4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

PEMETAAN LAMUN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS DI PERAIRAN PULAU PARI

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT SPOT-5 DI PESISIR BINTAN TIMUR, KEPULAUAN RIAU ALVIDITA BEATRIX INDAYANI

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Korelasi Kelimpahan Ikan Baronang (Siganus Spp) Dengan Ekosistem Padang Lamun Di Perairan Pulau Pramuka Taman Nasional Kepulauan Seribu

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau.

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

AKURASI PEMETAAN PADANG LAMUN DARI CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 DI PERAIRAN KARANG BONGKOK DAN KOTOK KAWASAN TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMANTAUAN EKOSISTEM LAMUN MENGGUNAKAN CITRA ALOS DI KAWASAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU PRIA WIBAWA UTAMA

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Oleh: HAZMI C SKRlPSl Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Perikanan Dan llmu Kelautan

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

Journal Of Marine Research. Volume 3, Nomor 3, Tahun 2014, Halaman Online di:

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

DISTRIBUSI LAMUN DAN MANGROVE MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 DI GUGUS PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU IHSAN KURNIA GHAZALI

PENENTUAN SEBARAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA LYZENGA DI PULAU MAITARA. Universitas Khairun. Ternate. Universitas Khairun.

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN LAUT DANGKAL

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

PEMETAAN PADANG LAMUN DENGAN CITRAALOS DAN CITRA ASTER DI PULAU PARI, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU MOH IKHWANUSH SHOFA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN KARANG LEBAR DENGAN MENGGUNAKAN CITRA IKONOS PAN-SHARPENED

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

Analisa Kesehatan Mangrove Berdasarkan Nilai Normalized Difference Vegetation Index Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMETAAN SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DANGKAL KARANG CONGKAK DAN LEBAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICK BIRD

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

APLIKASI JARINGAN SARAF TIRUAN UNTUK INVENTARISASI LUAS SUMBER DAYA ALAM STUDI KASUS PULAU PARI

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Analisis Perubahan Luasan Terumbu Karang dengan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Perairan Pulau Pramuka Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu

3. METODE PENELITIAN

PEMETAAN BENTIK HABITAT DAN TUTUPAN LAHAN PULAU TUNDA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT WORLDVIEW-2 IRPAN PIDIA PUTRA

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

Identifikasi Sebaran Sedimentasi dan Perubahan Garis Pantai Di Pesisir Muara Perancak-Bali Menggunakan Data Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Dan SPOT-4

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Pengambilan Sampel... (Syarif Budhiman et al.)

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran umum lokasi penelitian Gugus Pulau Pari merupakan salah satu bagian dari Kepulauan Seribu dan tersusun dari lima buah pulau kecil, antara lain Pulau Pari, Pulau Tengah, Pulau Kongsi, Pulau Tikus, dan Pulau Burung masing-masing dipisahkan oleh beberapa buah Goba. Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus Pulau Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km dan lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian terpanjang sekitar 400 m (Kiswara, 1992). Secara geografis, gugus pulau pari terletak pada posisi 5 o 50 20 LS 5 o 50 25 LS dan 106 o 34 30 BT 106 o 38 20 BT. Perairan Pulau Pari dipengaruhi oleh pasang surut harian. Pasang harian di Pulau Pari tertinggi 1,2 m dan terendah 0,18 m. Salinitas berkisar 30,2-36,7 dan temperatur berkisar 26,7 o C 32,9 o C, sehingga dari data lingkungan diatas menunjukkan kualitas perairan di Pulau Pari termasuk ke dalam kisaran optimum bagi spesies lamun (Azkab, 1988). Substrat dasar di perairan Pulau Pari berupa pasir, pasir berlumpur dan pasir berkarang dan kedalaman yang dangkal di perairan Pulau Pari memungkinkan kecerahan perairan dapat mencapai 100% (Kiswara, 1992). Vegetasi lamun tersebar di wilayah perairan Gugus Pulau Pari dengan kedalaman kurang dari 2 meter dengan kondisi arus yang tenang (Kiswara, 1992). Berdasarkan identifikasi jenis lamun di perairan Pulau Pari ditemukan 3 jenis antara lain Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii. 22

23 4.2. Peta hasil klasifikasi Citra satelit yang dipergunakan untuk menghasilkan peta sebaran lamun adalah citra ALOS tahun 2008 yang memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra yang sudah dikoreksi secara geografi (Lampiran 1) dan atmosferik diklasifikasi dengan 2 metode. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi unsupervised dan yang kedua adalah klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga (Gambar 5). Hasil dua metode klasifikasi yang digunakan menunjukkan adanya perbedaan luas kelas lamun sebagai objek yang sama. Luas ekosistem lamun pada peta hasil klasifikasi unsupervised adalah 1,67 km 2 sedangkan pada peta klasifikasi algoritma Lyzenga luas ekosistem lamun adalah 1,95 km 2. Sama halnya dengan perbedaan luasan lamun, dari kedua peta tampak adanya perbedaan hasil klasifikasi habitat dasar perairan berupa sebaran pasir dan karang. Pada peta klasifikasi unsupervised terlihat adanya sebaran karang di tubir bagian utara sedangkan pada peta klasifikasi dengan menggunakan algoritma Lyzenga banyak ditemukan sebaran karang di goba (lagoon) labangan pasir dan besar 1. Perbedaan ini disebabkan pada saat pengambilan data lapang kelas karang untuk klasifikasi unsupervised hanya ditemukan di bagian barat Pulau Pari dan pada daerah goba sudah terkelaskan menjadi laut dalam. Dalam penelitian ini kelas laut dalam mencakup daerah laut yang memiliki kedalaman lebih dari 2 meter.

24 inset Gambar 5. Peta klasifikasi habitat dasar perairan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi unsupervised (atas) dan algoritma Lyzenga (bawah)

25 Sebaran lamun di Gugus Pulau Pari dari kedua peta terlihat tersebar merata di sebelah barat daya serta sebelah barat dari Pulau Pari atau tepatnya tersebar diantara Pulau Pari, Pulau Tengah dan Pulau Burung serta di daerah dekat tubir. Di bagian timur Pulau Pari tidak terlalu banyak sebaran lamun. Hal ini diduga karena sisi timur Pulau Pari banyak dihuni oleh penduduk, sehingga aktivitas manusia dapat mempengaruhi keberadaan lamun itu sendiri. Selain itu faktor alam seperti arus dan pasang surut juga mempengaruhi. Arus yang melalui bagian timur Pulau Pari memiliki kecepatan 0,15 m/detik sedangkan di bagian barat kecepatan arus sebesar 0,09 m/detik sehingga arus yang melalui bagian timur Pulau Pari lebih besar dibandingkan arus yang melewati bagian barat Pulau Pari yang yang terhalangi oleh daratan (LAPAN, 2005). Kedalaman perairan pada saat surut dapat mencapai 0,18 meter menyebabkan terbatasnya jenis lamun yang bisa tumbuh didaerah tersebut (Kiswara, 1992). Berdasarkan tabel pasang surut perairan Kepulauan Seribu (Stasiun Tanjung Priok) Dishidros TNI AL bulan November 2008 (Lampiran 8), perairan Kepulauan Seribu mengalami surut mulai pukul 07.00 WIB dan mengalami pasang mulai pukul 10.00 WIB. Sehingga perekaman citra ALOS pada tanggal 21 November 2008 pukul 10.30 WIB terjadi saat perairan Kepulauan seribu mulai mengalami pasang. 4.3. Perbandingan klasifikasi kelas lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised dan algoritma Lyzenga. 4.3.1 Klasifikasi unsupervised Pada awal pemrosesan citra, seteleh proses koreksi dilakukan selanjutnya dilakukan masking untuk memisahkan darat dan laut dengan menggunakan band-

26 4. Citra satelit ALOS memiliki 3 band tampak yang dapat menganalisis objek bawah laut seperti lamun yaitu band biru (band 1), band hijau (band 2) dan band merah (band 3) yang memiliki panjang gelombang yang lebih kecil yang memungkinkan untuk menembus kedalam kolom perairan. Citra dibagi menjadi 100 kelas yang selanjutnya di reclass menjadi 5 kelas yaitu kelas lamun, pasir, karang, darat, dan laut dalam seperti yang ditampilkan pada Gambar 5. Pada Gambar 6 menunjukkan sebaran lamun di Gugus Pulau Pari yang dihasilkan oleh klasifikasi unsupervised. inset Gambar 6. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan klasifikasi unsupervised Berdasarkan data survey yang telah dikumpulkan maka dapat ditentukan nilai overall accuracy (OA), producer accuracy (PA), dan user accuracy (UA) dari peta kondisi lamun berdasarkan klasifikasi unsupervised (Tabel 6).

27 Tabel 6. Matriks kontingensi klasifikasi unsupervised Pulau Pari Survey Lapang Citra UA (%) OA (%) Lamun Lain Jumlah Lamun 20 9 29 68,97 Lain 16 47 63 72,82 Jumlah 36 56 92 PA (%) 55,55 Perhitungan UA lamun di perairan Pulau Pari memberikan informasi bahwa sekitar 68,97% kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 55,55%. Sementara 44,45% piksel yang seharusnya termasuk dalam kelas lamun terpetakan sebagai kelas lain (omission error) dan 31,03% daerah yang seharusnya bukan lamun telah terpetakan sebagai terumbu karang pada peta hasil klasifikasi (commission error). Hasil perhitungan OA untuk peta hasil klasifikasi unsupervised diperoleh sebesar 72,82%. Nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar pada setiap citra satelit berbeda-beda. Nilai akurasi pemetaan substrat dasar di Pulau Caicos Turki menggunakan metode klasifikasi unsupervised ditemukan sebesar 81% dengan menggunakan citra satelit SPOT-XT (Sheppard et al., 1995 dalam Green et al., 2000). Dekker (2005) dalam Yang (2009) menemukan nilai akurasi pemetaan lamun dengan menggunakan citra satelit Landsat sebesar 76%. Jika dibandingkan dengan penelitian ini yang menggunakan citra satelit ALOS dimana nilai overall accuracy diperoleh sebesar 72,82%, hal ini diduga dipengaruhi oleh kesalahan pada saat pengolahan citra klasifikasi. Kesalahan tersebut adalah kesalahan tematik dan kesalahan dari segi penentuan posisi. Kesalahan tematik merupakan kesalahan dalam pengelompokkan jenis habitat berdasarkan kelas yang sebenarnya yang terdapat di lapang pada saat pengambilan data insitu. Sedangkan posisi pada saat di lapang dengan koordinat yang terdapat pada citra satelit ALOS

28 seharusnya sama, akan tetapi GPS yang digunakan pada saat pengambilan data di lapang menghasilkan galat/error GPS sebesar < 30 meter sehingga koordinat titik sampel akan bergeser 4.3.2 Klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga Pemetaan kondisi lamun dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Gambar 7) diawali dengan menggabungkan tiga band citra RGB 421 sehingga menghasilkan citra komposit. Kemudian dilakukan penajaman citra dengan mengkombinasikan band 1 dan band 2 berdasarkan algoritma penurunan standard exponential attenuation model yang menghasilkan persamaan yang disebut transformasi Lyzenga. inset Gambar 7. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan algoritma Lyzenga

29 Setelah pemrosesan dilakukan, maka didapat nilai rasio koefisien band 1 dan band 2 (ki/kj) dimana nilai yang didapat untuk citra adalah 1,18 sehingga algoritma yang digunakan pada citra ini adalah Y = ln (TM 1) - 1,18 ln (TM 2). Hasil dari transformasi Lyzenga berupa tampilan citra baru yang menampakkan kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan (Lampiran 7). Setiap kelas habitat dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda. Berdasarkan training area pada citra ALOS, nilai spektral untuk lamun memiliki kisaran 8,031 8,467. Untuk mengetahui berapa luasan habitat dilakukan klasifikasi supervised. Training area dilakukan disetiap vegetasi seperti karang, lamun dan pasir. Perhitungan matriks kontingensi juga diterapkan pada peta hasil klasifikasi dengan menggunakan algoritma Lyzenga (Tabel 7). Berdasarkan data survey lapang yang telah dilakukan diperoleh nilai OA sebesar 65,21%. Nilai UA lamun didapat sebesar 61,11% kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 30,55%. Tabel 7. Matriks kontingensi klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga di Pulau Pari Survey Lapang Citra UA (%) OA (%) Lamun Lain Jumlah Lamun 11 7 18 61,11 Lain 25 49 74 65,21 Jumlah 36 56 92 PA (%) 30,55 Algoritma Lyzenga atau disebut juga depth-invariant index yang dirumuskan oleh David Lyzenga digunakan untuk koreksi kolom perairan dimana persamaan ini didapat dari perbandingan nilai reflektansi dari beberapa

30 band citra satelit di suatu perairan yang dangkal dan sangat jernih. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki daya tembus rendah, sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami kekeliruan. Maka dari itu, untuk mendapatkan hasil pemetaan yang lebih akurat, Sagawa et al. (2007) telah mengembangkan sebuah metode koreksi kolom perairan baru bernama reflectance index. Metode ini menggunakan parameter tambahan seperti data kedalaman dan nilai reflektansi. Penelitian Sagawa et al. (2007) di Teluk Gabes Tunisia dengan menggunakan citra satelit IKONOS menemukan perbedaan nilai overall accuracy antara peta hasil transformasi depth invariant index dengan reflectance index. Nilai overall accuracy yang diperoleh dari depth invariant index sebesar 54% sedangkan nilai overall accuracy yang diperoleh dari reflectance index sebesar 90%. Hal ini menandakan bahwa untuk penggunaan koreksi kolom perairan yang lebih akurat diperlukan parameter pendukung seperti data kedalaman, nilai reflektansi dan koefisien atenuasi yang diambil saat pengambilan data lapang dengan menggunakan suatu peralatan seperti spektrofotometer. Pada penelitian ini penggunaan metode klasifikasi yang berbeda didapat nilai overall accuracy (OA) yang berbeda pula. Nilai OA klasifikasi unsupervised pada pemetaan lamun di perairan Pulau Pari ditemukan lebih tinggi dibanding hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga. Fornes et al. (2006) menemukan nilai overall accuracy dari pemetaan lamun adalah 84% dengan menggunakan metode klasifikasi supervised citra satelit Ikonos di Pulau Balearic Laut Mediterania. Komatsu et al. (2008) menggunakan ALOS di Akeshi Jepang untuk memetakan lamun (metode klasifikasi supervised) menemukan nilai OA

31 peta sebesar 64,20%. Namun dengan menggunakan algoritmalyzenga, Komatsu et al. (2008) mendapatkan nilai OA naik menjadi 71,80%. 4.4. Kondisi lamun di Perairan Pulau Pari 4.4.1. Persentase penutupan lamun Persentase penutupan lamun di perairan Pulau Pari diklasifikasikan menjadi 3 kelas (Gambar 8) berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004. Persentase lamun 60% masuk dalam kelompok status lamun rapat, persentase penutupan lamun antara 30%-59,9% masuk dalam kelompok status lamun kurang rapat sedangkan lamun yang memiliki persentase penutupan 29,9% masuk dalam kisaran status lamun jarang. >=60% 30 59,9 % <29,9 % Gambar 8. Sebaran persentase penutupan lamun di tiap titik stasiun

32 Dari gambar 8 dapat diketahui persentase penutupan yang besar ditemukan di titik stasiun yang berada di selatan Pulau Tengah dan di sebelah barat Pulau Burung. Sedangkan persentase penutupan lamun pada titik stasiun disebelah barat Pulau Pari beragam. Hasil analisis persentase penutupan lamun di perairan Pulau Pari yaitu berkisar antara 5% - 95%. 4.4.2. Biomasa Lamun Biomasa lamun adalah berat dari semua material yang hidup pada suatu satuan luas tertentu, baik yang berada di atas maupun dibawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m 2 (gbk/m 2 ), sedangkan produksi lamun diartikan sebagai pertambahan biomasa lamun dalam selang waktu tertentu. Kesuburan lamun berkorelasi positif dengan besarnya biomasa dan produksi lamun (Hogart, 2007). Sebaran biomasa lamun di tiap titik stasiun di gugusan Pulau pari ditunjukkan pada Gambar 9. >=93,57 gbk/m 2 48-93,56 gbk/m 2 <47,99 gbk/m 2 Gambar 9. Sebaran biomasa lamun di tiap titik stasiun

33 Hasil analisis biomasa lamun di perairan Pulau Pari Biomasa lamun yang ditemukan di titik stasiun berkisar antara 2,43 gbk/m 2-139,13 gbk/m 2. Rata-rata biomasa lamun sebesar 41,94 gbk/m 2. Titik stasiun lamun di perairan Pulau Pari sebagian besar memiliki biomasa lamun < 47,99 gbk/m 2 dan banyak tersebar di bagian selatan Pulau Pari. Dari 35 titik stasiun lamun, hanya ada 3 titik stasiun yang memiliki biomasa lamun 93,57 gbk/m 2 yang tersebar di sebelah selatan Pulau Tengah dan di sebelah barat Pulau pari. Penelitian mengenai biomasa lamun pernah dilakukan Azkab (1988) di wilayah Pulau Pari pada jenis lamun Enhalus acoroides dan diperoleh hasil analisis biomasa sebesar 44,949 gbk/m 2 175,00 gbk/m 2. Semakin besar kandungan biomasa lamun maka produktivitas lamun semakin besar, dalam hal ini berhubungan dengan proses fotosintesis (Duarte, 1989). 4.4.3. Jumlah spesies lamun Hasil identifikasi data lamun di perairan Pulau Pari ditemukan tiga jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii (Gambar 10) dan jumlah spesies lamun ini relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan lokasi lainnya (Lampiran 4). Tipe vegetasi lamun di perairan Pulau Pari adalah vegetasi campuran dimana komunitas lamun terdiri atas dua atau lebih jenis lamun yang tumbuh pada tempat yang sama. Dari ke 35 titik stasiun, jenis lamun yang sering ditemukan yaitu Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Di Perairan Pulau Pari Enhalus acoroides tumbuh pada dasar perairan pasur berlumpur, pasir dan pasir berkarang yang selalu tergenang air. Thalassia hemprichii umumnya tumbuh di perairan dangkal pada dasar pasir dan pasir berlumpur (Kiswara, 1992).

34 Gambar 10. Sebaran spesien lamun di tiap titik stasiun 4.4.4 Analisis kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, biomasa, dan jumlah jenis lamun Hasil dari pemberian skor pada setiap stasiun kemudian diplotkan yang terbagi menjadi kelas kondisi lamun baik, sedang, dan jelek (Gambar 11). Baik Sedang Jelek Gambar 11. Sebaran kondisi lamun di perairan Pulau Pari

35 Penentuan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan, biomasa, dan jumlah jenis yang selanjutnya dilakukan teknik skoring untuk mengetahui apakah titik stasiun tersebut masuk kedalam kategori lamun baik, sedang atau jelek. Kategori kondisi lamun baik menandakan bahwa keanekaragaman jenis, persentase tutupan dan biomasa lamun masih relatif tinggi. Berdasarkan Gambar 11, terdapat 42,85% titik stasiun lamun masuk ke dalam kategori kondisi lamun sedang. Dari 35 titik stasiun lamun, ditemukan 15 titik stasiun lamun dalam kondisi sedang tersebar di bagian selatan Pulau Pari dan di bagian utara Pulau Burung. Titik stasiun yang termasuk dalam kategori baik ditemukan ada 10 titik atau 28,57%. Kondisi lamun yang masuk dalam kategori baik ditemukan di bagian barat Pulau Burung, di bagian selatan Pulau Tengah, dan di bagian timur Pulau Kongsi timur. Sedangkan untuk kondisi lamun yang masuk ke dalam kategori jelek ditemukan 28,57% di titik stasuin atau 10 titik stasiun lamun yang tersebar di bagian timur Pulau Pari dekat daratan (mess LIPI), dan di daerah dekat dermaga selatan Pulau Pari. Daerah lamun yang masuk ke dalam kategori jelek seperti halnya di bagian timur Pulau Pari merupakan daerah yang sering dijadikan lokasi transplantasi lamun dengan tujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan habitat yang mengalami kerusakan (Azkab, 1988). Parameter penentu untuk mengetahui kondisi lamun secara keseluruhan harus mempertimbangkan berbagai aspek seperti aspek biologi (persentase penutupan, kerapatan, biomasa, jumlah jenis, dan sebaran lamun), aspek fisik (arus, pasang surut, kedalaman, dan substrat), aspek kimia (kualitas air), aspek ekologi (asosiasi fauna dan flora), dan aspek pengaruh manusia (Kiswara, 1999).