bantuan Dana untuk : (a) Sosial Dasar (b) SPKP X2. Tingkat kemudahan sistem Alokasi dan Pengembalian Dana SPKP Pendampingan oleh Fasilitator PNPM MP X3. Frekuensi Kunjungan Pendampingan oleh Fasilitator Analisis Gender dalam PNPM Mandiri Pedesaan Y1. Tingkat Akses Peserta PNPM MP Lakilaki dan perempuan terhadap Komponen PNPM MP Y2. Tingkat Kontrol Peserta PNPM MP Lakilaki dan Perempuan terhadap PNPM MP -------------------------------------------------------- Y3. Tingkat Partisipasi Peserta PNPM MP Laki-laki dan Perempuan dalam Kelembagaan PNPM MP Y4. Tingkat Perkembangan Usaha Peserta PNPM MP laki-laki dan Perempuan Y5. Tingkat Pendapatan Peserta PNPM MP Laki-laki dan Perempuan Karakteristik Sumberdaya Individu Pesera PNPM MP X4. Tingkat Pendidikan Formal X5. Status Bekerja Karakteristik Sumberdaya Rumahtangga Peserta PNPM MP X6. Jumlah ARTM yang Bekerja/Berusaha X7. Status Kategori Rumahtangga Y6. Tipe Pemenuhan Kebutuhan Gender Pemenuhan Kebutuhan Praktis Gender Pemenuhan Kebuuhan Strategis Gender Gambar 1 Bagan Hubungan Antar Variabel dalam Penelitian Analisis Gender Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM MP)

2.4 Definisi Operasional Definisi operasional variabel-variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tingkat Akses peserta PNPM MP Laki-laki dan Perempuan (selanjutnya ditulis Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP terhadap komponen PNPM MP) (Y1) adalah jumlah total skor akses yang diperoleh mereka dalam mengikuti semua aktivitas pada kegiatan persiapan dan pelaksanaan PNPM MP; dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut dengan total skor antara skor 45-60, 61-76, dan 77-92. 2. Tingkat Kontrol Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (Y2) adalah jumlah total skor yang diperoleh mereka pada proses pengambilan keputusan berkenaan semua aktivitas pada kegiatan persiapan dan pelaksanaan PNPM MP. Selanjutnya, berdasar jawaban atas semua kegiatan dalam persiapan dan pelaksanaan PNPM MP, Tingkat Kontrol Peserta Sosial Dasar dan PEserta SPKP dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni rendah, sedang, dan tinggi berturut-turut dengan total skor antara skor 45-60, 61-76, dan 77-92. 3. Tingkat Partisipasi Peserta Sosial Dasar dan SPKP (Y3) diukur dari jumlah total skor atas keikutsertaan mereka dalam kelembagaan PNPM MP tingkat Desa, khususnya pada tiga kelembagaan yang ada di tingkat desa, yaitu Tim Pengelola Kegiatan (TPK), Tim Penulis Usulan (TPU), dan Kelompok SPKP. Mengingat pada setiap lembaga terdapat status ketua, sekretaris, bendahara dan anggota, kepada setiap jabatan tersebut diberi skor berturut-turut: skor tiga, dua, dan satu. Selanjutnya skor yang diperoleh mereka, dibedakan ke dalam tiga kategori, yakni (a) rendah, jika skor nya 3-4, (b) sedang, jika skornya 5-6 (c) tinggi, jika skor nya 7-9. 4. Tingkat Perkembangan Usaha Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (Y4) adalah peningkatan kesempatan usaha yang dikelola oleh mereka setelah memperoleh dana bergulir dari PNPM MP, yang dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah (skor satu), jika dana bergulir tidak digunakan untuk menciptakan kesempatan usaha, (b) sedang (skor dua), jika dana bergulir digunakan untuk menciptakan kesempatan usaha baru, dan (c) tinggi (skor

tiga), jika dana bergulir digunakan untuk mengembangkan usaha yang telah mereka miliki. 5. Tingkat Pendapatan Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (Y5) adalah jumlah rupiah yang diperoleh mereka dari usaha yang dikembangkan dengan menggunakan dana yang diperoleh dari PNPM MP; dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: (a) rendah, jika total rupiah yang diperoleh dari suatu siklus usaha antara Rp 425.000,- sampai dengan Rp 1.418.500,- (b) sedang, jika total rupiah yang diperoleh antara Rp 1.418.500,- sampai dengan Rp 2.794.100,- (c) tinggi jika Rp 2.794.100,- sampai dengan Rp 4.170.000,-. 6. Tingkat Bantuan Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) (X1) adalah jumlah bantuan (rupiah) yang diberikan kepada anggota kelompok SPKP sebagai tambahan modal usaha. Adapun tingkat bantuan dana BLM yang diberikan kepada Peserta SPKP dikategorikan: (a) rendah, jika dana yang diperoleh kurang dari Rp1.000.000-, (b) sedang, jika dana yang diperoleh anggota sama dengan Rp1.000.000,- (c) tinggi, jika dana yang diperoleh lebih dari Rp1.000.000,-. 7. Tingkat Kemudahan Sistem Alokasi dan Pengembalian Dana Simpan-pinjam untuk Kelompok Perempuan (X2) adalah tingkat kemudahan sistem alokasi dana serta penilaian mudah tidaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota SPKP untuk memperoleh dana bantuan dan pengembaliannya, dibedakan ke dalam kategori: (a) rendah, jika anggota SPKP hanya dapat memenuhi satu syarat administrasi (anggota RTM/KK/KTP) dan (b) sedang, jika dua syarat administrasi dapat dipenuhi, (c) tinggi, jika semua syarat administrasi (anggota RTM, KK, dan KTP) dapat terpenuhi. 8. Frekuensi Kunjungan Pendampingan oleh Fasilitator (X3) adalah total jumlah kunjungan yang dilakukan oleh fasilitator Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD), Tim Pendamping Lokal dan Fasilitator Teknik-Kecamatan kepada Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP. Frekuensi kunjungan tersebut dibedakan ke dalam: rendah, sedang dan tinggi, berturut-turut jika total skor kunjungan kepada peserta PNPM MP, 1-5 kunjungan, 6-10 kunjungan dan 11-15 kunjungan.

9. Tingkat Pendidikan Formal Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (X4) adalah jenjang pendidikan tertinggi yang diikuti Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP di bangku sekolah; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika tidak lulus SD atau tamat SD, (b) sedang, jika tamat SMP dan SMA, dan (c) tinggi, jika tamat akademi/perguruan tinggi. 10. Status Bekerja Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (X5) adalah kondisi bekerja yang dialami individu dalam hubungannya dengan ada tidak adanya dukungan tenaga kerja lainnya, dibedakan ke dalam: (1) bekerja/berusaha sendiri, (2) Berusaha dibantu dengan buruh tidak tetap, (3) berusaha dibantu dengan buruh tetap, (4) buruh karyawan/pekerja yang dibayar (tenaga upahan), dan (5) pekerja tidak dibayar (pekerja keluarga). Berdasar hal ini, selanjutnya status bekerja dikategorikan menjadi: (a) rendah, jika berstatus sebagai pekerja keluarga, (b) sedang, jika bekerja selaku buruh tidak tetap atau berusaha sendiri tanpa bantuan orang lain/pekerja keluarga, dan (c) tinggi, jika bekerja sebagai karyawan PNS/swasta (dengan gaji tetap) dan/atau berusaha sendiri dengan bantuan pekerja upahan. 11. Jumlah Anggota Rumahtangga (ART) Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP yang Bekerja dan/atau Berusaha (X6) adalah banyaknya anggota rumahtangga yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, diukur dengan banyaknya anggota keluarga yang bekerja, dibedakan ke dalam: (a) rendah, jika hanya kepala keluarga yang bekerja, (b) sedang, jika kepala keluarga dan istri/suami yang bekerja, dan (c) tinggi, jika seluruh anggota keluarga yang tergolong usia kerja. 12. Status Kategori Rumahtangga Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP (X7) adalah kondisi rumahtangga mereka berdasarkan kriteria rumahtangga miskin menurut kriteria lokal sebagaimana ditetapkan dalam PTO PNPM MP; dibedakan ke dalam tiga kategori: (a) rendah, jika rumahtangga tergolong tidak miskin, (b) sedang, rumahtangga tergolong miskin, dan (c) tinggi, rumahtangga tergolong sangat miskin. 13. Pemenuhan Kebutuhan Gender (Y6) adalah dampak yang berhasil dicapai dari pelaksanaan PNPM MP, yang dibedakan kedalam dua kategori, yakni: (a) Pemenuhan Kebutuhan Praktis Gender jika stimulan PNPM MP mampu

meningkatkan Perkembangan Usaha (Y3) dan Tingkat Kontribusi Pendapatan (Y4) Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP, dan (b) Pemenuhan Kebutuhan Strategis Gender jika mampu meningkatkan partisipasi Peserta Sosial Dasar dan Peserta SPKP dalam kelembagaan PNPM MP di tingkat desa (TPK, TPU dan KSPKP).