II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Komoditas Peternakan Pengembangan jenis ternak tertentu harus memperhatikan faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Pada pengembangan peternakan rakyat, daya dukung wilayah ditekankan pada kebutuhan ternak pemakan hijauan, dalam hal ini ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa). Daya dukung pakan merupakan kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan dan menyediakan makanan ternak yang dapat menampung kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia tanpa melalui pengolahan. Dalam menghitung daya dukung digunakan beberapa asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Satuan yang digunakan adalah satuan ternak (Syamsu, 2006). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan yaitu, pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Untuk pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua (kadangkadang tidak dilakukan) merupakan analisis sosial ekonomi yang dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis-analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberikan petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen peternakan tersebut meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak yang harus ditingkatkan peranannya (Ditjennak dan Balitnak
1995). Usaha peternakan sangat berkaitan dengan lahan karena menentukan ketersediaan hijauan makanan ternak. Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan (land based agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land based agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan, yaitu ternak yang komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminose), maka lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan (Suratman et al. 1998). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternakan antara lain adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat. Lahan sawah akan menghasilkan jerami, dedak, dan bekatul, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain (Riady 2004). Persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas minimum, optimum, dan maksimum (Djaenudin et al. 2000). Untuk komoditas peternakan berupa hijauan makanan dapat hanya menggunakan klasifikasi berdasarkan ordo Sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Penilaian ini dilakukan terhadap persyaratan lingkungan untuk ternak sapi dan kerbau (Suratman et al. 1998). 2.2 Komoditas Peternakan Komoditas peternakan dikembangkan sesuai dengan permintaaan pasar. Permintaan pasar dapat menggambarkan prospek pengembangan komoditas peternakan. Salah satu indikator untuk pengembangan peternakan adalah konsumsi daging. Kebutuhan daging nasional berasal dari daging unggas 57%, daging sapi 24%, daging babi 11%, daging kambing/domba 5 %, daging kerbau dan kuda 3% (Ilham et al. 2002). Profil usaha peternakan di sektor primer menunjukan bahwa usaha peternakan unggas, sapi, dan kambing/domba memberikan peluang usaha yang baik sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu
industri yang terintegrasi dan sangat dinamis sehingga mampu menjadi pemicu utama perkembangan usaha peternakan. Sementara itu kontribusi daging sapi juga cukup besar walaupun ketergantungan pada impor bakalan sapi masih cenderung terus meningkat. Usaha penggemukan sapi menjadi usaha yang diminati. Pemenuhan kebutuhan daging juga diperoleh dari penggemukan kerbau dengan memanfaatkan kerbau lokal sebagai bakalan (Dwiyanto et al. 2005). Ilham et al. (2002) menambahkan bahwa usaha ternak di Indonesia, khususnya ternak sapi dan kambing/domba masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat yang dicirikan dengan skala pemilikan yang kecil, dikelola sebagai usaha sambilan dan penggunaan input dan output yang belum berorientasi pasar. Perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya seiring dengan perkembangan populasi ternak. Sentra populasi ternak sapi belum tentu sebagai sentra produksi daging sapi. Hal ini memungkinkan karena terjadi perdagangan ternak antar daerah. Perkembangan produksi daging sapi di suatu daerah menggambarkan perkembangan pemotongan sapi di daerah tersebut (Kariyasa dan Kasryno 2004). 2.3 Wilayah Pemasaran Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Dirjen Penataan Ruang 2007). Menurut Rustiadi et al. (2008) istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Mengidentifikasi wilayah menurut Tarigan (2004) dapat dilakukan dengan melihat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Berdasarkan fungsinya, wilayah dapat dibedakan menjadi misalnya kota dengan wilayah di belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan sebagainya.
Kotler (1990) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang dinilai. Rahim dan Hastuti (2007) menambahkan bahwa kegunaan kegiatan pemasaran, antara lain : selalu mengusahakan tersedianya komoditas dalam bentuk yang diinginkan (form utility), menyuguhkan tepat pada lokasi dan saat dibutuhkan (place and time utility) dan kegunaan kepemilikan (possessing utility). Menurut Soekartawi (2002) pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu dikenal dengan saluran pemasaran atau marketing channel. Fungsi saluran pemasaran ini amat penting khususnya dalam melihat tingkat harga di masing-masing lembaga pemasaran. Proses pemasaran merupakan wadah atau cara untuk menyatukan pasar yang terpisah. Keterpisahan pasar bisa disebabkan oleh ruang, bentuk dan waktu yang diinginkan konsumen. Dari sini dapat dilihat kesanggupan sistem pemasaran mempertemukan permintaan dengan kegoncangan penawaran, baik karena ruang, waktu, maupun bentuk dan sebaliknya (Ali et al. 2004). Sistem pemasaran sendiri menurut Firman dan Tawaf (2008) merupakan suatu kesatuan urutan lembagalembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk mengalirkan barang dan jasa dari produsen dan konsumen, dan sebaliknya mengalirkan uang dari konsumen ke produsen. Adapun pola perdagangan ternak didasarkan pada dua hal, yaitu adanya daerah surplus ternak dan daerah pemasaran. 2.4 Aliran Pemasaran Antar Wilayah Jenis komoditas dan pasar merupakan hubungan yang berlangsung dinamis, sedangkan sifat pemasaran untuk komoditas pertanian sering berubah terus menerus. Oleh karena itu harus ada pemahaman bagaimana pasar berfungsi, pemanfaatan, dan pengaruhnya terhadap lingkungan (Garcia dan Leuthold 2004). Namun demikian perubahan pasar dapat disebabkan oleh selera konsumen, perilaku pembeli, dan kebijakan pemerintah (Lindgreen dan Beverland 2004).
Sedangkan menurut Soekartawi (2002) berubahnya permintaan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besarnya tingkat pendapatan, harga, dan selera konsumen. Aspek pemasaran banyak ditentukan oleh imbangan permintaan dan penawaran karena imbangan ini yang akan menentukan harga. Sedangkan berubahnya faktor penawaran banyak dipengaruhi oleh karakteristik faktor produksi dan manajemen. Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menentukan perubahan harga. Dilihat dari perubahan harga ini, maka pengaruh harga komoditas subsitusi atau komoditas komplementer adalah penting sekali. Dengan demikian maka besar kecilnya elastisitas harga terhadap besarnya permintaan dan penawaran juga akan terpengaruh oleh adanya perubahan harga komoditas subsitusi (Soekartawi 2002). Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya, dimana makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen) berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) (Rahim dan Hastuti 2007). Penyediaan ternak bertujuan untuk kebutuhan konsumsi lokal dan konsumsi wilayah lain yang dilaksanakan melalui perdagangan antar pulau atau perdagangan antar provinsi (Bulu et al. 2004). Tetapi perlu disadari bahwa komoditas peternakan memiliki sifat meruah (bulky) dan mudah busuk (perishable) (Syahyuti 1999). Keterbatasan ini menurut Firman dan Tawaf (2008) memerlukan sistem pemasaran yang cepat dan mudah agar produk dapat sampai ke tangan konsumen. Besarnya permintaan ternak dapat dilihat tingkat konsumsi masyarakat. Kariyasa dan Kasryno (2004) mengemukakan bahwa masuknya perdagangan ternak (sapi potong) ke suatu daerah dapat mengidentifikasikan besarnya kebutuhan konsumsi daging di daerah tersebut.
Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu wilayah. Dalam hukum penawaran, produsen akan menawarkan barang jika harga tinggi sehingga semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak pula jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh produsen (Rahim dan Hastuti 2007). Mengetahui hal-hal yang menentukan pola aliran komoditas antar wilayah dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan dan perbaikan infrastruktur transportasi serta kebijakan pembangunan wilayah. Pada aliran komoditas antar wilayah dengan data yang baik dapat menjelaskan secara baik gambaran ekonomi antar wilayah. Parameter yang dapat diamati seperti penggunaan tenaga kerja, nilai tambah komoditas, dan pendapatan per kapita pada dua wilayah yang berinteraksi (Celik dan Guldmann 2007). 2.5 Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas dari produsen hingga konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainya. Lembaga pemasaran timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditas sesuai waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran (Rahim dan Hastuti 2007). Fungsi lembaga pemasaran dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, yang dicirikan oleh aktifitas yang dilakukan dan skala usahanya. Misalnya pedagang pengumpul tugasnya adalah membeli barang untuk dikumpulkan baik dari produsen atau pedagang perantara dengan skala yang relatif besar dibandingkan dengan skala usaha pedagang perantara. Begitu pula halnya dengan pedagang besar, mempunyai skala usaha yang lebih besar dari pada pedagang pengumpul. Masing-masing lembaga pemasaran, sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara berbeda-beda. Karena perbedaan kegiatan dan biaya yang dilakukan maka tidak semua kegiatan dalam fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga pemasaran. Karena perbedaan inilah maka biaya dan keuntungan pemasaran menjadi berbeda di tiap tingkat lembaga pemasaran (Soekartawi 2002).
Purwono (1993) mengemukakan bahwa dalam kegiatan pemasaran komoditas peternakan ada yang melibatkan banyak lembaga, sehingga mempunyai rantai pemasaran yang panjang, tetapi ada pula saluran pemasaran yang melibatkan sedikit lembaga, sehingga mempunyai saluran yang pendek. Masalah saluran pemasaran ini bukan semata-mata terletak pada panjang pendeknya saluran tetapi saluran mana yang memberikan tingkat efisiensi yang paling tinggi. Untuk itu menurut Firman dan Tawaf (2008), hal terpenting dalam proses tataniaga adalah mekanisme penentuan harga di setiap tahap tataniaga dan peran pengambil keputusan dalam menentukan tingkat harga. 2.6 Harga dan Margin Harga adalah indikator penting dalam pemasaran. Tekanan pokok efisiensi pemasaran terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Terbentuknya harga dalam pasar sudah mencakup biaya transfer yang dikeluarkan (Purwono 1993). Kebijaksanaan harga bermanfaat untuk menjaga dan melindungi petani agar tidak memperoleh harga yang rendah ketika jumlah komoditas banyak dan melindungi konsumen ketika harga komoditas meningkat tajam (Soekartawi 2002). Untuk penentuan harga komoditas peternakan di masyarakat peternak, pada prakteknya lebih banyak ditentukan oleh pedagang. Pedagang memiliki bergaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak yang didukung sekurang-kurangnya oleh dua hal, yaitu penentuan harga dan perkiraan nilai ternak (Syahyuti 1999). Bulu et al. (2004) menambahkan bahwa harga di tingkat peternak dipengaruhi oleh orientasi pasar, informasi harga, dan persaingan antar pembeli. Peternak yang berorientasi pasar akan aktif mencari informasi harga dan akan memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar. Daya tawar peternak juga akan semakin kuat jika jumlah pembeli perantara (belantik) semakin banyak. Penjualan ternak sapi melalui blantik dilandasi oleh beberapa alasan yaitu : (1) petani belum mampu mengakses pasar, (2) lokasi pasar cukup jauh, (3) banyak persyaratan administrasi dan biaya yang dikeluarkan petani jika menjual ke pasar, (4) menjual melalui blantik dianggap lebih praktis dan cepat karena tidak mengeluarkan biaya apapun, dan (5) pembayaran tunai (Bulu et al. 2004)
Margin pemasaran diartikan sebagai perbedaan harga pada tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. Analisis margin pemasaran dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan efektifitas pemasaran. Margin pemasaran terbagi dan tersebar di antara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer. Perbedaan harga inilah merupakan penyebab terjadinya suatu perdagangan antar lokasi. Untuk mempertahankan perdagangan antar daerah maka perlu diupayakan agar margin tataniaga mempunyai nilai seminimal mungkin, sehingga mempunyai daya saing dengan produk sejenis di daerah tujuan pemasaran (Ilham 2001; Kariyasa dan Kasryno 2004). Saluran pemasaran yang pendek dan terintegrasinya lembaga-lembaga pemasaran secara vertikal maupun horizontal akan mendukung efisiensi pemasaran ternak sapi, baik dalam hal operasional maupun biaya (Bulu et al. 2004; Widyantoro et al. 2004). Sedangkan menurut Dwiyanto et al. (2005) untuk komoditas unggas terutama produk ayam ras pedaging maupun petelur, maka perkembangan pasar dan harga sangat fluktuatif tergantung dari kesediaan pasokan input dan output, tetapi untuk unggas lokal (ayam kampung dan itik) hal ini tidak terlalu berpengaruh. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh McCorriston (2001) bahwa berubahan harga dapat lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kekuatan pasar dan skala produksi. 2.7 Wilayah Pemasaran dalam Sistem Informasi Geografis Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang bereferensi geografi. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, trend, pola, dan permodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi
lebih banyak memperoleh informasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Suharta et al. (1996) pembangunan pertanian modern antara lain dicirikan oleh penggunaan teknologi tinggi, akrab lingkungan, dan pemilihan komoditas yang berorientasi pasar. Untuk menunjang hal tersebut maka data dan informasi sumberdaya lahan dan lingkungannya sangat diperlukan dalam waktu cepat, mudah, dan akurat. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan apabila data dan informasi tersebut tersimpan dalam suatu sistem basis data yang mampu bekerja dan menganalisis data secara cepat dan menampilkan hasilnya dalam berbagai format sesuai dengan keinginan pengguna, baik dalam bentuk tabular maupun spasial. Pengorganisasian data yang mempunyai dimensi ruang (spasial) seperti informasi lahan dan data iklim, dipermudah dengan berkembangnya ilmu dan perangkat lunak SIG. Hasil analisis dalam bentuk spasial atau tabular dapat disimpan dalan bentuk digital dan ditampilkan ulang untuk berbagai penggunaan yang lainnya.