PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID"

Transkripsi

1 PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 La Ode Abdul Hafid NIM C

4 ABSTRAK LA ODE ABDUL HAFID. Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI. Dibimbing oleh JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN. Terumbu karang saat ini terus mengalami degradasi sehingga diperlukan suatu manajemen terpadu untuk pelestariannya. Salah satu upaya yang dilakukan dengan memetakan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk menguji kelayakan pakai citra Landsat-7 SLC-Off. Metode localized linear histogram match digunakan dalam pengisian gap citra SLC-Off. Jenis habitat dasar diekstrak dengan metode Lyzenga dan diklasifikasi dengan klasifikasi tak terselia ke dalam empat kategori yaitu karang hidup, karang mati, pasir dan lamun. Pengukuran akurasi menggunakan matriks klasifikasi dengan input 251 data survei. Uji statistik digunakan uji-t sampel bebas dan uji-z dengan level kepercayaan 95%. Dari hasil pengukuran akurasi, citra Landsat-7 diperoleh OA = 55,11% dan Khat = 0,34 di mana memiliki nilai rata-rata overall accuracy dan koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-8 dengan OA = 53,65% dan Khat = 0,30. Namun dari hasil uji statistik terhadap nilai overall accuracy dan koefisien Kappa tersebut, baik uji-t sampel bebas maupun uji-z, keduanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan sehingga disimpulkan bahwa citra Landsat-7 SLC-Off masih dapat dipergunakan untuk kajian pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. Kata kunci: pemetaan terumbu karang, citra Landsat-7 dan Landsat-8, akurasi peta tematik, uji-t dan uji-z ABSTRACT LA ODE ABDUL HAFID. Shallow Water Habitat Mapping in Karang Lebar, Thousand Islands, DKI Jakarta using Landsat-7 ETM+ SLC-Off and Landsat-8 OLI Images. Supervised by JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN. Coral reefs continue to be degraded over past decades due to human activities so we need a unified management related its preservation. One effort proposed is to conduct shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems. This study aimed to examine the usage feasibility of Landsat-7 SLC-Off images. LLHM method was used to fill the gaps of SLC-Off images. Bottom habitat types were extracted by using Lyzenga s method and classified by using unsupervised classification into four categories (i.e live coral, dead coral, sand, and seagrass). Accuracy measurement used classification matrix with 251 survey data. Statistical test used independent samples t-test and z-test with 95% confidence level. From the result of accuracy measurement, Landsat-7 yielded OA = 55.11% and Khat = 0.34 had an average value of overall accuracy and Kappa coefficient higher than Landsat-8 as OA = 53.65% and Khat = However, from statistical test results conducted on those OA and Khat, either independent samples t-test or z-test, where both showed not significant results. Thus it is concluded that the Landsat-7 SLC-Off images are still can be utilized in shallow water habitat mapping of coral reef ecosystems. Keywords: coral reefs mapping, Landsat-7 and Landsat-8 images, thematic map accuracy, t-test and z-test

5 PEMETAAN HABITAT PERAIRAN DANGKAL KARANG LEBAR, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA DENGAN CITRA LANDSAT-7 ETM+ SLC-OFF DAN LANDSAT-8 OLI LA ODE ABDUL HAFID Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

6

7 Judul Skripsi : Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI Nama : La Ode Abdul Hafid NIM : C Disetujui oleh Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus: 30 April 2014

8 PRAKATA Pada tanggal 31 Mei 2003, satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan instrumen SLC (Scan Line Corrector) yang merupakan pengoreksi hasil sampling cermin scan utama. Hal ini mengakibatkan setiap satu path/row citra yang dipotret setelah tanggal tersebut kehilangan data sekitar 22%. Oleh karena itu, untuk mengetahui apakah citra ini masih dapat untuk digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal di sekitar terumbu karang maka penulis mencoba membandingkan dengan citra hasil pemotretan satelit Landsat-8 yang memiliki orbit dan spesifikasi sensor serupa. Topik penelitian yang diajukan penulis terkait isu di atas diberi judul Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI. Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Dalam penyusunannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. James Parlindungan Panjaitan, M.Phil selaku dosen pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan bimbingannya selama penyusunan skripsi. 2. Bapak Dr. Ir. Vincentius P. Siregar selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Hawis H. Madduppa, S.Pi, M.Si selaku dosen perwakilan Gugus Kendali Mutu (GKM) yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini. 4. Rekan-rekan ITK yang telah membantu dan memberikan sumbang saran dalam pengolahan data dan penyusunan skripsi. 5. Kedua orang tua, kakak, dan adik atas segala dukungannya selalu. 6. Pihak lain yang secara tidak langsung ikut memberikan kontribusi dalam pengumpulan dan pengolahan data. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dapat digunakan penulis untuk perbaikan skripsi ini. Bogor, Maret 2014 La Ode Abdul Hafid

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 METODE 2 Lokasi dan Waktu Penelitian 2 Alat dan Bahan 3 Pra-Pengolahan Citra 3 Koreksi Radiometrik dan Geometrik 3 Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off 4 Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra 5 Transformasi Lyzenga 6 Klasifikasi Citra 7 Pengukuran Akurasi 7 Uji Statistik 9 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8 11 Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off 12 Transformasi Lyzenga 13 Klasifikasi Citra 18 Pengukuran Akurasi 22 Uji Statistik 26 SIMPULAN DAN SARAN 28 Simpulan 28 Saran 28 DAFTAR PUSTAKA 28 LAMPIRAN 31 RIWAYAT HIDUP 60

10 DAFTAR TABEL 1 Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI 4 2 Matriks klasifikasi 8 3 Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi 8 4 Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian 12 5 Koefisien atenuasi 14 6 Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga 18 9 Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra Producer accuracy, user accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien Kappa (Khat) Hasil uji-t sampel bebas pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) Hasil uji-z pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) 27 DAFTAR GAMBAR 1 Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu beserta 251 data titik survei lapang 2 2 Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al., 2004) 5 3 Spatial subset using map ENVI Diagram alir pengolahan data 10 5 Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit RB Hasil pengisian gap citra Landsat-7 RGB321 dan Landsat-8 komposit RGB Bi-plot transformasi ln band 1/2 (Landsat-7); band 2/3 (Landsat-8) 16 8 Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan) 17 9 Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 29 Mei Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1 Agustus Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 18 September Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 25 Agustus Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10 September Nilai producer accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal Nilai user accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal Nilai overall accuracy (OA) dan koefisien Kappa (Khat) untuk setiap citra Landsat-7 dan Landsat-8 25

11 DAFTAR LAMPIRAN 1 Formula yang digunakan dalam perhitungan z-skor (uji-z) 31 2 Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk uji-t sampel bebas dan uji-z 32 3 Ilustrasi posisi gap piksel band 1 dan band 2 data citra Landsat-7 SLC- Off beserta hasil pengisian gap-nya 33 4 Contoh perhitungan nilai gap citra utama menggunakan metode localized linear histogram match (LLHM) 34 5 Contoh perhitungan nilai koefisien atenuasi (digunakan data citra 8 Juli 2013) 37 6 Histogram frekuensi hasil transformasi Lyzenga 38 7 Contoh perhitungan akurasi klasifikasi (digunakan matriks klasifikasi citra 8 Juli 2013) 39 8 Matriks klasifikasi 40 9 Hasil uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa) Contoh perhitungan uji-z antara matriks klasifikasi Landsat-7 akuisisi 29 Mei 2013 (atas) dan Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 (bawah) Tutorial pengolahan data 44

12

13 PENDAHULUAN Latar Belakang Terumbu karang merupakan suatu ekosistem di perairan tropis yang terdiri dari biota laut penghasil kapur, khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya (Sukarno, 1995). Berdasarkan hasil estimasi tahun 2003 menunjukkan bahwa terumbu karang dunia bisa menghasilkan keuntungan bersih sebesar 29,8 trilyun US dollar per tahun yang berasal dari perikanan, perlindungan pantai, pariwisata, dan nilai biodiversitas terumbu karang itu sendiri (Cesar et al., 2003). Namun demikian, saat ini terumbu karang terus mengalami degradasi di mana 27% terumbu karang dunia telah hilang secara permanen dan akan meningkat menjadi 30% pada 30 tahun mendatang (Cesar et al., 2003). Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen terpadu terkait upaya pelestariannya. Beberapa informasi penting dan mendasar terkait upaya pelestarian ekosistem terumbu karang di antaranya informasi luasan tutupan dan daerah sebarannya di suatu daerah. Informasi ini dapat diekstrak menggunakan data citra satelit. Kutcher et al. (1986) mengatakan bahwa dalam kondisi tertentu, penelitian pada kawasan terumbu karang dapat menggunakan metode penginderaan jauh memanfaatkan data citra satelit untuk memonitoring daerah terumbu karang pada perairan dangkal dengan wilayah perairan yang luas. Satelit penginderaan jauh yang telah banyak digunakan untuk memonitoring terumbu karang adalah Landsat (Benfield et al., 2007). Deretan satelit Landsat telah merekam permukaan bumi lebih dari empat dekade sejak diluncurkannya Landsat- 1 pada tahun USGS (2013a) mencatat bahwa sampai saat ini koleksi data Landsat telah melebihi tiga juta data citra. Dengan demikian, dengan adanya data ini diharapkan dapat dibangun suatu database tentang informasi luasan dan sebaran terumbu karang dunia yang akan digunakan untuk keperluan analisis multitemporal. Satelit Landsat yang beroperasi saat ini yaitu Landsat-7 dan Landsat-8. Keduanya memiliki orbit yang sama serta spesifikasi sensor (resolusi spektral, spasial, temporal, dan radiometrik) yang hampir identik. Oleh karena itu, dengan menggabungkan data hasil perekaman kedua satelit ini maka saat ini bisa dihasilkan data citra dengan resolusi temporal delapan hari. Hal ini disebabkan oleh offset antara waktu akuisisi Landsat-7 dan Landsat-8 adalah delapan hari (USGS, 2013a). Resolusi temporal delapan hari ini menunjukkan bahwa database informasi luasan dan sebaran terumbu karang dunia bisa diperbaharui (di-update) setiap delapan hari. Namun demikian pada tanggal 31 Mei 2003 satelit Landsat-7 mengalami kerusakan instrumen Scan Line Corrector (SLC). Instrumen ini merupakan sebuah alat yang didesain untuk mengoreksi (mengisi kekosongan) data hasil sampling cermin scan utama yang disebabkan oleh gerak maju satelit (Scaramuzza et al., 2004). Akibat kerusakan ini, citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dalam setiap satu kali perekaman (satu path/row) kehilangan data sekitar 22% (Scaramuzza et al., 2004). Untuk mengisi kekosongan data ini, pada penelitian ini akan digunakan metode pengisian gap yang dikembangkan oleh pihak USGS yaitu localized linear histogram match (LLHM). Citra hasil pengisian gap ini nantinya akan dilakukan

14 2 pengujian statistik untuk melihat apakah masih dapat digunakan untuk keperluan saintifik terutama dalam pemetaan habitat perairan dangkal sekitar terumbu karang. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah (1) membandingkan hasil akurasi pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI; (2) melakukan pengujian statistik (uji-t dan uji-z) terhadap hasil pengukuran akurasi citra satelit Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI untuk memutuskan apakah citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off masih dapat untuk digunakan bersama-sama dengan citra satelit Landsat- 8 OLI dalam pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini terletak di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan posisi koordinat ,09 LS ,35 LS dan ,64 BT ,44 BT (Gambar 1). Karang lebar merupakan gosong terumbu Pulau Semak Daun yang berada sekitar 50 km sebelah barat laut Teluk Jakarta. Luas total areal penelitian adalah m 2. Penelitian ini dilakukan antara bulan Juni 2013 sampai September Survei lapang dilakukan selama dua hari dari tanggal Juni Bentuk survei lapang ini berupa pengecekan (ground check) jenis habitat dasar pada 251 posisi titik survei yang telah ditentukan sebelumnya secara random (random sampling) dari data piksel citra. Luas bidang pengamatan pada setiap titik survei adalah 900 m 2 atau 30 m x 30 m. Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu beserta 251 data titik survei lapang

15 3 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Perahu motor digunakan untuk menjangkau daerah penelitian. (2) GPS (Global Positioning System) Garmin etrex model Yellow H digunakan untuk pengambilan titik uji. (3) Seperangkat laptop berbasis Intel Celeron dengan Sistem Operasi Windows 8 64-bit digunakan untuk pengolahan data. (4) Perangkat lunak frame_and_fill_win32 digunakan untuk pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off. (5) Perangkat lunak ERMapper 7 dan ENVI 5.0 digunakan untuk pengolahan citra berbasis image. (6) Perangkat lunak Microsoft Excel 2013 digunakan untuk pengolahan citra berbasis numerik. (7) Perangkat lunak MapSource dan GPSBabel digunakan untuk mengolah data GPS. (8) Perangkat lunak Google Earth , Global Mapper 13, GeoTIFF Tools, dan ArcGIS 9.3 digunakan untuk pembuatan layout peta. (9) Perangkat lunak SPSS Statistics 17.0 digunakan untuk uji-t Bahan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Citra SLC-Off satelit Landsat-7 Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) path/row 122/64 akuisisi 29 Mei 2013, 1 Agustus 2013, dan 18 September (2) Citra satelit Landsat-8 Operational Land Imager (OLI) path/row 122/64 akuisisi 8 Juli 2013, 25 Agustus 2013, dan 10 September (3) 251 data titik uji (tanggal survei Juni 2013) yang digunakan untuk pengukuran akurasi citra terklasifikasi. Pra-Pengolahan Citra Koreksi Radiometrik dan Geometrik Semua bahan citra yang digunakan di dalam penelitian ini merupakan citra level-one terrain-corrected (L1T). Citra L1T merupakan produk Level 1G di mana citra telah terkoreksi secara radiometrik dan geometrik. Pada produk L1T, akurasi koreksi geometriknya telah lebih ditingkatkan. Peningkatan akurasi geometrik ini dilakukan dengan menerapkan ground control point (GCP) dan digital elevation model (DEM) dalam proses koreksi geometriknya (NASA, 2013). Root Mean Square Error (RMSE) untuk semua bahan citra yang digunakan memiliki nilai kurang dari 7 meter (Tabel 1). Nilai RMSE yang kurang dari 7 meter ini sudah cukup baik mengingat resolusi spasial citra Landsat-7 dan Landsat-8 adalah 30 meter sehingga daerah suatu piksel antara citra yang satu dengan yang lainnya akan relatif sama. Hal ini disebabkan karena perbedaan posisi koordinat antara citra yang satu dan citra lainnya tidak lebih dari 7 meter.

16 4 Satelit Landsat-7 Landsat-8 Tabel 1. Metadata citra Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8 OLI Tanggal akuisisi Waktu akuisisi Jumlah GCP RMSE (meter) Sudut azimuth matahari ( 0 ) Sudut elevasi matahari ( 0 ) 29 Mei :56 WIB 57 4,120 44,30 51,11 1 Agustus :55 WIB 96 4,044 51,07 51,64 18 September :56 WIB 26 4,825 75,19 61,62 8 Juli :02 WIB 36 6,029 43,70 50,33 25 Agustus :02 WIB 32 6,229 59,26 57,81 10 September :02 WIB 20 5,174 68,59 61,47 Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off Pata tanggal 31 Mei 2003 satelit Landsat-7 ETM+ mengalami kerusakan Scan Line Corrector (SLC). SLC merupakan sebuah alat yang didesain untuk mengisi gap (kekosongan) hasil sampling cermin scan utama yang disebabkan oleh gerak maju satelit. Akibat dari kerusakan SLC ini, dalam setiap satu path/row citra kehilangan data sekitar 22% (Scaramuzza et al., 2004). Untuk mengisi gap ini, dibutuhkan citra SLC-Off lain dengan tanggal perekaman yang berbeda. Dalam pemilihan citra pengisi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu, (1) gap antara citra utama dan citra pengisi tidak saling menimpa, (2) waktu perekaman antara citra utama dan citra pengisi diupayakan sedekat mungkin, (3) memilih citra pengisi dengan tutupan awan yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali (USGS, 2004). Formula yang digunakan untuk mengisi gap piksel yang kosong yaitu (Scaramuzza et al., 2004): Y GX+B... (1) di mana: G B X Y = gain yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra pengisi dan citra utama = bias yang digunakan untuk menyesuaikan histogram antara citra pengisi dan citra utama = data piksel citra pengisi = data piksel citra utama Gain dan bias masing-masing dihitung dengan formula: G= σ Y σ X... (2) B=Y -GX... (3) di mana: σ X = standar deviasi data piksel citra pengisi σ Y = standar deviasi data piksel citra utama X = rata-rata data piksel citra pengisi Y = rata-rata data piksel citra utama Metode yang digunakan dalam pengisian gap ini adalah localized linear histogram match (LLHM). Dalam metode LLHM diterapkan sebuah moving window untuk membatasi sampling data piksel yang selanjutnya akan digunakan

17 untuk menghitung gain dan bias. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM dapat dilihat pada Gambar 2. 5 Gambar 2. Ilustrasi moving window dalam metode LLHM (Scaramuzza et al., 2004). Pada ilustrasi di atas digunakan band 30 meter citra Landsat-7 ETM+ di mana lebar maksimum gap SLC adalah 14 piksel. Lebar window 17 piksel seperti yang ada pada gambar dipilih sesuai dengan lebar window minimum yang diinginkan. Dalam window 17 x 17 piksel ini, data piksel citra pengisi maupun citra utama yang ada di dalamnya dikumpulkan. Lalu dari data piksel yang dikumpulkan tersebut dilakukan pengeluaran piksel yang tidak sesuai (misal piksel awan) dan selanjutnya dilakukan penghitungan nilai gain dan bias. Nilai gain dan bias ini digunakan untuk menghitung nilai piksel yang berada di tengah window. Sehingga misalnya jika terdapat 100 piksel yang perlu diisi maka terdapat pula 100 moving window. Tahapan ini dilakukan hingga gap piksel semuanya terisi. Penggabungan Band dan Pemotongan (Cropping) Citra Landsat-7 ETM+ memiliki 8 band sedangkan Landsat-8 OLI memiliki 9 band. Namun karena obyek penelitian adalah habitat bawah air maka hanya beberapa band saja yang akan digunakan terkait daya penetrasinya terhadap badan perairan. Untuk Landsat-7, band-band yang digunakan yaitu band 1 (sinar tampak biru 0,45 0,52 µm) dan band 2 (sinar tampak hijau 0,52 0,6 µm); sedangkan untuk Landsat-8, band-band yang digunakan yaitu band 2 (sinar tampak biru 0,45 0,515 µm) dan band 3 (sinar tampak hijau 0,525 0,6 µm). Untuk pemisahan darat dan perairan bisa digunakan band inframerah dekat (NIR) yang memiliki fungsi memperjelas kontras antara darat dan perairan (Jensen, 2000). Namun mengingat pada saat perekaman citra sekitar pukul 10:00 WIB (Tabel 1) merupakan waktu air laut di lokasi penelitian umumnya masih dalam keadaan surut sehingga pada waktu-waktu tertentu akan ada beberapa habitat dangkal (umumnya habitat pasir dan karang mati) yang terekspos ke udara bebas maka penggunaan band inframerah dekat sebagai pemisah antara darat dan perairan akan kurang efektif. Oleh karena itu pada penelitian ini akan digunakan band masking yang merupakan hasil rasterisasi shapefile daratan yang ada pada lokasi penelitian. Shapefile daratan itu sendiri merupakan hasil digitasi citra Google Earth akuisisi 11 Desember 2009 (resolusi spasial < 3 meter). Diasumsikan bahwa tutupan daratan tersebut hingga tahun 2013 adalah konstan. Selain dilakukan masking darat, pada penelitian ini juga dilakukan masking laut dengan menggunakan citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli Alasan penggunaan citra ini

18 6 karena secara visual batas antara perairan dalam dan habitat perairan dangkal tampak jelas. Tujuan utama dari kedua masking tersebut yaitu untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang lebih akurat dengan memperkecil kemungkinan adanya campuran dari piksel daratan dan perairan dalam. Penggabungan (stacking) band-band ke dalam satu file dimaksudkan agar dalam pengolahan selanjutnya menjadi lebih mudah. Setelah penggabungan bandband tersebut dilakukan, masing-masing citra memiliki tiga band yaitu Landsat-7 terdiri dari band 1, band 2, dan band mask; Landsat-8 terdiri dari band 2, band 3, dan band mask. Setelah semua band-band yang dibutuhkan digabungkan maka file gabungan tersebut dipotong (cropping) untuk membatasi daerah penelitian dan mendapatkan daerah yang sama. Semua citra di-cropping menggunakan perangkat lunak ENVI 5.0 dengan metode spatial subset using map (Gambar 3). Batas koordinat kiri atas (upper left) digunakan mE mn (SUTM 48) sedangkan batas koordinat kanan bawah (lower right) digunakan mE mN (SUTM 48). Nilai-nilai batas koordinat di atas merupakan hasil konversi dari lat/lon lokasi penelitian. Gambar 3. Spatial subset using map ENVI 5.0 Transformasi Lyzenga Formula yang digunakan dalam transformasi Lyzenga yaitu (Lyzenga, 1978; Green et al., 2000): depth invariant index ij =ln(l i )- [( k i k j ) ln(l j )]... (4) di mana: L i = radiansi (DN) piksel band hijau L j = radiansi (DN) piksel band biru k i k j = rasio koefisien atenuasi antara band biru dan band hijau Untuk mencari nilai k i k j digunakan formula: k i k j =a+ a 2 +1 ; a= ( var b1-var b2 2covar b1b2 )... (5)

19 di mana: var b1 = varian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling var b2 = varian ln radiansi (DN) piksel band hijau tersampling covar b1b2 = covarian ln radiansi (DN) piksel band biru tersampling dan band hijau tersampling 7 Klasifikasi Citra Klasifikasi citra dilakukan dengan metode klasifikasi tak terselia ISOCLASS (ISOCLASS unsupervised classification) dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 7. Dalam melakukan klasifikasi tak terselia ini digunakan beberapa parameter pembatas yang terdiri dari jumlah maksimum kelas, jumlah minimum piksel setiap kelas, standar deviasi maksimum setiap kelas, dan jarak minimum antar rata-rata kelas. Pada penelitian ini digunakan jumlah maksimum kelas 50 agar pada proses penggabungan kelas ketika melakukan reclass ke dalam empat kelas baru bisa meminimalisir over estimate maupun under estimate terhadap sebaran masing-masing habitat; jumlah minimum piksel setiap kelas 0,01% untuk mengantisipasi adanya suatu cluster piksel yang jumlah anggotanya minimum yaitu hanya terdiri dari dua piksel; standar deviasi maksimum ditentukan berdasarkan nilai hasil transformasi Lyzenga di mana 0,003 untuk Landsat-7 dan 0,001 untuk Landsat-8; serta jarak minimum antar rata-rata kelas 0,01 berdasarkan nilai hasil transformasi Lyzenga. Perbedaan standar deviasi yang digunakan antara Landsat-7 dan Landsat-8 disebabkan oleh jumlah tipe habitat hasil transformasi Lyzenga Landsat-8 yang jauh lebih besar dibanding Landsat-7 (Tabel 8). Selanjutnya dari hasil klasifikasi masing-masing citra yang terdiri dari 50 cluster (kelas) ini akan dikelompokkan ke dalam empat kelas baru yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun. Pengukuran Akurasi Akurasi klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari akurasi penghasil (producer accuracy), akurasi pengguna (user accuracy), akurasi keseluruhan (overall accuracy), dan koefisien Kappa (Khat). Penjabaran dari masing-masing akurasi ini yaitu sebagai berikut: (1) Producer accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data referensi memiliki kategori yang sama dengan piksel data klasifikasi citra (Congalton, 1991). (2) User accuracy menunjukkan persen kemungkinan jumlah piksel data klasifikasi citra memiliki kategori yang sama dengan piksel data referensi (Congalton, 1991). (3) Overall accuracy menunjukkan keakurasian klasifikasi secara keseluruhan namun dalam perhitungan masih mengabaikan nilai omisi dan komisi masingmasing kategori (Green et al., 2000). (4) Oleh karena pada perhitungan overall accuracy masih mengabaikan nilai omisi dan komisi masing-masing kategori maka perlu dilakukan perhitungan koefisien Kappa untuk melengkapi kekurangan ini. Nilai omisi menunjukkan jumlah piksel data referensi yang memiliki kategori berbeda dengan data

20 8 klasifikasi citra sedangkan nilai komisi menunjukkan jumlah piksel data klasifikasi citra yang memiliki kategori berbeda dengan data referensi (Congalton, 1991). Koefisien Kappa bernilai antara 0 sampai 1 (Green et al., 2000). Akurasi akan dianggap baik sekali jika nilai koefisien Kappa > 0,75; nilai antara 0,4 0,75 akan dianggap akurasinya sedang, serta nilai < 0,4 akan dianggap akurasinya tidak baik (Maingi et al., 2002). Perhitungan akurasi klasifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan matriks klasifikasi pada Tabel 2 (Congalton, 1991; Green et al., 2000; Purwadhi, 2001). Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Matriks klasifikasi Data referensi Data klasifikasi citra j1 j2 j3 jk Total kolom Komisi i1 n11 n12 n13 n1k n1. i2 n21 n22 n23 n2k n2. i3 n31 n32 n33 n3k n3. ik nk1 nk2 nk3 nkk nk. Total baris n.1 n.2 n.3 n.k n..=n Omisi Producer accuracy (%) User accuracy (%) Overall accuracy (%) Error (%) Koefisien Kappa Tabel 3. Formula yang digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi Formula Total kolom n i. = n ij k j=1 k Total baris n.j = n ij Producer accuracy i=1 <n ij > 100% n.j User accuracy <n ij > 100% n i. Komisi n i. -<n ij > Omisi n.j -<n ij > k ( n Overall accuracy i=j=1 ij ) 100% n k n-( n Error i=j=1 ij ) 100% n n k i=j=1 n ij - k i=j=1(n i. n.j ) Koefisien Kappa n 2 - k (n i. n.j ) i=j=1

21 9 Uji Statistik Uji statistik dilakukan untuk membandingkan hasil klasifikasi (dilihat dari dua aspek yaitu overall accuracy dan koefisien Kappa) antara citra Landsat-7 SLC- Off dan citra Landsat-8 sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah hasil akurasi tersebut berbeda nyata (signifikan) atau tidak berbeda nyata (tidak signifikan). Selang kepercayaan yang digunakan adalah 95% (α = 0,05). Dalam penelitian ini digunakan dua jenis uji statistik, yaitu uji-t sampel bebas (independent-samples t-test) dan uji-z (z-test). Uji-t sampel bebas digunakan untuk menguji dua rata-rata sampel bebas (Benfield et al., 2007); sedangkan uji-z digunakan untuk membandingkan matriks klasifikasi secara individu antara citra yang satu dan lainnya (Congalton, 1991). Uji-t sampel bebas dihitung menggunakan perangkat lunak SPSS Statistics Uji-z dihitung secara manual menggunakan formula pada Lampiran 1 (Congalton et al., 1983). Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk kedua jenis uji-statistik ini dilampirkan pada Lampiran 2.

22 10 Secara umum, tahapan-tahapan pengolahan data citra dapat dilihat pada Gambar 4. Tutorial pengolahan data dapat dilihat pada Lampiran 11. Gambar 4. Diagram alir pengolahan data

23 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Citra Asli Landsat-7 SLC-Off dan Landsat-8 Gambar 5 menunjukkan posisi gap (strip) citra Landsat-7 (kiri) sebelum dilakukan pengisian gap dibandingkan dengan citra Landsat-8 (kanan). Landsat-7 Landsat-8 29 Mei Juli Agustus Agustus September September 2013 Gambar 5. Citra asli Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit RGB432 Citra Landsat-8 pada sebelah kanan yang digunakan sebagai citra pembanding dengan waktu akuisisi berdekatan merupakan citra tanpa kerusakan SLC. Hal ini ditandai dengan tidak ditemukannya strip-strip berwarna hitam. Citra pada sebelah kiri merupakan citra Landsat-7 yang mengalami kerusakan SLC sehingga menyebabkan adanya strip-strip berwarna hitam. Strip-strip ini menunjukkan bahwa piksel-piksel yang ada pada lokasi tersebut tidak memiliki nilai atau bernilai nol. Hal ini disebabkan karena pada saat perekaman data, lokasi strip-strip ini tidak terekam oleh sensor satelit. Jumlah piksel gap (strip) citra Landsat-7 pada Gambar 5 disajikan pada Tabel 4.

24 12 Tabel 4. Jumlah piksel gap citra Landsat-7 untuk lokasi penelitian Citra utama Citra pengisi 1 Citra pengisi 2 Jumlah piksel % gap gap B1 B2 B1 B2 29 Mei Sept ,96 30,30 1 Agu Mei Sept ,66 30,99 18 Sept Mei ,52 30,83 Ket: band 1 (B1), band 2 (B2) Rata-rata ,38 30,71 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah piksel gap untuk lokasi penelitian adalah sebanyak piksel (30,38%) untuk band 1 serta piksel (30,71%) untuk band 2. Untuk citra akuisisi 29 Mei 2013 memiliki piksel gap sebanyak piksel pada band 1 dan piksel pada band 2; untuk citra akuisisi 1 Agustus 2013 memiliki piksel gap sebanyak piksel pada band 1 dan piksel pada band 2; serta untuk citra akuisisi 18 September 2013 memiliki piksel gap sebanyak piksel pada band 1 dan piksel pada band 2. Posisi gap piksel band 1 dan band 2 dari ketiga citra akuisisi ini dapat dilihat pada Lampiran 3. Piksel-piksel gap inilah yang nanti pada proses selanjutnya akan diisi menggunakan data citra lain menggunakan metode localized linear histogram match (LLHM). Contoh perhitungan matematik dari metode LLHM ini disajikan pada Lampiran 4. Piksel gap yang ada pada citra akusisi 29 Mei 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 18 September 2013; pada citra akuisisi 1 Agustus 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 29 Mei 2013 dan akuisisi 18 September 2013; serta pada citra akuisisi 18 September 2013 diisi menggunakan data piksel citra akuisisi 29 Mei Overlay antara gap citra utama dan gap citra pengisinya dapat dilihat pada Lampiran 3. Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off Hasil pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off yang dibandingkan dengan citra Landsat-8 OLI disajikan pada Gambar 6.

25 13 Landsat-7 Landsat-8 29 Mei Juli Agustus Agustus September September 2013 Gambar 6. Hasil pengisian gap citra Landsat-7 komposit RGB321 dan Landsat-8 komposit RGB432 Dari hasil pengisian gap citra Landsat-7 (Gambar 6 sebelah kiri) dapat dilihat bahwa strip-strip berwarna hitam yang semula ada pada citra Landsat-7 sebelumnya (Gambar 5 sebelah kiri) sudah tidak tampak lagi. Secara visual pola sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 hasil pengisian gap ini memiliki pola yang hampir sama dengan citra Landsat-8 (Gambar 6 sebelah kanan). Keenam citra inilah yang nanti pada proses selanjutnya akan ditransformasi Lyzenga untuk mengetahui habitat perairan dangkal yang ada pada masing-masing citra akuisisi. Transformasi Lyzenga Ketika mencoba memetakan atau memperoleh informasi kuantitatif terkait habitat bawah air, variabel kedalaman perairan secara signifikan mempengaruhi hasil pengukuran menggunakan data citra penginderaan jauh. Oleh karena itu, pada kondisi-kondisi tertentu dapat membingungkan dalam membedakan nilai spektral (misal) antara pasir dan lamun (Green et al., 2000). Idealnya, untuk mengeliminasi pengaruh kedalaman perairan terhadap nilai reflektansi habitat dasar dibutuhkan pengukuran kedalaman perairan di setiap piksel citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom perairan di setiap piksel tersebut (misal konsentrasi bahan organik terlarut) (Mumby et al., 1998). Namun

26 14 Lyzenga (1978, 1981) melakukan pendekatan berbasis citra untuk mengkompensasi pengaruh variabel kedalaman dalam pemetaan habitat dasar perairan. Pendekatan ini disebut juga transformasi Lyzenga atau koreksi kolom air (water column correction). Metode yang dikembangkan Lyzenga (1978, 1981) ini menggunakan rasio dari koefisien atenuasi antara dua spektral band (ki/kj). Penggunaan rasio ini membatalkan kebutuhan nilai parameter yang tidak diketahui (seperti kedalaman perairan di setiap piksel citra serta informasi tentang karakteristik atenuasi kolom perairan di setiap piksel tersebut). Dalam penelitian ini, nilai koefisien atenuasi masing-masing citra yang digunakan dalam transformasi Lyzenga disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Koefisien atenuasi Satelit Tanggal akuisisi Koefisien atenuasi Landsat-7 Landsat-8 29 Mei ,535 1 Agustus , September ,448 8 Juli , Agustus , September ,486 Nilai koefisien atenuasi pada Tabel 5 dihitung menggunakan persamaan 5. Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Dalam perhitungan nilai koefisien atenuasi ini, band-band yang digunakan untuk Landsat-7 yaitu band 1 (0,45 0,52 µm) dan band 2 (0,52 0,6 µm) sedangkan untuk Landsat-8 menggunakan band 2 (0,45 0,515 µm) dan band 3 (0,525 0,6 µm). Band 1 Landsat-7 dan band 2 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar tampak biru sedangkan band 2 Landsat-7 dan band 3 Landsat-8 keduanya merupakan band sinar tampak hijau (Tabel 6 dan Tabel 7). Alasan penggunaan band-band ini adalah karena memiliki daya penetrasi yang baik terhadap badan perairan sehingga obyek bawah air tampak lebih jelas pada citra. Jensen (2000) melalui hasil pengukurannya terhadap nilai atenuasi air murni akibat absorbsi molekul air menyebutkan bahwa absorbsi molekul air mendominasi pada spektrum ultraviolet (< 0,4 µm) dan inframerah dekat (> 0,58 µm). Hal senada juga dikatakan oleh Lillesand dan Kiefer (1979) bahwa penetrasi cahaya terbaik untuk air murni berada pada kisaran panjang gelombang 0,48 0,6 µm. Tabel 6. Karakteristik panjang gelombang sensor ETM+ satelit Landsat-7 Band Spektrum Panjang Gelombang (µm) Resolusi spasial (m) 1 Biru 0,45-0, Hijau 0,52-0, Merah 0,63-0, Inframerah dekat (NIR) 0,79-0, Inframerah menengah (SWIR1) 1,55-1, Inframerah termal (TIR) 10,4-12, Inframerah menengah (SWIR2) 2,08-2, Pankromatik 0,52-0,9 15 Sumber: NASA (2013)

27 Tabel 7. Karakteristik panjang gelombang sensor OLI satelit Landsat-8 Band Spektrum Panjang Gelombang (µm) Resolusi spasial (m) 1 Coastal Aerosol 0,433-0, Biru 0,45-0, Hijau 0,525-0, Merah 0,63-0, Inframerah dekat (NIR) 0,845-0, Inframerah menengah (SWIR1) 1,56-1, Inframerah menengah (SWIR2) 2,1-2, Pankromatik 0,5-0, Cirrus 1,36-1,39 30 Sumber: USGS (2013b) Prosedur penentuan nilai koefisien atenuasi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: (1) Menentukan posisi-posisi piksel habitat pasir terendam pada berbagai kedalaman berdasarkan data survei lapang. Alasan memilih habitat pasir karena selain sangat umum dijumpai serta mudah dikenali secara visual, juga tersebar di berbagai kedalaman. (2) Mencatat nilai DN (digital number) masing-masing band (band biru dan band hijau) pada posisi yang telah ditentukan pada poin 1. (3) Menghapus nilai DN yang sama yang ada pada masing-masing band untuk menghindari piksel saturasi (Green et al., 2000). (4) Menghitung nilai koefisien atenuasi menggunakan persamaan 5. Melakukan survei lapang dalam hal menentukan posisi-posisi piksel habitat pasir terendam memiliki beberapa keuntungan. Pertama, menghindari mensampling piksel dengan kedalaman kurang dari satu meter di mana salah satu band (pada penelitian ini adalah band biru yang memiliki panjang gelombang yang lebih pendek) memiliki nilai saturasi yang tinggi sehingga variasi DN-nya kecil sedangkan nilai DN band pasangannya (band hijau) bervariasi secara signifikan. Hal ini mengakibatkan nilai koefisien atenuasi yang dihasilkan mendekati nol. Menurut Green et al. (2000), nilai koefisien mendekati nol dianggap tidak valid. Kedua, menghindari men-sampling daerah yang terlalu dalam di mana salah satu band (pada penelitian ini adalah band hijau dengan panjang gelombang yang lebih panjang) tidak mampu lagi menembus badan perairan sehingga pada piksel tersebut hanya menghasilkan satu nilai DN saja yang berasal dari band biru. Kedua hal di atas didukung oleh pernyataan Green et al. (2000) bahwa nilai DN piksel kedua band yang digunakan untuk mencari nilai koefisien atenuasi mestinya menunjukkan terjadinya atenuasi. Grafik bi-plot transformasi ln band 1 dan band 2 untuk Landsat-7, serta band 2 dan band 3 untuk Landsat-8 dapat dilihat pada Gambar 7. Slope garis bi-plot ini merupakan nilai koefisien atenuasi (Tabel 5) yang digunakan dalam transformasi Lyzenga. 15

28 16 ln band 1 ln band 1 ln band 1 Landsat r = 0,982 ; n = ln band 2 29 Mei r = 0,975 ; n = ln band 2 1 Agustus r = 0,971 ; n = ln band 2 18 September 2013 ln band 2 ln band 2 ln band 2 Landsat r = 0,988 ; n = ln band 3 8 Juli r = 0,990 ; n = ln band 3 25 Agustus r = 0,988 ; n = ln band 3 10 September 2013 Gambar 7. Bi-plot transformasi ln band 1/2 (Landsat-7); band 2/3 (Landsat-8) Setiap garis bi-plot pada Gambar 7 mewakili satu habitat yang sama yaitu habitat pasir di mana semakin ke arah kanan grafik yang berubah hanyalah kedalamannya (semakin kanan). Koefisien korelasi (r) setiap grafik bi-plot tersebut memiliki nilai di atas 0,97 (97%) yang menunjukkan hubungan yang erat antara band 1 dan band 2 pada Landsat-7 serta band 2 dan band 3 pada Landsat-8. Setiap grafik bi-plot tersebut masing-masing berkorelasi positif di mana semakin besar nilai ln band biru maka semakin besar pula nilai ln band hijau. Hal ini menyebabkan slope (kemiringan) garis bi-plot akan selalu bernilai positif. Slope garis bi-plot ini tidak dihitung berdasarkan Gambar 7 namun menggunakan persamaan 5. Alasan tidak digunakannya grafik bi-plot pada Gambar 7 dalam penentuan nilai slope adalah karena slope garis bi-plot (di mana nantinya akan mempengaruhi perpotongan di sumbu-y) akan bergantung pada hubungan variabel dependenindependen antara band biru dan band hijau (Green et al., 2000). Dengan menggunakan persamaan 5 maka masing-masing band merupakan variabel independen.

29 Visualisasi hasil transformasi Lyzenga dapat dilihat pada Gambar 8. Color table rainbow 8-bit (ERMapper) digunakan dalam pewarnaan hasil transformasi dengan histogram enhancement 99% input aktual. 17 Landsat-7 Landsat-8 29 Mei Juli Agustus Agustus September September 2013 Gambar 8. Hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 (kiri) dan Landsat-8 (kanan) Berdasarkan hasil survei lapang, secara umum interpretasi visual pada Gambar 8 yaitu, (1) warna merah mewakili habitat pasir di mana pada saat surut terendah kadangkala terekspos ke udara; (2) warna orange mewakili habitat lamun; (3) warna kuning mewakili habitat pasir yang selalu terendam setiap saat; (4) warna hijau mewakili karang mati; (5) warna biru dan ungu mewakili habitat karang hidup; (6) warna hitam mewakili darat dan perairan dalam setelah di-masking. Setiap citra pada Gambar 8 terdiri dari piksel atau seluas m 2. Hal ini disebabkan piksel perairan dalam dan darat telah di-masking sebelumnya sehingga yang tersisa hanyalah piksel habitat perairan dangkal. Histogram frekuensi dari hasil transformasi Lyzenga masing-masing citra dapat dilihat pada Lampiran 6. Jumlah puncak yang ada pada setiap histogram frekuensi tersebut mewakili jumlah habitat berbeda yang ada di lapang berdasarkan transformasi Lyzenga nilai reflektansi hasil perekaman sensor satelit. Jumlah habitat berbeda masing-masing citra berdasarkan nilai reflektansi tersebut disajikan pada Tabel 8.

30 18 Tabel 8. Jumlah habitat berbeda hasil transformasi Lyzenga Satelit Landsat-7 Landsat-8 Tanggal akuisisi Jumlah Tipe habitat hasil transformasi Lyzenga Rentang 29 Mei ,385-2,245 1 Agustus ,959-2, September ,966-2,762 8 Juli ,188-4, Agustus ,291-4, September ,571-4,902 Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa jumlah nilai berbeda pada citra satelit Landsat-8 jauh lebih besar dibanding pada citra satelit Landsat-7. Hal ini disebabkan karena satelit Landsat-8 memiliki resolusi radiometrik 12-bit (merekam dalam tingkat keabuan mulai dari 0 hingga 4.095) sedangkan Landsat-7 memiliki resolusi radiometrik 8-bit (hanya merekam dalam 256 tingkat keabuan mulai dari 0 hingga 255). Oleh karena itu sensor satelit Landsat-8 lebih peka dalam membedakan reflektansi obyek. Jumlah habitat berbeda yang ada pada Tabel 8 selanjutnya akan diklasifikasi menggunakan metode klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) ke dalam empat kategori habitat yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun. Klasifikasi Citra Hasil klasifikasi masing-masing citra dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14. Gambar 9. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 29 Mei 2013

31 19 Gambar 10. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 1 Agustus 2013 Gambar 11. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-7 akuisisi 18 September 2013

32 20 Gambar 12. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 Gambar 13. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 25 Agustus 2013

33 21 Gambar 14. Peta sebaran habitat perairan dangkal citra Landsat-8 akuisisi 10 September 2013 Secara visual hasil klasifikasi keenam citra (Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14) umumnya relatif sama. Dapat dilihat bahwa habitat karang (baik karang mati maupun karang hidup) umumnya ditemukan di daerah sekitar goba dan daerah terluar gosong terumbu (reef flat dan fore reef); sedangkan habitat pasir dan lamun umumnya ditemukan di dataran terumbu (reef flat). Dari hasil survei lapang, jenis tutupan karang di daerah terluar didominasi oleh jenis karang dengan struktur bercabang sedangkan di daerah goba didominasi oleh jenis karang berukuran besar terutama struktur masif. Dominasi karang dengan struktur bercabang di daerah terluar terutama disebabkan oleh faktor pergerakan air seperti ombak dan arus. Hopley (2011) mengatakan bahwa daerah yang pergerakan airnya dinamis merupakan daerah yang disukai oleh karang untuk tumbuh terkait sirkulasi airnya yang baik, airnya yang jernih, kayanya sumber makanan dan nutrien, serta tingkat sedimentasi yang rendah. Pada daerah ini, karang masif yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat (1 cm/tahun) akan kalah bersaing ruang dengan karang bercabang yang memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat (30 cm/tahun) (Hopley, 2011). Sebaliknya, di daerah sekitar goba didominasi oleh karang dengan struktur masif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh daya tahannya terhadap sedimentasi pada batas-batas tertentu di mana karang dengan struktur bercabang tidak mampu mentoleransinya lagi (Hopley, 2011). Daerah goba merupakan daerah yang terlindungi. Oleh karena itu, kondisi air di daerah ini relatif tenang sehingga kemungkinan terjadinya sedimentasi akan selalu ada. Bentuk daya tahan jenis karang dengan struktur masif salah satunya terkait dengan kemampuannya dalam memproduksi lendir di permukaan polipnya sehingga partikel sedimen akan terperangkap di lapisan lendir tersebut (Hopley, 2011). Setelah beberapa saat, umumnya beberapa minggu, lapisan lendir ini akan digantikan dengan lapisan lendir yang baru. Proses ini akan berulang terus-menerus sehingga sedimentasi di permukaan polip tidak akan terjadi.

34 22 Pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14 dapat dilihat juga bahwa makin ke arah dataran terumbu, sebaran karang hidup akan selalu diikuti oleh karang mati. Karang mati yang ada di dekat daerah terluar umumnya merupakan patahan-patahan karang hidup akibat hempasan ombak di mana pada kondisi lingkungan ekstrem (seperti pengeksposan ke udara bebas dan tingginya paparan sinar matahari) tidak memungkinkan lagi untuk tumbuh sehingga akhirnya mati dan membentuk rubble. Karang mati yang ada di dekat daerah goba umumnya merupakan jenis karang berukuran besar yang telah mati dan ditumbuhi makroalga. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh stres lingkungan akibat kekeruhan, sedimentsi, polusi, serta perubahan kondisi perairan seperti salinitas dan suhu (Nybakken dan Bertness, 2005; Castro dan Huber, 2005). Selanjutnya pada Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14 untuk habitat pasir dan lamun keduanya mendominasi dataran terumbu (reef flat). Kedalaman di daerah ini umumnya relatif dangkal bahkan pada saat surut terendah terdapat beberapa daerah yang terekspos ke udara. Tumbuhnya lamun di daerah ini terutama disebabkan, (1) memiliki habitat dasar pasir sehingga memudahkan bagi lamun untuk menancapkan akarnya, (2) kedalaman air yang dangkal sehingga baik sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis, serta (3) terlindungi dari energi gelombang dan arus yang kuat sehingga akar lamun tetap menancap di substratnya (Nybakken dan Bertness, 2005; Hopley, 2011). Informasi tentang luas jenis tutupan habitat masing-masing citra dirangkum pada Tabel 9. Satelit Landsat-7 Landsat-8 Tabel 9. Luas tutupan jenis habitat masing-masing citra Luas Tutupan (m 2 ) Tanggal akuisisi Karang Karang Pasir Lamun Hidup Mati 29 Mei Agustus September Juli Agustus September Rata-rata Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa luas tutupan habitat perairan dangkal Karang Lebar pada pertengahan tahun 2013 didominasi oleh habitat karang mati yaitu rata-rata seluas m 2, diikuti habitat lamun seluas m 2, dan habitat pasir seluas m 2. Habitat karang hidup merupakan habitat dengan rata-rata luas tutupan terkecil yaitu hanya memiliki luas m 2 atau sekitar seperdua luas habitat karang mati. Pengukuran Akurasi Dalam pengukuran akurasi citra terklasifikasi di atas digunakan suatu matriks klasifikasi. Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 7. Hasil pengukuran akurasi masing-masing citra yang terdiri dari producer accuracy, user

35 accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien Kappa (Khat) disajikan pada Tabel 10. Untuk grafiknya dapat dilihat pada Gambar 15, Gambar 16, Gambar 17, dan Gambar Tabel 10. Producer accuracy, user accuracy, overall accuracy (OA), dan koefisien Kappa (Khat) Satelit Tanggal akuisisi Karang Hidup Producer accuracy (%) User accuracy (%) Karang Mati Pasir Lamun Karang Hidup Karang Mati Pasir Lamun 29 Mei ,22 62,96 47,29 53,13 8,00 59,30 70,11 32,08 52,19 0,30 OA (%) Khat L7 1 Agustus ,22 56,79 56,59 62,50 6,25 59,74 77,66 41,67 56,18 0,36 18 September ,22 62,96 53,49 65,63 8,33 60,00 75,00 42,00 56,97 0,36 Rata-rata 22,22 60,91 52,45 60,42 7,53 59,68 74,26 38,58 55,11 0,34 8 Juli ,33 58,02 54,26 46,88 10,00 60,26 70,71 34,09 53,78 0,31 L8 25 Agustus ,33 59,26 50,39 43,75 11,11 55,81 67,01 34,15 51,79 0,28 10 September ,33 60,49 57,36 40,63 11,11 61,25 69,16 35,14 55,38 0,32 Rata-rata 33,33 59,26 54,01 43,75 10,74 59,11 68,96 34,46 53,65 0,30 Sumber: Lampiran 8 Total rata-rata 27,78 60,08 53,23 52,08 9,13 59,39 71,61 36,52 54,38 0,32

36 24 Producer accuracy (%) Karang Karang Hidup Mati Pasir Lamun L7 29 Mei 2013 L7 1 Agustus 2013 L7 18 September 2013 L8 8 Juli 2013 L8 25 Agustus 2013 Habitat L8 10 September 2013 Sumber: Diolah dari Tabel 10 Gambar 15. Nilai producer accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal Gambar 15 menyajikan grafik producer accuracy empat tipe habitat berbeda hasil ekstraksi enam citra. Secara umum, dari Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa hampir setiap citra memiliki nilai producer accuracy tertinggi pada kategori karang mati kecuali citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013 di mana nilai tertinggi dimiliki oleh kategori lamun. Hal ini kemungkinan disebabkan metode klasifikasi yang digunakan sehingga citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013 kurang terklasifikasi dengan baik (Green et al., 2000). Namun demikian jika dilihat dari nilai total rata-rata pada Tabel 10, kategori karang mati tetap memiliki nilai tertinggi yaitu 60,08%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 60,08% dari data referensi karang mati hasil survei akan selalu terkonfirmasi secara tepat sebagai karang mati pada hasil klasifikasi citra (Congalton, 1991). Tabel 10 dan Gambar 15 juga menunjukkan bahwa setiap citra tanpa kecuali memiliki nilai producer accuracy terendah pada kategori karang hidup dengan nilai total rata-rata sebesar 27,78%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 27,78% dari data referensi karang hidup hasil survei yang akan selalu terkonfirmasi secara tepat sebagai karang hidup pada hasil klasifikasi citra (Congalton, 1991). Jika membandingkan nilai rata-rata producer accuracy masing-masing kategori habitat (Tabel 10 dan Gambar 15) antara Landsat-7 dan Landsat-8 maka dapat disimpulkan bahwa, (1) untuk karang hidup, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 11,11%), (2) untuk karang mati, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 1,65%), (3) untuk pasir, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 1,55%), dan (4) untuk lamun, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 16,67%). User accuracy (%) Karang Karang Hidup Mati Pasir Lamun L7 29 Mei 2013 L7 1 Agustus 2013 L7 18 September 2013 L8 8 Juli 2013 L8 25 Agustus 2013 Habitat L8 10 September 2013 Sumber: Diolah dari Tabel 10 Gambar 16. Nilai user accuracy untuk berbagai tipe perairan dangkal

37 Gambar 16 menyajikan grafik user accuracy empat tipe habitat berbeda hasil ekstraksi enam citra. Secara umum, dari Tabel 10 dan Gambar 16 dapat dilihat bahwa setiap citra memiliki nilai user accuracy tertinggi pada kategori pasir dengan nilai total rata-rata 71,61%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 71,61% dari data piksel kategori pasir hasil klasifikasi citra akan terkonfirmasi secara tepat di lapang sebagai pasir (Congalton, 1991). Tabel 10 dan Gambar 16 juga menunjukkan bahwa sama halnya dengan producer accuracy, kategori karang hidup pada setiap citra juga memiliki nilai user accuracy terendah dengan nilai total rata-rata sebesar 9,13%. Nilai ini menunjukkan bahwa rata-rata hanya sekitar 9,13% dari data piksel kategori karang hidup hasil klasifikasi citra yang akan selalu terkonfirmasi secara tepat di lapang sebagai karang hidup (Congalton, 1991). Jika membandingkan nilai rata-rata user accuracy masing-masing kategori habitat (Tabel 10 dan Gambar 16) antara Landsat-7 dan Landsat-8 maka dapat disimpulkan bahwa, (1) untuk karang hidup, Landsat-8 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 3,21%), (2) untuk karang mati, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 0,57%), (3) untuk pasir, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 5,30%), dan (4) untuk lamun, Landsat-7 memiliki nilai yang lebih tinggi (selisih 4,12%). 25 (%) OA Khat L7 29 Mei 2013 L7 1 Agustus 2013 L7 18 September 2013 L8 8 Juli 2013 L8 25 Agustus 2013 Habitat L8 10 September 2013 Sumber: Diolah dari Tabel 10 Gambar 17. Nilai overall accuracy (OA) dan koefisien Kappa (Khat) untuk setiap citra Landsat-7 dan Landsat-8 Gambar 18 menyajikan grafik overall accuracy dan koefisien Kappa hasil ekstraksi enam citra. Nilai overall accuracy dan koefisien Kappa, keduanya mewakili akurasi citra secara umum (Congalton, 1991; Green et al., 2000). Meskipun demikian, antara overall accuracy dan koefisien Kappa memiliki sedikit perbedaan. Dalam perhitungannya, overall accuracy mengabaikan nilai omisi dan komisi masing-masing kategori habitat sedangkan koefisien Kappa mengikutsertakan nilai-nilai omisi dan komisi tersebut. Oleh karena itu, nilai koefisien Kappa lebih representatif untuk digunakan dalam membandingkan keakurasian antar citra (Green et al., 2000). Dari Gambar 18 dan Tabel 10 dapat dilihat pola bahwa jika nilai overall accuracy-nya tinggi maka nilai koefisien Kappa-nya akan relatif tinggi pula. Dari Gambar 18 dan Tabel 10 dapat dilihat juga bahwa Landsat-7 memiliki nilai ratarata overall accuracy dan koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-8. Nilai rata-rata overall accuracy dan koefisien Kappa untuk Landsat-7 masingmasing sebesar 55,11% dan 0,34 sedangkan untuk Landsat-8 masing-masing

38 26 sebesar 53,65% dan 0,30. Menurut Maingi et al. (2002), kedua koefisien Kappa (0,34 dan 0,30) ini tergolong dalam akurasi kategori rendah (< 0,4), artinya untuk Landsat-7 hanya menghindari error klasifikasi sebesar 34% dan untuk Landsat-8 sebesar 30% (Green et al., 2000). Secara teknis Landsat-8 memiliki koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding Landsat-7 mengingat bahwa, (1) citra Landsat-8 merupakan citra yang bebas dari kerusakan instrumen SLC seperti yang terjadi pada citra Landsat-7, serta (2) Landsat-8 memiliki resolusi radiometrik yang lebih tinggi dibanding Landsat-7 sehingga lebih peka dalam membedakan reflektansi obyek. Namun jika dilihat dari hasil pengolahan data citra yang digunakan, umumnya citra Landsat-7 (terutama citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013) memiliki koefisien Kappa yang lebih tinggi dibanding semua citra Landsat-8. Hal ini bisa disebabkan oleh, pertama, metode klasifikasi yang digunakan yaitu klasifikasi tak terselia yang merupakan metode klasifikasi sederhana dalam artian hanya berdasarkan perhitungan secara statistik tanpa adanya training area serta proses tambahan seperti contextual editing. Green et al. (2000) dan Benfield et al. (2007) mengatakan bahwa penyertaan contextual editing dalam proses klasifikasi citra dapat meningkatkan akurasi pemetaan habitat bawah air secara signifikan berkisar dari 6 17%. Kedua, nilai-nilai parameter (jumlah maksimum kelas, jumlah minimum piksel setiap kelas, standar deviasi maksimum setiap kelas, dan jarak minimum antar rata-rata kelas) yang digunakan dalam klasifikasi tak terselia adalah seragam sehingga perbedaan pola sebaran nilai transformasi Lyzenga yang dimiliki setiap citra diabaikan. Ketiga, data titik uji yang digunakan relatif sedikit dan memiliki jumlah yang tidak sama (pada penelitian ini digunakan 9 titik uji untuk karang hidup, 81 titik uji untuk karang mati, 129 titik uji untuk pasir, dan 32 titik uji untuk lamun). Congalton (1991) menyarankan minimal 50 titik uji untuk masing-masing kelas habitat. Keempat, dalam proses pemilihan titik uji dilakukan secara acak sehingga ada kemungkinan data titik uji yang digunakan kurang mewakili daerah penelitian (Congalton, 1991). Kelima, adanya kemungkinan bahwa data titik uji yang digunakan tersebut kurang akurat yang disebabkan oleh kesalahan pengamat pada saat survei lapang dalam menentukan jenis tutupan habitat pada dimensi 30 m x 30 m. Uji Statistik Hasil uji-t sampel bebas dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil uji-t sampel bebas pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) Sumber: Lampiran 9 Ket: NS (tidak berbeda nyata) Jenis perbandingan Landsat-7 dan Landsat-8 Hasil uji-t p (sig. two-tailed) Keputusan Overall accuracy 0,464 NS Koefisien Kappa 0,209 NS Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa hasil uji-t baik overall accuracy maupun koefisien Kappa, keduanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p (sig. two tailed) > 0,05) pada selang kepercayaan 95%. Oleh karena itu, keputusan yang

39 diambil adalah menerima H0 bahwa overall accuracy dan koefisien Kappa Landsat- 7 sama dengan overall accuracy dan koefisien Kappa Landsat-8. Hal ini menunjukkan bahwa kerusakan instrumen SLC yang terjadi pada satelit Landsat-7 ETM+ tidak mempengaruhi kualitas citra hasil pengisian gap dalam memetakan habitat perairan dangkal. Dengan kata lain, citra Landsat-7 masih dapat digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal. Selain uji-t di atas, juga dilakukan uji-z untuk memastikan keputusan yang diambil. Hasil uji-z dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil uji-z pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) Jenis perbandingan Z-skor Keputusan L7 29 Mei 2013 L7 1 Agustus 2013 L7 18 September 2013 L7 29 Mei 2013 L8 8 Juli ,200 NS L8 25 Agustus ,330 NS L8 10 September ,332 NS L8 8 Juli ,704 NS L8 25 Agustus ,231 NS L8 10 September ,565 NS L8 8 Juli ,789 NS L8 25 Agustus ,308 NS L8 10 September ,651 NS L7 1 Agustus ,903 NS L7 18 September ,986 NS L7 1 Agustus 2013 L7 18 September ,095 NS L8 8 Juli 2013 Sumber: Diolah dari Lampiran 8 Ket: NS (tidak berbeda nyata) L8 25 Agustus ,530 NS L8 10 September ,133 NS L8 25 Agustus 2013 L8 10 September ,659 NS Hasil keputusan yang diambil oleh uji-z pada Tabel 12 tidak berbeda dari hasil keputusan uji-t sebelumnya. Dari semua kombinasi perbandingan yang mungkin (baik antara Landsat-7 dan Landsat-8; antara Landsat-7 itu sendiri; serta antara Landsat-8 itu sendiri) didapatkan keputusan yang sama yaitu tidak signifikan (z-skor < 1,96) pada selang kepercayaan 95%. Oleh karena itu, H0 diterima bahwa koefisien Kappa Landsat-7 sama dengan koefisien Kappa Landsat-8. Dengan demikian, hal ini memperkuat keputusan yang diambil dari hasil uji-t sebelumnya yang mengatakan bahwa citra Landsat-7 masih dapat digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal. Hasil keputusan ini sama dengan keputusan beberapa penelitian serupa namun dengan studi kasus berbeda, di antaranya studi estimasi tutupan kanopi (Dewitz, 2004), studi pemetaan hasil panen pertanian (Maxwell, 2004), studi pemetaan geologi (Bailey, 2004), dan studi monitoring tutupan dan penggunaan lahan (Tappan dan Cushing, 2004). Dari keempat penelitian ini sepakat mengatakan bahwa citra Landsat-7 SLC-Off masih dapat untuk digunakan secara saintifik. 27

40 28 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pada penelitian ini telah dilakukan pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off menggunakan metode localized linear histogram match. Dari hasil pengukuran akurasi citra Landsat-7 hasil pengisian gap ini didapatkan nilai rata-rata overall accuracy sebesar 55,11% dan koefisien Kappa sebesar 0,34. Nilai ini tidak jauh berbeda dari hasil pengukuran akurasi citra Landsat-8 di mana didapatkan nilai ratarata overall accuracy sebesar 53,65% dan koefisien Kappa sebesar 0,30. Dari hasil uji statistik terhadap hasil pengukuran akurasi ini, baik uji-t sampel bebas maupun uji-z, keduanya menunjukkan hasil yang tidak signifikan pada selang kepercayaan 95%. Sehingga disimpulkan bahwa kerusakan instrumen Scan Line Corrector (SLC) pada satelit Landsat-7 yang menyebabkan setiap satu path/row citra kehilangan data sekitar 22% (dan untuk daerah penelitian sekitar 30%) tidak mempengaruhi secara nyata (signifikan) terhadap akurasi hasil pemetaan habitat perairan dangkal di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Oleh karena itu, citra satelit Landsat-7 SLC-Off masih dapat untuk digunakan bersamasama dengan citra satelit Landsat-8 dalam pemetaan habitat perairan dangkal ekosistem terumbu karang. Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Metode klasifikasi citra sebaiknya digunakan metode klasifikasi yang lebih baik misal klasifikasi terselia (supervised classification) dengan menyertakan contextual editing sehingga peta klasifikasi yang dihasilkan bisa lebih akurat. (2) Dalam hal pengukuran akurasi hasil klasifikasi citra perlu dilakukan penentuan dan pengambilan titik uji yang lebih banyak mewakili daerah penelitian serta diupayakan jumlah titik uji masing-masing habitat terklasifikasi seragam. (3) Dalam penentuan jenis tutupan habitat selama di lapang sebaiknya dilakukan secara lebih teliti lagi mengingat jarang ditemukannya suatu daerah dengan dimensi 30 m x 30 m yang murni hanya terdiri dari satu jenis habitat tertentu saja. DAFTAR PUSTAKA Bailey, G.B Evaluation of ETM+ Gap-filled SLC-Off Data for Geologic Mapping in Semi-Arid Terrain. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 24 h. Benfield, S.L., H.M. Guzman, J.M. Mair, dan J.A.T. Young Mapping the distribution of coral reefs and associated sublittoral habitats in Pacifics Panama: a comparison of optical satellite sensors and classification methodologies. International Journal of Remote Sensing. 28(22):

41 Castro, P., dan M.E. Huber Marine Biology. McGraw-Hill Higher Education. Boston. xii h. Cesar, H.J.S, L. Burke, dan L. Pet-Soede The Economics of Worldwide Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economics Consulting. Arnhem, Netherlands. 23 h. Congalton, R.G A review of assessing the accuracy of classifications of remotely sensed data. Remote Sensing of Environment. 37: Congalton, R.G., R.G. Oderwald, dan R.A. Mead Assessing Landsat Classification Accuracy Using Discrete Multivariate Analysis Statistical Techniques. PERS. 49(12): Dewitz, J Assessment of Landsat 7 ETM+ SLC-off Gap-filled Data for Impervious Surface and Canopy Cover Estimation. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 5 h. Green, E.P., P.J. Mumby, C.D. Clark, dan A.J. Edwards Remote Sensing Handbook for Tropical Coaltal Management. UNESCO Publishing. Paris. 316 h. Hopley, D. (Ed.) Encyclopedia of Modern Coral Reefs. Springer. Netherlands h. Jensen, J.R Remote Sensing of the Environment: An Earth Resource Perspective. Prentice Hall. New Jersey. xvi h. Kutcher, A.D., D.L.B. Jupp, R. Claasen, dan W. Bour Coral Reef Remote Sensing Application. Regional Seminar on the Application of Remote Sensing Techniques to Coastal Zone Management and Environmental Nonitoring. Dhaka, Bangladesh. Lillesand, T.M., dan R.W. Kiefer Remote Sensing and Image Interpretation. John Wiley and Sons. New York. xii h. Lyzenga, D.R Passive remote sensing techniques for mapping water depth and bottom features. Applied Optics. 17(3): Lyzenga, D.R Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal of Remote Sensing. 2(1): Maingi, J.K., S.E. Marsh, W.G. Kepner, dan C.M. Edmonds An Accuracy Assessment of 1992 Landsat-MSS Derived Land Cover for the Upper San Pedro Watershed (U.S./Mexico). United States Environmental Protection Agency. Las Vegas, Nevada. v + 21 h. Maxwell, S Assessment of Landsat 7 ETM+ SLC-off Data for an Agricultural Crop Type Mapping Application. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 9 h. Mumby, P.J., C.D. Clark, E.P. Green, dan A.J. Edwards Benefits of water column correction and contextual editing for mapping coral reefs. International Journal of Remote Sensing. 19(1): NASA. Landsat 7 Science Data Users Handbook. [9 Mei 2013] Nybakken, J.W., dan M.D. Bertness Marine Biology: An Ecological Approach. Pearson Education. San Fransisco, California. xi h. Purwadhi, F.S.H Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta, Indonesia. x h. 29

42 30 Scaramuzza, P., Mieijevic, dan G. Chander SLC Gap-Filled Products Phase One Methodology. Sukarno, R Ekosistem Terumbu Karang di Indonesia, Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi LIPI. Jakarta, Indonesia. Tappan, G., dan M. Cushing Use of SLC-Off Landsat Image Data for Monitoring Land Use/Land Cover Trends in West Africa. USGS EROS Data Center. Sioux Falls, South Dakota. 11 h. USGS SLC-Off Gap-Filled Products: Gap-Fill Algorithm Methodology. USGS. 2013a. Landsat Missions. [9 Mei 2013] USGS. 2013b. LDCM Cal/Val Algorithm Description Document. USGS. 760 h.

43 31 Lampiran 1 Formula yang digunakan dalam perhitungan z-skor (uji-z) z AB = k_hat A -k_hat B var_k A +var_k B var_k= 1 n (p o (1-p o ) (1-p c ) 2 + 2(1-p o )(2p o p c -a 1) (1-p c ) 3 + (1-p o ) k p c = i=j=1 (n i. n.j ) k n 2 a 1 = i=j=1 n ij(n i. +n.j ) n 2 a 2 = k k j=1 n ij (n i. +n.j ) 2 i=1 n 2 2 (a2-4p 2 c ) (1-p c ) 4 ) di mana: z AB = z-skor k_hat A = koefisien Kappa matriks klasifikasi A k_hat B = koefisien Kappa matriks klasifikasi B var_k A = varian koefisien Kappa matriks klasifikasi A var_k B = varian koefisien Kappa matriks klasifikasi B n = jumlah total data referensi p o = overall accuracy p c = chance agreement k = jumlah kolom atau jumlah baris n i. = jumlah total kolom ke-i n.j = jumlah total baris ke-j = nilai kolom ke-i baris ke-j n ij

44 32 Lampiran 2 Hipotesis penelitian dan pedoman pengambilan keputusan untuk uji-t sampel bebas dan uji-z Hipotesis penelitian untuk uji-t sampel overall accuracy yaitu: H0 : po L7 = po L8 H1 : po L7 po L8 Hipotesis penelitian untuk uji-t sampel koefisien Kappa yaitu: H0 : k_hat L7 = k_hat L8 H1 : k_hat L7 k_hat L8 Hipotesis penelitian untuk uji-z yaitu: H0 : (k_hat L7 - k_hat L8) = 0 H1 : (k_hat L7 - k_hat L8) 0 Pedoman pengambilan keputusan uji-t yaitu: 1. H0 diterima jika nilai p sig (two-tailed) > α (0,05) atau nilai t-hitung < t-tabel 2. H0 ditolak jika nilai p sig (two-tailed) < α (0,05) atau nilai t-hitung > t-tabel Pedoman pengambilan keputusan uji-z yaitu: 1. H0 diterima jika nilai z-skor < z-tabelα/2 (1,96) 2. H0 ditolak jika nilai z-skor > z-tabelα/2 (1,96)

45 Lampiran 3 Ilustrasi posisi gap piksel band 1 dan band 2 data citra Landsat-7 SLC- Off beserta hasil pengisian gap-nya 33 Posisi Gap Citra Utama Posisi Gap Citra Pengisi Overlay Posisi Gap* Hasil Pengisian Gap 29mei2013_band1 (6101 piksel gap) 18sept2013_band1 29mei2013_band1_gapfill 29mei2013_band2 (6171 piksel gap) 18sept2013_band2 29mei2013_band2_gapfill 1agu2013_band1 (6245 piksel gap) 29mei2013_band1_gapfill 1agu2013_band1_gapfill 1agu2013_band2 (6312 piksel gap) 29mei2013_band1_gapfill 1agu2013_band2_gapfill 18sept2013_band1 (6215 piksel gap) 29mei2013_band1 18sept2013_band1_gapfill 18sept2013_band2 (6279 piksel gap) 29mei2013_band2 18sept2013_band2_gapfill *Layer Merah merupakan Layer Citra Utama sedangkan Layer Biru merupakan Layer Citra Pengisi

46 34 Lampiran 4 Contoh perhitungan nilai gap citra utama menggunakan metode locaiized linear histogram match (LLHM) band 1 citra akuisisi 29 Mei 2013 (citra utama) band 1 citra akuisisi 18 Sept 2013 (citra pengisi) band 1 citra akuisisi 29 Mei 2013 (hasil pengisian gap) digital number citra utama digital number citra pengisi

47 digital number hasil pengisan gap Contoh perhitungan nilai gap piksel citra utama: 1) Tentukan common pixels yang ada pada citra utama dan citra pengisi. Common pixels merupakan piksel-piksel yang tidak bernilai null pada hasil overlay gap antara citra utama dengan citra pengisi common pixels citra utama common pixels citra pengisi 2) Tentukan lebar window (dimulai dari 3x3, 5x5, 7x7, dst) di sekitar piksel sampai didapatkan jumlah common pixels mendekati 50% dari jumlah total piksel window.

48 x13 11x11 9x9 7x7 5x5 3x Berdasarkan gambar di atas didapatkan: Window Size Σ total piksel Σ Common Pixels % Common Pixels 3x ,33% 5x ,00% 7x ,78% 9x ,74% 11x ,54% 13x ,18% Karena ukuran window 9x9 memiliki nilai % common pixels mendekati 50% maka ukuran window ini akan digunakan dalam proses selanjutnya. 3) Hitung nilai rata-rata (µ) dan standar deviasi (σ) dari common pixels ukuran window 9x9 pada masing-masing citra utama dan citra pengisi ) Hitung nilai gain dan bias. gain= 7,2187 4,9054 =1,4716 Jika gain yang didapatkan < 1 atau > 3 maka digunakan gain = 1. Oleh karena 3 1 < 1,4716 < 3 maka nilai gain ini akan tetap digunakan. 3 common pixels citra utama (9x9) μ utama =112,7879 σ utama =7,2187 common pixels citra pengisi (9x9) μ pengisi =146 σ pengisi =4,9054 bias=112, (1,4716)=-102,0657 5) Hitung nilai gap piksel. nilai gap piksel=135(1,4716)+(-102,0657)=96,

49 Lampiran 5 Contoh perhitungan nilai koefisien atenuasi (digunakan data citra 8 Juli 2013) 37 Piksel Koordinat data survei DN ln (DN) ke- Easting Northing B2 B3 B2 B ,2783 9, ,4174 9, ,412 9, ,3097 9, ,2702 9, ,3366 9, ,3014 9, ,3086 9, ,3293 9, ,3028 9, ,3795 9, ,2974 9, ,2522 9, ,3613 9, ,3471 9, ,3328 9, ,2672 9, ,3247 9, ,3659 9, ,2854 9, ,3654 9, ,4695 9, ,4438 9, ,3951 9, ,4087 9, ,4722 9, ,4484 9, ,4609 9, ,4623 9, ,4709 9, ,4566 9, ,3308 9, ,4127 9, ,3707 9, ,3824 9, ,4009 9, ,4888 9, ,4399 9, ,4497 9, ,3935 9, ,476 9, ,4614 9, ,4441 9, ,4656 9, ,4611 9, ,4661 9, ,444 9, ,4711 9, ,4508 9, ,4485 9, ,4229 9, ,4678 9, ,4592 9, ,4479 9, ,4581 9, ,4689 9, ,4637 9, ,4673 9, ,481 9, ,4117 9, ,4022 9, ,3554 9, ,3047 9, ,3722 9, ,3631 9, ,408 9, ,4777 9, ,5014 9, ,4858 9, ,3213 9, ,2939 9, ,3497 9, ,3537 9, ,3609 9, ,3691 9, ,3788 9, ,3072 9, ,3212 9, ,4165 9, ,3361 9, ,3393 9, ,364 9, ,3628 9, ,4039 9, ,4012 9, ,4115 9, ,3379 9, ,361 9, ,3699 9, ,3915 9, ,4147 9, ,419 9, ,4026 9, ,3996 9, ,2478 9, ,2627 9, ,2472 9, ,3728 9, ,3542 9, ,458 9, ,4598 9,5008 Sumber: Data citra dan survei lapang Perhitungan: var ln b2 =0,0044 var ln b3 =0,0156 covar ln b2b3 =0,0081 a= 0,0044-0,0156 =-0, ,0081 ki kj =-0, , =0,521

50 38 Lampiran 6 Histogram frekuensi hasil transformasi Lyzenga Landsat-7 Landsat-8 29 Mei Juli Agustus Agustus September September 2013

51 Lampiran 7 Contoh perhitungan akurasi klasifikasi (digunakan matriks klasifikasi 8 Juli 2013) 39 Data klasifikasi citra Karang hidup Karang mati Data referensi Pasir Lamun Total Komisi Karang hidup Karang mati Pasir Lamun Total Omisi Producer accuracy (%) 33,33 58,02 54,26 46,88 User accuracy (%) 10,00 60,26 70,71 34,09 Overall accuracy (%) 53,78 Error (%) 46,22 Koefisien Kappa 0,31 1) Contoh perhitungan kategori karang hidup Total data referensi kategori karang hidup= =9 Total data citra kategori karang hidup= =30 Komisi karang hidup=30-3=27 Omisi karang hidup=9-3=6 Producer accuracy karang hidup= %=33,33% User accuracy karang hidup= %=10,00% 2) Contoh perhitungan overall accuracy, error, dan koefisien Kappa Overall accuracy karang hidup= %=53,78% 251 Error= 251-( ) 100%=46,22% 251 Koefisien Kappa= (251( ))-((30 9)+(78 81)+(99 129)+(44 32)) =0,31 -((30 9)+(78 81)+(99 129)+(44 32))

52 40 Lampiran 8 Matriks klasifikasi L7 akuisisi 29 Mei 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 22,22 62,96 47,29 53,13 UA (%) 8,00 59,30 70,11 32,08 OA (%) 52,19 Er (%) 47,81 Kappa 0,30 L8 akuisisi 8 Juli 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 33,33 58,02 54,26 46,88 UA (%) 10,00 60,26 70,71 34,09 OA (%) 53,78 Er (%) 46,22 Kappa 0,31 L7 akuisisi 1 Agustus 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 22,22 56,79 56,59 62,50 UA (%) 6,25 59,74 77,66 41,67 OA (%) 56,18 Er (%) 43,82 Kappa 0,36 L8 akuisisi 25 Agustus 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 33,33 59,26 50,39 43,75 UA (%) 11,11 55,81 67,01 34,15 OA (%) 51,79 Er (%) 48,21 Kappa 0,28 L7 akuisisi 18 September 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 22,22 62,96 53,49 65,63 UA (%) 8,33 60,00 75,00 42,00 OA (%) 56,97 Er (%) 43,03 Kappa 0,36 L8 akuisisi 10 September 2013 Referensi Citra KH KM P L Total Komisi KH KM P L Total Omisi PA (%) 33,33 60,49 57,36 40,63 UA (%) 11,11 61,25 69,16 35,14 OA (%) 55,38 Er (%) 44,62 Kappa 0,32 Keterangan: Landsat-7 (L7), Landsat-8 (L8), Karang Hidup (KH), Karang Mati (KM), Pasir (P), Lamun (L), Producer Accuracy (PA), User Accuracy (UA), Overall Accuracy (OA), Error (Er), Koefisien Kappa (Kappa)

53 41 Lampiran 9 Hasil uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa) Group Statistics Satelit N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Landsat Overall accuracy Landsat Overall accuracy Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means Levene's Test for Equality of 95% Confidence Variances Sig. (2- Mean Std. Error Interval of the t df tailed) Difference Difference Difference F Sig. Lower Upper Group Statistics Satelit N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Landsat Koefisien Kappa Landsat Koefisien Kappa Equal variances assumed Equal variances not assumed Independent Samples Test t-test for Equality of Means Levene's Test for Equality of 95% Confidence Sig. Variances Mean Std. Error Interval of the t df (2- Difference Difference Difference tailed) F Sig. Lower Upper

54 42 Lampiran 10 Contoh perhitungan uji-z antara matriks klasifikasi Landsat-7 akuisisi 29 Mei 2013 (atas) dan Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 (bawah) Data klasifikasi citra Matriks klasifikasi A Karang hidup Karang mati Data referensi Pasir Lamun Total Karang hidup Karang mati Pasir Lamun Total Data klasifikasi citra Matriks klasifikasi B Karang hidup Karang mati Data referensi Pasir Lamun Karang hidup Tota l Karang mati Pasir Lamun Total ) Perhitungan matriks klasifikasi A k_hat= (251( ))-((25 9)+(86 81)+(87 129)+(53 32)) =0, ((25 9)+(86 81)+(87 129)+(53 32)) p o = =0, p c = ((25 9)+(86 81)+(87 129)+(53 32)) =0,31920 a 1 = (2(25+9)+51(86+81)+61(87+129)+17(53+32)) =0, (25+9) 2 +16(25+81) 2 +7(25+129) 2 +0(25+32) 2 + a 2 = 1 6(86+9) 2 +51(86+81) 2 +27(86+129) 2 +2(86+32) (87+9) 2 +12(87+81) 2 +61(87+129) 2 +13(87+32) 2 =0, ( 0(53+9) 2 +2(53+81) 2 +34(53+129) 2 +17(53+32) 2 ) var_k= (0,52191(1-0,52191) (1-0,31920) 2 + 2(1-0,52191)(2 0, , ,36834) (1-0,31920) 3 + (1-0,52191)2 (0, , ) (1-0,31920) 4 ) =0, ) Perhitungan matriks klasifikasi B k_hat= (251( ))-((30 9)+(78 81)+(99 129)+(44 32)) =0, ((30 9)+(78 81)+(99 129)+(44 32)) p o = =0,

55 43 p c = ((30 9)+(78 81)+(99 129)+(44 32)) =0,32963 a 1 = (3(30+9)+47(78+81)+70(99+129)+15(44+32)) =0, (30+9) 2 +18(30+81) 2 +9(30+129) 2 +0(30+32) 2 + a 2 = 1 5(78+9) 2 +47(78+81) 2 +26(78+129) 2 +0(78+32) (99+9) 2 +11(99+81) 2 +70(99+129) 2 +17(99+32) 2 =0, ( 0(44+9) 2 +5(44+81) 2 +24(44+129) 2 +15(44+32) 2 ) var_k= (0,53785(1-0,53785) (1-0,32963) 2 + 2(1-0,53785)(2 0, , ,39190) (1-0,32963) 3 + (1-0,53785)2 (0, , ) (1-0,32963) 4 ) =0, ) Perhitungan z-skor z AB = 0, , , ,00204 =0,200 4) Pengambilan keputusan Oleh karena 0,200 < 1,96 maka H0 diterima bahwa koefisien Kappa Landsat-7 ETM+ SLC-Off akuisisi 29 Mei 2013 tidak berbeda nyata terhadap koefisien Kappa Landsat-8 akuisisi 8 Juli Hal ini mengindikasikan bahwa citra satelit Landsat-7 SLC-Off akuisisi 29 Mei 2013 masih dapat untuk digunakan dalam pemetaan habitat perairan dangkal.

56 44 Lampiran 11 Tutorial pengolahan data Pengolahan Data Survei Lapang 1) Download koordinat data hasil survei lapang dari GPS Garmin etrex model Yellow H menggunakan MapSource Langkah-langkahnya yaitu: nyalakan kemudian hubungkan perangkat GPS Garmin etrex model Yellow H ke port USB Laptop buka MapSource klik tab Transfer Receive From Device pada bagian What To Receive unceklis semua kecuali Waypoints klik Receive tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal data_survey.mps) pada Save as type: pilih MPS Files (*.mps) Save 2) Konversi data_survey.mps ke format *.txt menggunakan GPSBabel Langkah-langkahnya yaitu: buka GPSBabel pada bagian Input pilih File pada bagian Format pilih Garmin MapSource - mps klik File Name(s) browse file data_survey.mps Open pada bagian Translation Options unceklis semua kecuali Waypoints pada bagian Output pilih File pada bagian Format pilih Garmin MapSource - txt (tab delimited) klik File Name tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal data_survey.txt) Save klik Apply data_survey.txt 3) Edit data_survey.txt menggunakan Microsoft Excel Langkah-langkahnya yaitu: buka file data_survey.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 lakukan pengeditan sehingga hanya tersisa tiga kolom yaitu Longitude (x), Latitude (y), dan Jenis Substrat (class_id) klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal data_survey_edit.txt) pada Save as type: pilih Text (Tab delimited) Save Yes Hasil pengeditan Position pada file data_survey.txt ke format decimal degree. Dipisahkan menggunakan menu Text to Columns pada Excel Hasil pengeditan Name pada file data_survey.txt. Jenis tutupan substratnya diketahui berdasarkan pencatatan selama survei lapang data_survey_edit.txt 4) Pisahkan 101 data point substrat pasir terendam yang bersumber dari data_survey_edit.txt menggunakan Microsoft Excel Langkah-langkahnya yaitu: buka file data_survey_edit.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 filter hanya substrat pasir (meskipun terdapat 129 data pasir namun dalam penelitian ini hanya akan digunakan 101 data saja)

57 klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 101_data_pasir.txt) pada Save as type: pilih Text (Tab delimited) Save Yes _data_pasir.txt Pembuatan Bandmasking (A) Masking darat 1) Download citra Google Earth untuk daerah penelitian yaitu P.Semak Daun, P.Karya, Gs.Pramuka, dan P.Panggang. Langkah-langkahnya yaitu: buka Google Earth klik tab Tools Options pada jendela Google Earth Options klik tab 3D View pada bagian Show Lat/Long pilih Decimal Degrees OK zoom daratan P.Semak Daun tekan huruf R pada keyboard klik tab View ceklis Historical Imagery geser timeline ke tanggal 12/11/2009 klik geser pin ke sudut kiri atas pada kolom Name: misal ketik A catat nilai Latitude dan Longitude-nya OK buat sebanyak 4 pin yaitu sudut kiri atas (A) sudut kanan atas (B), sudut kanan bawah (C), dan sudut kiri bawah (D) klik tab File Save Save Image pada bagian Map Options unceklis Title and Description, Legend, Scale, dan Compass pada Resolution: Current (1116x642) pilih Maximum (4800x2761) klik Save Image tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal P.Semak Daun.jpg) Save lakukan hal yang sama untuk P.Karya, Gs.Pramuka, dan P.Panggang P.Karya.jpg P.Semak Daun.jpg P.Panggang.jpg Gs.Pramuka.jpg Hasil download citra Google Earth

58 46 2) Registrasi citra Google Earth menggunakan Global Mapper 13. Langkah-langkahnya yaitu: buka Global Mapper 13 klik Open Your Own Data Files browse P.Semak Daun.jpg Yes OK pada Entire Image zoom pin A pada Zoomed View (Click for Pixel Coordinates) klik ujung pin A masukkan longitute dan latitude pin A masing-masing pada kolom X/Easting/Lon dan Y/Northing/Lat klik Add Point to List beri nama A OK lakukan hal yang sama untuk pin B, C, dan D OK OK klik tab File Export Raster/Image Format pilih GeoTIFF OK OK klik tab GeoTIFF Options pada bagian File Type pilih 24 bit RGB (Full Color, May Create Large Files) OK tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal P.Semak Daun_teregistrasi.TIF) Save lakukan hal yang sama untuk P.Karya, Gs.Pramuka, dan P.Panggang 3) Digitasi citra Google Earth hasil registrasi menggunakan ArcGIS 9.3. Langkah-langkahnya yaitu: buka ArcGIS 9.3 klik tab Tools ArcCatalog pada jendela ArcCatalog browse P.Semak Daun_teregistrasi.TIF dan drag ke bagian Layers ArcMap No kembali ke ArcCatalog klik kanan New Shapefile pada kolom Name (misal ketik semak_daun_shape) pada kolom Feature Type (pilih Polygon) pada Spatial Reference klik Edit klik Select Geographic Coordinate Systems World pilih WGS 1984.prj Add OK OK drag file semak_daun_shape ke bagian Layers ArcMap pada jendela ArcMap klik Editor Start Editing pada kolom Target pilih semak_daun_shapefile klik lakukan digitasi dan setelah selesai klik kanan dan pilih Finish Sketch klik Editor Stop Editing Yes lakukan hal yang sama untuk P.Karya, Gs.Pramuka, dan P.Panggang P.Semak Daun (semak_daun_shape.shp) P.Karya (karya_shape.shp) Gs.Pramuka (gs_pramuka_shape.shp) Hasil digitasi citra Google Earth 4) Gabung hasil-hasil digitasi sebelumnya ke dalam satu file menggunakan ArcGIS 9.3. Langkah-langkahnya yaitu: buka ArcGIS 9.3 klik P.Panggang (panggang_shape.shp) Tools Overlay Union pada Input Features klik pilih Analysis browse dan

59 sorot semua file hasil digitasi (semak_daun_shape.shp, karya_shape.shp, gs_pramuka_shape.shp, dan panggang_shape.shp) Add pada Output Feature Class klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal gabungan.shp) Save OK Close 47 Hasil penggabungan digitasi daratan (gabungan.shp) 5) Rasterisasi hasil gabungan tersebut dengan cell size 30 (disesuaikan dengan resolusi spasial citra Landsat yaitu 30 m) menggunakan ArcGIS 9.3. Langkah-langkahnya yaitu: buka ArcGIS 9.3 klik pilih Conversion Tools To Raster Feature To Raster pada Input features klik browse file gabungan.shp Add pada Field pilih Id pada Output raster klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal gab_raster) Save klik Environtments klik General Settings pada Output Coordinate System sorot ke bawah dan pilih As Specified Below klik klik Select Projected Coordinate Systems UTM WGS 1984 pilih WGS 1984 UTM Zone 48S.prj Add OK pada bagian Extent sorot ke bawah dan pilih As Specified Below isi nilai (Top), (Right), (Bottom), dan (Left) OK pada Output cell size (optional) ketik 30 OK Close Hasil rasterisasi file gabungan.shp yang disesuaikan dengan lokasi penelitian 6) Konversi file hasil rasterisasi ke format *.TIF menggunakan Global Mapper 13. Langkah-langkahnya yaitu: buka Global Mapper 13 klik Open Your Own Data Files browse file w adf yang ada pada folder gab_raster

60 48 Open klik tab View Background Color pada bagian Basic colors: pilih warna putih OK klik tab File Export Raster/Image Format pilih GeoTIFF OK OK pada File Type tab GeoTIFF Options pilih Black and White (1 bit per pixel) pada Palette pilih Grayscale - Min is White OK tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal mask_darat.tif) Save band masking darat (mask_darat.tif) (B) Masking perairan dalam 1) Lakukan penggabungan (stacking) band 2 (band biru) dan band 3 (band hijau) citra Landsat-8 akuisisi 8 Juli 2013 ke dalam satu file menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab Basic Tools Layer Stacking klik Import File... klik Open New File... browse dan sorot file 8jul2013_band2.TIF dan 8jul2013_band3.TIF Open sorot file 8jul2013_band2.TIF dan 8jul2013_band3.TIF OK klik Reorder Files pada jendela Reorder Files posisikan (dengan cara men-drag) 8jul2013_band2.TIF ke urutan 1 dan 8jul2013_band3.TIF ke urutan 2 OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3) Open OK Hasil stacking band 2 dan band 3 (8j_b2b3.hdr) 2) Lakukan pemotongan (cropping) hasil stacking sebelumnya sesuai batas koordinat lokasi penelitian menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab Basic Tools Resize Data (Spatial/Spectral) klik Open New File... browse file 8j_b2b3 Open klik Spatial Subset klik Map pada bagian Upper Left Coordinate isi nilai (kolom E) dan (kolom N) pada bagian Lower Right Coordinate isi nilai (kolom E) dan (kolom N) OK OK OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3_cr) Open OK

61 49 Hasil cropping file 8j_b2b3.hdr (8j_b2b3_cr.hdr) 3) Konversi hasil cropping sebelumnya ke dalam format *.ers menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab File Save File As ER Mapper klik Open New File... browse file 8j_b2b3_cr Open OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3_cr_erm) Open OK band 2 band 3 Hasil konversi file 8j_b2b3_cr.hdr ke format *.ers (8j_b2b3_cr_erm.ers) 4) Lakukan perhitungan nilai koefisien atenuasi menggunakan 101 data point substrat pasir terendam menggunakan Microsoft Excel Langkah-langkahnya yaitu: buka file 101_data_pasir.txt sebelumnya menggunakan Microsoft Excel 2013 catat nilai DN (digital number) band 2 dan band 3 pada posisi koordinat yang mendekati posisi koordinat substrat pasir terendam lakukan perhitungan koefisien atenuasi (ki/kj) seperti pada Lampiran 5 sehingga didapatkan nilai ki/kj = ) Lakukan transformasi Lyzenga menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik pada jendela Algorithm klik browse file 8j_b2b3_cr_erm.ers OK klik masukkan formula log(i1)-0.521*log(i2) klik Apply changes pada INPUT1: pilih B2: dan pada INPUT2: pilih B1: pada jendela ER Mapper klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal lyz_mask) pada bagian File of Type: pilih ER Mapper Virtual Dataset (.ers) OK Yes Hasil transformasi Lyzenga (lyz_mask.ers)

62 50 6) Lakukan masking perairan dalam menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik pada jendela Algorithm klik browse file lyz_mask.ers OK klik masukkan formula if i1< then i1*0 else 255 (nilai 4, merupakan nilai perkiraan batas antara perairan dalam dan perairan dangkal) klik Apply changes pada jendela ER Mapper klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal mask_perairan_dalam) pada bagian File of Type: pilih GeoTIFF/TIFF (.tif,.tiff) OK pada Output Type: pilih MultiLayer pada Data Type: pilih Unsigned8BitInteger pada Null Value: ketik 0 OK OK band masking perairan dalam (mask_perairan_dalam.tif) Pengisian Gap Citra Landsat-7 SLC-Off posisi gap 29mei2013_band1.TIF (citra utama) posisi gap 18sept2013_band1.TIF (citra pengisi) band 1 atau band biru overlay posisi gap* 29mei2013_band1.TIF dan 18sept2013_band1.TIF hasil pengisian gap 29mei2013_band1_gapfill.TIF posisi gap 29mei2013_band2.TIF (citra utama) posisi gap 18sept2013_band2.TIF (citra pengisi) band 2 atau band hijau overlay posisi gap* 29mei2013_band2.TIF dan 18sept2013_band2.TIF hasil pengisian gap 29mei2013_band2_gapfill.TIF Ket: *Layer Merah merupakan Layer Citra Utama sedangkan Layer Biru merupakan Layer Citra Pengisi Ilustrasi pengisian gap band 1 dan band 2 citra akuisisi 29 Mei 2013 dengan menggunakan citra pengisi akuisisi 18 September 2013

63 Pengisian gap citra Landsat-7 SLC-Off menggunakan frame_and_fill_win32. 1) Langkah-langkahnya yaitu: buat sebuah folder (misal gapfill) yang di dalamnya berisi folder anchor dan fill_scene_1 folder anchor berisi 29mei2013_band1.TIF atau band biru citra utama (rename menjadi L _ _B10.TIF) dan 29mei2013_band2.TIF atau band hijau citra utama (rename menjadi L _ _B20.TIF) folder fill_scene_1 berisi 18sept2013_band1.TIF atau band biru citra pengisi (rename menjadi L _ _B10.TIF) dan 18sept2013_band2.TIF atau band hijau citra pengisi (rename menjadi L _ _B20.TIF) 51 29mei2013_band1.TIF 29mei2013_band2.TIF 18sept2013_band1.TIF 18sept2013_band2.TIF 2) Buka frame_and_fill_win32.exe klik frame_and_fill_win32 klik Click To Continue klik REFRAME SLC-OFF pada bagian DIRECTORY PATH TO SCENE FOLDER? ketik lokasi folder gapfill (misal D:\Tutorial\gapfill\) klik SUBMIT OK

64 52 3) Kembali buka frame_and_fill_win32.exe klik frame_and_fill_win32 klik Click To Continue klik GAP FILL SLC-OFF pada bagian DIRECTORY PATH TO SCENE FOLDER? ketik lokasi folder gapfill (misal D:\Tutorial\gapfill\) klik Band 1 klik Band 2 klik SUBMIT setelah proses pengisian gap selesai klik DONE ) Hasil pengisian gap terdapat pada folder anchor yaitu L _ _B10_reg_filled.TIF (band 1 atau band biru) dan L _ _B20_reg_filled.TIF (band 2 atau band hijau) 29mei2013_band1_gapfill.TIF 29mei2013_band2_gapfill.TIF 5) Lakukan tahapan yang sama (tahapan 1-4) untuk pengisian gap citra akuisisi 1 Agustus 2013 dan 18 September 2013 Pengolahan Citra Landsat 1) Lakukan penggabungan (stacking) band biru dan band hijau ke dalam satu file menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab Basic Tools Layer Stacking klik Import File... klik Open New File... browse dan sorot file 8jul2013_band2.TIF dan 8jul2013_band3.TIF Open sorot file 8jul2013_band2.TIF dan 8jul2013_band3.TIF OK klik Reorder Files pada jendela Reorder Files posisikan (dengan cara men-drag) 8jul2013_band2.TIF ke urutan 1 dan 8jul2013_band3.TIF ke urutan 2 OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3) Open OK

65 53 Hasil stacking band 2 dan band 3 (8j_b2b3.hdr) 2) Lakukan pemotongan (cropping) hasil stacking sebelumnya sesuai batas koordinat lokasi penelitian menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab Basic Tools Resize Data (Spatial/Spectral) klik Open New File... browse file 8j_b2b3 Open klik Spatial Subset klik Map pada bagian Upper Left Coordinate isi nilai (kolom E) dan (kolom N) pada bagian Lower Right Coordinate isi nilai (kolom E) dan (kolom N) OK OK OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3_cr) Open OK Hasil cropping file 8j_b2b3.hdr (8j_b2b3_cr.hdr) 3) Lakukan penggabungan (stacking) band biru dan band hijau hasil cropping sebelumnya dengan band masking darat dan band masking perairan dalam ke dalam satu file menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab Basic Tools Layer Stacking klik Import File... klik Open New File... browse dan sorot file 8j_b2b3_cr, mask_darat.tif, dan mask_perairan_dalam.tif Open sorot file 8j_b2b3_cr, mask_darat.tif, dan mask_perairan_dalam.tif OK klik Reorder Files pada jendela Reorder Files posisikan (dengan cara mendrag) 8j_b2b3_cr ke urutan 1, mask_darat.tif ke urutan 2, dan mask_perairan_dalam.tif ke urutan 3 OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd) Open OK Hasil stacking band 2 dan band 3 hasil cropping dengan band masking darat dan perairan dalam (8j_b2b3cr_mdpd.hdr) 4) Konversi hasil stacking poin 3 ke dalam format *.ers menggunakan ENVI 5.0. Langkah-langkahnya yaitu: buka ENVI 5.0 klik tab File Save File As ER Mapper klik Open New File... browse file 8j_b2b3cr_mdpd Open

66 54 OK klik Choose tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd_erm) Open OK band 2 band 3 band masking darat band masking perairan dalam Hasil konversi file 8j_b2b3cr_mdpd.hdr ke format *.ers (8j_b2b3cr_mdpd_erm.ers) 5) Lakukan perhitungan nilai koefisien atenuasi menggunakan 101 data point substrat pasir terendam menggunakan Microsoft Excel Langkah-langkahnya yaitu: buka file 101_data_pasir.txt sebelumnya menggunakan Microsoft Excel 2013 catat nilai DN (digital number) band 2 dan band 3 pada posisi koordinat yang mendekati posisi koordinat substrat pasir terendam lakukan perhitungan koefisien atenuasi (ki/kj) seperti pada Lampiran 5 sehingga didapatkan nilai ki/kj = ) Lakukan transformasi Lyzenga menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik pada jendela Algorithm klik browse file 8j_b2b3cr_mdpd_erm.ers OK klik masukkan formula IF i1=255 and i2=0 then log(i3)-0.521*log(i4) else null klik Apply changes pada INPUT1: pilih B4:, pada INPUT2: pilih B3: pada INPUT3: pilih B2:, dan pada INPUT4: pilih B1: pada jendela ER Mapper klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz) pada bagian File of Type: pilih ER Mapper Virtual Dataset (.ers) OK Yes Hasil transformasi Lyzenga citra akuisisi 8 Juli 2013 setelah dimasking (8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz.ers) 7) Lakukan klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik tab Process Classification ISOCLASS Unsupervised Classification pada bagian Input Dataset: klik browse file 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz.ers OK pada bagian Output Dataset: klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup) OK misal dalam penelitian ini pada bagian Maximum number of classes: ketik 50; Minimum members in

67 a class (%): ketik 0.01; Maximum standard deviation: ketik 0.001; dan Min. distance beetwen class means: ketik 0.01 Options yang lain dibiarkan default OK OK 55 Hasil klasifikasi unsupervised 50 kelas (8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup.ers) 8) Lakukan reclass hasil klasifikasi sebelumnya ke dalam empat kelas yaitu karang hidup, karang mati, pasir, dan lamun menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik tab Edit Edit Class/Region Color and Name klik browse file 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup.ers OK misal dalam penelitian ini kelas 1-7 beri warna cyan untuk mewakili karang hidup; kelas 8-28 beri warna RGB0,128,0 untuk mewakili karang mati; kelas dan beri warna yellow untuk mewakili pasir; serta kelas beri warna orange untuk mewakili lamun klik Save Yes klik Close pada jendela ER Mapper 7 klik pada jendela Algorithm klik browse file 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup.ers OK klik kanan pada bagian Pseudo Layer dan pilih Class Display pada jendela ER Mapper klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.ers) pada bagian File of Type: pilih ER Mapper Raster Dataset (.ers) OK pada Output Type: pilih RGB pada Null Value: ketik 0 OK OK Hasil reclass 4 kelas hasil klasifikasi unsupervised (8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.ers) 9) Export nilai RGB citra hasil reclass ke format *.txt menggunakan ER Mapper 7. Langkah-langkahnya yaitu: buka ER Mapper 7 klik tab Utilities Export Raster XYZ ASCII grid with NULLS Export pada bagian Dataset to Export: klik browse file 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.ers OK

68 56 pada bagian Export Path/Device Name: klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.txt) OK ketik 0 OK OK 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.txt 10) Buat data_class.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 yang akan digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi. Langkah-langkahnya yaitu: buka file 8j_b2b3cr_mdpd_erm_lyz_unsup_rgb.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 lakukan pengeditan sehingga didapatkan nilai longitude (x), latitude (y), dan id_class klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8jul2013_data_class) pada bagian Save as type pilih Text (tab delimited) Save Yes 8jul2013_data_class.txt 11) Buat data_reference.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 yang akan digunakan dalam perhitungan matriks klasifikasi. Langkah-langkahnya yaitu: buka file data_survey_edit.txt sebelumnya menggunakan Microsoft Excel 2013 lakukan pengeditan untuk mengubah sehingga didapatkan nilai longitude (x), latitude (y), dan id_class klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (data_ reference) pada bagian Save as type pilih Text (tab delimited) Save Yes data_ reference.txt 12) Lakukan perhitungan akurasi menggunakan ArcGIS 9.3 dan Microsoft Excel Langkah-langkahnya yaitu: buka ArcGIS 9.3 klik tab Tools Add XY Data klik browse file 8jul2013_data_class.txt Add klik Edit klik Select Geographic Coordinate Systems World pilih WGS 1984.prj Add OK OK OK klik pilih Conversion Tools To Raster Feature To Raster pada Input features sorot ke bawah dan klik 8jul2013_data_class.txt Events pada Field pilih class_id pada Output raster beri nama (misal 8jul2013_dc) klik Environtments klik General Settings pada Output Coordinate System sorot ke bawah dan pilih As Specified Below klik klik Select Projected Coordinate Systems UTM WGS 1984 pilih WGS 1984 UTM Zone 48S.prj Add OK

69 pada bagian Extent sorot ke bawah dan pilih As Specified Below isi nilai (Top), (Right), (Bottom), dan (Left) OK pada Output cell size (optional) ketik 30 OK Close klik tab Tools Add XY Data klik browse file data_reference.txt Add klik Edit klik Select Geographic Coordinate Systems World pilih WGS 1984.prj Add OK OK OK pada bagian ArcToolbox pilih Conversion Tools To Raster Feature To Raster pada Input features sorot ke bawah dan klik data_reference.txt Events pada Field pilih class_id pada Output raster beri nama (misal data_ref) klik Environtments klik General Settings pada Output Coordinate System sorot ke bawah dan pilih As Specified Below klik klik Select Projected Coordinate Systems UTM WGS 1984 pilih WGS 1984 UTM Zone 48S.prj Add OK pada bagian Extent sorot ke bawah dan pilih As Specified Below isi nilai (Top), (Right), (Bottom), dan (Left) OK pada Output cell size (optional) ketik 30 OK Close pada bagian ArcToolbox pilih Spatial Analyst Tools Local Combine pada bagian Input rasters sorot ke bawah pilih data_ref dan 8jul2013_dc pada Output raster klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal comb_ref_dc) OK Close pada bagian TOC klik kanan comb_ref_dc Open Attribute Table klik Options Export klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal comb_ref_dc_text) pada Save as type: pilih Text File Save OK Yes kembali ke jendela ArcMap pada bagian ArcToolbox pilih Conversion Tools To dbase Table to dbase (multiple) pada Input Table sorot ke bawah dan pilih comb_ref_dc_text.csv pada Output Folder klik 57 tentukan folder penyimpanan Add OK Close klik browse file comb_ref_dc_text_csv.dbf Add pada bagian ArcToolbox pilih Data Management Tools Table Pivot Table pada Input Table sorot ke bawah dan pilih comb_ref_dc_text_csv pada Input Field(s) ceklis JUL2013_DC pada Pivot Field sorot ke bawah dan pilih DATA_REF pada Value Field sorot ke bawah dan pilih COUNT_ pada Output Table klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal pivot_8jul2013) Save OK pada bagian TOC klik kanan pivot_8jul2013 Open klik Options Export klik tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8jul2013_matrix) pada Save as type: pilih Text File Save OK No buka file 8jul2013_matrix.txt menggunakan Microsoft Excel 2013 lakukan pengeditan sehingga membentuk matriks klasifikasi lakukan perhitungan Total Kolom, Komisi, Total Baris, Omisi, Producer Accuracy, User Accuracy, Overall Accuracy, Error, dan Koefisien Kappa menggunakan formula pada Tabel 3 (contoh perhitungannya terdapat pada Lampiran 7) klik tab File Save As tentukan lokasi penyimpanan dan beri nama (misal 8jul2013_matriks_klasifikasi.xlsx) Save

70 58 Karang Hidup Karang Mati Lamun Pasir Karang Hidup Karang Mati Pasir Lamun 8jul2013_matrix.txt 8jul2013_matriks_klasifikasi.xlsx 13) Lakukan tahapan yang sama (tahapan 1-12) untuk pengolahan citra akuisisi yang lain (25 Agustus 2013, 10 September 20, 29 Mei 2013, 1 Agustus 2013, dan 18 September 2013) sehingga dihasilkan matriks klasifikasi seperti pada Lampiran 8. Uji Statistik (A) Uji-t sampel bebas (overall accuracy dan koefisien Kappa). 1) Uji-t sampel bebas dilakukan menggunakan SPSS Statistics Langkah-langkahnya yaitu: buka SPSS Statistics 17.0 klik Cancel pada jendela Untitled1[Dataset0] klik Data View masukkan nilai overall accuracy (OA) dan jenis satelitnya (1 mewakili Landsat-7 dan 2 mewakili Landsat-8) klik Variable View rename VAR00001 menjadi OA dan VAR00002 menjadi Satelit klik tab Analyze Compare Means Independent-Samples T Test masukkan OA ke Test Variable (s): dan Satelit ke Grouping Variable klik Define Groups pada Group 1: ketik 1 dan pada Group 2: ketik 2 klik Options pada Confidence Interval: ketik 95 Continue Continue OK

71 59 3 Landsat-7 Landsat September Agustus Juli September Agustus Mei ) Lakukan hal yang sama untuk sampel Koefisien Kappa sehingga didapatkan hasil seperti pada Lampiran 9 (B) Uji-z Untuk uji-z dihitung secara manual dengan membandingkan matriks klasifikasi antar dua citra akuisisi berbeda. Contoh perhitungannya seperti pada Lampiran 10.

72 60 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Muna, Sulawesi Tenggara, 13 Juni 1988 dari Ayah La Ode Bolo A dan Ibu Wa Ode Sabai. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tongkuno, Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan Citra Landsat-7 ETM+ SLC-Off dan Landsat-8 OLI.

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Batimetri 4.1.1. Pemilihan Model Dugaan Dengan Nilai Digital Asli Citra hasil transformasi pada Gambar 7 menunjukkan nilai reflektansi hasil transformasi ln (V-V S

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3. METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh telah menjadi sarana umum untuk mendapatkan data spasial dengan akurasi yang baik. Data dari penginderaan jauh dihasilkan dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT SPOT-5 DI PESISIR BINTAN TIMUR, KEPULAUAN RIAU ALVIDITA BEATRIX INDAYANI

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT SPOT-5 DI PESISIR BINTAN TIMUR, KEPULAUAN RIAU ALVIDITA BEATRIX INDAYANI PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN CITRA SATELIT SPOT-5 DI PESISIR BINTAN TIMUR, KEPULAUAN RIAU ALVIDITA BEATRIX INDAYANI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia

Lebih terperinci

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO

PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO PERUBAHAN DELTA DI MUARA SUNGAI PORONG, SIDOARJO PASCA PEMBUANGAN LUMPUR LAPINDO Ima Nurmalia Permatasari 1, Viv Dj. Prasita 2 1) Mahasiswa Jurusan Oseanografi, Universitas Hang Tuah 2) Dosen Jurusan Oseanografi,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum

HASIL DAN ANALISA. 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum BAB 3 HASIL DAN ANALISA 3.1 Penentuan Batas Penetrasi Maksimum Zonasi kedalaman diperlukan untuk mendapatkan batas penetrasi cahaya ke dalam kolom air. Nilai batas penetrasi akan digunakan dalam konversi

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis data Landsat 7 untuk estimasi umur tanaman kelapa sawit mengambil daerah studi kasus di areal perkebunan PTPN VIII

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan September 2012 yang berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way Kambas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di DAS Citarum Hulu Jawa Barat dengan luasan sebesar + 230.802 ha. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan

Lebih terperinci

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian. BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah Pulau Semak Daun (Gambar 2.1) yang terletak di utara Jakarta dalam gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun adalah pulau yang memiliki

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan September dengan mengambil lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Cikalong, Tasikmalaya (Gambar

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira

Jatinangor, 10 Juli Matius Oliver Prawira KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas segala berkat dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik yang berjudul Dinamika Karakteristik

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya) Iva Nurwauziyah, Bangun Muljo Sukojo, Husnul Hidayat Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di wilayah Kepulauan Weh Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang terletak pada koordinat 95 13' 02" BT - 95 22' 36" BT dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa

Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa Aplikasi Algoritma Klasifikasi Mean Shift untuk Pemetaan Habitat Bentik Studi Kasus Kepulauan Karimunjawa PramadityaWicaksono 1, Nur Mohammad Farda 1 1 Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi,

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pembangunan membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Kegiatan pembangunan meningkatkan kebutuhan manusia akan lahan.

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah pengolahan citra dan penyusunan basis data awal yang dilakukan pada bulan April 2008. Tahap

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan mempunyai kemampuan beradaptasi untuk hidup dan tumbuh di lingkungan laut. Secara sepintas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya)

Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) A554 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni Ratnasari dan Bangun Muljo Sukojo Departemen Teknik Geomatika,

Lebih terperinci

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007

Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (Oktober, 2013) ISSN: 2301-9271 Evaluasi Kesesuaian Tutupan Lahan Menggunakan Citra ALOS AVNIR-2 Tahun 2009 Dengan Peta RTRW Kabupaten Sidoarjo Tahun 2007 Latri Wartika

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3

RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3 RSNI-3 Rancangan Standar Nasional Indonesia-3 Pemetaan habitat perairan laut dangkal Bagian 1: Pemetaan terumbu karang dan padang lamun (Hasil Rapat Konsensus 1 Maret 2011) ICS 07.040 Badan Standardisasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS DINAMIKA SEBARAN SPASIAL SEDIMENTASI MUARA SUNGAI CANTUNG MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTITEMPORAL

ANALISIS DINAMIKA SEBARAN SPASIAL SEDIMENTASI MUARA SUNGAI CANTUNG MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTITEMPORAL ANALISIS DINAMIKA SEBARAN SPASIAL SEDIMENTASI MUARA SUNGAI CANTUNG MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MULTITEMPORAL Zulaiha 1, Nurlina 1 dan Ibrahim 1 ABSTRACT: Given the pivotal role played by the Cantung River

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

PENENTUAN SEBARAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA LYZENGA DI PULAU MAITARA. Universitas Khairun. Ternate. Universitas Khairun.

PENENTUAN SEBARAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA LYZENGA DI PULAU MAITARA. Universitas Khairun. Ternate. Universitas Khairun. PENENTUAN SEBARAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITMA LYZENGA DI PULAU MAITARA Surahman 1 dan Rustam Effendi P 2 1 Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA

STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA STUDI PERSEBARAN KONSENTRASI MUATAN PADATAN TERSUSPENSI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT TERRA MODIS DI SELAT MADURA Oleh: HIAS CHASANAH PUTRI NRP 3508 100 071 Dosen Pembimbing Hepi Hapsari Handayani, ST, MSc

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Image Enhancement Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Georeferencing dan Resizing Enggar Budhi Suryo Hutomo 10301628/TK/37078 JURUSAN S1 TEKNIK GEODESI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 2015 BAB

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya

KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya KLASIFIKASI DARATAN DAN LAUTAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT ALOS Studi Kasus di Pesisir Timur Kota Surabaya (Land and Sea Classification Using ALOS Satellite Imagery, Case Study in East Coast of Surabaya)

Lebih terperinci

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Mahasiswa : Cherie Bhekti Pribadi (3509100060) Dosen Pembimbing : Dr. Ing. Ir. Teguh Hariyanto, MSc Udiana Wahyu D, ST. MT Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

PERUBAHAN SEBARAN TERUMBU KARANG DI TELUK BANTEN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM Oleh : Ipranta C /SPL

PERUBAHAN SEBARAN TERUMBU KARANG DI TELUK BANTEN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM Oleh : Ipranta C /SPL SARI PERUBAHAN SEBARAN TERUMBU KARANG DI TELUK BANTEN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA LANDSAT TM 1994-1997 Oleh : Ipranta C 261040181/SPL Hasil penafsiran inderaan jauh, khususnya dengan menggunakan citra

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 14 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan April 2009 sampai November 2009 di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit

Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit Studi Perubahan Fisik Kawasan Pesisir Surabaya dan Madura Pasca Pembangunan Jembatan Suramadu Menggunakan Citra Satelit Mifta Nur Rohmah 1), Dr. Ir. Muhammad Taufik 2) Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2, (2017) ISSN: ( Print) A-572 JURNAL TEKNIK ITS Vol., No., (01) ISSN: 33-353 (301-1 Print) A-5 Analisa Kondisi Ekosistem Mangrove Menggunakan Data Citra Satelit Multitemporal dan Multilevel (Studi Kasus: Pesisir Utara Surabaya) Deni

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

Neritic Vol. 6 No.1, hal 01-06, Maret 2015 ISSN

Neritic Vol. 6 No.1, hal 01-06, Maret 2015 ISSN Neritic Vol. 6 No.1, hal 01-06, Maret 2015 ISSN. 1978-1210 PEMETAAN SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DANGKAL DI KECAMATAN TAYANDO KOTA TUAL MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 (The Bottom Substrate Shallow Water Mapping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Koreksi Suhu Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. BAB III PENGOLAHAN DATA Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini. 3.1 Lokasi Area Studi Dalam tugas akhir ini daerah Kabupaten Bandung

Lebih terperinci

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 ADE AYU MUSTIKA

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 ADE AYU MUSTIKA PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN CITRA WORLDVIEW-2 ADE AYU MUSTIKA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN LAUT DANGKAL

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN LAUT DANGKAL PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN LAUT DANGKAL Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia PANDUAN TEKNIS PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN LAUT DANGKAL 2014 CRITC COREMAP II LIPI Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan penggunaan air tidak serta-merta dapat sepenuhnya terpenuhi oleh sumberdaya air yang ada. Kebutuhan air dapat terpenuhi secara berkala dan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau.

KATA PENGANTAR Pemetaan Sebaran dan Kondisi Ekosistem Lamun Di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karunia-nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang diajukan sebagai acuan pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL

EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL EVALUASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN WILAYAH PERAIRAN PESISIR SURABAYA TIMUR SIDOARJO DENGAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTITEMPORAL Grace Idolayanti Moko 1, Teguh Hariyanto 1, Wiweka 2, Sigit Julimantoro

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK

Diterima: 9 Februari 2008; Disetujui: 9 November 2008 ABSTRACT ABSTRAK ALGORITMA UNTUK ESTIMASI KEDALAMAN PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM + (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) Algorithm to estimate shallow water depth by using

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW), Surabaya, 11 Juni 2015, ISSN ANALISIS PARAMETER KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN SUMENEP UNTUK PEMBUATAN PETA SEBARAN POTENSI IKAN PELAGIS (Studi Kasus : Total Suspended Solid (TSS)) Feny Arafah, Muhammad Taufik, Lalu Muhamad

Lebih terperinci