4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

3. METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Sebaran frekuensi panjang ikan kuniran (Upeneus sulphureus) betina yang dianalisis dengan menggunakan metode NORMSEP (Normal Separation)

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3.3 Pengumpulan Data Primer

Selain sebagai tempat penjualan ikan, wilayah sekitar TPI Cilauteureun ini dikenal sebagai tempat wisata alam pantai yaitu Pantai Santolo yang dikenal

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

2. METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Abstrak. Kata Kunci : Ikan ekor Kuning, pertumbuhan, laju mortalitas, eksploitasi. Abstract

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI PENELITIAN

PERTUMBUHAN DAN LAJU EKSPLOITASI IKAN TERI PEKTO (Stolephorus Waitei) DI PERAIRAN BELAWAN KOTA MEDAN SUMATERA UTARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN IKAN KUNIRAN

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

FAKTOR KONDISI DAN HUBUNGAN PANJANG BERAT IKAN SELIKUR (Scomber australasicus) DI LAUT NATUNA YANG DIDARATKAN DI PELANTAR KUD KOTA TANJUNGPINANG

3. METODE PENELITIAN

Gambar 10. Peta Jakarta dan Teluk Jakarta

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

The study of Sardinella fimbriata stock based on weight length in Karas fishing ground landed at Pelantar KUD in Tanjungpinang

3. METODE PENELITIAN

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3.4 Jenis dan Sumber Data

Hardiyansyah Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, FIKP, UMRAH,

KAJIAN STOK SUMBER DAYA IKAN TONGKOL (Euthynnus affinis) DI PERAIRAN SELAT SUNDA NUR LAILY HIDAYAT

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN TAWES (Barbonymus gonionotus) DI DANAU SIDENRENG KABUPATEN SIDRAP Nuraeni L. Rapi 1) dan Mesalina Tri Hidayani 2)

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

KAJIAN STOK IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta Cuvier 1817) DI PERAIRAN TELUK BANTEN YANG DIDARATKAN DI PPN KARANGANTU, BANTEN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

3. METODE PENELITIAN

Length-Weight based Stock Assessment Of Eastern Little Tuna (Euthynnus affinis ) Landed at Tarempa Fish Market Kepulauan Anambas

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Febyansyah Nur Abdullah, Anhar Solichin*), Suradi Wijaya Saputra

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

Study Programme of Management Aquatic Resource Faculty of Marine Science and Fisheries, University Maritime Raja Ali Haji

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. Common property & open acces. Ekonomis & Ekologis Penting. Dieksploitasi tanpa batas

The Growth and Exploitation of Tamban (Sardinella albella Valenciennes, 1847) in Malacca Strait Tanjung Beringin Serdang Bedagai North Sumatra

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5 berikut:

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Metode dan Desain Penelitian

STATUS STOK SUMBERDAYA IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DI PERAIRAN SELAT SUNDA GAMA SATRIA NUGRAHA

Transkripsi:

25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Perikanan Terisi Ikan yang didaratkan di TPI Cilincing terdiri dari berbagai jenis ikan pelagis dan demersal, dan didominasi oleh ikan demersal. Ikan terisi merupakan salah satu ikan demersal yang didaratkan di TPI Cilincing dengan daerah penangkapan di perairan Pulau Damar. Musim puncak penangkapan ikan terisi terjadi pada bulan Februari sampai Juli. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan setempat diketahui bahwa ikan terisi ditangkap dengan menggunakan alat tangkap dogol yang memiliki ukuran mata jaring berkisar 1 inch sampai 1,5 inch. Alat tangkap dogol dioperasikan dengan bantuan kapal motor yang berukuran 5-6 GT. Ikan terisi termasuk hasil tangkapan utama kelima yang didaratkan di TPI Cilincing (Gambar 6) dengan menggunakan alat tangkap dogol. Gambar 6. Komposisi ikan utama hasil tangkapan dogol yang didaratkan di TPI Cilincing pada tahun 2010 Sumber: Dinas Perikanan & Kelautan Provinsi DKI Jakarta Pemasaran hasil tangkapan ikan terisi di TPI Cilincing dalam bentuk segar dan olahan. Berbagai ikan segar dan bentuk olahan dipasarkan untuk memenuhi permintaan pasar lokal maupun daerah sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan ikan menggunakan transportasi darat. Pemilihan transportasi darat ini digunakan karena biaya yang lebih murah dan didukung oleh sarana dan prasarana yang tersedia.

26 Harga rata-rata ikan terisi dalam bentuk segar adalah Rp. 8000 per kg. Sedangkan harga ikan terisi dalam bentuk olahan bervariasi tergantung hasil dan biaya produksi. 4.2. Kondisi Umum Perairan Utara Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak pada 5 54 40-6 00 40 Lintang Selatan (LS) dan 106 40 45-107 01 19 Bujur Timur (BT) dan garis lintang 5 48 30 LS hingga 6 10 30 LS yang membentang dari Tanjung Kait di bagian Barat hingga Tanjung Karawang di bagian Timur dengan panjang pantai ± 89 km. Panjang garis yang menghubungkan kedua Tanjung tersebut melalui Pulau Air Besar dan Pulau Damar adalah sekitar 21 mil laut. Secara administratif, perairan Teluk Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Bekasi di sebelah timur dan Kabupaten Tangerang di sebelah barat (Agnitasari 2006). Menurut Rochyatun dan Rozak (2007), perairan Teluk Jakarta dikategorikan sebagai perairan pantai (Coastal water) mempunyai peranan yang sangat besar dimana berbagai sektor telah memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairannya. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta, diperkirakan ada 9 muara sungai yang membawa limbahnya baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta menerima beban pencemaran yang cukup berat. Selain itu, Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Provinsi DKI Jakarta. Nelayan yang terdapat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 5-6 GT sehingga hasil tangkapan relatif lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal besar. Jenis-jenis ikan yang umumnya ditangkap oleh nelayan TPI Cilincing adalah ikan terisi, kuniran, teri, pari, pepetek, samgeh dan ikan rucah. Karakteristik dasar perairan Teluk Jakarta umumnya didominasi oleh lumpur, pasir, dan kerikil. Lumpur banyak terdapat di bagian pinggir dan tengah teluk, sedangkan pasir semakin menonjol di bagian laut lepas. Adanya data FAO (1998) in Apriadi (2005) menunjukkan bahwa konsentrasi rata-rata logam berat berupa

27 merkuri (Hg) dalam sedimen Teluk Jakarta adalah 0,60 mg/kg, sedangkan konsentrasi alami dan baku mutu maksimalnya adalah 0,50 mg/kg. Menurut hasil penelitian Apriadi 2005 pada titik contoh sejauh 3000 m dari muara sungai, kandungan logam berat di Teluk Jakarta diantaranya timbal (Pb) berkisar antara 0,01-0,06 mg/l, sedangkan kandungan krom (Cr) berkisar antara 0,01-0,03 mg/l. Nilai tersebut telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004 untuk biota laut, yaitu masingmasing sebesar 0,01 mg/l. Teluk Jakarta termasuk wilayah yang memiliki curah hujan agak rendah dan menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson bertipe iklim D, dengan nisbah antara rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata jumlah bulan basah sebesar 60-100%. Suhu rata-rata berkisar antara 26 0 C pada bulan Februari sampai 27 0 C pada bulan Oktober (KPPL-DKI dan PPLH-IPB 1997 in Zainab 2001). 4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Terisi Ikan terisi yang diamati selama penelitian pada bulan Nopember dan Desember 2010 berjumlah 472 ekor. Pada pengambilan contoh bulan Oktober frekuensi ikan terisi yang dominan pada selang kelas 109-115 mm. Pada pengambilan contoh II awal bulan Nopember frekuensi ikan terisi betina dan jantan yang dominan masing-masing terdapat pada selang kelas 144-150 mm dan 109-155 mm. Pada pengambilan contoh III akhir bulan Nopember frekuensi ikan terisi baik betina maupun jantan dominan terdapat pada selang kelas 95-101 mm. Pada pengambilan contoh IV awal bulan Desember frekuensi ikan terisi betina dan jantan masing-masing dominan pada selang kelas 137-143 mm dan 130-136 mm. Pada akhir bulan Desember pengambilan contoh ikan terisi betina dan jantan masingmasing adalah 109-115 mm dan 116-122 mm. Hasil menunjukkan secara keseluruhan ukuran ikan terisi betina lebih besar dibandingkan ukuran ikan terisi jantan (Tabel 3).

28 Tabel 3. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Selang Kelas Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu Sabtu 23 Oktober 2010 6 Nopember 2010 20 Nopember 2010 4 Desember 2010 18 Desember 2010 T B J T B J T B J T B J T 74-80 1 1 1 2 0 3 3 0 0 0 0 0 0 81-87 1 0 2 2 1 0 1 0 0 0 1 0 1 88-94 0 1 1 2 2 9 11 0 0 0 0 1 1 95-101 7 2 5 7 24 21 45 1 0 1 3 4 7 102-108 7 2 8 10 6 6 12 2 1 3 0 1 1 109-115 15 3 8 11 7 10 17 5 4 9 11 9 20 116-122 7 2 3 5 2 4 6 2 13 15 6 14 20 123-129 1 2 3 5 1 1 2 5 14 19 5 6 11 130-136 7 2 3 5 7 4 11 7 15 22 2 8 10 137-143 4 1 0 1 0 0 0 8 4 12 4 11 15 144-150 3 4 2 6 0 1 1 2 6 8 7 10 17 151-157 5 1 2 3 0 0 0 1 5 6 5 6 11 158-164 2 0 1 1 0 0 0 1 2 3 1 0 1 165-171 0 0 0 0 0 1 1 1 1 2 1 0 1 172-178 0 0 0 0 0 1 1 2 0 2 1 2 3 179-185 2 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 6 186-192 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 193-199 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2 2 200-206 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 207-213 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 1 1 2 Total 62 21 39 60 50 62 112 39 69 108 52 78 130 Keterangan : B= betina; J= jantan; T= total Perubahan frekuensi panjang yang dialami ikan merupakan salah satu parameter dalam menentukan pertumbuhannya. Analisis frekuensi panjang ditentukan dengan cara mengelompokkan ikan dalam selang kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas untuk mengetahui umur ikan. Analisis frekuensi panjang menghasilkan fluktuasi yang menggambarkan adanya pengelompokkan modus (Gambar 7).

Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing 29

30 Berdasarkan Gambar di atas diketahui bahwa ukuran ikan terisi betina lebih besar dibandingkan ukuran ikan terisi jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nikolsky (1963) bahwa pada umumnya ukuran ikan betina lebih besar dibandingkan ikan jantan untuk menjamin fekunditas yang besar dalam stok dan perbedaan ukuran ini dicapai ikan jantan lebih cepat matang gonad sehingga jangka hidupnya lebih singkat. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan yaitu keterwakilan contoh yang diambil dan kemungkinan terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi. Ikan berukuran besar dengan jumlah sangat sedikit diduga adalah induk ikan terisi. Ukuran ikan terbesar yang muncul pada umumnya berhubungan dengan induk yang paling penting (Lagler et al. 1977). Berdasarkan Gambar 7 terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang. Pergeseran selang ukuran panjang ikan yang banyak tertangkap ke selang ukuran yang lebih kecil dapat dijadikan sebagai indikasi adanya rekruitment pada interval waktu pengamatan. Untuk menentukan musim pemijahan dan rekruitmen ikan terisi di Teluk Jakarta perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Pertumbuhan ikan terisi dalam interval waktu yang singkat dapat diduga memiliki laju pertumbuhan yang relatif kecil. Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan. Dengan mengasumsikan ikan contoh yang diambil sudah mewakili populasi yang ada maka ukuran panjang total maksimum yang lebih kecil dapat disebabkan oleh adanya tekanan penangkapan yang tinggi. Ukuran panjang ikan terkecil yang tertangkap pada pengambilan contoh adalah 74 mm. Hal tersebut disebabkan karena mesh size jaring dogol yang digunakan 1-1,5 inch. Ukuran mata jaring tersebut memungkinkan ukuran panjang terkecil dan ukuran panjang maksimal ikan yang diamati dapat tertangkap. 4.4. Parameter Pertumbuhan L, K dan t 0 Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy (K dan L ) diduga dengan menggunakan metode Plot Ford-Walford. Metode Ford-Walford dapat digunakan karena data diambil pada interval waktu yang tetap yaitu 14 hari. Hasil pemisahan

31 kelompok umur menunjukkan bahwa ikan terdiri dari beberapa kelompok umur seperti disajikan pada Gambar 8 untuk ikan betina dan Gambar 9 untuk ikan jantan. Gambar 8. Kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing

Gambar 9. Kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing 32

33 Hasil analisis kelompok umur di atas memiliki nilai tengah, simpangan baku, dan indeks separasi seperti disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Dalam pemisahan kelompok umur ikan indeks separasi sangat penting diperhatikan. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999), jika I<2 maka pemisahan di antara dua kelompok umur tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok umur. Nilai simpangan baku yang semakin besar menunjukkan bahwa ikan yang semakin tua mempunyai ukuran semakin beragam. Tabel 4. Sebaran kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks (mm) Baku Separasi 6 Nopember 2010 110,70 17,27-144,81 3,50 3,28 20 Nopember 2010 98,69 7,41-129,14 3,50 5,58 2 Desember 2010 107,51 6,38-131,79 6,99 3,63 18 Desember 2010 111,04 3,50-143,16 27,15 2,10 Tabel 5. Sebaran kelompok umur ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Tanggal Nilai Tengah Simpangan Indeks (mm) Baku Separasi 6 Nopember 2010 78,87 3,64-103,51 7,46 4,44 131,23 16,35 2,33 20 Nopember 2010 97,59 10,10-2 Desember 2010 122,60 8,18-18 Desember 2010 94,01 3,50-114,47 5,26 4,67 138,79 8,10 3,64 183,99 11,81 4,54

34 Hasil analisis pertumbuhan menghasilkan parameter pertumbuhan antara lain panjang maksimum secara teoritis (L ), koefisien determinasi (K), dan umur ikan pada saat panjang ikan sama dengan nol (t 0 ) (Tabel 6). Tabel 6. Parameter pertumbuhan model Von Bertalanffy (K, L, t 0 ) ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Oktober Desember 2010 Contoh ikan Parameter Pertumbuhan K (per tahun) L (mm) t 0 (tahun) Jantan 0,52 217,51-1,85 Betina 0,33 282,12-1,08 Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang terbentuk untuk ikan terisi betina adalah L t = 282,12 (1-e [-0,33(t+1,08)] ) dan ikan terisi jantan L t = 217,51 (1-e [- 0,52(t+1,85)] ). Panjang total maksimum ikan terisi betina dan jantan yang tertangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing adalah 210 mm, panjang ini lebih kecil dari panjang asimtotik (infinitif) ikan terisi. Koefisien pertumbuhan (K) ikan terisi betina dan jantan masing-masing di Teluk Jakarta adalah 0,33 dan 0,52 per tahun. Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana dalam meduga persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (Sparee & Venema 1999). Ikan terisi jantan dan betina masing-masing memiliki nilai koefisien pertumbuhan (K) 0,52 dan 0,33. Pada Gambar 10 disajikan kurva pertumbuhan ikan terisi dengan memplotkan umur dan panjang teoritis ikan sampai ikan berumur 68 bulan untuk ikan terisi betina, dan untuk ikan terisi jantan berumur sampai 36 bulan. Nilai koefisien pertumbuhan berbanding terbalik dengan panjang asimtotik artinya semakin besar koefisien pertumbuhan maka panjang asimtotik ikan semakin kecil dan sebaliknya. Hal ini berarti apabila koefisien pertumbuhan ikan semakin besar maka ikan akan mati sebelum mencapai panjang maksimum.

35 Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing periode Oktober Desember 2010 Parameter pertumbuhan memegang peranan penting dalam pengkajian stok ikan dan pengelolaan perikanan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Cepatnya pertumbuhan ikan terisi pada saat muda dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola sumberdaya perikanan dalam penyusunan rencana pengelolaan perikanan agar memperhatikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (Suman et al. 2006). 4. 5. Hubungan Panjang Bobot Hubungan panjang dan bobot ikan adalah parameter yang dapat digunakan untuk menganalisis pola pertumbuhan ikan atau menduga bobot melalui panjang dan sebaliknya. Bobot dianggap sebagai fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa bobot ikan pangkat tiga dari panjangnya (Effendi 2002). Analisis hubungan panjang dan bobot menggunakan

36 data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan kurisi di perairan Teluk Jakarta. Analisis hubungan panjang dan bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta b yaitu pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan (Effendi 2002). Berdasarkan Tabel 7 diketahui hubungan panjang bobot ikan terisi jantan yang didaratkan di TPI Cilincing dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 5 diperoleh nilai b berkisar 2,76-3,05. Pertumbuhan ikan terisi jantan dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 4 adalah allometrik negatif, sedangkan pertumbuhan ikan terisi jantan pada pengambilan contoh 5 adalah allometrik positif. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa hubungan panjang bobot ikan terisi betina diperoleh nilai b berkisar 2,16-2,85. Pola pertumbuhan ikan terisi betina dari pengambilan contoh 2 sampai pengambilan contoh 5 adalah allometrik negatif. Nilai koefisien determinasi setiap pengambilan contoh baik ikan terisi jantan maupun ikan terisi betina relatif besar artinya model dugaan mampu menjelaskan model sebenarnya. Pola pertumbuhan ini didukung dengan uji lanjut menggunakan uji t dengan selang kepercayaan 95% terhadap nilai b. Tabel 7. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Pengambilan contoh Waktu n a B R 2 keterangan 2 06 Nopember 2010 39 0,00004 2,76 94% allometrik negatif 3 20 Nopember 2010 62 0,00002 2,96 94% allometrik negatif 4 04 Desember 2010 69 0,00003 2,86 93% allometrik negatif 5 18 Desember 2010 78 0,00001 3,05 93% allometrik positif Tabel 8. Hubungan panjang bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) betina di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Pengambilan contoh Waktu n a B R 2 keterangan 2 06 Nopember 2010 21 0,00088 2,16 81% allometrik negatif 3 20 Nopember 2010 50 0,00002 2,85 92% allometrik negatif 4 04 Desember 2010 39 0,00007 2,67 93% allometrik negatif 5 18 Desember 2010 52 0,00010 2,59 82% allometrik negatif

37 Nilai b ikan terisi secara umum berkisar antara 2,16 sampai 3,05. Perbedaan nilai b tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulus dan Stergiou 2002 in Harmiyati 2009). Selain itu faktor-faktor yang dapat menyebabkan adanya perbedaan nilai b selain perbedaan spesies antara lain faktor lingkungan, bedanya stok ikan dalam spesies yang sama, tahap perkembangan ikan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, serta perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut. Berdasarkan hasil analisis hubungan panjang dan bobot menunjukkan bahwa ikan terisi secara umum memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan bobot (Ricker 1975). Pola pertumbuhan allometrik negatif dipengaruhi tingkat faktor dalam antara lain perbedaan spesies, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar dipengaruhi oleh suhu dan makanan, perbedaan spesies dan lingkungan (Effendie 2002). Bobot dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bobot ikan pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga bobot dari panjangnya (Effendie 2002). Pola pertumbuhan ikan terisi jantan dan betina dapat dilihat pada persamaan pertumbuhan yang disajikan pada Gambar 11. Dari persamaan tersebut diperoleh nilai b ikan terisi secara umum kurang dari 3 yang menunjukkan ikan terisi memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, artinya pertambahan panjang ikan lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (Effendi 2002). Pola pertumbuhan tersebut juga didukung oleh hasil uji t yang menunjukkan t hitung lebih besar daripada t tabel yang artinya tolak H 0 (nilai b 3 maka hubungan panjang bobot adalah negatif). Pola pertumbuhan allometrik negatif dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar yang mencakup jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur, ukuran ikan, dan matang gonad.

38 Gambar 11. Hubungan panjang-bobot ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing 4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre &Venema 1999). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi disajikan pada Gambar 12.

39 Gambar 12. Kurva hasil tangkapan yang dilinearkan berbasis data panjang ( : titik yang digunakan dalam analisis regresi untuk menduga Z) Hasil regresi kurva hasil tangkapan pada Gambar 12 menunjukkan nilai mortalitas total (Z). Untuk menduga mortalitas alami (M) digunakan persamaan empiris Pauly dengan nilai suhu (T) sebesar 28,95 C sehingga diperoleh dugaan mortalitas dan laju eksploitasi seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan terisi (Nemipterus balinensis) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Parameter Jantan Nilai (per tahun) Betina Total (Z) 0,23 0,28 Alami (M) 0,14 0,10 Penangkapan (F) 0,09 0,17 Eksploitasi (E) 0,39 0,63 Berdasarkan Tabel 9, laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan yang mencapai 0,23 dan laju mortalitas alami (M) mencapai 0,14 serta laju mortalitas penangkapan (F) mencapai 0,09 dapat digunakan untuk menghitung laju eksploitasi, yaitu mencapai 39%, yang berarti jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati baik karena faktor alam maupun faktor penangkapan sebesar 39%. Sedangkan laju mortalitas ikan terisi betina mencapai 0,28 dengan laju mortalitas alami sebesar 0,10 dan laju mortalitas penangkapan sebesar 0,17, maka diperoleh laju eksploitasi ikan terisi betina sebesar 63%. Nilai ini membuktikan

40 bahwa adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan Teluk Jakarta. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva hasil tangkapan kumulatif berdasarkan data komposisi panjang. Menurut Pauly (1980) in Spare & Venema (1999), faktor yang mempengaruhi nilai mortalitas alami (M) adalah panjang maksimum (L ) dan laju pertumbuhan serta faktor lingkungan yaitu suhu rata-rata perairan. Diperoleh hasil laju mortalitas total (Z) ikan terisi jantan di perairan Teluk Jakarta sebesar 0,23 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,14 per tahun. Hasil analisis data membuktikan laju mortalitas penangkapan ikan terisi jantan sebesar 0,09 per tahun. Laju mortalitas penangkapan ini lebih kecil dibandingkan laju mortalitas alaminya. Sedangkan laju mortalitas total (Z) ikan terisi betina di perairan Teluk Jakarta adalah 0,28 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) sebesar 0,10 per tahun. Hasil data menunjukkan laju mortalitas penangkapan ikan terisi betina sebesar 0,17 per tahun. Hal ini menandakan faktor kematian ikan betina lebih dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Spare &Venema 1999) karena ikan muda tidak diberikan kesempatan untuk tumbuh sehingga dibutuhkan pengurangan dalam penangkapan ikan terisi. Laju eksploitasi ikan terisi betina di Teluk Jakarta sebesar 0,63 atau sebesar 63%. Laju eksploitasi ini dapat mewakili laju mortalitas ikan terisi di Teluk Jakarta bahwa laju mortalitas ikan terisi telah melebihi nilai eksploitasi optimum sebesar 0,50 atau 50%. Nilai laju eksploitasi ikan terisi ini menyatakan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan terisi di perairan tersebut. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh laju eksploitasi. Semakin tinggi tingkat eksploitasi, makin tinggi mortalitas penangkapan. 4.7. Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan keadaan atau kemontokan ikan yang didasarkan pada panjang dan bobot. Faktor kondisi dapat naik atau turun akibat adanya indikasi dari musim pemijahan khususnya bagi ikan betina. Berikut disajikan grafik faktor kondisi ikan terisi pada Gambar 13.

41 (a) Gambar 13. Faktor kondisi ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing (b) Nilai faktor kondisi ikan terisi bervariasi untuk setiap pengambilan contoh. Pada ikan betina, faktor kondisi terbesar terdapat pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 2,34 dan terendah pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 0,99. Untuk ikan jantan faktor kondisi tertinggi pada tanggal 6 Nopember 2010 sebesar 1,11 dan terendah pada tanggal 4 Desember 2010 sebesar 0,88 (Gambar 13). Faktor kondisi ikan jantan dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan sebagai sumber tenaga untuk pertumbuhan dan pemijahan, sedangkan ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad (Effendie 2002). Berdasarkan faktor kondisi ikan jantan dapat terlihat bahwa ikan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi untuk melakukan proses pemijahan. Nilai faktor kondisi baik ikan betina maupun jantan mengalami fluktuasi. Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan (Effendie 2002). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Umumnya ikan jantan lebih aktif dalam mencari makan, sehingga energinya lebih banyak digunakan untuk mencari makan.

42 Effendie (1979) menyatakan faktor yang mempengaruhi fluktuasi faktor kondisi adalah perbedaan umur, TKG, kondisi lingkungan, dan ketersediaan makanan. 4.8. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad menunjukkan perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Ikan terisi yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta lebih dominan memiliki TKG 1 dan 2 pada setiap pengambilan contohnya (Tabel 10) Tabel 10. Tingkat kematangan gonad ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Pengambilan contoh Waktu Jumlah ikan menurut TKG (individu) Betina Jantan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 06 Nopember 2010 14 7 0 0 28 11 0 0 2 20 Nopember 2010 50 0 0 0 45 15 2 0 3 2 Desember 2010 11 19 7 2 20 38 8 3 4 18 Desember 2010 15 26 10 1 27 32 11 8 Tingkat kematangan gonad diamati secara morfologi. Proses pemijahan ditentukan oleh kondisi lingkungan, jika kondisi lingkungan dalam kondisi baik maka pemijahan akan berlangsung dengan baik. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terisi betina dan jantan setiap pengambilan contoh disajikan pada Gambar 14. (a) Gambar 14. TKG ikan terisi (Nemipterus balinensis) (a) betina dan (b) jantan di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing (b)

43 Selama penelitian, ikan terisi yang diperoleh memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) I, II, III dan IV. Setiap pengambilan contoh persentase tingkat kematangan gonad ikan terisi berbeda-beda. Ikan terisi yang memiliki TGK IV baik jantan maupun betina diperoleh pada pengambilan contoh ke-4 dan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa pada waktu tersebut mendekati masa pemijahan yaitu bulan Februari hingga Juli. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta siftsifat fisiologis dari ikan tersebut) dan faktor eksternal (makanan, suhu, dan arus) (Tampubolon 2008). 4.9. Nisbah Kelamin Pada suatu stok sumberdaya ikan yang telah dieksploitasi, terdapat perbedaan antara jumlah jantan dan jumlah betina. Dari 410 ekor ikan terisi (Nemipterus balinensis) menunjukkan komposisi ikan terisi jantan dan betina berdasarkan pengambilan contoh. Hasil pengambilan contoh ikan terisi diperoleh 162 ekor ikan terisi betina dan 248 ekor ikan jantan. Hasil analisis nisbah kelamin ikan terisi tiap pengambilan contoh terdapat pada Tabel 11. Tabel 11. Nisbah kelamin ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Pengambilan Waktu Nisbah Jenis Kelamin (%) Contoh Jantan Betina 2 6 November 2010 65 35 3 20 November 2010 55 45 4 4 Desember 2010 64 36 5 18 Desember 2010 60 40 Selama pengambilan contoh diperoleh jumlah ikan jantan dan betina masing-masing sebanyak 248 ekor dan 162 ekor. Komposisi jumlah ikan betina dan ikan jantan menunjukkan rasio kelamin yang tidak seimbang yaitu 1 :1.5. Hal ini menyatakan bahwa populasi ikan jantan lebih banyak dari pada ikan betina, karena pola adaptasi pertumbuhan ikan jantan lebih kuat dibandingkan ikan betina. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan ikan terisi. Selain

44 itu, ketidakseimbangan tersebut juga disebabkan oleh perbedaan umur karena kematangan gonad yang pertama kali (Yustina 2002). Dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, diharapkan perbandingan ikan jantan dengan ikan betina berada dalam kondisi yang seimbang (1:1) (Purwanto et al 1986 in Affandi et al. 2007). 4.10. Analisis ketidakpastian Pengambilan data sekunder untuk periode Februari 2010 hingga Februari 2011 menunjukkan bahwa produksi ikan terisi di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing berfluktuasi (Gambar 15). Gambar 15. Grafik produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Berdasarkan Gambar 15, pada hari ke-91 sampai hari ke-121 (waktu pengambilan contoh) jumlah hasil tangkapan juga berfluktuasi. Semakin tinggi pertumbuhan, faktor kondisi dan tingkat kematangan gonad maka hasil tangkapan ikan terisi semakin tinggi pula. Fluktuasi terhadap hasil tangkapan ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing juga sangat dipengaruhi oleh penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di TPI Cilincing. Berbeda dengan produksi ikan terisi, harga ikan terisi tidak mengalami fluktuasi (Rp. 8000,00). Hal ini dapat disebabkan pada penentuan harga yang tidak

45 dipengaruhi oleh faktor alam, melainkan oleh manusia itu sendiri. Penentuan harga ikan terisi dilihat berdasarkan kondisi ikan serta perlakuan yang diberikan terhadap ikan. Apabila ikan terisi dalam kondisi baik, maka harga ikan akan semakin mahal. Pada harga tidak dilakukan analisis ketidakpastian. Permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kegiatan perikanan tangkap disebabkan adanya ketidakpastian yang dapat berasal dari sumber-sumber ketidakpastian secara alami maupun bersumber dari manusia. Fluktuasi hasil tangkapan dan harga ikan terisi merupakan dua faktor yang memberikan pengaruh besar bagi industri perikanan tangkap dan pengelolaan berkelanjutan. Analisis ketidakpastian dapat dianalisis dengan simulasi Monte-Carlo. Hasil analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan terisi dsajikan pada Gambar 17. Crystal Ball Student Edition Not for Commercial Use Forecast: produksi 1,000 Trials Frequency Chart 9 Outliers.029 29.022 21.75.015 14.5.007 7.25.000 0 8.25 14.27 20.29 26.32 32.34 Gambar 17. Diagram frekuensi hasil tangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Hasil analisis Monte-Carlo terhadap produksi ikan terisi memperlihatkan grafik yang menyerupai kurva sebaran normal. Sebaran normal ini menunjukkan terjadinya ketidakpastian penangkapan ikan terisi. Selain itu ketidakpastian penangkapan juga dapat terlihat dari hasil perhitungan secara statistik dari nilai ratarata dan simpangan baku. Hasil perhitungan secara statistik dapat terlihat pada Tabel 12.

46 Tabel 12. Nisbah statistik volume produksi ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing Statistik Deskriptif Rata-rata 20,16 Nilai Tengah 20,17 Modus --- Simpangan Baku 4,71 Ragam 22,15 Kemiringan 0,06 Kurtosis 2,92 Koefisien ragam 0,23 Minimum 4,68 Maximum 35,74 Jarak 31,05 Galat baku 0,15 Hasil perhitungan statistik pada Tabel 12 diperoleh simpangan baku sebesar 0,15. Rata-rata produksi per hari yang diperoleh sebanyak 20,16 kg dengan fluktuasi produksi ikan terisi per hari sebesar 4,71 kg. Simpangan baku yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai rata-ratanya. Hal ini menunjukkan bahwa peluang ketidakpastian tangkapan terhadap ikan terisi dari perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing memiliki kemungkinan yang cukup tinggi untuk terjadi. Selain itu nilai koefisien keragaman mencapai 0,23 dengan kurtosis sebesar 2,29. Nilai kurtosis yang tinggi menunjukkan grafik sebaran normal semakin landai menandakan volume produksi yang dihasilkan semakin bervariasi. Apabila grafik membentuk sebaran normal, maka terdapat suatu ketidakpastian pada produksi ikan terisi. Hasil tangkapan dapat dipengaruhi oleh kajian stok ikan terisi. Ikan terisi dengan pola pertumbuhan allometrik negatif cenderung memiliki berat yang lebih ringan, karena makanan yang masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangan. Tingkat pertumbuhan ini menunjukkan ikan masih kecil dan belum matang gonad sehingga sesuai untuk dilakukan penangkapan dibandingkan ikan terisi dengan pola pertumbuhan allometrik positif, karena diduga sedang melakukan pematangan gonad. Walaupun demikian, tidak semua fase pola pertumbuhan allometrik negatif baik untuk dilakukan penangkapan.

47 Hasil analisis menunjukkan ikan terisi memiliki nilai b yang sangat mendekati 3 (Tabel 7 dan Tabel 8), maka ikan terisi tersebut sedang menuju proses persiapan matang gonad sehingga akan lebih baik jika ikan terisi tidak ditangkap sampai ikan bereproduksi. Hasil tangkapan yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya musim penangkapan, kemampuan biologis, cuaca, daerah penangkapan, alat tangkap yang digunakan, armada dan jumlah armada penangkap ikan, perilaku nelayan serta teknologi atau sarana lain yang mendukung keberhasilan kegiatan penangkapan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan volume hasil tangkapan sumberdaya perikanan yang ditangkap dapat berubah dari waktu ke waktu. 4.11. Implikasi Bagi Pengelolaan Ikan Terisi Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah (Sparre & Venema 1992 dan Gulland 1983). Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh diketahui bahwa stok ikan terisi di Teluk Jakarta telah mengalami penurunan dan terjadi kondisi tangkap lebih (overfishing) yang diduga termasuk kondisi growth overfishing. Hal ini dapat dilihat dari perubahan yang terjadi dalam struktur populasi stok ikan yaitu meningkatnya koefisien pertumbuhan yang berarti umur ikan untuk mencapai panjang infinitif menjadi lebih pendek dan ukuran ikan tertangkap yang semakin kecil, peningkatan laju mortalitas penangkapan, dan tingginya laju eksploitasi. Terjadinya penurunan potensi sumberdaya ikan di wilayah perairan tersebut dapat dihindari dengan melakukan pengaturan dan pengelolaan terhadap sumberdaya ikan yang ada. Untuk mengimbangi kondisi di atas agar tidak terjadi dugaan growth overfishing dibutuhkan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan terisi di Teluk Jakarta yang berlangsung secara berkelanjutan. Selain itu pencegahan terhadap kondisi growth overfishing dapat dilakukan penutupan musim atau daerah penangkapan, penjadwalan waktu penangkapan serta perbaikan pencatatan data harga dan hasil tangkapan ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing. Selain itu dibutuhkan kerjasama antara pemerintah sebagai pembuat

48 kebijakan dan pengelola, dan masyarakat khususnya nelayan serta pihak yang terkait untuk memahami pentingnya kebijakan ini dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan ke depannya.