Daniera Erka Wilarka LORONG SEPI @danieraerka
LORONG SEPI Oleh: Daniera Erka Wilarka Copyright 2012 by Daniera Erka Wilarka @danieraerka http://dewimuliyati-daniera.blogspot.com Desain Sampul: Dewi Muliyati Editor: Iqtarani Fauziah Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com 2
Ucapan Terimakasih: Terima kasih terutama kepada pihak nulisbuku.com yang telah bersedia mewadahi dan menampung pikiran-pikiran penulis. Tulisan di dalamnya merupakan kompilasi tulisan blog dewimuliyati-daniera.blogspot.com, baik yang sudah ter-publish maupun yang masih terdapat dalam draft, notes facebook, kicauan twitter, dan tambahan berbagai ungkapan emosional saat penulisannya. Sukses selalu untuk nulisbuku.com Teruntuk adikku, Dewi Tirtasari, yang telah menjadi bagian mozaik kehidupanku. Karenamu, kudapat mendefinisikan cinta secara luas. 3
Tulisan ini... Untukmu, yang penuh kasih dalam berbagi rasa, menebar senyum, menggapai cita, mengungkap makna, dengan ketulusan cinta... Aku tersesat dalam belantara kehidupan. Aku tak dapat lari. Jalan itu menuntunku pada sebuah lorong. Mungkin aku dapat bersembunyi di dalamnya. 4
Apalah artinya dendam itu, bila kasih sayang bisa membuatnya tersenyum dan bahagia TERKELU. Komentar darimu begitu memikatnya sampai aku terkelu untuk membalasnya. Bukan Karena Inginku sebagai note pertamaku yang kamu komentari di media jejaring sosial. Setelah sebelumnya, kamu menuliskan komentar dalam sebuah posting di blog milikku. Masih tercatat dengan jelas tanggalnya, 27 Desember 2009. Pertama kali kamu menyapaku di dunia maya. Aku terkaget, karena aku jarang mengecek blogku itu. Dan aku baru sempat membalasnya hampir setahun kemudian, 27 November 2010. Hahaha, lucu juga kalau dipikir-pikir. Kembali ke note Bukan Karena Inginku. Di sana, aku memang sedikit menumpahkan curahan hatiku, tapi tentu saja sambil berkelakar, karena di sana kutuliskan by Daniera yang lagi sakit kepala. Sungguh tiada kusangka kamu mengomentarinya dengan serius. Dan kamu tahu? Aku suka. Aku terenyuh. Ada orang lain yang peduli secara serius terhadap tulisanku itu. Dari situ aku tahu, kapan kita mulai berinteraksi dan berkomunikasi dengan sentuhan sastra. Saat itu, 14 Maret 2010, saat komentar-komentarmu membuatku kelu. 5
Selasa, 9 Maret 2010 Bukan Karena Inginku by daniera yang lagi sakit kepala Ada yang bilang aku kurang sabar Ada yang bilang aku tidak ramah Ada yang bilang aku pemarah Ada yang bilang aku tak pernah senyum... Aku bilang biarin! Toh memang tak ada yang tahu aku Seperti aku memahami diriku Mereka menyangka kehidupanku mulus Mereka mengira bagiku itu mudah Padahal tak tahu hatiku selalu gundah Biarlah,... Lagipula terlalu banyak hal yang membuatku menangis Hingga kulupa bagaimana cara untuk tersenyum Tak apa... Sungguh tak apa menumpuk rasa kecewa Yang menyebabkan kulupa kuberhak tuk bahagia Sungguh,... Mereka mau berkata apa, terserah... Karena kini hadirku mungkin tak berarti, karena aku bukan siapa-siapa Atau mungkin karena ku belum menjadi siapa-siapa Namun satu hal yang teramat jelas,... ada satu ketakutan yang selalu hinggap, Ya, selalu hinggap dalam hatiku... Saat Dia tidak memedulikanku... Memang bukan karena inginku, tapi tak ada salahnya berusaha jadi lebih baik, kan Kak? Yah... Sudah dicoba, tapi mereka bilang aku hanya berpura-pura. 6
Parah, hehe... Rasanya Daniera perlu belajar tersenyum lagi, lalu menikmati kebahagiaan. Andai ia tahu, batu kecil pun punya arti bagi hidup ini, begitupun dirinya. Sayangnya hati Daniera pun telah membatu, karena kerasnya hidup yang ia jalani, menimbulkan dendam yang selalu membara. Batu manapun akan rapuh suatu saat nanti, terlebih pula hatinya. Apalah artinya dendam itu, bila kasih sayang bisa membuatnya tersenyum dan bahagia. Aku... Tersentuh membacanya. Bukan karena aku tak bisa membalikkannya, bukan pula karena aku tidak bisa membalasnya, tapi karena aku memang suka dengan untaian kata-katamu itu. Sederhana dan begitu mengena buatku yang baru belajar tersenyum. Walau aku ragu, tapi aku terus masuk menulusurinya. Lorong itu sepertinya panjang, kering, dan menyekap. Namun aku tak ingin kembali, belantara itu lebih menakutkan. Tapi, aku terlanjur masuk tanpa apa, tanpa siapa, sambil berdoa kutemukan sesuatu di dalam sana, entah kapan dan di mana. 7
Amit-amit deh punya kakak kayak dia! AKU tersentak. Pengakuanmu buat aku terkejut. Jujur saja, baru kali ini ada yang mengungkapkan pikiran seperti itu. Begitu jujur. Itupun setelah aku memaksamu bercerita, sih. Dulu, anggapan kamu tentang kakak, gimana de? Hmmm, dulu sempat kesal juga sih sama kakak, kakak ingat gak ya, sewaktu aku bawa laptop aku yang berat itu, sehabis kuliah ISBD. Ya? Kalau nggak salah kakak nggak jadi betulin laptop kamu. Nah, itu dia! Aku kesel banget sama kakak. Hari itu kuliah aku padat, banyak buku yang harus aku bawa, ditambah laptop aku, karena aku udah janji ke kakak mau aku bawa. Eh, dengan enaknya kakak bilang Males bawa laptopnya, bawaan lagi berat. Hufth! Oh ya? Jadi waktu itu kamu kesal? Maaf ya... Trus si Tikpo, sempet-sempetnya lagi, ngeledekin aku. 8
Tikpo? Memang dia bilang apa? Dia bilang, Cie... sekarang mainnya sama kak Dewi... Cie, Dewi deket nih sama kak Dewi. Begitu, kata dia. Oh ya? trus kamu bilang apa? Karena aku lagi kesel sama kakak, aku bilang Ih, amitamit deh punya kakak kayak dia. Hehehe... Maafkan aku, adikku. Sungguh saat itu, aku tidak peka terhadapmu. Maafkan aku, terlebih jika tersirat angkuh di matamu. Tiada maksud tuk menyakitimu. Andai saja kamu tahu, perihal laptop itu. Aku sangat antusias. Ini bermula saat aku menjadi asisten dosen mata kuliah pemrograman komputer untuk kelasmu. Di antara teman sekelasmu, cuma kamu yang menyapaku seperti sapaan seorang adik kepada kakaknya. Itu menggugurkan anggapanku bahwa semua adik tingkat sama saja. Palingpaling mengidentikkan asdos dengan dosennya. Lalu, berupaya dekat dengan asdos, mencoba peruntungan nilai dengan kedekatannya itu. Alhasil, nilai bagus, kedekatan berakhir saat kuliah berakhir. Selesai. Namun, tidak semua anggapanku benar. Tidak semua adik-adik tingkat seperti itu. Tidak semua. Tidak juga kamu. Kamu menarik perhatianku. Bukan,... Bukan karena nama kita sama. Bukan,... Bukan pula karena rumah kita ternyata satu kawasan, Ciledug. Bukan,... Bukan karena kamu selalu mengumpulkan tugas-tugasmu. Bukan itu semua! Rasa itu muncul begitu saja. Penasaran. Aku merasa senang di setiap kamu menyapaku, di setiap kali kuliah Pemrograman Komputer. Walaupun, kamu tidak pernah bertanya tentang mata kuliah di luar lab komputer. Mungkin kamu juga punya anggapan yang sama seperti 9
teman-temanmu yang menganggapku agak sulit berkomunikasi dengan santainya. Asdos jutek. Kalau diingat dan dipikir-pikir, aku saat dulu itu menakutkan ya? Hahaha. Dari perbincangan yang jujur itu, aku mengerti, bahwa penting untuk tetap peka terhadap sekitar, bagaimanapun keadaan kita. Untuk kamu,... terima kasih mau menyapaku, terima kasih telah berkata jujur, terima kasih telah sadarkanku akan sesuatu. Pikirku, mungkin aku dapat menemukan sesuatu, mungkin aku hanya perlu berjalan terus, lurus, tiada berhenti, mungkin... Sampai aku tersadar, jiwaku seperti lorong yang kulewati, kering dan datar. 10