BAB III LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Umum

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III LANDASAN TEORI

dimana: Fr = bilangan Froude U = kecepatan aliran (m/dtk) g = percepatan gravitasi (m/dtk 2 ) h = kedalaman aliran (m) Nilai U diperoleh dengan rumus:

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

PEMODELAN & PERENCANAAN DRAINASE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Gerusan Lokal

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

ANALISIS GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN MENGGUNAKAN METODE CSU

Disampaikan pada Seminar Tugas Akhir 2. Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta NIM :

BAB V SIMULASI MODEL MATEMATIK

MEKANISME GERUSAN LOKAL DENGAN VARIASI BENTUK PILAR (EKSPERIMEN)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

Bab III HIDROLIKA. Sub Kompetensi. Memberikan pengetahuan tentang hubungan analisis hidrolika dalam perencanaan drainase

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI. Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (2003:103) adalah saluran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akan memperpanjang aliran dan membentuk meander. Sungai dengan tikungan

BAB III LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

1 BAB VI ANALISIS HIDROLIKA

BAB III LANDASAN TEORI

PENGARUH VARIASI DEBIT ALIRAN TERHADAP GERUSAN MAKSIMAL DI BANGUNAN JEMBATAN DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS

BAB I PENDAHULUAN. perubahan morfologi pada bentuk tampang aliran. Perubahan ini bisa terjadi

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR SEGIEMPAT DENGAN VARIASI DEBIT

BAB V SIMULASI MODEL MATEMATIK

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL FISIK TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam Pada Aliran Subkritik)

BAB III LANDASAN TEORI

TUGAS AKHIR PERBEDAAN POLA GERUSAN LOKAL DI SEKITAR PILAR JEMBATAN ANTARA PILAR SILINDER DENGAN ELLIPS

Gambar 3.1 Daerah Rendaman Kel. Andir Kec. Baleendah

NASKAH SEMINAR 1. ANALISIS MODEL MATEMATIK GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN ALIRAN SUBKRITIK (Studi Kasus Pilar Kapsul dan Pilar Tajam)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. bangunan sungai seperti abutment jembatan, pilar jembatan, crib sungai,

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI 3 BARIS LURUS DAN 3 BARIS LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

PENGARUH PENEMPATAN TIRAI SEGITIGA LURUS DAN SEGITIGA LENGKUNG TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL

BAB I PENDAHULUAN. terbentuk secara alami yang mempunyai fungsi sebagai saluran. Air yang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Bagan Alir Rencana Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

MODEL ANALISIS ALIRAN PADA SALURAN TERBUKA DENGAN BENTUK PENAMPANG TRAPESIUM PENDAHULUAN

Sub Kompetensi. Bab III HIDROLIKA. Analisis Hidraulika. Saluran. Aliran Permukaan Bebas. Aliran Permukaan Tertekan

ANALISIS GERUSAN DI HILIR BENDUNG TIPE VLUGHTER (UJI MODEL LABORATORIUM)

PENGARUH BENTUK PILAR JEMBATAN TERHADAP POTENSI GERUSAN LOKAL

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Analisis Gradasi Butiran sampel 1. Persentase Kumulatif (%) Jumlah Massa Tertahan No.

BAB V SIMULASI MODEL MATEMATIK

I Putu Gustave Suryantara Pariartha

PENGARUH ARAH ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL DISEKITAR PILAR JEMBATAN. Skripsi

Nizar Achmad, S.T. M.Eng

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Bagan Alir Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Jembatan adalah suatu konstruksi yang menghubungkan dua bagian jalan

Hidrolika Saluran. Kuliah 6

MEKANISME PERILAKU GERUSAN LOKAL PADA PILAR TUNGGAL DENGAN VARIASI DIAMETER

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Data Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB V ANALISIS HIDROLIKA DAN PERHITUNGANNYA

ANALISIS POLA ALIRAN PERMUKAAN SUNGAI DENGKENG MENGGUNAKAN HYDROLOGIC ENGINEERING CENTER RIVER ANALYSIS SYSTEM (HEC-RAS)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keterangan melalui kutipan teori dari pihak yang kompeten di bidang

ANALISIS GERUSAN DI HILIR BENDUNG TIPE USBR-IV (UJI MODEL DI LABORATORIUM)

Klasifikasi Aliran Fluida (Fluids Flow Classification)

BAB III METODA ANALISIS

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

PERSAMAAN BERNOULLI I PUTU GUSTAVE SURYANTARA P

PENGENDALIAN GERUSAN DI SEKITAR ABUTMEN JEMBATAN

BAB III LANDASAN TEORI

PRINSIP DASAR HIDROLIKA

STRATEGI PEMILIHAN PEREDAM ENERGI

DAFTAR ISI Novie Rofiul Jamiah, 2013

POLA GERUSAN LOKAL PADA MODEL PILAR JEMBATAN LINGKARAN GANDA (DOUBLE CIRCULAR)

KAJIAN KEDALAMAN GERUSAN DISEKITAR ABUTMEN JEMBATAN TIPE WING WALL DAN SPILLTHROUGH TANPA PROTEKSI UNTUK SALURAN BERBENTUK MAJEMUK

BAB III METODE PENELITIAN. fakultas teknik Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian yang dilakukan

PENGARUH KECEPATAN ALIRAN TERHADAP GERUSAN LOKAL PADA PILAR JEMBATAN DENGAN PERLINDUNGAN GROUNDSILL

KAJIAN KAPASITAS SUNGAI LOGAWA DALAM MENAMPUNG DEBIT BANJIR MENGGUNAKAN PROGRAM HEC RAS

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB III LANDASAN TEORI

I-I Gambar 5.1. Tampak atas gerusan pada pilar persegi

DAMPAK PENYEMPITAN PENAMPANG SUNGAI TERHADAP KONDISI ALIRAN (Studi Kasus Pada Sungai Krueng Pase)

Pengukuran Debit. Persyaratan lokasi pengukuran debit dengan mempertimbangkan factor-faktor, sebagai berikut:

ANALISA PROFIL MUKA AIR BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN GERUSAN LOKAL PADA AMBANG DASAR AKIBAT VARIASI Q (DEBIT), I (KEMIRINGAN) DAN T (WAKTU)

Kata Kunci: Abutmen Spill-Through Abutment dan Vertical Wall Without Wing, Gerusan Lokal, Kedalaman Gerusan Relatif

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada

Desain Rehabilitasi Air Baku Sungai Brang Dalap Di Kecamatan Alas 8.1. DATA SISTEM PENYEDIAAN AIR BAKU LAPORAN AKHIR VIII - 1

MODEL LABORATORIUM PENGARUH VARIASI SUDUT ARAH PENGAMAN PILAR TERHADAP KEDALAMAN GERUSAN LOKAL PADA JEMBATAN DENGAN PILAR CYLINDER GROUPED

PERENCANAAN BENDUNG. Perhitungan selengkapnya, disajikan dalam lampiran. Gambar 2.1 Sketsa Lebar Mercu Bendung PLTM

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

Aliran Turbulen (Turbulent Flow)

Tabel 6.1 Gerusan Berdasarkan Eksperimen. Gerusan Pilar Ys Kanan Kiri. Jenis Aliran Sub kritik Super kritik. Jenis. Satuan. No.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

KARAKTERISTIK ZAT CAIR Pendahuluan Aliran laminer Bilangan Reynold Aliran Turbulen Hukum Tahanan Gesek Aliran Laminer Dalam Pipa

BAB VII PENELUSURAN BANJIR (FLOOD ROUTING)

BAB VI ANALISIS HIDROLIKA PENAMPANG SUNGAI DENGAN SOFTWARE HEC-RAS

BAB VIII PERENCANAAN BANGUNAN PELIMPAH (SPILLWAY)

BAB IV METODE PENELITIAN

ANALISIS DAN EVALUASI KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI SAMPEAN BONDOWOSO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS 4.1

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB III LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Aliran yang terjadi pada suatu sungai seringkali disertai dengan angkutan sedimen dan proses gerusan. Proses gerusan akan terbentuk secara alamiah karena adanya pengaruh morfologi sungai atau karena adanya struktur yang menghalangi aliran sungai. Angkutan sedimen terjadi karena aliran air sungai mempunyai energi yang cukup besar akan membawa sejumlah material. Perubahan morfologi sungai diikuti dengan perubahan karakteristik sungai dapat menyebabkan perubahan pola aliran. Bila di tengah sungai terdapat bengunan pilar jembatan maka akan mengakibatkan terjadinya gerusan lokal (local scouring) dan penurunan elevasi dasar (degredasi) di sekitar pilar jembatan tersebut. Chabert dan Engal Dinger (1956) proses gerusan dimulai pada saat partikel yang terbawa bergerak mengikuti pola aliran bagian hulu ke bagian hilir saluran. Pada kecepatan yang lebih tinggi maka partikel yang terbawa akan semakin banyak dan lubang gerusan akan semakin besar, baik ukuran maupun kedalamannya bahkan kedalaman gerusan maksimum akan dicapai pada saat kecepatran aliran mencapai kecepatan kritik. Lebih jauh lagi ditegaskan bahwa kecepatan yang berhubungan dengan transport sedimen baik yang masuk maupun yang keluar lubang gerusan, jadi kedalaman rata-rata terjadi pada kondisi equilibrium scour depth (Breuser dan Raudkiv, 1991 dalam Hutama,2015). Bagian-bagian dari pola aliran adalah arus bawah di depan pilar, pusaran sepatu kuda (horse shoes vortex), pusaran yang terangkat (cast-off vortices) dan pusaran yang menjalar (wake) dan punggung gelombang (how wave). Pilar merupakan bangunan bawah jembatan yang terletak di tengah bentang antara dua buah abutment yang berfungsi untuk memikul beban bangunan atas dan bangunan lainnya dan meneruskannya ke pondasi serta disebarkan ke tanah dasar. Beberapa hal yang 7

8 menjadi pertimbangan dalam menggunakan pilar pada suatu konstruksi jembatan antara lain ditinjau dari : 1. Bentang jembatan yang akan direncanakan 2. Kedalaman sungai atau perilaku sungai 3. Elemen struktur yang akan digunakan Pada umumnya pilar jembatan dipengaruhi oleh aliran sungai, sehingga dalam perencanaan perlu diperhatikan dari segi kekuatan dan keamanan dari aliran sungai itu sendiri, maka bentuk dan penampang pilar tidak boleh menghalangi aliran terutama pada saat terjadi banjir. Berbeda dengan abutment pada jembatan, suatu pilar belum tentu ada dalam suatu struktur jembatan. Apabila struktur ditempatkan pada suatu arus air, aliran air disekitar struktur akan berubah dan gradient kecepatan vertikal (vertical velocity gradient) dari aliran akan berubah menjadi gradien tekanan (pressure gradient) pada ujung permukaan struktur tersebut. gradient tekanan (pressure gradient) merupakan hasil dari aliran bawah yang membentur bed. Pada dasar struktur, aliran bawah ini membentuk pusaran yang pada akhirnya menyapu sekeliling bagian bawah struktur dengan memenuhi seluruh aliran (Miller, 2003 dalam Hutama, 2015). Peristiwa ini dinamakan pusaran tapal kuda (horseshoe vortex), dikarenakan apabila dilihat dari atas bentuk pusaran ini akan mirip dengan bentuk tapal kuda. Pada permukaan air, interaksi aliran dan struktur membentuk busur ombak (bow wave) yang disebut sebagai gulungan permukaan (surface roller). Pada saat terjadi pemisahan aliran pada struktur bagian dalam mengalami wake vorties.

9 Gambar 3.1 Mekanisme gerusan akibat pola aliran air di sekitar pilar (Sumber : Sucipto, 2011) Kedalaman gerusan tergantung oleh beberapa variabel yaitu karakteristik zat cair, material dasar, aliran dalam saluran dan bentuk pilar jembatan yang ditulis dengan y s = f (ρ, v, g, d, ρ s, y o, U, b). pada kondisi clear-water untuk dalamnya penggerusan dapat dihitung melalui persamaan-persamaan Raudviki (1991) dalam Hutama (2015) yaitu : yse = 2.3 Kσ Ks Kα Kdt Kd (3.1) dimana : K d K s K dt K a K σ a = faktor ketinggian aliran = faktor bentuk pilar = faktor ukuran pilar = faktor posisi pilar = faktor dari standar deviasi geometric distribusi ukuran partikel = sudut datang alir

10 Menurut Melville dan Satherland (1988) dalam Hutama (2015) dijelaskan, bahwa kedalaman gerusan dari gerusan lokal, ys, pada pilar dapat ditulis dalam persamaan : y se = KI Kσ Ks Kα Kdt Kd (3.2) dimana : Kd KI Ks Kα Kdt Kσ = faktor ketinggian aliran = faktor intesitas aliran = faktor bentuk pilar = faktor posisi pilar [0,78(yo/b)0,225] = faktor ukuran pilar = fungsi dari standar deviasi geometrik distribusi ukuran partikel Analisis hidrolika digunakan untuk mendapatkan tinggi muka air dan kecepatan aliran. Hidrolika juga digunkan dalam menganalisa koefisien manning atau koefisien kekasaran saluran pada sisi kiri, sisi kanan dan pada dasar saluran atau sungai. Analisa koefisien manning didasarkan pada tinggi muka air dan kecepatan aliran permukaan hasil pengamatan. Berdasarkan data debit yang diperoleh dari hasil pengukuran dan beberapa input nilai angka koefisien kekasaran saluran maka akan diperoleh nilai output berupa nilai tinggi muka air dan kecepatan aliran yang paling mendekati hasil pengamatan. Nilai koefisien manning inilah yang akan digunakan dalam analisa hidrolika selanjutnya terhadap kecepatan aliran, muka air, kecepatan geser dan kapasitas tampang lintasan air pada saluran. Analisis hodrolika pada penelitian ini menggunakan software HEC-RAS versi 5.0.3 untuk memodelkan aliran satu dimensi pada suatu saluran. Dalam aliran satu dimensi, kecepatan di setiap titik pada tampang lintang mempunyai besar dan arah yang sama. Sebenarnya jenis aliran semacan ini sangan jarang terjadi. Tetapi dalam analisis hidrolika, aliran tiga dimensi dapat disederhanakan menjadi aliran satu dimensi berdasarkan beberapa anggapan, misalnya mengabaikan perubahan kecepatan vertikal dan melintang terhadap

11 kecepatan arah memanjang. Keadaan pada tampang meilntang adalah nilai rerata dari kecepatan, rapat massa, dan sifat-sifat lainnya. Perubahan kecepatan aliran hanya terjadi pada arah aliran. Kedalaman gerusan lokal maksimum rerata di sekitar pilar sangat tegantung pada nilai telatif kecepatan alur di suatu saluran atau sungai (perbandingan antara kecepatan rerata aliran dan kecepatan geser), nilai diameter butiran (butiran seragam/tidak seragam) dan lebar pilar. Dengan demikian maka gerusan lokal maksimum rerata tersebut merupakan gerusan lokal maksimum dalam kondisi setimbang. B. Perilaku Aliran Tipe aliran dapat dibedakan menggunakan bilangan Reynolds. Menurut Reynolds tipe aliran dibedakan menjadi tiga jenis, antara lain : 1. Aliran laminar adalah suatu tipe aliran yang ditunjukkan oleh gerak partikelpartikel menurut garis-garis arusnya yang halus dan sejajar. Dengan nilai Reynolds lebih kecil dari lima ratus (Re < 500). 2. Aliran turbulen mempunyai nilai bilangan Reynolds yang lebih besar dari seribu (Re >1000), aliran ini tidak mempunyai garis-garis arus yang halus dan sejajar sama sekali. 3. Aliran transisi biasanya paling sulit diamati dan nilai bilangan Reynolds antara lima ratus sampai seribu (500 Re 1000). Persamaan untuk menghitung bilangan Reynolds yaitu : (3.3) Dimana : Re = bilangan Reynolds U = kecepatan aliran (m/dtk) l = panjang karakteristik (m) v = viskositas kinematik (m 2 /dtk) Tipe aliran dapat juga dibedakan dengan bilangan Froude, yaitu :

12 1. Aliran kritis, jika bilanganfroude sama dengan satu (Fr = 1) dan gangguan permukaan missal, missal akibat riak yang terjadi akibat batu yang dilempar ke dalam sungai tidak akan bergerak menyebar melawan arah arus. 2. Aliran subkritis, jika bilangan Froude lebih kecil dari satu (Fr < 1). Untuk aliran subkritis, kedalaman biasanya lebih besar dan kecepatan aliran rendah (semua riak yang timbul dapat bergerak melawan arus). 3. Aliran superkritis, jika bilanganfroude lebih besar dari satu (Fr > 1). Untuk aliran superkritis, kedalaman aliran relative lebih kecil dan kecepatan relatif tinggi (segala riak yang ditimbulkan dari suatu gangguan adalah mengikuti arah arus). Persamaan untuk menghitung bilangan Froude yaitu : (3.4) Dimana : Fr = bilangan Froude U = kecepatan aliran (m/dtk) g = percepatan gravitasi (m/dtk 2 ) h = kedalaman aliran (m) Nilai U diperoleh dengan rumus : (3.5) Dimana : Q = debit aliran (m/dtk 3 ) A = luas saluran (m 2 ) Nilai A diperoleh dengan rumus : A = b.h (3.6) Dimana : b = lebar saluran (m) h = tinggi saluran (m)

13 C. HEC-RAS Versi 5.0.3 HEC-RAS adalah sebuah program aplikasi yang didesain untuk melakukan berbagai analisis hidrolika terhadap pemodelan aliran satu dimensi pada saluran atau sungai, River Analysis System (RAS). Software ini dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satu divisi di dalam Institute for Water Resources (IWR), dibawah US Army Corps of Engineers (USACE). HEC-RAS Versi 5.0.3 memiliki empat komponen hitungan hidrolika satu dimensi yaitu a) hitungan profil muka air aliran permanen, b) simulasi aliran tidak permanen, c) hitungan angkutan sedimen, d) analisis kualitas air. Menurut Simple Geometry River (2011) apabila kecepatan, kedalaman, dan debit aliran tidak berubah terhadap waktu dalam kasus aliran permanen, maka ketiga parameter tersebut merupakan fungsi waktu dalam kasus aliran tak permanen (unsteady flow). Contoh dari aliran tidak permanen adalah perubahan debit di dalam pipa atau saluran, aliran banjir di sungai dan aliran di muara sungai yang dipengaruhi pasang surut. Pada permodelan aliran tidak permanen menggunakan HEC-RAS, ditetapkan syarat batas untuk melakukan analisa aliran tidak permanen. Pada bagian upstream sistem dapat dimodelkan dengan tipe kondisi batas : hidrograf aliran, hidrograft perancah, hidrograft aliran dan perancah. Pada downstream dari sistem sungai dapat dimodelkan dengan tipe kondisi batas : kurva ukuran, kedalaman normal, hidrograft perancah, hidrograft aliran, hidrograft perancah dan aliran. Selain itu, kondisi awal ditetapkan berdasarkan data debit aliran mula-mula atau data elevasi air yang diketahui pada potongan stasiun permodelan.

14 D. Persamaan Pada HEC-RAS Menurut Hutama (2015) hitungan hidrolika aliran pada dasarnya adalah mencari kedalaman dan kecepatan aliran di sepanjang alur yang ditimbulkan oleh debit yang masuk ke dalam alur dan kedalaman alioran di batas hilir. Hitungan hidrolika aliran di dalam HEC-RAS dilakukan dengan membagi aliran ke dalam dua kategori, yaitu aliran permanen dan aliran tak permanen. HEC-RAS menggunakan metode hitungan yang berbeda untuk masing-masing kategori aliran tersebut. Pada HEC-RAS 5.0.3, 1. Persamaan Energi HEC-RAS menghitung profil muka air di sepanjang alur urut dari satu tampang lintang ke tampang lintang berikutnya. Prosedur perhitungan didasarkan pada penyelesaian persamaan aliran satu dimensi melalui saluran terbuka. Aliran satu dimensi ditandai dengan besarnya kecepatan yang sama pada seluruh penampang atau digunakan kecepatan rata-rata. Profil muka air dihitung dari suatu penampang dengan Persamaan Energi melalui prosedur iterative yang disebut dengan Standard Step Method. Persamaan Energi yang dimaksud adalah (Ven Te Chow, 1997 dalam Hutama, 2015) : Y 2 + Z 2 + = Y 1 + Z 1 + + hf + he (3.7) dengan : Y 1, Y 2 Z 1, Z 2 V 1, V 2 = kedalaman air penampang 1 dan 2 (m) = elevasi dasar saluran pada penampang 1 dan 2 (m) = kecepatan rata-rata aliran pada penampang 1 dan 2 (m/dt) = koefisien energi pada penampang 1 dan 2 = percepatan gravitasi (m/dt 2 ) = kehilangan tekanan akibat gesekan (m) = kehilangan tekanan akibat pusaran (m)

15 Gambar 3.2 Diagram aliran berubah beraturan mengilustrasikan profil aliran yang menunjukan komponen aliran sesuai dengan suku-suku pada persamaan energi. Dari diagram aliran pada Gambar 3.2, tampak bahwa kedalaman aliran diukur ke arah vertikal. Gambar 3.2 Diagram aliran berubah beraturan (Sumber :Istiarto, 2014) 2. Kehilangan Tinggi Energi Kehilangan (tinggi) energi, he, di antara dua tampang lintang terdiri dari dua komponen, yaitu kehilangan energi karena gesekan (friction losses) dan kehilangan energi karena perubahan tampang (contraction or expansion). Kehilangan energi antara tampang 2 dan 1 dinyatakan dengan persamaan berikut : he = L Sf + C (3.8) dengan : L = panjang ruas sungai antar kedua tampang yang diberi bobot menurut debit

16 Sf C = representative friction slope antar kedua tampang. = koefisien kehilangan energy akibat perubahan tampang (kontraksi atau ekspansi) Dalam Hutama (2015) panjang ruas sungai antar dua tampang yang diberi bobot sesuai dengan debit dinyatakan dengan persamaan berikut : L = (3.9) dengan:, = panjang ruas sungai di sisi kiri (left overbank), alur utama (main channel), di sisi kanan (right overbank),,, = debit yang mengalir melalui left overbank, main channel, dan right overbank. 3. Kapasitas Angkut Tampang Kapasitas angkut dan kecepatan rata-rata di suatu tampang dihitung dengan membagi tampang menjadi beberapa bagian; di setiap bagian, kecepatan terbagi merata. Bagian-bagian tersebut dikelompokkan menjadi tiga alur yaitu alur bantaran kiri (left overbank), alur utama (main channel), dan alur bantaran kanan (right overbank). Besarnya debit dihitung perbagian penampang sungai dengan mengacu pada persamaan Manning s dalam Hutama (2015) berikut : Q = K Sf 2/3 (3.10) K = (3.11) dimana : K = kapasitas angkut tiap bagian tampang, n = koefisien kekasaran Manning tiap bagian tampang A = luas tampang basah tiap bagian tampang R = radius hidraulik tiap bagian tampang

17 Kapasitas angkut total suatu tampang adalah jumlah kapasitas angkut bagian tampang seperti yang diperlihatkan Gambar 3.3 Pembagian tampang untuk keperluan hitungan kapasitas angkut. Gambar 3.3 Pembagian tampang untuk keperluan hitungan kapasitas angkut (Sumber : Istiarto, 2014) 4. Tinggi Energi Kinetik Rata-Rata Karena HEC-RAS adalah model satu-dimensi, maka walaupun suatu tampang lintang dikelompokkan ke dalam beberapa bagian, namun hanya ada satu muka air di tampang lintang tersebut. dengan demikian, di satu tampang hanya ada satu nilai tinggi energi kinetik (rata-rata). Untuk satu muka air, tinggi energi kinetik rata-rata dihitung dengan merata-ratakan tinggi energi kinetik di ketiga bagian tampang (left overbank, main channel, right overbank) yang diberi bobot berdasarkan debit disetiap bagian tampang. Gambar 3.4 menunjukkan contoh hitungan tinggi energi kinetik rata-rata di sebuah tampang yang dibagi menjadi right overbank dan main channel (tidak ada left overbank).

18 Gambar 3.4 Hitungan tinggi energi kinetik rata-rata di suatu tampang. (Sumber : Istiarto, 2014) Dalam Hutama (2015) untuk menghitung tinggi energi kinetik rata-rata, diperlukan koefisian tinggi kecepatan,, yang dihitung dengan cara sebagai berikut : Dengan demikian : Atau pada umumnya: 5. Tinggi Hilang Karena Gesekan Kehilangan energi akibat gesekan (friction loss) merupakan perkalian antara kemiringan garis energi karena gesekan (friction slope), S f, dan panjang ruas suangai antara dua tampang, L. Kemiringan garis energi karena gesekan (friction slope) di suatu tampang dihitung dengan persamaan Manning sebagai berikut :

19 S f = (3.15) 6. Koefisien Persempitan dan Pelebaran Tampang Koefisien kehilangan energi karena kontraksi dan ekspansi dihitung dengan cara sebagai berikut : Dalam persamaan tersebut C adalah koefisien kontraksi atau ekspansi (lihat table 3.1). HEC-RAS menganggap aliran melewati kontraksi (persempitan tampang) apabila tinggi kecepatan hilir lebih besar daripada tinggi kecepatan hulu. Sebaliknya, ketika tinggi kecepatan hulu lebih besar daripada tinggi kecepatan hilir, HEC-RAS menganggap aliran melewati ekspansi (pelebaran tampang). Table 3.1 Koefisien penyempitan dan perluasan tampang Penyempitan Perluasan Tidak berubah 0.0 0.0 Masa berangsur - angsur 0.1 0.3 Karena ada Jembatan 0.3 0.5 Tiba tiba 0.6 0.8 Sumber : HEC-RAS Reference Manual (2016) 7. Persamaan Aliran Satu Dimensi Menurut anggapan secara mutlak dalam menganalisis pernyataan yang digunakan dalam HEC-RAS 5.0.3 bahwa : a. Aliran sungai adalah aliran tetap (steady flow). b. Aliran berangsur-angsur berubah (kecuali pada bangunan struktur hidraulik seperti : jembatan, gorong-gorong dan bendungan. Pada sebagian lokasi,

20 dimana aliran dapat dengan cepat berubah, persamaan momentum atau persamaan empiris lainnya digunakan). c. Aliraan satu dimensi. d. Saluran sungai memiliki kemiringan (slope) yang kecil, kurang dari 1:10. Aliran dianggap tetap (steady) karena hubungan waktu tidak bergantung pada persamaan energi (persamaan 3.7). Aliran dianggap berangsur-angsur berubah karena persamaan 3.7 berdasarkan pada bahwa adanya pembagian tekanan hidrostatis pada setiap tampang. Pada lokasi dimana aliran dengan cepat berubah, HEC-RAS mengganti persamaan momentum atau persamaan empiris yang lain. Batas slope yang kurang dari 1:10 berdasarkan fakta bahwa bermula dari persamaan energi dihitung tekanan vertikalnya dengan : (3.17) Dimana: H p = Tekanan vertikal d = Kedalaman aliran = Kemiringan saluran bawah ditandakan dengan derajat Tabel 3.2 Kemiringan dan nilai Kemiringan Derajat 1:10 5,71 0,995 2:10 11,31 0,981 Kemiringan Derajat 3:10 16,70 0,958 4:10 21,80 0,929 5:10 26,57 0,894 Sumber : HEC-RAS Reference Manual (2016)

21 8. Persamaan Froehlich Dalam menganalisis gerusan lokal yang menggunakan persamaan yang dibuat oleh Dr. David Froehlich pada tahun 1991 digunakan rumus dalam Farsirotou,E., V.Dermissis dan J.Soulis (----) sebagai berikut : y s = 0.32 (a ) 0.62 0.47 0.22 y 1 Fr 1 D -0.09 50 + a (3.18) dimana : = faktor koreksi bentuk pilar a', a = dimensi lebar pilar rencana y 1 Fr 1 D 50 = kedalaman hulu aliran = angka froud = 0.975 (hasil penelitian gradasi butiran) E. Angka Kekasaran Manning Pada tahun 1889 seorang insinyur Irlandia, Robbert Manning mengemukakan sebuah rumus yang akhirnya diperbaiki menjadi rumus yang dikenal sebagai : (3.19) Dimana : V = kecepatan rata-rata (m/dt) R = radius/jari-jari hidrolik (m) S = kemiringan saluran n = kekasaran dari Manning Rumus ini dikembangkan dari tujuh rumus berbeda, berdasarkan data percobaan Bazin yang selanjutnya dicocokkan dengan 170 percobaan. Akibat sederhananya rumus ini dan hasilnya yang memuaskan dalam pemakaian praktis, rumus Manning menjadi sangat banyak dipakai dibandingkan dengan rumus aloiran seragam lainnya untuk menghitung aliran saluran terbuka.

22 Angka kekasaran manning adalah suatu nilai koefisien yang menunjukkan kekasaran suatu permukaan saluran atau sungai baik pada sisi maupun dasar saluran atau sungai. Nilai kekasaran manning memiliki hubungan terhadap kecepatan aliran yang terjadi pada suatu penampang. Semakin besar nilai angka kekasaran manning, maka kecepatan aliran pada suatu penampang akan semakin kecil, begitu pula sebaliknya semakin kecil angka kekasaran manning maka kecepatan aliran yang terjadi pada suatu penampang akan semakin besar.