ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU YUHENDRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU YUHENDRA"

Transkripsi

1 ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU YUHENDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2009 Yuhendra NIM A

3 ABSTRACT YUHENDRA. Regional Analysis of Livestock Commodities Development in Riau Province. Under direction of SETIA HADI, BABA BARUS, dan BOEDI TJAHJONO. The development of livestock potential is expected to reduce of production and market unbalances. Knowing patterns of marketing of livestock commodities inter-regions may increase some added value of commodities. The purposes this research are: 1) to analyze the potential of livestock commodities in the public lands in Riau province, 2) to analyze flow of livestock commodities marketing inter-region in Riau Province, 3) to analyze trade order (price, marketing margins, and institutional) of livestock commodities in Riau Province, 4) to arrange direction of livestock commodities development based marketing potential, 5) to arrangement livestock development strategy Riau Province. Analysis for regional carrying capacity was based on the availability of forage; analysis for marketing flow of livestock commodities used the gravity model analysis and entropy interaction model with doubly constrained; analysis of trading system employed margin trading system analysis; hierarchy analysis used scalogram method; and spatial analysis used geographic information system applications. The result showed the possibility for development of cattle and buffaloes for 81.48%, and broiler for 7% of its carrying capacity respectively. The flow of cattle marketing is influenced by farmers productivity in the origin region. The Cattle s production region is exhibited in the Indragiri Hulu, Kampar, Rokan Hulu, and Kuantan Singingi and the marketing region is belonged to Siak, Bengkalis and Rokan Hilir. The flow of buffalo commodities marketing is more determined by slaughtering at destination region. The buffalo s production is exhibited in the Kampar and Kuantan Singingi and the marketing is exhibited in the Pekanbaru, Siak, Dumai and Rokan Hilir. The main factor determining the flow of broiler marketing is the population in origin region and the consumption of broiler in destination region. So that development of broiler s production region is directed to Pekanbaru, Kampar, Pelalawan, dan Siak, and marketing region is directed to Bengkalis, Dumai, Indragiri Hilir, and Rokan Hilir. The shorter the chain of trade procedures, so the lesser cost for marketing expenditure. However, the length of chain trading system does not affect to consumer price. The flow of cattle and buffalo commodities market moves from South to North, while the broiler moves from the region in the middle area, and the domestic chicken exhibite at all regions. Kuantan Singingi is the main region for livestock commodities production and the central region for livestock commodities marketing service is Pelalawan and Bengkalis. Keywords: inter-regional interaction, origin-destination, marketing flow, livestock commodities.

4 RINGKASAN YUHENDRA. Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau. Dibimbing oleh SETIA HADI, BABA BARUS, dan BOEDI TJAHJONO. Pembangunan wilayah tidak terlepas dari hubungan antar wilayah dan antar sektor. Pengembangan pendekatan pembangunan sektoral yang berdimensi wilayah merupakan sebuah langkah inovatif. Contoh aktual yang sekarang sedang berjalan adalah di bidang sub sektor peternakan. Pengembangan komoditas peternakan di Provinsi Riau diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya ketimpangan produksi dan pasar. Beragamnya pola interakasi antar wilayah pemasaran komoditas peternakan ini secara ekonomi sebenarnya mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tetapi karena pola tersebut tidak teridentifikasi maka akan menyulitkan dalam pengembangan komoditas peternakan. Tujuan penelitian ini adalah : 1) menganalis potensi komoditas peternakan di lahan masyarakat Provinsi Riau, 2) menganalisis aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau, 3) menganalisis tata niaga (harga, margin pemasaran, dan kelembagaan) komoditas peternakan Provinsi Riau, 4) menyusun arah pengembangan komoditas peternakan berdasarkan potensi pemasaran, dan 5) menyusun strategi pembangunan peternakan Provinsi Riau. Analisis daya dukung wilayah dilakukan dengan melihat kapasitas tampung dari wilayah berdasarkan ketersediaan hijauan. Aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah menggunakan analisis Model Gravitasi dan Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda. Analisis margin tata niaga digunakan untuk mengetahui efesiensi pemasaran komoditas peternakan dengan melihat biaya pemasaran dan keuntungan pelaku pemasaran dalam rantai tata niaga pemasaran. Analisis hirarki wilayah menggunakan Metode Skalogram. Analisis spasial dilakukan dengan memanfaatkan aplikasi sistem informasi geografis. Provinsi Riau memiliki potensi daya dukung lahan cukup besar karena kemampuan wilayah untuk pengembangan komoditas sapi dan kerbau baru dipenuhi 18,52%, Komoditas ayam ras pedaging mampu memenuhi kebutuhan wilayah sebesar 92,93%, sedangkan komoditas ayam buras telah mampu memenuhi kebutuhan wilayah. Potensi komoditas sapi dan kerbau terdapat di wilayah Riau Bagian Selatan yaitu Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Sedangkan kebutuhan komoditas ayam ras pedaging dominan terdapat di Pekanbaru, Indragiri Hilir, Kampar, Rokan Hilir dan Bengkalis. Aliran pemasaran komoditas sapi dipengaruhi oleh besarnya produktifitas sumberdaya manusia peternakan wilayah asal. Wilayah yang dapat dikembangkan sebagai wilayah produksi adalah Indragiri Hulu, Kampar, Rokan Hulu dan Kuantan Singingi. Pemasaran komoditas sapi membentuk wilayah simpul pasar yaitu Pekanbaru dan selanjutnya dialirkan ke Siak, Bengkalis dan Rokan Hilir yang merupakan wilayah pemasaran. Aliran pemasaran komoditas kerbau lebih ditentukan oleh daya tarik wilayah tujuan berupa pemotongan ternak. Wilayah yang dapat dikembangkan menjadi

5 wilayah produksi adalah Kampar dan Kuantan Singingi dan wilayah pemasaran Pekanbaru, Siak, Dumai dan Rokan Hilir. Faktor pendorong pemasaran komoditas ayam ras pedaging adalah populasi ternak wilayah asal dengan wilayah produksi adalah Kampar, Pekanbaru, Pelalawan, dan Siak. Faktor daya tarik wilayah tujuan pada pemasaran komoditas ayam ras pedaging adalah konsumsi wilayah tujuan. Wilayah pemasaran untuk komoditas ini adalah Bengkalis, Dumai, Indragiri hilir, dan Rokan Hilir. Pengembangan wilayah produksi diarahkan di Kabupaten Kampar, Rokan Hulu, dan Kuantan Singingi karena potensi pengembangan yang besar dan harga komoditas peternakan relatif lebih murah. Pada rantai tata niaga pemasarannya, nilai tambah komoditas lebih banyak dinikmati oleh pedagang besar dan pedagang pengecer. Pengurangan rantai tata niaga tidak memberikan pengurangan harga pada harga jual di konsumen. Pada wilayah pemsaran seperti Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai harga komoditas peternakan relatif lebih tinggi. Tingginya harga di ketiga kabupaten wilayah tersebut karena permintaan yang tinggi serta jarak yang jauh dari wilayah asal komoditas. Kabupaten Kuantan Singingi merupakan wilayah utama produksi komoditas peternakan. Pada Hirarki kedua, yang merupakan wilayah tengah, terdapat Kabupaten Indragiri Hulu, Pelalawan, Kampar dan Rokan Hulu. Sedangkan kabupaten dan kota lainnya merupakan wilayah dengan fasilitas peternakan yang rendah. Wilayah pusat pelayanan pemasaran komoditas peternakan yaitu Kabupaten Pelalawan dan Bengkalis. Pusat pelayanan pemasaran ini membagi wilayah Provinsi Riau menjadi dua klaster yaitu Riau Bagian Utara dengan Bengkalis sebagai pusat pemasaran dan Riau Bagian Selatan dengan Pelalawan sebagi pusat pemasaran. Adanya pusat pelayanan pemasaran akan dapat meningkatkan efesiensi rantai tata niaga dan pelayanan serta memantau dan menjaga stabilitas harga pada rantai tataniaga sehingga benefit share menjadi lebih adil. Wilayah produksi yang terletak di Kuantan Singingi dan sekitarnya mengindikasikan bahwa kawasan bagian selatan, merupakan kawasan yang cocok untuk kegiatan budidaya komoditas peternakan. Komoditas peternakan yang produksinya perlu dipertahankan adalah ayam ras pedaging, sedangkan komoditas yang produksinya perlu ditingkatkan adalah sapi. Pengembangan ternak kerbau dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah tertentu. Di wilayah produksi peningkatan infrastruktur peternakan yang perlu dibangun adalah poskeswan, Pos Inseminasi Buatan, dan sentra pembibitan ternak. Wilayah pemasaran diarahkan kepada penyiapan fasilitas pelayanan pemasaran ternak seperti rumah potong, pasar ternak dan penampungan ternak. Fasilitas ini, untuk wilayah Riau Bagian Utara dapat dibangun di Kabupaten Bengkalis, sedangkan di wilayah selatan dapat dibangun di Pelalawan. Kata kunci: interaksi antar wilayah, asal-tujuan, aliran pemasaran, komoditas peternakan.

6 @Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 ANALISIS WILAYAH PENGEMBANGAN KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU Y U H E N D R A Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc.

9 Judul Penelitian : Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau Nama : Yuhendra NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. Ketua Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. Anggota Dr. Boedi Tjahjono Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 23 Oktober 2009 Tanggal Lulus : 2 Nopember 2009

10 Karya kecil ku ini ku persembahkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia Terima kasih ku kepada istri tercinta Lili Suryani dan dua orang mentari hati ku Fahra Halimah dan Aisyah Humairah Sujud simpuh dihaturkan kepada kedua orang tua dan mertua

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2009 ini ialah interaksi wilayah dengan judul Analisis Wilayah Pengembangan Komoditas Peternakan di Provinsi Riau. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Baba Barus, M.Sc. dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono selaku anggota komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan masukan. Selanjutnya, penulis sampaikan terima kasih kepada Pusbindiklatren Bappenas atas beasiswa yang diberikan dan Pemerintah Provinsi Riau yang telah memberikan izin tugas belajar. Kepada seluruh staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) IPB, penulis sampaikan ucapan terima kasih atas bekal ilmu dan wawasan serta bantuan atas kelancaran administrasi selama melaksanakan studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pelaku pemasaran peternakan di Provinsi Riau yang telah bersedia menjadi narasumber untuk bahan dalam penyusunan karya tulis ini. Tak lupa ucapan terima kasih ditujukan untuk teman teman PWL angkatan 2008, atas bantuan, kerjasama dan dorongan yang tiada henti dalam proses penyelesaian karya tulis ini. Terakhir dan terpenting, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh keluarga besar yang berada di Pekanbaru, atas pengertian, do a dan kasih sayang yang tiada henti. Ibarat kata pepatah tak ada gading yang tak retak, meskipun dalam karya tulis ini masih banyak ditemui kekurangan dan keterbatasan, namun semoga tetap dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2009 Penulis

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 16 Juli 1975 dari ayah A. Muaz Syarif dan ibu Yusraini. Penulis merupakan putra pertama dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1994 penulis lulus dari SMT Pertanian Air Molek dan pada tahun yang sama diterima pada program Diploma III Teknisi Peternakan Fakultas Peternakan IPB. Setelah menyelesaikan pendidikan Diploma III pada tahun 1997, penulis meneruskan pendidikan dengan mengikuti program Alih Jenjang di Program Studi Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun Setelah lulus pendidikan sarjana, penulis bekerja sebagai Field Officer di Community Development sebuah perusahaan swasta di Provinsi Riau. Kemudian diterima dan memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada Tahun 2005 dan ditempatkan sebagai staf pada Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau hingga saat ini.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 7 II TINJAUAN PUSTAKA Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Komoditas Peternakan Komoditas Peternakan Wilayah Pemasaran Aliran Pemasaran Antar Wilayah Lembaga Pemasaran Harga dan Margin Wilayah Pemasaran dalam Sistem Informasi Geografis III METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data Analisis Daya Dukung Wilayah Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Analisis Tata Niaga Pemasaran Analisis Hirarki Wilayah Berdasarkan Inftrastruktur Peternakan Analisis Spasial IV GAMBARAN UMUM PROVINSI RIAU Kondisi Geografis Wilayah Administrasi Demografi Pendapatan Domestik Regional Bruto Potensi Peternakan V HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Dukung Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Komoditas Sapi Komoditas Kerbau Komoditas Ayam Ras Pedaging Analisis Tata Niaga Pemasaran Tata Niaga Pemasaran Komoditas Sapi Tata Niaga Pemasaran Komoditas Kerbau... 61

14 5.3.3 Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Ras Pedaging Tata Niaga Pemasaran Komoditas Ayam Buras Kelembagaan Pemasaran Komoditas Peternakan Analisis Hirarki Wilayah Peternakan Analisis Hirarki Wilayah Produksi Analisis Hirarki Wilayah Pemasaran Strategi Pembangunan Peternakan di Provinsi Riau VI SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 88

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Luas arahan pemanfaatan ruang wilayah darat Provinsi Riau sampai dengan tahun Sumbangan produksi daging komoditas peternakan di Provinsi Riau tahun Aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber, cara pengumpulan data dan output penelitian Luas dan jenis satuan tanah di Provinsi Riau Jumlah kecamatan, kelurahan/desa menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) Kontribusi menurut lapangan usaha PDRB Provinsi Riau tanpa dan dengan migas tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (%) Populasi ternak di Provinsi Riau tahun Konsumsi daging per kapita di Provinsi Riau tahun 2007 (kg/tahun) Konsumsi daging per kabupaten dan kota di Provinsi Riau tahun 2007 (kg) Luas lahan potensial sumber pakan ternak menurut jenis dan kabupaten/kota Kapasitas tampung lahan potensial sumber pakan ternak untuk komoditas sapi dan kerbau pada setiap kabupaten/kota (ekor) Populasi, potensi dan peluang pengembangan sapi dan kerbau di Provinsi Riau (ekor) Potensi konsumsi komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras pada setiap kabupaten/kota (ekor) Populasi, potensi dan peluang pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras di Provinsi Riau (ekor) Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas sapi Pola aliran pemasaran komoditas sapi Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas kerbau Pola aliran pemasaran komoditas kerbau Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging... 53

16 23 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas sapi (Rp) Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas sapi Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas kerbau (Rp) Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas kerbau Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging (Rp) Rata-rata margin share pada rantai tata niaga komoditas ayam ras pedaging Perbandingan harga di tingkat peternak dan konsumen dan margin pada rantai tata niaga komoditas ayam buras (Rp) Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah produksi berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan Hirarki dan tingkat perkembangan wilayah pemasaran berdasarkan ketersediaan infrastruktur peternakan Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas sapi (ekor) Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas kerbau (ekor) Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas ayam ras pedaging (ekor) Perbandingan populasi, peluang pengembangan dan produksi komoditas ayam buras (ekor)... 84

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian Skema alur kerja penelitian Peta administrasi Provinsi Riau Dinamika perkembangan populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau Peta penyebaran populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun Peta penyebaran ternak ayam buras, itik dan ayam ras pedaging Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun Peta populasi, potensi dan peluang pengembangan ternak sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan kabupaten dan kota Pola aliran pemasaran komoditas sapi Peta aliran pemasaran komoditas sapi Peta aliran pemasaran komoditas kerbau Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Peta aliran pemasaran ayam ras pedaging Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas sapi di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas sapi di Provinsi Riau Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas kerbau di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas kerbau di Provinsi Riau Peta sebaran harga pada tata niaga komoditas ayam ras pedaging di tingkat peternak dan di tingkat konsumen akhir Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam ras pedaging di Provinsi Riau Rantai tata niaga dan benefit share pemasaran komoditas ayam buras di Provinsi Riau Peta hirarki wilayah produksi komoditas peternakan Peta hirarki wilayah pemasaran komoditas peternakan Strategi pengembangan komoditas sapi... 79

18 23 Strategi pengembangan komoditas kerbau Strategi pengembangan komoditas ayam ras pedaging... 82

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis daya dukung lahan sumber pakan ternak Matrik aliran pemasaran komoditas sapi (ekor) Matrik aliran pemasaran komoditas kerbau (ekor) Matrik aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging (ekor) Daftar infrastruktur peternakan per kabupatan/kota di Provinsi Riau... 99

20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prinsip penting dalam pelaksanaan pembangunan wilayah yang utuh dan terpadu adalah kemampuan mengetahui potensi wilayah yang ada dan dikembangkan dengan berbagai program yang sesuai. Identifikasi potensi wilayah yang baik dan terukur dapat membantu perencanaan wilayah yang optimal, sehingga program pembangunan dapat diarahkan sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing wilayah. Pada era otonomi daerah, pembangunan wilayah menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar daerah. Adanya kesenjangan sektoral akan berimplikasi negatif terhadap percepatan pembangunan di kabupaten/kota. Oleh karena itu, pembangunan wilayah tidak terlepas dari hubungan antar wilayah dan antar sektor. Pengembangan pendekatan pembangunan sektoral yang berdimensi wilayah merupakan sebuah langkah inovatif. Pembangunan sektoral antar wilayah di Provinsi Riau, sebenarnya telah berkembang sejalan dengan arah kebijakan pengembangan wilayah nasional, tetapi implementasinya masih belum optimal. Optimalisasi pembangunan sektoral dapat dilakukan dengan mengurangi kesenjangan antar wilayah. Oleh karena itu, seluruh pelaku pembangunan harus mampu bekerja sama dalam pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, antar pelaku, dan antar daerah sehingga percepatan pembangunan memberikan efek positif bagi masyarakat. Contoh aktual yang sekarang sedang berjalan adalah di bidang sub sektor peternakan dalam program kecukupan daging dan ketahanan pangan. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini permintaan produk peternakan cenderung terus meningkat, seirama dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi masyarakat, perbaikan tingkat pendidikan serta perubahan gaya hidup sebagai akibat arus globalisasi dan urbanisasi (Diwyanto et al. 2005). Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Riau. Pada tahun 2007, Provinsi Riau mengalami peningkatan pemotongan ternak. Sebagai contoh pemotongan sapi mengalami peningkatan sekitar 7,15%, sedangkan peningkatan pemotongan kerbau dan kambing masing-masing sebesar 6,80% dan 6,06%. Konsumsi daging

21 ayam ras juga meningkat sebesar 14,26% dan ayam buras dan itik meningkat masing-masing 13,9% dan 14,91% (Disnak Prov. Riau 2008). Provinsi Riau merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan usaha peternakan karena didukung oleh letaknya yang strategis sebagai pintu gerbang utama ke negara lain (Malaysia dan Singapura) dan mempunyai sumberdaya lahan yang masih luas. Analisis potensi yang sangat relevan adalah menyangkut daya dukung lahan dalam pengembangan populasi ternak, tetapi karena kebutuhan lahan dalam pengembangan ternak tidak selalu bersifat absolut dengan persyaratan jenis tanah, maka perhitungan daya dukung dilakukan melalui pendekatan daya tampung ternak ruminansia secara alami atau yang didasarkan pada ketersediaan pakan hijauan di lokasi. Selain itu, potensi ketersediaan hijauan pakan ternak sebagai salah satu daya dukung peternakan juga cukup besar karena memiliki areal yang cukup luas, seperti kebun kelapa sawit yang pada tahun 2006 mencapai luas sekitar Ha (Disnak Prov. Riau 2006). Kebun kelapa sawit ini dapat menjadi potensi pakan untuk pengembangan ternak sapi dengan pendekatan integrasi kelapa sawit dan ternak sapi. Peternakan diakui sebagai salah satu komoditas pangan yang memberikan kontribusi cukup besar bagi devisa negara dan harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pada kenyataannya, target konsumsi daging asal ternak sebesar 10,1 kg/kapita/pertahun masih jauh dari terpenuhi. Pada tahun 2007 konsumsi daging penduduk Provinsi Riau hanya 5,02 kg/kapita/tahun. Di sisi lain, pesatnya pertambahan penduduk Provinsi Riau yang mencapai 5,23% juga menyebabkan permasalahan penyediaan bahan pangan asal hewan menjadi krusial karena permintaan yang terus meningkat. Hal ini jika dibiarkan dapat mengakibatkan terkurasnya populasi ternak maupun monopoli harga oleh pihakpihak tertentu. Peningkatan yang cepat terhadap permintaan komoditas peternakan selain menuntut pengembangan terhadap jumlah ternak juga terhadap pemasaran komoditas tersebut. Pengembangan pemasaran mencakup kegiatan pengamatan serta evaluasi dan usaha kebijakan yang berpengaruh terhadap sistem pemasaran komoditas peternakan dari waktu ke waktu guna mewujudkan penyediaan

22 komoditas peternakan yang cukup, kontinyu, mutu terjamin, distribusi merata dengan harga yang layak dan stabil. Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah seperti perbaikan sarana dan sarana pendukung, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengembangan kawasan potensial dan peningkatan modal usaha ditujukan untuk meningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Pengembangan ekonomi wilayah ini bertujuan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat, memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan antar daerah. Potensi peternakan di Provinsi Riau perlu dilihat secara komprehensif. Pengembangan wilayah potensial diharapkan dapat mengurangi kecenderungan terjadinya ketimpangan produksi dan pasar. Kondisi Provinsi Riau yang luas secara geografis memerlukan penataan yang efektif dan efisien dalam mendukung pemasaran komoditas peternakan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan analisis pengembangan wilayah komoditas peternakan di Provinsi Riau. 1.2 Perumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau pada tahun 2007 cukup tinggi yaitu sebesar 8,25%, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 6,87%. Pendapatan regional perkapita tanpa migas atas dasar harga konstan tahun 2000 mengalami peningkatan dari 6,99 juta rupiah pada tahun 2006 menjadi 7,11 juta rupiah pada tahun Dengan berkembangnya sektor industri dan perkebunan menyebabkan peningkatan peluang kerja dan dengan sendirinya meningkatkan pendapatan. Tingginya pertumbuhan tersebut rupanya juga menyebabkan tingginya pertambahan penduduk, terutama yang berasal dari luar Provinsi Riau (migrasi). Peningkatan jumlah penduduk dari migrasi ini dapat menyebabkan peningkatan jumlah kebutuhan pangan, sedangkan peningkatan pendapatan menyebabkan perubahan terhadap pola makan. Salah satu kebutuhan pangan yang setiap tahun meningkat adalah kebutuhan terhadap daging ternak. Perubahan pola konsumsi menyebabkan tingginya permintaan komoditas peternakan terutama daging. Pola konsumsi yang semula lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan karbohidrat, maka dengan peningkatan pendapatan, saat ini mulai bergeser kepada pola konsumsi yang lebih mengutamakan konsumsi protein. Kebutuhan protein ini secara umum dipenuhi dari konsumsi daging dan telur.

23 Peranan sektor pertanian termasuk di dalamnya sub sektor peternakan semakin menonjol pada pengembangan agribisnis saat ini dan masa yang akan datang. Beberapa keunggulan agribisnis berbasis peternakan adalah mempunyai kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes (misalnya dalam pengembangan sistem integrasi karet-sapi, kelapa-sapi atau ternak dan pelestarian alam). Produk peternakan mempunyai nilai elastisitas tinggi terhadap perubahan pendapatan sehingga permintaan produk peternakan akan selalu meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan (Saragih 2000). Menurut RTRW Provinsi Riau , pengembangan kawasan Peternakan diarahkan untuk menunjang terwujudnya ketahanan pangan dan kecukupan protein masyarakat. Kawasan yang dapat dimanfaatkan adalah kawasan budidaya yang terdiri dari kawasan perkebunan rakyat, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, dan hutan produksi konversi yang dicadangkan untuk ketiga lahan tersebut. Luas arahan pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya sebesar 76,18% atau ,45 Ha. Potensi pengembangan kawasan peternakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Luas arahan pemanfaatan ruang wilayah darat Provinsi Riau sampai dengan tahun 2027 No Arahan Pemanfaatan Ruang Luas (Ha) %* %** %*** I Kawasan Budidaya ,45 76, II Kawasan Potensi Peternakan ,87 45,43 59,63 - A A. Kawasan Hutan Produksi Konversi ,97 2,54 3,34 5,60 1 Cadangan Lahan. Perkebunan/Tanaman Tahunan ,40 1,04 1,36 2,29 2 Cadangan Lahan Pertanian Lahan Basah ,90 1,18 1,56 2,61 3 Cadangan Lahan Pertanian Lahan Kering ,67 0,32 0,42 0,70 B B. Kawasan Perkebunan/Tanaman Tahunan ,33 36,19 47,50 79,66 1 Perkebunan Besar Negara/Swasta ,00 20,52 26,93 45,16 2 Pengembangan Perkebunan Rakyat ,92 9,1 11,95 20,04 3 Perkebunan Rakyat Eksisting ,41 6,57 8,62 14,46 C Kawasan Pertanian ,57 6,7 8,79 14,74 1 Pertanian Lahan Basah ,40 2,29 3,01 5,04 2 Pertanian Lahan Kering ,80 1,39 1,82 3,05 3 Pertanian Lahan Basah Eksisting ,71 2,11 2,76 4,64 4 Pertanian Lahan Kering Eksisting ,66 0,91 1,20 2,01 Sumber : Bappeda Provinsi Riau (2007) * Persentase dari luas Provinsi Riau ** Persentase dari luas kawasan budidaya *** Persentase dari luas kawasan potensi peternakan Pengelolaan potensi lahan sebagai sumber pakan ternak membutuhkan berbagai cara dan pola sesuai dengan jenis kawasannya. Pemanfaatan hutan

24 produksi konversi dan perkebunan besar negara/swasta lebih banyak berhubungan dengan pengusaha dan dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, sehingga membutuhkan kebijakan tertentu pula. Adapun kawasan yang langsung dapat disentuh oleh program pemerintah adalah yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, yang dalam hal ini adalah kawasan pertanian. Pada penelitian ini, analisis daya dukung lahan diarahkan pada luas lahan potensial yang dikuasai oleh masyarakat tersebut. Pada sebuah wilayah yang merupakan kawasan produksi peternakan, penetapan kebijakan pembangunan peternakan akan diarahkan kepada kegiatan budidaya dan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang untuk meningkatkan produktivitas. Wilayah produksi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan permintaan wilayah tersebut dan juga permintaan wilayah lain. Sedangkan wilayah pemasaran adalah wilayah yang membutuhkan tambahan komoditas dari luar wilayah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dan tidak memungkinkan dikembangkan kegiatan produksi di wilayah tersebut. Keterbatasan pada wilayah ini karena tidak didukung oleh faktor produksi, sumberdaya manusia dan sumberdaya alam serta keterbatasan ruang karena tidak ada peruntukan wilayah untuk peternakan. Potensi pemasaran pada wilayah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu wilayah yang membutuhkan pasokan (supply) untuk kebutuhan masyarakat pada wilayah tersebut dan wilayah yang mempunyai potensi sebagai pemasok (supplier) memasarkan komoditas peternakan ke wilayah lain. Pelaksanaan pembangunan peternakan pada wilayah pemasaran ini tentu berbeda dengan wilayah produksi. Pada wilayah ini lebih dikembangkan fasilitas pemasaran, pelayanan pemasaran, dan pengolahan hasil ternak. Produksi daging merupakan gambaran dari besarnya kebutuhan komoditas peternakan. Besarnya peran masing-masing komoditas peternakan dalam pemenuhan kebutuhan daging di Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 2. Dengan melihat kontribusi dalam produksi daging dan ketersediaan data maka penelitian ini akan dilaksanakan pada empat komoditas peternakan yaitu ayam ras pedaging, ayam buras, sapi, dan kerbau. Tingginya tingkat permintaan komoditas peternakan menyebabkan munculnya kegiatan ekonomi peternakan yang mampu menjadi tumpuan

25 pendapatan masyarakat. Dengan potensi yang ada saat ini, ternyata kebutuhan komoditas peternakan tidak mampu dipenuhi oleh produksi peternakan di dalam Provinsi Riau sehingga perlu mengimpor dari luar provinsi. Disamping itu, akibat permintaan yang tinggi maka banyak variasi harga komoditas peternakan antar kabupaten/kota di Provinsi Riau. Pola pemasaran ternak dari masing-masing komoditas juga berbeda di masing-masing kabupaten/kota. Tabel 2 Sumbangan produksi daging komoditas peternakan di Provinsi Riau tahun 2007 No Komoditas Jumlah (kg) Persentase 1 Ayam Ras Pedaging ,01 2 Sapi ,86 3 Ayam Buras ,61 4 Kerbau ,49 5 Kambing ,94 6 Domba ,09 7 Babi ,03 8 Ayam Ras Petelur ,51 9 Itik ,46 Total Produksi Daging Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Beragamnya pola dan wilayah pemasaran komoditas peternakan ini secara ekonomi sebenarnya mampu meningkatkan nilai tambah komoditas tetapi karena pola tersebut tidak teridentifikasi maka dapat menyulitkan dalam penyusunan strategi pengembangan komoditas peternakan. Dari uraian diatas beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Berapa besar daya dukung lahan masyarakat untuk pengembangan komoditas peternakan di Provinsi Riau? 2. Bagaimana aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau? 3. Bagaimana tata niaga komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau? 4. Dimana wilayah yang potensial dikembangkan untuk sentra produksi ternak dan dimana wilayah pemasarannya? 5. Bagaimana strategi pembangunan peternakan di Provinsi Riau?

26 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis potensi komoditas peternakan di lahan masyarakat Provinsi Riau 2. Menganalisis aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah di Provinsi Riau. 3. Menganalisis tata niaga (harga, margin pemasaran, dan kelembagaan) komoditas peternakan Provinsi Riau. 4. Menyusun arah pengembangan komoditas peternakan berdasarkan potensi pemasaran. 5. Menyusun strategi pembangunan peternakan Provinsi Riau. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini diantaranya adalah : 1. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam membuat strategi kebijakan pengembangan sub sektor petenakan di Provinsi Riau untuk masa yang akan datang. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pelaku usaha dalam berinvestasi di sub sektor peternakan sehingga dapat memberikan manfaat bagi pengembangan peternakan di Provinsi Riau. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Riau dengan wilayah kabupaten dan kota sebagai unit penelitian. Perhitungan lahan potensial hanya lahan yang dikuasai dan dimiliki masyarakat. Pelaksanaan pengamatan aliran ternak dilakukan dengan model tertutup. Model tertutup ini membatasi data penelitian hanya pada aliran ternak dari dan berasal dari wilayah di dalam Provinsi Riau. Pemilihan komoditas ternak dilaksanakan berdasarkan sumbangan produksi daging yang tertinggi sehingga komoditas yang diamati adalah ayam ras pedaging, sapi, ayam buras dan kerbau. Pengamatan aliran komoditas dilakukan pada data keluar masuk ternak hidup yang berlangsung dalam sistem tata niaga pemasaran. Untuk itu, pengamatan dibatasi hanya pada pelaku pemasaran.

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daya Dukung Lahan untuk Pengembangan Komoditas Peternakan Pengembangan jenis ternak tertentu harus memperhatikan faktor-faktor biofisik dan sosial ekonomi yang merupakan sumber keunggulan wilayah (Simatupang et al. 2004). Pada pengembangan peternakan rakyat, daya dukung wilayah ditekankan pada kebutuhan ternak pemakan hijauan, dalam hal ini ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa). Daya dukung pakan merupakan kemampuan suatu wilayah untuk menghasilkan dan menyediakan makanan ternak yang dapat menampung kebutuhan sejumlah populasi ternak ruminansia tanpa melalui pengolahan. Dalam menghitung daya dukung digunakan beberapa asumsi kebutuhan pakan ternak ruminansia. Satuan yang digunakan adalah satuan ternak (Syamsu, 2006). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Dalam evaluasi lahan terdapat dua macam pendekatan yaitu, pendekatan dua tahap dan pendekatan paralel. Untuk pendekatan dua tahap, tahap pertama merupakan evaluasi lahan secara kualitatif. Setelah tahap pertama selesai dan hasilnya disajikan dalam bentuk peta dan laporan, maka tahap kedua (kadangkadang tidak dilakukan) merupakan analisis sosial ekonomi yang dapat dilakukan segera atau beberapa waktu kemudian. Sedangkan pada pendekatan paralel, analisis sosial ekonomi terhadap penggunaan lahan yang direncanakan dilakukan bersamaan dengan analisis-analisis sifat-sifat fisik dan lingkungan dari lahan tersebut. Hasil dari pendekatan ini biasanya memberikan petunjuk mengenai modifikasi penggunaan lahan untuk mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Analisis potensi wilayah penyebaran dan pengembangan peternakan adalah kegiatan karakterisasi komponen-komponen peternakan dalam proses strategi pengembangan peternakan bagi pembangunan. Komponen-komponen peternakan tersebut meliputi sumberdaya manusia, lahan, tanaman sebagai sumber pakan dan ternak yang harus ditingkatkan peranannya (Ditjennak dan Balitnak

28 1995). Usaha peternakan sangat berkaitan dengan lahan karena menentukan ketersediaan hijauan makanan ternak. Berdasarkan kebutuhan lahan, usaha peternakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu usaha peternakan yang berbasis lahan (land based agriculture) dan usaha peternakan yang tidak berbasis lahan (non land based agriculture). Khusus untuk usaha peternakan yang berbasis lahan, yaitu ternak yang komponen pakannya sebagian besar terdiri atas tanaman hijauan (rumput dan leguminose), maka lahan merupakan faktor penting sebagai lingkungan hidup dan pendukung pakan (Suratman et al. 1998). Sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan oleh peternakan antara lain adalah lahan sawah, padang penggembalaan, lahan perkebunan, dan hutan rakyat. Lahan sawah akan menghasilkan jerami, dedak, dan bekatul, sedangkan kebun dan hutan memberikan sumbangan rumput alam dan jenis tanaman lain (Riady 2004). Persyaratan penggunaan lahan diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas minimum, optimum, dan maksimum (Djaenudin et al. 2000). Untuk komoditas peternakan berupa hijauan makanan dapat hanya menggunakan klasifikasi berdasarkan ordo Sesuai (S) dan tidak sesuai (N). Penilaian ini dilakukan terhadap persyaratan lingkungan untuk ternak sapi dan kerbau (Suratman et al. 1998). 2.2 Komoditas Peternakan Komoditas peternakan dikembangkan sesuai dengan permintaaan pasar. Permintaan pasar dapat menggambarkan prospek pengembangan komoditas peternakan. Salah satu indikator untuk pengembangan peternakan adalah konsumsi daging. Kebutuhan daging nasional berasal dari daging unggas 57%, daging sapi 24%, daging babi 11%, daging kambing/domba 5 %, daging kerbau dan kuda 3% (Ilham et al. 2002). Profil usaha peternakan di sektor primer menunjukan bahwa usaha peternakan unggas, sapi, dan kambing/domba memberikan peluang usaha yang baik sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu

29 industri yang terintegrasi dan sangat dinamis sehingga mampu menjadi pemicu utama perkembangan usaha peternakan. Sementara itu kontribusi daging sapi juga cukup besar walaupun ketergantungan pada impor bakalan sapi masih cenderung terus meningkat. Usaha penggemukan sapi menjadi usaha yang diminati. Pemenuhan kebutuhan daging juga diperoleh dari penggemukan kerbau dengan memanfaatkan kerbau lokal sebagai bakalan (Dwiyanto et al. 2005). Ilham et al. (2002) menambahkan bahwa usaha ternak di Indonesia, khususnya ternak sapi dan kambing/domba masih didominasi oleh usaha peternakan rakyat yang dicirikan dengan skala pemilikan yang kecil, dikelola sebagai usaha sambilan dan penggunaan input dan output yang belum berorientasi pasar. Perkembangan produksi daging sapi di beberapa daerah tidak selamanya seiring dengan perkembangan populasi ternak. Sentra populasi ternak sapi belum tentu sebagai sentra produksi daging sapi. Hal ini memungkinkan karena terjadi perdagangan ternak antar daerah. Perkembangan produksi daging sapi di suatu daerah menggambarkan perkembangan pemotongan sapi di daerah tersebut (Kariyasa dan Kasryno 2004). 2.3 Wilayah Pemasaran Wilayah menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistem ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional (Dirjen Penataan Ruang 2007). Menurut Rustiadi et al. (2008) istilah wilayah mengacu pada pengertian unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan yang lainnya. Istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Mengidentifikasi wilayah menurut Tarigan (2004) dapat dilakukan dengan melihat unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Berdasarkan fungsinya, wilayah dapat dibedakan menjadi misalnya kota dengan wilayah di belakangnya, lokasi produksi dengan wilayah pemasarannya, susunan orde perkotaan, dan sebagainya.

30 Kotler (1990) mendefinisikan pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk-produk yang dinilai. Rahim dan Hastuti (2007) menambahkan bahwa kegunaan kegiatan pemasaran, antara lain : selalu mengusahakan tersedianya komoditas dalam bentuk yang diinginkan (form utility), menyuguhkan tepat pada lokasi dan saat dibutuhkan (place and time utility) dan kegunaan kepemilikan (possessing utility). Menurut Soekartawi (2002) pemasaran pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan. Oleh karena itu dikenal dengan saluran pemasaran atau marketing channel. Fungsi saluran pemasaran ini amat penting khususnya dalam melihat tingkat harga di masing-masing lembaga pemasaran. Proses pemasaran merupakan wadah atau cara untuk menyatukan pasar yang terpisah. Keterpisahan pasar bisa disebabkan oleh ruang, bentuk dan waktu yang diinginkan konsumen. Dari sini dapat dilihat kesanggupan sistem pemasaran mempertemukan permintaan dengan kegoncangan penawaran, baik karena ruang, waktu, maupun bentuk dan sebaliknya (Ali et al. 2004). Sistem pemasaran sendiri menurut Firman dan Tawaf (2008) merupakan suatu kesatuan urutan lembagalembaga pemasaran yang melakukan fungsi-fungsi pemasaran untuk mengalirkan barang dan jasa dari produsen dan konsumen, dan sebaliknya mengalirkan uang dari konsumen ke produsen. Adapun pola perdagangan ternak didasarkan pada dua hal, yaitu adanya daerah surplus ternak dan daerah pemasaran. 2.4 Aliran Pemasaran Antar Wilayah Jenis komoditas dan pasar merupakan hubungan yang berlangsung dinamis, sedangkan sifat pemasaran untuk komoditas pertanian sering berubah terus menerus. Oleh karena itu harus ada pemahaman bagaimana pasar berfungsi, pemanfaatan, dan pengaruhnya terhadap lingkungan (Garcia dan Leuthold 2004). Namun demikian perubahan pasar dapat disebabkan oleh selera konsumen, perilaku pembeli, dan kebijakan pemerintah (Lindgreen dan Beverland 2004).

31 Sedangkan menurut Soekartawi (2002) berubahnya permintaan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besarnya tingkat pendapatan, harga, dan selera konsumen. Aspek pemasaran banyak ditentukan oleh imbangan permintaan dan penawaran karena imbangan ini yang akan menentukan harga. Sedangkan berubahnya faktor penawaran banyak dipengaruhi oleh karakteristik faktor produksi dan manajemen. Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menentukan perubahan harga. Dilihat dari perubahan harga ini, maka pengaruh harga komoditas subsitusi atau komoditas komplementer adalah penting sekali. Dengan demikian maka besar kecilnya elastisitas harga terhadap besarnya permintaan dan penawaran juga akan terpengaruh oleh adanya perubahan harga komoditas subsitusi (Soekartawi 2002). Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya, dimana makin rendah harga suatu barang maka makin banyak permintaan terhadap barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Jadi, permintaan komoditas pertanian merupakan keseluruhan atau banyaknya jumlah komoditas pertanian yang dibutuhkan dan diinginkan oleh pembeli (lembaga-lembaga pemasaran dan konsumen) berdasarkan harga yang sudah ditentukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) (Rahim dan Hastuti 2007). Penyediaan ternak bertujuan untuk kebutuhan konsumsi lokal dan konsumsi wilayah lain yang dilaksanakan melalui perdagangan antar pulau atau perdagangan antar provinsi (Bulu et al. 2004). Tetapi perlu disadari bahwa komoditas peternakan memiliki sifat meruah (bulky) dan mudah busuk (perishable) (Syahyuti 1999). Keterbatasan ini menurut Firman dan Tawaf (2008) memerlukan sistem pemasaran yang cepat dan mudah agar produk dapat sampai ke tangan konsumen. Besarnya permintaan ternak dapat dilihat tingkat konsumsi masyarakat. Kariyasa dan Kasryno (2004) mengemukakan bahwa masuknya perdagangan ternak (sapi potong) ke suatu daerah dapat mengidentifikasikan besarnya kebutuhan konsumsi daging di daerah tersebut.

32 Penawaran dalam pertanian merupakan banyaknya komoditas yang disediakan atau ditawarkan oleh berbagai produsen di suatu wilayah. Dalam hukum penawaran, produsen akan menawarkan barang jika harga tinggi sehingga semakin tinggi harga suatu barang, semakin banyak pula jumlah barang tersebut akan ditawarkan oleh produsen (Rahim dan Hastuti 2007). Mengetahui hal-hal yang menentukan pola aliran komoditas antar wilayah dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan dan perbaikan infrastruktur transportasi serta kebijakan pembangunan wilayah. Pada aliran komoditas antar wilayah dengan data yang baik dapat menjelaskan secara baik gambaran ekonomi antar wilayah. Parameter yang dapat diamati seperti penggunaan tenaga kerja, nilai tambah komoditas, dan pendapatan per kapita pada dua wilayah yang berinteraksi (Celik dan Guldmann 2007). 2.5 Lembaga Pemasaran Lembaga pemasaran merupakan badan usaha atau individu yang menyelenggarakan pemasaran, menyalurkan jasa dan komoditas dari produsen hingga konsumen akhir, serta mempunyai hubungan dengan badan usaha atau individu lainya. Lembaga pemasaran timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditas sesuai waktu, tempat, dan bentuk yang diinginkan konsumen. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga pemasaran berupa margin pemasaran (Rahim dan Hastuti 2007). Fungsi lembaga pemasaran dapat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, yang dicirikan oleh aktifitas yang dilakukan dan skala usahanya. Misalnya pedagang pengumpul tugasnya adalah membeli barang untuk dikumpulkan baik dari produsen atau pedagang perantara dengan skala yang relatif besar dibandingkan dengan skala usaha pedagang perantara. Begitu pula halnya dengan pedagang besar, mempunyai skala usaha yang lebih besar dari pada pedagang pengumpul. Masing-masing lembaga pemasaran, sesuai dengan kemampuan pembiayaan yang dimiliki, akan melakukan fungsi pemasaran ini secara berbeda-beda. Karena perbedaan kegiatan dan biaya yang dilakukan maka tidak semua kegiatan dalam fungsi pemasaran dilakukan oleh lembaga pemasaran. Karena perbedaan inilah maka biaya dan keuntungan pemasaran menjadi berbeda di tiap tingkat lembaga pemasaran (Soekartawi 2002).

33 Purwono (1993) mengemukakan bahwa dalam kegiatan pemasaran komoditas peternakan ada yang melibatkan banyak lembaga, sehingga mempunyai rantai pemasaran yang panjang, tetapi ada pula saluran pemasaran yang melibatkan sedikit lembaga, sehingga mempunyai saluran yang pendek. Masalah saluran pemasaran ini bukan semata-mata terletak pada panjang pendeknya saluran tetapi saluran mana yang memberikan tingkat efisiensi yang paling tinggi. Untuk itu menurut Firman dan Tawaf (2008), hal terpenting dalam proses tataniaga adalah mekanisme penentuan harga di setiap tahap tataniaga dan peran pengambil keputusan dalam menentukan tingkat harga. 2.6 Harga dan Margin Harga adalah indikator penting dalam pemasaran. Tekanan pokok efisiensi pemasaran terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Terbentuknya harga dalam pasar sudah mencakup biaya transfer yang dikeluarkan (Purwono 1993). Kebijaksanaan harga bermanfaat untuk menjaga dan melindungi petani agar tidak memperoleh harga yang rendah ketika jumlah komoditas banyak dan melindungi konsumen ketika harga komoditas meningkat tajam (Soekartawi 2002). Untuk penentuan harga komoditas peternakan di masyarakat peternak, pada prakteknya lebih banyak ditentukan oleh pedagang. Pedagang memiliki bergaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak yang didukung sekurang-kurangnya oleh dua hal, yaitu penentuan harga dan perkiraan nilai ternak (Syahyuti 1999). Bulu et al. (2004) menambahkan bahwa harga di tingkat peternak dipengaruhi oleh orientasi pasar, informasi harga, dan persaingan antar pembeli. Peternak yang berorientasi pasar akan aktif mencari informasi harga dan akan memperkuat posisi peternak dalam proses tawar menawar. Daya tawar peternak juga akan semakin kuat jika jumlah pembeli perantara (belantik) semakin banyak. Penjualan ternak sapi melalui blantik dilandasi oleh beberapa alasan yaitu : (1) petani belum mampu mengakses pasar, (2) lokasi pasar cukup jauh, (3) banyak persyaratan administrasi dan biaya yang dikeluarkan petani jika menjual ke pasar, (4) menjual melalui blantik dianggap lebih praktis dan cepat karena tidak mengeluarkan biaya apapun, dan (5) pembayaran tunai (Bulu et al. 2004)

34 Margin pemasaran diartikan sebagai perbedaan harga pada tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen. Analisis margin pemasaran dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan efektifitas pemasaran. Margin pemasaran terbagi dan tersebar di antara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pengecer. Perbedaan harga inilah merupakan penyebab terjadinya suatu perdagangan antar lokasi. Untuk mempertahankan perdagangan antar daerah maka perlu diupayakan agar margin tataniaga mempunyai nilai seminimal mungkin, sehingga mempunyai daya saing dengan produk sejenis di daerah tujuan pemasaran (Ilham 2001; Kariyasa dan Kasryno 2004). Saluran pemasaran yang pendek dan terintegrasinya lembaga-lembaga pemasaran secara vertikal maupun horizontal akan mendukung efisiensi pemasaran ternak sapi, baik dalam hal operasional maupun biaya (Bulu et al. 2004; Widyantoro et al. 2004). Sedangkan menurut Dwiyanto et al. (2005) untuk komoditas unggas terutama produk ayam ras pedaging maupun petelur, maka perkembangan pasar dan harga sangat fluktuatif tergantung dari kesediaan pasokan input dan output, tetapi untuk unggas lokal (ayam kampung dan itik) hal ini tidak terlalu berpengaruh. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh McCorriston (2001) bahwa berubahan harga dapat lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kekuatan pasar dan skala produksi. 2.7 Wilayah Pemasaran dalam Sistem Informasi Geografis Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) bertujuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dibutuhkan dalam pengelolaan data yang bereferensi geografi. Sistem Informasi Geografis mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti : lokasi, kondisi, trend, pola, dan permodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dengan sistem informasi lainnya. Dalam SIG tidak hanya data yang berbeda yang dapat diintegrasikan, prosedur yang berbeda juga dapat dipadukan. Dengan demikian, pemakai menjadi

35 lebih banyak memperoleh informasi baru dan dapat menganalisisnya sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut Suharta et al. (1996) pembangunan pertanian modern antara lain dicirikan oleh penggunaan teknologi tinggi, akrab lingkungan, dan pemilihan komoditas yang berorientasi pasar. Untuk menunjang hal tersebut maka data dan informasi sumberdaya lahan dan lingkungannya sangat diperlukan dalam waktu cepat, mudah, dan akurat. Hal tersebut hanya dapat diwujudkan apabila data dan informasi tersebut tersimpan dalam suatu sistem basis data yang mampu bekerja dan menganalisis data secara cepat dan menampilkan hasilnya dalam berbagai format sesuai dengan keinginan pengguna, baik dalam bentuk tabular maupun spasial. Pengorganisasian data yang mempunyai dimensi ruang (spasial) seperti informasi lahan dan data iklim, dipermudah dengan berkembangnya ilmu dan perangkat lunak SIG. Hasil analisis dalam bentuk spasial atau tabular dapat disimpan dalan bentuk digital dan ditampilkan ulang untuk berbagai penggunaan yang lainnya.

36 III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Perkembangan suatu wilayah selain ditentukan oleh wilayah itu sendiri juga dipengaruhi oleh perkembangan wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikator majunya suatu wilayah adalah peningkatan jumlah penduduk. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan peningkatan aliran barang dan mobilisasi. Permintaan atas barang tersebut mendorong timbulnya aliran pemasaran baik yang berasal dari dalam wilayah itu sendiri maupun dari luar wilayah. Sub sektor peternakan memiliki berbagai komoditas yang menjadi konsumsi pangan masyarakat. Bentuk komoditas peternakan yang khas berupa makhluk hidup menyebabkan dalam produksi dan pemasaranya membutuhkan sarana dan prasarana pendukung agar produksi dan produktivitasnya tinggi. Pemasaran komoditas peternakan antar wilayah hingga saat ini belum banyak diamati khususnya pergerakan pemasaran ternak antar wilayah. Adanya kecenderungan konsumsi hasil ternak yang terus meningkat, mendorong terjadinya aliran komoditas peternakan. Akibat permintaan yang tinggi, aliran pemasaran ternak terkadang tidak efiesien sehingga harga yang diterima konsumen menjadi lebih tinggi. Tingginya permintaan komoditas peternakan mendorong setiap wilayah untuk bersaing dalam menghasilkan komoditas tersebut. Prilaku ini menyebabkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak rasional karena tidak lagi melihat potensi yang ada. Beberapa parameter sub sektor peternakan yang dapat digunakan untuk mengembangkan komoditas peternakan adalah potensi lahan, kondisi masyarakat, kondisi alam, dan infrastruktur pendukung. Dengan diketahuinya potensi wilayah maka dapat dirumuskan strategi pembangunan sub sektor peternakan di wilayah tersebut. Tahapan atau alur kerangka berfikir yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.

37 Produksi Komoditas Peternakan Kabupaten/Kota Potensi Wilayah Minus Impor Ternak (Dari Luar Provinsi) Surplus Wilayah Pemasaran Wilayah Produksi TataNiaga Pemasaran Aliran Pemasaran Infrastruktur Peternakan Strategi Pembangunan Peternakan Provinsi Riau Infrastruktur Peternakan Hirarki Wilayah Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Riau yang meliputi 2 kota dan 9 kabupaten. Waktu pengumpulan data penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2009 dan dilanjutkan dengan pengolahan data. 3.3 Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara : a. Studi data sekunder Data sekunder terdiri dari data tabulasi yang diperoleh dari berbagai instansi terkait seperti BPS, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, Bappeda Provinsi Riau dan peta tematik berupa peta administrasi, peta tutupan lahan,

38 peta jaringan jalan Provinsi Riau yang kesemuanya diperoleh dari Bappeda Provinsi Riau. b. Wawancara Wawancara dilakukan kepada pedagang pelaku pemasaran komoditas peternakan. Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling, sedangkan jumlah responden hasil wawancara didapatkan sebanyak 47 responden. Selanjutnya secara rinci mengenai aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber dan cara pengumpulan data serta output penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Aspek, tujuan, analisis, parameter, data, sumber dan cara pengumpulan data dan output penelitian Aspek Tujuan Analisis Parameter Data Daya dukung lahan Interregional Karakteristik pemasaran komoditas peternakan Infrastruktur peternakan Perencana an pembangunan Peternakan Mengetahui Potensi Komoditas Peternakan Mengkaji aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah Menganalisis tata niaga komoditas peternakan Menentukan arah pengembangan komoditas peternakan Menyusun strategi pembangunan peternakan Provinsi Riau Analisis Daya Dukung Analisis Gravitasi dan Entropy Berkenda la Ganda Analisis Tata Niaga Analisa skalogra m Sintesis analilis Luas lahan sumber pakan ternak Jumlah keluar dan masuk komoditas peternakan antar wilayah Harga, Margin dan kelembagaan pemasaran komoditas Jenis dan jumlah infrastruktur Luas lahan HMT, Luas Tanaman pangan sumber pakan Jumlah keluar masuk komoditas peternakan di setiap wilayah Harga beli, harga jual serta biaya-biaya pemasaran masing pelaku tata niaga Infrastruktur peternakan, pelayanan, pemasaran Sumber dan Cara Pengumpulan Dinas Peternakan, BPS dan Bappeda Provinsi Riau Data Skunder di Dinas peternakan/ membidangi fungsi peternakan di kab/kota se Provinsi Riau Dinas Peternakan, wawancara dengan pedagang Data Skunder di Dinas peternakan/ membidangi fungsi peternakan di kab/kota se Provinsi Riau - - Hasil analisis sebelumnya Output Potensi pengembangan komoditas peternakan Keterkaitan antar wilayah dalam produksi dan pemasaran Efisiensi pemasaran komoditas Hirarki kab/kota pusat pelayanan peternakan di Prov. Riau Strategi pembangun an peternakan Untuk memudahkan dalam merumuskan kerangka pemikiran maka dibuat alur kerja penelitian seperti pada Gambar 2.

39 Peternakan Provinsi Riau Komoditas Peternakan Infrastruktur Peternakan Riau Analisis Daya Dukung Aliran Pemasaran Komoditas Peternakan antar Wilayah (Kabupaten/Kota) Model Gravitasi dan Entropy Analisis Tata Niaga : - Efisiensi dan Margin - Lembaga Pemasaran - Harga Skalogram Hirarki Kab/Kota Berdasarkan Fasilitas Peternakan Analisis Spasial Wilayah Pemasaran dan Produksi Peternakan RTRW Provinsi Riau Strategi Pembangunan Peternakan di Provinsi Riau Gambar 2 Skema alur kerja penelitian 3.4 Analisis Data Analisis Daya Daya Dukung Wilayah Analisis daya dukung wilayah dilakukan dengan melihat kapasitas tampung dari wilayah, yang didasarkan kepada ketersediaan hijauan makanan ternak. Ketersediaan hijauan pada status wilayah dihitung berdasarkan luasan lahan untuk berbagai macam penggunaan. Kapasitas tampung ternak sapi potong dan kerbau ditentukan dengan menggunakan rumus (Setyono 1995) : PMSL = a LG + b PR + c R dimana

40 PMSL = Populasi maksimum yang dapat ditampung oleh suatu wilayah (dalam bentuk satuan ternak) berdasarkan sumberdaya lahan LG = Luas lahan garapan tanaman pangan (Ha) a = Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha lahan tanaman pangan selama satu tahun dilihat berdasarkan ketersediaan limbah tanaman yang dihasilkan. Dalam hal ini digunakan angka rata-rata sebesar 1,36 ST/Ha PR = Luas padang rumput baik padang rumput alam maupun padang rumput alang-alang (Ha) b = Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha lahan padang rumput selama satu tahun dilihat berdasarkan perkiraan hasil hijauan makanan ternak yang dihasilkan. Dalam hal ini digunakan angka rata-rata sebesar 4,0 ST/Ha R = Luas rawa baik air tawar maupum rawa pasang surut c = Nilai koefisien yang menunjukkan jumlah maksimum ternak yang dapat dipelihara pada luasan satu Ha rawa satu tahun. c = 2,0 ST/Ha, untuk rawa air tawar c = 1,2 ST/Ha, untuk rawa pasang surut. Potensi pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras dihitung dengan formula yang dilakukan Ilham (2001) yaitu : P t = (JPT t x KPPH) - (JPT t x KAKT t ) dimana : Pt = Potensi pada tahun t (ton) JPTt = Jumlah penduduk pertengahan tahun pada tahun t KPPH = Tingkat konsumsi menurut Pola Pangan Harapan (kg/kapita/tahun) KAKTt = Tingkat konsumsi aktual pada tahun t (kg/kapita/tahun) Hasil perhitungan dengan formula di atas di konversi ke dalam satuan ekor dengan faktor pengali : Ayam ras pedaging : 1,00 Ayam buras : 0,90

41 3.4.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Aliran pemasaran komoditas peternakan antar wilayah merupakan bentuk hubungan dan interaksi pemasaran antar wilayah. Analisis daya dorong dan daya tarik aliran pemasaran dalam wilayah menggunakan Model Gravitasi. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi di antara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah. Hipotesis didasarkan pada alasan bahwa: Untuk memproduksi interaksi, individu-individu harus berkomunikasi, secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya. Individu, sebagai unit dari grup yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang sama dengan individu lainnya. Frekuensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau komunikasi dalam lokasi tersebut. Model Gravitasi, menurut Rustiadi et al. (2008) dalam interaksi antar dua wilayah i dan j dimodelkan sebagai fungsi dari massa kedua wilayah m i dan m j, serta jarak antar kedua wilayah d ij, sebagai berikut : T ij dimana: T ij m i m j r ij = k m α i r m c ij β j : Interaksi spasial i dan j (perjalanan, arus barang/orang, dll), : Massa wilayah asal i (komoditas peternakan), push factor : Massa wilayah tujuan j (komoditas peternakan), pull factor : Jarak antar wilayah i dan j (jarak jalan, waktu tempuh, ongkos perjalanan, dll), α, β, c : Koefisien peubah massa wilayah asal i, massa wilayah tujuan j dan jarak d k : Konstanta

42 Penyelesaian dari persamaan di atas dapat dipecahkan dengan pendekatan fungsi regresi linier dengan terlebih dahulu mentransformasikan persamaaan di atas ke dalam bentuk logistik normal (ln), sehingga menjadi : lnt ij = lnk + α lnm + βlnm i j clnr Selanjutnya persamaan ini dapat dipecahkan sebagaimana persamaan regresi biasa menjadi : Y ij = K + α X + βx i j cd ij Dimana : Y ij =lnt ij, K=lnk, X i =lnm i, Xj=lnm j dan d ij =lnr ij Nilai parameter-parameter yang dihasilkan dari analisis di atas dapat menggambarkan karakteristik suatu wilayah. Wilayah dengan nilai α lebih besar dari β, menunjukkan karakter wilayah produksi, dimana kegiatan interaksi wilayah terutama ditimbulkan oleh aktivitas produksi di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah dengan nilai β yang lebih tinggi dari α adalah karakteristik wilayah pasar. Daya tarik pasar menjadi faktor daya tarik yang dominan di dalam interaksi antar sub-wilayah di wilayah tersebut. Nilai c menunjukkan elastisitas perubahan interaksi (T ij ) untuk setiap perubahan/peningkatan jarak, artinya, terdapat dampak yang tinggi dari setiap perubahan jarak (aksesibilitas) terhadap interaksi antar-wilayah (Rustiadi et al. 2008). Dalam penelitian ini, selain variabel jarak, juga ditambahkan variabel pendukung yang berjumlah 12 variabel yang menjadi variabel bebas yaitu : Pi : Populasi penduduk wilayah asal dalam satuan jiwa; Pj : Populasi penduduk wilayah tujuan dalam satuan jiwa; Pop Ti : Populasi ternak wilayah asal dalam satuan ekor; Pop Tj : Populasi ternak wilayah tujuan dalam satuan ekor; PSMDPi : Produktifitas sumber daya manusia peternakan wilayah asal dalam satuan Rupiah; PSDMPj : Produktifitas sumber daya manusia peternakan wilayah tujuan dalam satuan Rupiah; PDRBi : Pendapatan domestik regional bruto per kapita wilayah asal berdasarkan harga konstan 2000 dalam satuan Rupiah; ij

43 PDRBj : Pendapatan domestik regional bruto per kapita tujuan berdasarkan harga konstan 2000 dalam satuan Rupiah; KonSi : Konsumsi daging wilayah asal dalam satuan kg; KonSj : Konsumsi daging wilayah tujuan dalam satuan kg; PMTi : Pemotongan ternak wilayah asal dalam satuan ekor; PMTj : Pemotongan ternak wilayah tujuan dalam satuan ekor; Selanjutnya persamaan ini menjadi : Tij = k + a Pi + b Pj + c PopTi + d Pop Tj + e PSDMPi + f PSDMPj + g PDRBi + h PDRBj + i KonSi + l KonSj + m PMTi + n PMTj - dij Pengolahan data Model Gravitasi menggunakan software Statistica 6 dengan dengan fungsi multiple regression dengan menghilangkan multikolinieritas dengan forward stepwise. Analisis Model Gravitasi menghasilkan variabel yang mempengaruhi aliran komoditas ternak yang berupa kekuatan daya dorong atau daya tarik total suatu wilayah. Untuk melihat unit wilayah yang mempunyai daya dorong dan daya tarik terhadap pemasaran komoditas peternakan maka dilakukan analisis Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda dengan persamaan : T ij Dimana : T ij Ai Oi Bj Dj β Cij = Ai. Oi. B j. D j.exp( βcij ) : Intensitas aliran komoditas dari wilayah i ke wilayah j : Koefisien kendala wilayah asal : Total intekasi yang berasal dari wilayah asal : Koefisien kendala wilayah tujuan : Total intekasi yang berasal dari wilayah tujuan : Koefisien kendala jarak : jarak antar wilayah i dan j Pengolahan data menggunakan software Statistica 6 dengan fungsi General Linier Model dengan sebaran Poison dan aplikasi Microsoft Exel untuk menguji model dengan fungsi regresi.

44 3.4.3 Analisis Tata Niaga Pemasaran Manfaat penggunaan analisis margin tata niaga pemasaran adalah melihat efisiensi sistem distribusi komoditas dari petani ke konsumen. Umumnya semakin panjang rantai tata niaga akan mengurangi persentase share petani dibandingkan dengan harga dipengguna akhir, sehingga keuntungan ekonomi tidak ditransfer ke petani tetapi ditransfer ke lembaga pemasaran terlibat. Analisis margin tata niaga digunakan untuk mengetahui efesiensi pemasaran komoditas peternakan. Data diperoleh melalui penelusuran mata rantai pemasaran komoditas di lokasi pemasaran. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi margin pemasaran komoditas peternakan adalah biaya angkutan, biaya perlakuan, biaya penyusutan, modal kerja, biaya karantina dan holding groud, kapasitas penjualan dan harga pembelian serta tingkat keterpaduan pasar (Purwono 1993). Untuk mengetahui efisiensi sistem tataniaga ternak dilakukan dengan analisis margin tataniaga dengan formula (Ilham 2001) : M = m C i i= 1 + n j= 1 π j dimana : M = Marjin tataniaga C i m π j n = Biaya tataniaga i (i= 1,2,3, m) = Jumlah jenis pembiayaan = Keuntungan yang diperloleh lembaga tataniaga j (j=1,2,3,...n) = Jumlah lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga Analisis kelembagaan dilakukan dengan melihat kelembagaan selama pemasaran melalui wawancara. Wawancara akan dipandu dengan kuisioner. Contoh Kuisioner dapat dilihat pada Lampiran Analisis Hirarki Wilayah Berdasarkan Infrastruktur Peternakan Analisis pusat pelayanan menggunakan Metode Skalogram. Tujuan analisis ini adalah untuk memperoleh kemampuan suatu wilayah peternakan dalam mengembangkan jenis usaha peternakan dalam bentuk Indeks Perkembangan

45 Wilayah. Pelaksanaan analisis dengan skalogram dilakukan dua kali dengan dua parameter yang berbeda, yaitu pertama melihat ketersediaan infrastruktur untuk wilayah pemasaran dan yang kedua untuk wilayah produksi. Variabel tambahan berupa variabel bukan infrastruktur digunakan untuk mendukung fasilitas yang ada. Untuk menentukan hirarki wilayah produksi digunakan data populasi ternak dan untuk menentukan hirarki wilayah pemasaran digunakan data konsumsi daging dari empat komoditas terpilih (sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras). Dalam metode skalogram dilakukan identifikasi jenis dan jumlah fasilitas yang mendukung kegiatan peternakan. Fasilitas ini mencakup tiga kelompok utama, yaitu : 1. Prasarana umum, meliputi fasilitas yang digunakan untuk pelayanan umum peternakan seperti karantina ternak, holding ground, pelayanan kesehatan ternak dan pusat pelatihan. 2. Prasarana pemasaran, meliputi fasilitas yang mendukung kegiatan pemasaran seperti rumah potong, pasar ternak dan pasar. 3. Prasarana budidaya, meliputi pelayanan penyuluhan, balai bibit, Pembibitan hijauan makanan ternak, dan pos inseminasi buatan. Nilai Model skalogram dengan Indeks Perkembangan Wilayah, merupakan dasar dalam menentukan hirarki kabupaten/kota. Klasifikasi hirarki wilayah dikelompokan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hirarki 1 merupakan hirarki tinggi, hirarki 2 merupakan hirarki sedang dan hirariki 3 merupakan hirarki rendah. Wilayah yang mempunyai tingkat perkembangan yang tinggi merupakan pusat bagi wilayah yang hirarki lebih rendah. Sedangkan kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah merupakan wilayah hinterland yaitu wilayah yang mendapat pelayanan dari wilayah pusat. Pada wilayah produksi, wilayah yang hirarki lebih tinggi merupakan wilayah pusat pengembangan komoditas peternakan, sedangkan wilayah dengan hirarki yang lebih rendah mendukung dan mengikuti perencanaan pengembangan komoditas peternakan pada wilayah pusat. Pada wilayah pemasaran, wilayah yang mempunyai hirarki lebih tinggi merupakan wilayah pusat pemasaran yang

46 berfungsi menyediakan kebutuhan komoditas peternakan di wilayah hinterlandnya atau wilayah yang hirarkinya lebih rendah Analisis Spasial Analisis spasial yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan software ArcGIS 9.0. Analisis yang digunakan adalah analisis overlay (tumpang tindih) dan klasifikasi. Pada analisis overlay ini operasi yang digunakan adalah spatial join, intersect, dan join atribut. Spatial join adalah penggabungan dua atau beberapa peta sekaligus. Operasi intersect digunakan untuk memotong peta input dan secara otomatis meng-overlay antara peta yang dipotong dengan peta pemotongnya, dengan output peta memiliki atribut data dari kedua peta tersebut. Sedangkan join atribut adalah menggabungkan data atribut dengan peta. Analisis tumpang tindih dengan menggunakan operasi spatial join dilakukan pada peta administrasi, jalan, dan ibukota kabupaten/kota. Join atribut digunakan pada data hasil analisis daya dukung dan analisis aliran ternak. Analisis klasifikasi dilakukan dengan joint atribut antara peta adminsitrasi dengan hirarki wilayah hasil dari analisis skalogram. Selanjutnya dilakukan analisis tematik untuk setiap data hasil analisis yang dilakukan dengan melihat hubungan kecenderungan data berdasarkan tampilan spasial. Untuk mendukung analisis tematik ini, digunakan data tabular sebagai pendukung yang diperoleh dari analisis sebelumnya.

47 IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara LS dan LU atau antara BT (Gambar 3). Luas Provinsi Riau adalah ,09 Ha. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Kepulauan Riau, sebelah Selatan dengan Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan, sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Kepulauan Riau dan Laut Cina Selatan. Kondisi geografis Provinsi Riau juga dicirikan dengan potensi hidrologinya, yaitu aliran sungai, khususnya di wilayah daratan, yang terdapat 15 sungai, diantaranya empat sungai mempunyai peran strategis sebagai prasarana perhubungan, yakni: (1) Sungai Siak (300 km) dengan kedalaman 8-12 m; (2) Sungai Rokan (400 km) dengan kedalaman 6-8 m; (3) Sungai Kampar (400 km) dengan kedalaman lebih kurang 6 m dan (4) Sungai Indragiri (500 km) dengan kedalaman 6-8 m. Ke empat sungai tersebut membelah dari pegunungan daratan tinggi Bukit Barisan bermuara di Selat Malaka dan Laut China Selatan, yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Jenis tanah di daerah penelitian cukup bervariasi dan luas masing-masing satuan tanah disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Luas dan jenis satuan tanah di Provinsi Riau No Satuan Tanah Luas (Ha) Bahan Induk Fisiografi Tanah Wilayah Datar 1 Organosol dan Gley Humus Bahan Aluvial Datar 2 Hidromorf Kelabu - Bahan Aluvial Datar 3 Podsolik Merah Kuning Bahan Endapan Datar 4 Podsolik Merah Kuning Bahan Aluvial Datar Tanah Wilayah Bukit dan Gunung 1 Podsol Batuan Endapan Dataran 2 Podsolik Merah Kuning Batuan Endapan dan Lipatan Batuan Beku 3 Podsolik Merah Kuning (komplek) Batuan Beku Instrasi 4 Podsolik Merah Kuning Latosol Batuan Endapan dan - dan Litosol Batuan Beku Pegunungan Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008)

48 Pada Tabel 4 terlihat bahwa jenis yang mendominasi wilayah Provinsi Riau adalah Organosol dan gley Humus dan yang berikutnya adalah tanah podsolik merah kuning dengan beberapa variasi. Jika dilihat dari iklim, daerah Riau beriklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar antara mm pertahun yang dipengaruhi oleh musim kemarau dan musim hujan. Selanjutnya menurut cacatatan Stasiun Meteorologi Simpang Tiga yang berada di Pekanbaru, suhu udara rata-rata di Kota Pekanbaru pada tahun 2007 adalah 27,1 0 C, dengan suhu maksimum 35,2 0 C dan suhu minimum 21,0 0 C. 4.2 Wilayah Administrasi Secara administrasi ibukota Provinsi Riau adalah Pekanbaru. Provinsi Riau terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kuantan Singingi, kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kota Pekanbaru dan Kota Dumai. Secara spasial ditampilkan pada Gambar 3. Provinsi Riau memiliki 151 kecamatan dan 1609 kelurahan/desa (Tabel 5), wilayah terluas adalah Kabupaten Indragiri Hilir (14,27 persen) dan yang terkecil adalah kota Pekanbaru (0,78 persen). Gambar 3 Peta administrasi Provinsi Riau

49 Tabel 5 Jumlah kecamatan, kelurahan/desa menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau tahun 2007 No Kabupaten/ Kota Luas Wilayah (Ha) Persentase Luas Wilayah (%) Jumlah Kecamatan Jumlah Kelurahan/ Desa 1 Kuantan Singingi ,13 5, Indragiri Hulu ,66 8, Indragiri Hilir ,12 15, Pelalawan ,95 13, Siak ,00 9, Kampar ,71 12, Rokan Hulu ,68 8, Bengkalis ,05 13, Rokan Hilir ,93 10, Pekanbaru ,86 0, Dumai ,00 2, TOTAL ,09 100, Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) Berdasarkan Tabel 5, Kabupaten Indragiri Hilir dan Kampar merupakan daerah yang memiliki jumlah kecamatan yang paling banyak dan Kota Dumai merupakan kota yang memiliki kecamatan paling sedikit. Berdasarkan jumlah desa/kelurahan, Kabupaten Kampar dan Kabupaten Kuatan Singingi memiliki desa/kelurahan yang paling banyak dan Kota Dumai merupakan daerah yang memiliki kelurahan yang paling sedikit. 4.3 Demografi Perkembangan jumlah penduduk Provinsi Riau disajikan pada Tabel 7. Jumlah penduduk Provinsi Riau mengalami peningkatan sebesar 11,75% selama periode , yakni dari 4,53 juta jiwa pada tahun 2004 menjadi 5,16 juta jiwa pada tahun Kondisi ini mengidentifikasikan bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk selama periode tersebut sebesar 2,94 % pertahun. Dari Tabel 6, Kota Pekanbaru merupakan wilayah di Provinsi Riau yang memiliki populasi paling tinggi, yakni 15,11 % dari total populasi. Perkembangan jumlah penduduk Kota Pekanbaru dari tahun 2004 hingga 2007 adalah 12,39%. Salah satu hal yang menjadikan Kota Pekanbaru memiliki jumlah penduduk terbanyak di Provinsi Riau adalah karena Kota Pekanbaru merupakan ibukota provinsi. Di antara sembilan kabupaten yang ada di Provinsi Riau, terdapat empat kabupaten yang mempunyai jumlah penduduk melebihi jiwa yakni Kabupaten Indragiri Hilir, Kampar, Bengkalis dan Rokan Hilir. Sedangkan

50 kabupaten/kota yang mempunyai penduduk terkecil adalah Kabupaten Kuantan Singingi. Tabel 6 Jumlah penduduk Provinsi Riau menurut kabupaten/kota tahun No Kabupaten/ Kota Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Pekanbaru Dumai TOTAL Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) 4.4 Pendapatan Domestik Regional Bruto Pengukuran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu alat untuk mengukur kemakmuran masyarakat disuatu wilayah. Angka yang dianggap mendekati pencapaian tingkat kemakmuran tersebut adalah pendapatan regional. Manfaat pendapat regional adalah untuk mengetahui tingkat produk yang dihasilkan oleh seluruh faktor produksi, besarnya laju pertumbuhan ekonomi, dan struktur perekonomian suatu wilayah tertentu (Bappeda dan BPS Prov. Riau 2008). Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau Tahun 2007 disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa PDRB Provinsi Riau ditopang oleh Industri Minyak dan Gas. Hal ini terjadi karena Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi penghasil minyak mentah, gas alam, dan beberapa hasil tambang mineral. Jika dilihat dari PDRB tanpa migas, Pekanbaru dan Indragiri Hilir merupakan wilayah dengan PDRB yang tinggi. Pekanbaru merupakan ibukota provinsi dan berkembang sebagai pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan sedangkan Indragiri Hilir didukung oleh kegiatan perkebunan.

51 Tabel 7 Pendapatan Domestik Regional Bruto Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) No Kabupaten/Kota Tanpa Migas Dengan Migas 1 Pekanbaru , ,99 2 Kampar , ,84 3 Rokan Hulu , ,61 4 Pelalawan , ,64 5 Indragiri Hulu , ,88 6 Kuantan Singingi , ,96 7 Indragiri Hilir , ,25 8 Bengkalis , ,70 9 Rokan Hilir , ,93 10 Dumai , ,54 11 Siak , ,73 Jumlah , ,07 Sumber : BPS Prov. Riau (2008) Besarnya nilai tambah kegiatan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat, dapat dilihat dari PDRB perkapita, seperti yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pendapatan Domestik Regional Bruto per kapita Provinsi Riau tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (juta rupiah) No Kabupaten/Kota Tanpa Migas Dengan Migas 1 Pekanbaru 8,97 8,97 2 Kampar 6,39 13,20 3 Rokan Hulu 5,50 5,93 4 Pelalawan 9,33 9,82 5 Indragiri Hulu 10,31 10,91 6 Kuantan Singingi 9,30 9,30 7 Indragiri Hilir 8,23 8,23 8 Bengkalis 5,28 34,68 9 Rokan Hilir 6,47 21,01 10 Dumai 5,08 10,07 11 Siak 9,64 45,81 Sumber : BPS Prov. Riau (2008) Dari Tabel 8 terlihat bahwa pada PDRB per kapita tanpa migas, Indragiri Hulu merupakan wilayah dengan PDRB per kapita tertinggi yang diikuti oleh Siak. Lapangan usaha yang mempunyai peran yang tinggi pada kedua wilayah tersebut adalah industri pengolahan tanpa migas seperti pemanfaatan hasil hutan dan industrinya (industri kertas dan bubur kertas). Sedangkan PDRB per kapita dengan migas, Bengkalis dan Siak merupakan wilayah dengan PDRB per kapita

52 terbesar. Hal ini manggambarkan bahwa di wilayah tersebut merupakan wilayah penghasil migas utama di Provinsi Riau. Peran sektoral pada suatu wilayah dapat dilihat dari kontribusi sektor pada jumlah Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Melalui kontribusi ini dapat dilihat kemampuan setiap sektor ekonomi menurut lapangan usaha tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa sehingga informasi ini penting bagi pemakai (user) untuk mengetahui daya ungkit (leverage) setiap sektor ekonomi tersebut dalam memompa perekonomian Provinsi Riau. Kontribusi sektoral pada PDRB Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Kontribusi menurut lapangan usaha PDRB Provinsi Riau tanpa dan dengan migas tahun 2007 atas dasar harga konstan 2000 (%) No Sektor Tanpa Migas Dengan Migas 1 Pertanian 37,51 17,15 2 Pertambangan 1,64 52,34 3 Industri Pengolahan 17,59 10,73 4 Listrik dan Air 0,47 0,21 5 Bangunan 6,79 3,10 6 Perdagangan 17,35 7,93 7 Angkutan 5,91 2,70 8 Keuangan 2,57 1,17 9 Jasa-jasa 10,17 4,65 Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) Dari Tabel 9 terlihat bahwa PDRB Provinsi Riau tanpa migas pada tahun 2007 masih didominasi oleh tiga sektor, yaitu sektor pertanian, industri, dan perdagangan. Dengan memasukkan unsur migas ke dalam perekonomian Provinsi Riau maka terlihat bahwa sektor pertambangan mendominasi karena sektor ini mampu memberikan kontribusi paling tinggi yaitu sebesar 52,34%. 4.5 Potensi Peternakan Peran strategis sub sektor peternakan sangat diharapkan dalam pembangunan wilayah Provinsi Riau yang meliputi peran dalam penyediaan kebutuhan produk hasil ternak, sehingga menjamin keseimbangan supply-demand, peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peran multidimensi ini, meliputi pendekatan komoditas atau sumber daya (resources base), pendekatan wilayah atau kawasan, dan pendekatan sistem

53 perencanaan. Untuk pembangunan usaha peternakan, lahan dapat berfungsi sebagai basis ekosistem dan pendukung pakan di Provinsi Riau. Komoditas peternakan, disamping sifat pengembangan peternakan yang mampu mengoptimalisasikan penggunaan lahan, pemanfaatan limbah pertanian dan industri pertanian, juga berfungsi sebagai penyangga perekonomian rakyat pedesaan. Potensi peternakan yang cukup besar untuk dikembangkan di Provinsi Riau karena masyarakatnya telah familiar dengan budidaya dan penggemukan ternak sapi, budidaya ternak kerbau, kambing, serta usaha ternak unggas terutama ayam pedaging dan ayam buras (ayam bukan ras). Salah satu tujuan pembangunan peternakan di Provinsi Riau adalah peningkatan populasi ternak seoptimal mungkin untuk dapat mencukupi kebutuhan masyarakat Provinsi Riau akan ternak, hasil ternak berupa daging dan telur serta tenaga kerja ternak. Perkembangan populasi ternak cukup dinamis. Seperti terlihat pada Gambar 4 dimana populasi ternak sapi terus mengalami peningkatan, sedangkan kerbau sedikit berkurang. Sedangkan populasi ternak kambing pada tahun 2007 mengalami penurunan Populasi (ekor) Sapi Potong Kerbau kambing Komoditas Gambar 4 Dinamika perkembangan populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau Populasi ternak di Provinsi Riau tahun 2007 berdasarkan komoditas dapat dilihat pada Tabel 10. Untuk melihat penyebaran ternak pada kabupaten dan kota disajikan pada Gambar 5 dan 6.

54 Tabel 10 Populasi ternak di Provinsi Riau tahun 2007 Komoditas (Ekor) No Kabupaten/ Kota Ayam Ayam Ras Sapi Kerbau Kambing Buras Pedaging Itik 1 Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Riau Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Pada Gambar 5 terlihat bahwa sapi dan kerbau berkembang di daerah Riau bagian utara, sedangkan kambing banyak terdapat di wilayah pesisir (selatan) yaitu di Rokan Hilir, Dumai, Bengkalis dan Siak. Untuk wilayah utara, kambing banyak terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu. Populasi ternak kerbau didominasi dari wilayah Kabupaten Kampar dan Kuantan Singingi. Gambar 5 Peta penyebaran populasi ternak sapi, kerbau dan kambing Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 Penyebaran ternak unggas (ayam dan itik) disajikan pada Gambar 6. Populasi ayam ras pedaging yang relatif tinggi terdapat di Kabupaten Kampar dan

55 Kota Pekanbaru. Sedangkan untuk ternak ayam buras dan itik menyebar di seluruh kabupaten dan kota. Gambar 6 Peta penyebaran ternak ayam buras, itik dan ayam ras pedaging Provinsi Riau berdasarkan kabupaten dan kota tahun 2007 Pengembangan komoditas peternakan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan daging di Provinsi Riau. Nilai konsumsi daging per kapita per tahun di Provinsi Riau pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Konsumsi daging per kapita di Provinsi Riau tahun 2007 (kg/tahun) No Jenis Bahan Konsumsi per Kapita 1 Daging Sapi 0,877 2 Daging Kerbau 0,193 3 Daging Kambing 0,171 4 Daging Domba 0,004 5 Daging Babi 0,054 6 Daging Ayam Buras 0,364 7 Daging Ayam Ras 2,427 8 Daging Itik 0,018 Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Dari Tabel 11 terlihat bahwa daging yang paling banyak di konsumsi dan digemari oleh masyarakat Provinsi Riau adalah daging ayam ras dan selanjutnya adalah daging sapi. Tingginya konsumsi daging ayam ras ini karena ketersediaan

56 ayam ras yang terjamin dan harga yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga daging sapi atau daging ayam buras. Berdasar angka konsumsi daging tersebut dapat diketahui besarnya konsumsi daging setiap wilayah kabupaten dan kota. Pada Tabel 12, disajikan jumlah konsumsi daging, khususnya komoditas yang diamati pada penelitian ini. Tabel 12 Konsumsi daging per kabupaten dan kota di Provinsi Riau tahun 2007 (kg) No Kab/Kota Daging Daging Daging Ayam Daging Sapi Kerbau Ras Pedaging Ayam Buras Jumlah 1 Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Total Sumber : Disnak Prov. Riau (2008) Dari Tabel 12 diketahui bahwa wilayah yang jumlah konsumsi dagingnya tinggi adalah Pekanbaru dan Bengkalis dan selanjutnya diikuti oleh Indragiri Hilir dan Kampar. Sedangkan komoditas yang paling banyak dikomsumsi adalah daging ayam ras. Tanaman pangan dan perkebunan sangat mendukung bagi perkembangan sub sektor peternakan. Komoditas tanaman pangan yang mendukung subsektor peternakan meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi jalar, kacang kedelai, dan kacang hijau. Sedangkan komoditas perkebunan yang mendukung subsektor peternakan adalah perkebunan kelapa sawit, kelapa dan karet. Menurut Disnak Prov. Riau (2006), pada tahun 2006 luas kebun kelapa sawit di Provinsi Riau mencapai Ha. Dari luas kebun kelapa sawit tersebut yang dapat dimanfaatkan untuk usaha peternakan sebanyak Ha yang dapat menampung ternak sapi sebanyak ekor per tahun. Potensi ini apabila ditambah dengan pemeliharaan sapi potong di bawah pohon coklat yang

57 ada seluas Ha dan pohon karet seluas Ha, maka dapat pula menampung ekor sapi per tahun. Sehingga total potensi dari lahan perkebunan adalah ekor.

58 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Daya Dukung Wilayah Analisis daya dukung suatu wilayah untuk sub sektor peternakan dimaksudkan untuk menilai secara optimal potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan ternak. Menurut Suhardjo et al. (1997) secara umum Provinsi Riau terdiri atas daerah pengunungan di bagian barat, beralih secara berangsur-angsur ke perbukitan dan menurun melandai ke arah timur hingga daerah dataran, aluvial, daerah gambut dan dataran marin di daerah pantai. Pada penelitian ini ada dua pendekatan dalam mengukur potensi populasi ternak, yaitu dengan pendekatan daya dukung bahan makanan ternak dan dengan pendekatan nilai konsumsi masyarakat. Pendekatan daya dukung bahan makanan ternak biasanya digunakan untuk penghitung potensi populasi ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Pendekatan yang kedua yaitu berdasarkan nilai konsumsi masyarakat digunakan untuk menghitung potensi populasi ternak unggas seperti ayam ras, ayam buras dan itik. Daya dukung yang dianalisis pada penelitian ini adalah daya dukung rumput alam dan limbah pertanian tanpa pengolahan dan pakan tambahan lainnya. Luas lahan potensial tersebut ditampilkan pada Tabel 13. Tabel 13 Luas lahan potensial sumber pakan ternak menurut jenis dan kabupaten/kota Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang Jumlah Rawa Pangan Rumput 1 Pekanbaru 782,00 42,00 351, ,00 2 Kuantan Singingi , , ,00 3 Indragiri Hulu 7.875,00 960, , ,00 4 Indragiri Hilir , , , ,00 5 Pelalawan ,00 575, , ,00 6 Siak 8.612,00 377, ,50 7 Kampar , , ,00 8 Rokan Hulu , , , ,00 9 Bengkalis , , ,00 10 Rokan Hilir , , ,00 11 Dumai 5.333, , ,00 Jumlah , , , ,50 Sumber : Bappeda dan BPS Prov. Riau (2008) Perhitungan potensi ternak dilakukan dengan cara menghitung luas lahan potensial yang dikalikan dengan kapasitas tampung per hektar untuk ternak

59 ruminansia. Dalam hal ini, satuan kapasitas tampung dihitung berdasarkan unit Satuan Ternak (ST). Berdasarkan Tabel 13, Setyono (1995) menghitung jumlah kapasitas tampung masing-masing jenis lahan, yaitu : tanaman pangan 1,35 ST/Ha, padang penggembalaan 4 ST/Ha dan rawa 2 ST/Ha. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa kapasitas tampung total lahan yang ada yaitu sebesar ,56 ST. Total kapasitas tampung selanjutnya dikonversi berdasarkan proporsi jumlah ternak yang ada per wilayah sehingga daya tampung dalan unit satuan ternak dapat dikonversi ke dalam satuan ekor ruminansia yang ada di Provinsi Riau dengan nilai masing-masing : sapi 0,7 ST/ekor, Kerbau 0,8 ST/ekor, kambing 0,07 ST/ekor dan domba 0,08 ST/ekor (Disnak Prov. Riau 2001). Perhitungan daya tampung lahan untuk komoditas ternak ruminansia dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil analisis kapasitas tampung lahan potensial untuk komoditas sapi dan kerbau disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Kapasitas tampung lahan potensial sumber pakan ternak untuk komoditas sapi dan kerbau pada setiap kabupaten/kota (ekor) No Kabupaten/Kota Sapi Kerbau 1 Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah Dari Tabel 14 terlihat bahwa potensi pengembangan komoditas sapi terbesar terdapat di wilayah Kuantan Singingi, yang diikuti oleh Indragiri Hulu, Siak, Kampar, dan Rokan Hulu, sedangkan komoditas kerbau terdapat di wilayah Kampar dan Kuantan Singingi. Dari jumlah kapasitas tampung untuk komoditas sapi dan kerbau tersebut selanjutnya dapat diketahui potensi pengembangan komoditas sapi dan kerbau dengan mengurangi potensi tersebut dengan populasi ternak existing tahun 2007, yang disajikan pada Tabel 15.

60 Tabel 15 Populasi, potensi dan peluang pengembangan sapi dan kerbau di Provinsi Riau (ekor) Sapi Kerbau No Kabupaten/Kota Kemampuan Peluang Populasi Wilayah Penambahan Populasi Kemampuan Peluang Wilayah Penambahan 1 Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah % dari kemampuan wilayah 18,52 81,48 18,52 81,48 Berdasarkan Tabel 15 diketahui bahwa pada tahun 2007, populasi ternak sapi dan kerbau di Provinsi Riau hanya memenuhi 18,52 % dari potensi kemampuan wilayah, sedangkan peluang pengembangan ternak sapi dan kerbau sebesar 81,48 %. Perlu diingat bahwa potensi pengembangan ternak ruminansia yang dihitung dalam penelitian ini hanya didasarkan pada luas lahan milik masyarakat saja, sehingga potensi pengembangan ternak sapi dan kerbau akan menjadi lebih besar jika ditambahkan dengan lahan perkebunan yang dihitung sebesar ,4 ST atau ekor sapi. Potensi ternak ayam ras pedaging dan ayam buras diukur dengan angka konsumsi daging ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan pola pangan harapan, yaitu masing-masing sebesar 4,88 kg dan 0,73 kg per kapita per tahun. Nilai pola pangan harapan tersebut dikalikan dengan jumlah penduduk. Hasil analisis potensi konsumsi wilayah untuk komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut diketahui bahwa untuk komoditas ayam ras pedaging potensi terbesar terdapat di Pekanbaru begitu juga dengan komoditas ayam buras, yang disebabkan wilayah tersebut mempunyai jumlah penduduk tertinggi di Provinsi Riau. Wilayah lain yang juga mempunyai potensi konsumsi yang relatif lebih tinggi adalah Indragiri Hilir, Bengkalis, kampar, dan Rokan Hilir. Potensi konsumsi komoditas ayam buras lebih kecil dari komoditas ayam ras pedaging karena estimasi konsumsi daging ayam buras dalam pola pangan harapan juga lebih kecil.

61 Tabel 16 Potensi konsumsi komoditas ayam ras pedaging dan ayam buras pada setiap kabupaten/kota (ekor) No Kabupaten/Kota Ayam Ras Pedaging Ayam Buras 1 Pekanbaru Kuantan Singingi Indragiri Hulu Indragiri Hilir Pelalawan Siak Kampar Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir Dumai Jumlah Untuk hasil analisis potensi pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Populasi, kebutuhan wilayah dan peluang pengembangan ayam ras pedaging dan ayam buras di Provinsi Riau (ekor) Ayam Ras Pedaging Ayam Buras No Kabupaten/Kota Kebutuhan Peluang Kebutuhan Peluang Populasi Populasi Wilayah Penambahan Wilayah Penambahan 1 Pekanbaru ( ) (15.777) 2 Kuantan Singingi ( ) 3 Indragiri Hulu Indragiri Hilir (2.829) 5 Pelalawan Siak (23.582) 7 Kampar ( ) ( ) 8 Rokan Hulu Bengkalis Rokan Hilir ( ) 11 Dumai Jumlah ( ) % dari Kemampuan Wilayah 92,93 7,07 106,46 (6,46) Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa pada tahun 2007 populasi ternak ayam ras pedaging mampu memenuhi kebutuhan wilayah sebesar 92,93% dari potensi yang ada, sedangkan peluang penambahan sebesar 7,07%. Untuk ternak ayam buras, telah mampu memenuhi kebutuhan wilayah hingga 106,46%. Peluang penambahan populasi berdasarkan kebutuhan wilayah terdapat di Indragiri Hulu, Pelalawan Rokan Hulu, Bengkalis, dan Dumai. Jika dilihat dari kebutuhan wilayah di kabupaten dan kota, maka wilayah yang telah surplus dalam memproduksi komoditas ayam ras pedaging adalah Kota Pekanbaru dan Kabupaten Kampar. Berdasarkan kemampuan produksi

62 wilayahnya maka kedua wilayah tersebut telah melampaui kapasitasnya. Pengembangan komoditas ayam ras pedaging dapat dilakukan dengan peningkatan populasi di wilayah yang berdekatan dengan Pekanbaru dan Kampar seperti Pelalawan, Siak, dan Rokan Hulu. Hal ini dikarenakan di ketiga wilayah tersebut juga mempunyai potensi yang cukup besar. Kabupaten Bengkalis mempunyai potensi terbesar untuk penambahan populasi ayam buras. Pola penyebaran populasi, potensi/kebutuhan wilayah, dan peluang pengembangan komoditas ternak terpilih secara spasial disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Peta populasi, potensi dan peluang pengembangan ternak sapi, kerbau, ayam ras pedaging dan ayam buras berdasarkan kabupaten dan kota Dari Gambar 7 terlihat bahwa potensi pengembangan peternakan untuk komoditas sapi, kerbau, dan ayam ras pedaging masih terpusat pada wilayah bagian selatan Provinsi Riau, yaitu Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru. Adapun komoditas ayam ras pedaging, terdapat dua wilayah

63 yang telah melebihi kapasitas, sehingga perlu dilakukan pengalihan wilayah pengembangan dari Kampar dan Pekanbaru ke wilayah sekitarnya seperti Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi dan Rokan Hulu. Pola penyebaran populasi ayam buras yang menyebar menandakan bahwa komoditas ayam buras dipelihara dan dibudidayakan merata di masyarakat Provinsi Riau. Kondisi ini merupakan sebuah keunggulan karena pengembangannya lebih mudah karena sudah dikenal oleh masyarakat. Wilayah utara dan timur, yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir, potensi pengembangan ternak ruminansia relatif lebih sedikit. Komoditas yang berpotensi dikembangkan di wilayah ini adalah komoditas ayam buras seperti di Kabupaten Bengkalis, Indragiri Hulu, Rokan Hulu, Pelalawan, dan Kota Dumai. Wilayah utara dan timur Provinsi Riau menurut Suhardjo et al. (1997) merupakan dataran yang cukup luas, lereng lebih landai sehingga berpotensi untuk pengembangan pertanian. Wilayah dataran ini merupakan daerah gambut yang cukup luas, dibandingkan dengan wilayah barat dan selatan, yang terdiri atas daerah pengunungan, yang beralih secara berangsur-angsur ke perbukitan dan menurun melandai ke arah timur. Pendekatan peluang pengembangan komoditas peternakan pada penelitian ini tidak memperhatikan jumlah peternak dan kondisi sumberdaya lahan seperti topografi, kesuburan dan ketersediaan air. Hubungan subsitusi atau komplementer komoditas terpilih dengan komoditas lain dianggap tidak ada dan peluang pengembangan setiap komoditas dianggap sama. Penajaman analisis daya dukung di masa yang akan datang tentu akan menjadikan analisis ini menjadi lebih baik. 5.2 Analisis Interaksi Wilayah Komoditas Peternakan Pemasaran komoditas peternakan antar wilayah akan berlangsung ketika terdapat permintaan suatu wilayah sedangkan wilayah yang lain mempunyai penawaran, sehingga terjadi perpindahan ternak antar wilayah. Konsep permintaan dan penawaran yang diamati pada penelitian ini adalah pola pemasaran komoditas peternakan terpilih berdasarkan aliran ternak antar wilayah. Variabel yang dianalisis terdiri dari satu variabel terikat berupa aliran ternak antar wilayah dan 13 variabel bebas. Analisis dilakukan dengan fungsi multiple

64 regression dengan menghilangkan multikolinieritas dengan forward stepwise. Analisis dilakukan pada tiga komoditas yaitu ayam ras pedaging, sapi, dan kerbau, sedangkan komoditas ayam buras tidak dilakukan analisis karena tidak ada pemasaran komoditas ayam buras antar wilayah Komoditas Sapi Komoditas sapi merupakan salah satu komoditas yang digemari di Provinsi Riau. Hasil analisis Model Gravitasi untuk aliran pemasaran komoditas sapi ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas sapi Variabel Dugaan Galat Taraf Nyata (p) Intercept -4, , , PSDMPi 1, , ,015202* PSDMPj -1, , , PopTi 0, , , PopTj 1, , ,001445* PMTi -0, , ,000307* dij -0, , ,024404* R 2 0,70713 Keterangan : PSDMPi : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Asal PSDMPj : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Tujuan PopTj : Populasi Ternak Wilayah Tujuan PopTi : Populasi Ternak Wilayah Asal PMTi : Pemotongan Ternak Wilayah Asal dij : Jarak dari Wilayah Asal ke Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5% Dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa dari 13 variabel yang diukur terdapat empat variabel yang mempengaruhi secara nyata (p<5%) terhadap aliran pemasaran komoditas sapi. Dalam hal ini pemasaran komoditas sapi antar wilayah sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa produktifitas sumber daya peternakan (1,55), sebaliknya variabel yang mengurangi interaksi pemasaran antar wilayah adalah pemotongan ternak di wilayah asal (-0,80). Hal ini berarti peningkatan produktifitas sumber daya peternakan meningkatkan daya dorong wilayah asal untuk memasarkan komoditas sapi ke wilayah tujuan, sedangkan semakin tingginya pemotongan komoditas sapi di wilayah asal menyebabkan berkurangnya pemasaran ternak tersebut ke luar wilayah.

65 Keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel yang diamati sebesar 70,71%. Peningkatan produktifitas peternak sapi, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya pakan dan teknologi tepat guna, mendorong usaha budidaya menjadi efisien sehingga mampu meningkatkan populasi dan produksi. Produksi yang meningkat akan menjadi daya dorong untuk memasarkan komoditas sapi ke luar wilayah. Produksi ternak, juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam wilayah sendiri. Jika terdapat peningkatan permintaan di dalam wilayah, akan mengurangi aliran jumlah ternak yang dipasarkan ke luar wilayah. Dari Tabel 18 dapat pula dibaca bahwa variabel yang mempunyai daya tarik interaksi di wilayah tujuan yang berpengaruh nyata (p<5%) adalah populasi ternak wilayah tujuan (1,22). Artinya bahwa peningkatan populasi komoditas sapi di wilayah tujuan tidak menyebabkan peningkatan pemotongan komoditas sapi yang berasal dari wilayah tersebut, sehingga mengarah kepada pemenuhan kebutuhan untuk wilayah lain. Kondisi ini menggambarkan bahwa hubungan pelaku pemasaran pada perdagangan komoditas sapi antar wilayah telah berjalan dengan intens sehingga pemenuhan permintaan pada wilayah lain menjadi prioritas utama dibandingkan dengan permintaan di wilayah itu sendiri. Untuk melihat wilayah yang mempunyai pengaruh terhadap daya dorong dan daya tarik pemasaran tersebut maka dilakukan analisis dengan model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda, seperti pada Tabel 19. Dari tabel tersebut, semua wilayah asal komoditas sapi di Provinsi Riau berpengaruh nyata (p<5%) terharap interaksi aliran pemasaran komoditas sapi. Terdapat enam wilayah asal pemasaran komoditas sapi yang sangat mempengaruhi interaksi pemasaran antar wilayah yaitu Kampar (1,86), Dumai (0,97), Indragiri Hulu (1,50), Kuantan Singingi (1,15), Rokan Hulu (1,23), dan Indragiri Hilir (0,56). Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi 1% komoditas sapi pada wilayah asal akan meningkatkan daya dorong wilayah tersebut untuk memasarkan komoditas sapi sebesar nilai dugaannya. Nilai koefisien lebih dari satu menunjukan nilai elastisitas yang lebih baik karena peningkatan produksi mampu memberikan efek aliran komoditas lebih banyak dari satu.

66 Tabel 19 Pola aliran pemasaran komoditas sapi Parameter Dugaan Galat Statistik Taraf Wald Nyata (p) Intercept 6, , ,90 0,000000* 1 Pekanbaru -2, , ,68 0,000000* 2 Kuantan Singingi 1, , ,84 0,000000* 3 Indragiri Hulu 1, , ,35 0,000000* 4 Indragiri Hilir 0, , ,59 0,000000* 5 Pelalawan -0, , ,03 0,024892* 6 Siak -0, , ,08 0,000001* Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan Jarak 7 Kampar 1, , ,02 0,000000* 8 Rokan Hulu 1, , ,91 0,000000* 9 Bengkalis -1, , ,81 0,000000* 10 Rokan Hilir -0, , ,59 0,000663* 11 Dumai 0, Pekanbaru -1, , ,33 0,000000* 2 Kuantan Singingi -0, , ,65 0,000000* 3 Indragiri Hulu 0, , ,55 0,001994* 4 Indragiri Hilir 0, , ,49 0,034193* 5 Pelalawan -1, , ,37 0,000000* 6 Siak 2, , ,73 0,000000* 7 Kampar -0, , ,29 0,000000* 8 Rokan Hulu -0, , ,15 0, Bengkalis 1, , ,82 0,000000* 10 Rokan Hilir 0, , ,72 0,000000* 11 Dumai 0,10666 Efek pertambahan jarak antara wilayah asal dengan -0, , ,54 0,000000* wilayah tujuan R 2 0,5871 * Berpengaruh nyata pada p<5% Wilayah yang tidak mempunyai daya dorong/daya dorong rendah, dalam aliran pemasaran komoditas sapi (yang mengurangi interaksi) adalah Pekanbaru (- 2,58), Pelalawan (-0,13), Bengkalis (-1,69), Siak (-0,67) dan Rokan Hilir (-0,25). Hasil ini menunjukan bahwa wilayah yang mempunyai populasi ternak yang cukup tinggi, produksi ternak sapinya lebih banyak dipasarkan ke luar wilayahnya, sedangkan wilayah yang interaksi rendah cenderung memiliki populasi sapi lebih sedikit dan membutuhkan pasokan dari wilayah lain. Daya tarik wilayah dijelaskan dengan adanya peningkatan permintaan pada wilayah tersebut yang disebut wilayah tujuan. Wilayah tujuan yang mempengaruhi secara nyata (p<5%) aliran pemasaran komoditas sapi adalah Bengkalis (1,01), Siak (2,25), Indragiri Hulu (0,13), Indragiri Hilir (0,10), Rokan

67 Hilir (0,44), dan Dumai (0,10). Keragaman yang dapat dijelaskan pada uji model sebesar 58,71%. Pada wilayah Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, dan Dumai, peningkatan produksi dan permintaan komoditas sapi mempengaruhi secara positif terhadap kegiatan pemasaran antar wilayah. Hal ini mengindikasikan bahwa keluar masuk ternak di wilayah ini relatif seimbang. Sedangkan Pekanbaru dan Pelalawan produksi dan permintaan mempengaruhi secara negatif. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan produksi tidak bisa memenuhi kebutuhan wilayah lain. Kemampuan produksi sapi di wilayah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam wilayah. Aliran ternak yang ada pada wilayah tersebut merupakan bentuk kosentrasi pengumpulan ternak sebelum dipasarkan ke wilayah pemasaran. Wilayah ini merupakan simpul pasar aliran pemasaran komoditas sapi. Deskripsi pola aliran pemasaran komoditas sapi disajikan pada Gambar 8. Wilayah Produksi Simpul Pasar Wilayah Pemasaran Gambar 8 Pola aliran pemasaran komoditas sapi Dari Gambar 8 terlihat bahwa ada pemusatan pengumpulan ternak sebelum dipasarkan ke wilayah lain. Pemusatan pengumpulan ternak di wilayah simpul pasar menunjukan adanya usaha untuk meningkatkan efisiensi biaya transportasi dengan memaksimalkan jumlah yang diangkut. Aliran keluar masuk komoditas sapi antar wilayah disajikan pada Gambar 9 dan matriks jumlah aliran pemasaran komoditas sapi disajikan pada Lampiran 2. Pada Gambar 9 terlihat bahwa tidak ada wilayah yang benar-benar mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri sehingga interaksi antar wilayah sangat kuat. Interaksi yang kuat terjadi di wilayah Riau bagian Selatan yaitu Pekanbaru, Kampar, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Rokan Hulu, dan Dumai. Pada

68 wilayah ini, populasi ternak relatif lebih tinggi, terutama di Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu. Gambar 9 Peta aliran pemasaran komoditas sapi Konsumsi komoditas sapi di wilayah Riau Selatan ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Riau Utara terutama Bengkalis. Sedangkan untuk wilayah Riau Utara interaksi terjadi di tiga wilayah yaitu Bengkalis, Dumai dan Rokan Hilir. Hal ini mengisyaratkan bahwa kedekatan wilayah, yang dilihat dari jarak, mendorong interaksi antar wilayah. Hal senada juga disampaikan oleh Celik dan Guldmann (2007) bahwa jarak berpengaruh negatif terhadap jumlah aliran komoditas Komoditas Kerbau Hasil analisis Model Gravitasi untuk aliran pemasaran komoditas kerbau ditampilkan pada Tabel 20. Berdasarkan tabel tersebut, dari 13 variabel yang digunakan ternyata hanya dua variabel yang sangat berpengaruh (p<5%), yaitu pemotongan ternak di wilayah tujuan (0,65) dan jumlah penduduk wilayah tujuan (-1,47). Sedangkan jarak tidak mempengaruhi interaksi. Keragaman yang dipengaruhi oleh variabel-variabel yang digunakan adalah sebesar 62,70%. Hasil

69 ini menunjukan bahwa peningkatan pemotongan komoditas kerbau di wilayah tujuan menjadi daya tarik bagi wilayah asal untuk memasarkan komoditas kerbau, sedangkan peningkatan populasi penduduk wilayah tujuan menurunkan aliran pemasaran komoditas kerbau ke wilayah tujuan. Kondisi ini menggambarkan bahwa kerbau sebagai komoditas yang spesifik di wilayah tertentu, ternyata tidak dipengaruhi oleh jarak. Tabel 20 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas kerbau Variabel Dugaan Galat Taraf Nyata (p) Intercept 19, , ,027737* PMTj 0, , ,002024* Pj -1, , ,035228* R 2 0,62702 Keterangan : PMTj : Pemotongan Ternak Wilayah Tujuan Pj : Populasi Penduduk Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5% Peningkatan jumlah penduduk tidak mendorong peningkatan permintaan daging kerbau, hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua masyarakat menyukai daging kerbau. Tetapi untuk wilayah-wilayah tertentu daging kerbau masih disukai, sehingga meskipun komoditas kerbau berasal dari wilayah dengan jarak yang lebih jauh, maka jarak tersebut tidak menjadi penghalang. Hal ini menyebabkan di wilayah ini harga ternak kerbau menjadi lebih tinggi. Untuk melihat wilayah-wilayah yang mempunyai pengaruh terhadap daya dorong dan daya tarik pemasaran komoditas kerbau maka perlu dilakukan analisis dengan model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda, seperti yang disajikan pada Tabel 21. Dari tabel tersebut terlihat bahwa aliran pemasaran komoditas kerbau lebih dipengaruhi oleh wilayah tujuan. Pada wilayah asal semua wilayah tidak berpengaruh secara nyata (p>5%) terhadap daya dorong wilayah asal. Hal ini mengindikasikan bahwa secara keseluruhan, tidak ada wilayah secara khusus sebagai wilayah produksi komoditas kerbau di Provinsi Riau. Efek peningkatan permintaan komoditas kerbau di wilayah tujuan berpengaruh nyata (p<5%) pada wilayah-wilayah Pekanbaru (0,18), Kuantan Singingi (0,23), Indragiri Hulu (0,69), Indragiri Hilir (-2,90), Pelalawan (-1,67),

70 Siak (0,21), Kampar (1,08), dan Rokan Hulu (0,15). Keragaman yang dapat digambarkan dari uji model sebesar 56,63%. Tabel 21 Pola aliran pemasaran komoditas kerbau Parameter Dugaan Galat Statistik Taraf Nyata Wald (p) Intercept 2, , ,038 0, Pekanbaru 0, , ,001 0, Kuantan Singingi 4, , ,130 0, Indragiri Hulu 3, , ,073 0, Indragiri Hilir -11, , ,017 0, Pelalawan -12, , ,020 0, Siak 2, , ,035 0, Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan Jarak 7 Kampar 3, , ,100 0, Rokan Hulu 4, , ,115 0, Bengkalis -0, , ,000 0, Rokan Hilir 2, , ,049 0, Dumai -2, Pekanbaru 0,1810 0, ,637 0,001108* 2 Kuantan Singingi 0,2345 0, ,261 0,000463* 3 Indragiri Hulu 0,6919 0, ,844 0,000000* 4 Indragiri Hilir -2,9034 0, ,153 0,000000* 5 Pelalawan -1,6710 0, ,993 0,000000* 6 Siak 0,2139 0, ,018 0,008068* 7 Kampar 1,0871 0, ,730 0,000000* 8 Rokan Hulu 0,1505 0, ,439 0,019691* 9 Bengkalis 0,0998 0, ,762 0, Rokan Hilir 0,2504 0, ,924 0,014934* 11 Dumai -1,66524 Efek pertambahan jarak antara wilayah asal -0,0143 0, ,382 0,000000* dengan wilayah tujuan R 2 0,5663 * Berpengaruh nyata pada p<5% Wilayah-wilayah tujuan yang mempunyai daya tarik untuk permintaan komoditas kerbau dengan nilai koefisien positif yaitu Pekanbaru, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, dan Rokan Hilir. Wilayah-wilayah ini mempunyai daya tarik pada pemasaran komoditas kerbau Sedangkan wilayah yang peningkatan permintaan berpengaruh negatif terhadap aliran pemasaran komoditas kerbau adalah Indragiri Hilir, Pelalawan dan Dumai. Pada wilayah ini tidak mempunyai daya tarik dalam pemasaran komoditas kerbau. Hal ini dikarenakan Indragiri Hulu dan Pelalawan tidak mempunyai produksi komoditas kerbau, sedangkan Dumai mempunyai pemotongan yang tinggi di wilayahnya sendiri. Aliran komoditas kerbau antar wilayah tidak menunjukan

71 pola tertentu. Hal ini terjadi karena pemasaran komoditas kerbau terjadi secara sporadis untuk memenuhi kebutuhan wilayah tertentu. Secara spasial, aliran pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Gambar 10 dan matriks jumlah aliran pemasaran komoditas kerbau disajikan pada Lampiran 3. Gambar 10 Peta aliran pemasaran komoditas kerbau Dari Gambar 10, terlihat bahwa nilai aliran komoditas kerbau tidak begitu besar. Aliran komoditas terfokus pada tiga wilayah yaitu Kuantan Singingi, Kampar dan Dumai. Kuantan Singingi dan Kampar merupakan gambaran wilayah produksi, karena mempunyai populasi kerbau yang tinggi, sedangkan Dumai merupakan wilayah pemasaran. Hal ini disebabkan karena kota Dumai tidak mempunyai populasi ternak kerbau yang besar, tetapi sebagai pusat pemasaran, Dumai menjadi tempat transit ternak menuju wilayah Bengkalis, Rokan Hilir dan Siak. Hal ini didukung oleh tingginya angka konsumsi daging kerbau di Bengkalis dan Rokan Hilir. Dari hasil ini, terlihat bahwa secara spesifik produk komoditas kerbau lebih diminati di Kabupaten Kuantan Singingi, Rokan Hulu dan Kampar, tetapi Kabupaten Kampar masih membutuhkan pasokan komoditas kerbau dari luar wilayahnya karena permintaan yang tinggi yang saat ini masih belum dapat

72 dipenuhi oleh wilayah Kampar sendiri. Dengan melihat potensi pengembangannya, maka Kampar di masa yang akan dapat dapat dikembangkan sebagai wilayah produksi komoditas kerbau. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa untuk Kabupaten Kuantan Singingi, Kampar dan Rokan Hulu merupakan wilayah produksi untuk ternak kerbau Komoditas Ayam Ras Pedaging Hasil analisis Model Gravitasi pada komoditas ayam ras pedaging dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Faktor yang mempengaruhi aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Variabel Dugaan Galat Taraf Nyata (p) Intercept -17, , , PopTi 0,5554 0, ,004492* PopTj -0,1503 0, ,020030* PMTi -0,5631 0, , PMTj -0,5090 0, , KonSj 2,5710 0, ,001640* PSDMPj 0,8502 0, , dij -1,4383 0, ,001208* R 2 0,6731 Keterangan : PopTi : Populasi Ternak Wilayah Asal PopTj : Populasi Ternak Wilayah Tujuan KonSj : Konsumsi Ternak Wilayah Tujuan PMTi : Pemotongan Ternak Wilayah Asal PMTj : Pemotongan Ternak Wilayah Tujuan PSDMPj : Produktifitas SDM Peternakan Wilayah Tujuan dij : Jarak dari Wilayah Asal ke Wilayah Tujuan * : Berpengaruh nyata pada p<5% Dari Tabel 22 diketahui bahwa dari 13 variabel yang diukur terdapat empat variabel yang berpengaruh nyata (p<5%) terhadap aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Koefisien kelima variabel tersebut adalah PopTi (0,55), PopTj (-0,15), KonSj (2,57), dan Dij (-1,43). Keragaman yang dapat digambarkan oleh variabel yang diukur sebesar 67,31%. Pemasaran komoditas ayam ras pedaging antar wilayah sangat dipengaruhi oleh daya dorong dari wilayah asal berupa populasi ternak yang berarti peningkatan 1% populasi ternak wilayah asal mempunyai daya dorong lebih besar

73 sebanyak 0,55% dibandingkan dengan wilayah tujuan. Daya tarik daerah tujuan secara nyata dipengaruhi oleh meningkatnya konsumsi wilayah tujuan sebesar 2,5 yang berarti untuk peningkatan konsumsi 1% maka wilayah tujuan mempunyai daya tarik sebesar 2,50% lebih besar dibandingkan dengan wilayah asal. Berkurangnya intensitas pemasaran ayam ras pedaging dipengaruhi oleh semakin jauhnya wilayah tujuan, meningkatnya populasi ternak di wilayah tujuan. Penambahan 1 km jarak pemasaran akan mengurangi aliran ternak ke wilayah tujuan sebesar 1,43%. Peningkatan populasi 1% ternak wilayah tujuan akan mengurangi aliran ternak ke wilayah tujuan sebesar 0,15%. Jika peningkatan pemotongan di wilayah tujuan merupakan pemotongan ternak yang dihasilkan oleh wilayah itu sendiri, maka ini mengindikasikan terjadinya peningkatan kegiatan budidaya di wilayah tersebut. Berkembangnya kegiatan usaha peternakan komoditas ayam ras pedaging di wilayah tujuan akan mampu meningkatkan nilai tambah sub sektor peternakan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan per kapita. Peningkatan konsumsi daging ayam ras akan menjadikan wilayah tersebut mempunyai daya tarik bagi pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Di sisi yang lain, jika di wilayah tujuan tidak mampu memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri maka peningkatan pemotongan akan meningkatkan intensitas pemasaran komoditas ayam ras pedaging ke wilayah tujuan. Selanjutnya, untuk melihat wilayah yang berperan dalam pemasaran komoditas ayam ras pedaging antar wilayah, maka dilakukan analisis Model Entropy Interaksi Spasial Berkendala Ganda yang ditampilkan pada Tabel 23. Dari tabel tersebut diketahui semua wilayah berpengaruh secara nyata terhadap aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging (p<5%). Nilai koefisien masingmasing wilayah menggambarkan besarnya dorongan terhadap interaksi yang dalam hal ini adalah aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging. Untuk wilayah asal terdapat tujuh wilayah yang mendorong interaksi pemasaran yaitu Kampar, Pekanbaru, Rokan Hulu, Pelalawan, Siak, Kuantan Singingi, dan Indragiri Hulu. Wilayah yang mempunyai efek dorongan paling besar adalah Kabupaten Kampar (4,78), yang berarti setiap peningkatan 1 % produksi ayam ras pedaging mendorong interaksi pemasaran sebesar 4,78 %. Keragaman yang dijelaskan melalui uji model sebesar 91,24%.

74 Besarnya nilai koefisien produksi mengindikasikan bahwa ketujuh wilayah tersebut telah mampu memproduksi ayam ras pedaging untuk memenuhi kebutuhan wilayah lain. Sedangkan Indragiri Hilir, Bengkalis dan Dumai, tidak mendorong interaksi aliran ayam ras pedaging antar wilayah. Untuk wilayah Indragiri Hilir, Bengkalis, Rokan Hilir, dan Dumai merupakan wilayah pemasaran karena koefisien permintaan yang tinggi. Tabel 23 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Parameter Dugaan Galat Statistik Taraf Wald Nyata (p) Intercept 12,1725 0, ,00 1 Pekanbaru 4,2439 0, ,00 2 Kuantan Singingi 1,5226 0, ,00 3 Indragiri Hulu 0,8574 0, ,00 4 Indragiri Hilir -2,0283 0, ,00 5 Pelalawan 3,3247 0, ,00 6 Siak 1,2221 0, ,00 7 Kampar 4,7847 0, ,00 8 Rokan Hulu 3,1803 0, ,00 9 Bengkalis -1,7021 0, ,00 Efek peningkatan produksi ternak di wilayah asal Efek peningkatan permintaan ternak di wilayah tujuan Jarak 10 Rokan Hilir -17, Dumai -2, Pekanbaru -0,4603 0, ,00 2 Kuantan Singingi -0,6805 0, ,00 3 Indragiri Hulu -0,6881 0, ,00 4 Indragiri Hilir 0,5592 0, ,00 5 Pelalawan -1,6792 0, ,00 6 Siak -0,9247 0, ,00 7 Kampar -2,0782 0, ,00 8 Rokan Hulu -0,6296 0, ,00 9 Bengkalis 3,3337 0, ,00 10 Rokan Hilir 3,3668 0, ,00 11 Dumai 0,11918 Efek pertambahan jarak antara wilayah asal dengan wilayah tujuan R 2 91,24% * Berpengaruh nyata pada p<5% -0,0199 0, ,00 Efek peningkatan permintaan komoditas ayam ras pedaging dipengaruhi oleh wilayah-wilayah dengan populasi ayam ras pedagingnya rendah. Permintaan dari wilayah Indragiri Hilir, Bengkalis, Dumai dan Rokan Hilir mendorong interaksi masing masing sebesar 0,56, 3,33, 0,12 dan 3,36 lebih besar dari wilayah lainnya. Nilai dugaan yang negatif pada wilayah yang lain berarti wilayah tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya tanpa harus ada pemasukan ternak dari wilayah lain. Deskirpsi pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging disajikan pada Gambar 11.

75 Wilayah Produksi Wilayah Pemasaran Gambar 11 Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging Dari Gambar 11 dapat dijelaskan bahwa setiap wilayah produksi dapat menjangkau semua wilayah pemasaran dan wilayah pemasaran dapat memperoleh komoditas ayam ras pedaging dari semua wilayah produksi. Pola aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging digambarkan seperti pada Gambar 12. Matriks aliran pemasaran komoditas ayam ras pedaging dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 12 Peta aliran pemasaran ayam ras pedaging Dari Gambar 12 terlihat bahwa wilayah yang mempunyai daya dorong pemasaran merupakan wilayah produksi ayam ras pedaging. Terdapat empat wilayah yang menjadi pusat produksi ayam ras pedaging yaitu Kampar, Pekanbaru, Pelalawan dan Siak. Wilayah tujuan yang menjadi daya tarik untuk pemasaran ayam ras pedaging adalah Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis, Rokan Hulu dan Indragiri Hilir. Hal ini disebabkan karena tingginya kebutuhan daging ayam ras pedaging di wilayah tersebut. Disamping itu, pada wilayah tujuan tersebut

ANALISIS INTERAKSI WILAYAH KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU Regional Interaction Analysis of Livestock Commodities in Riau Province

ANALISIS INTERAKSI WILAYAH KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU Regional Interaction Analysis of Livestock Commodities in Riau Province Jurnal Peternakan Vol 8 No 1 Februari 2011 (11-20) ISSN 1829 8729 ANALISIS INTERAKSI WILAYAH KOMODITAS PETERNAKAN DI PROVINSI RIAU Regional Interaction Analysis of Livestock Commodities in Riau Province

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang. Pangan Rumput

A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang. Pangan Rumput LAMPIRAN 93 Lampiran 1 Analisis daya dukung lahan sumber pakan ternak A. Luas potensi lahan sumber pakan ternak (Ha) Luas Potensi Hijauan (Ha) No Kabupaten/Kota Tanaman Padang Jumlah Luas Rawa Pangan Rumput

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK Sebagai usaha sampingan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastrukur dan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus

I. PENDAHULUAN. Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk selalu bertambah dari tahun ke tahun, hal tersebut terus diimbangi dengan kesadaran masyarakat akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator)

Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah. berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran dan fungsi pemerintah pada era otonomi daerah adalah berupa pelayanan dan pengaturan (fasilitator, regulator dan dinamisator) antara lain dalam memperjuangkan terbitnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan pertanian yang tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) subsektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH

ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH ANALISIS PROSPEK PENGEMBANGAN TANAMAN JERUK (Citrus nobilis var. microcarpa) DI KABUPATEN TAPIN ANISAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK ANISAH, Analisis Prospek Pengembangan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Laju peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda

agribisnis untuk mencapai kesejahteraan wilayah pedesaan (prospherity oriented) (Bappeda Kabupaten Lampung Barat, 2002). Lebih lanjut Bappeda 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era otonomi daerah, pembangunan ekonomi menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam daerah maupun faktor eksternal, seperti masalah kesenjangan dan isu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daging sapi merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi dan perlu dikonsumsi untuk kebutuhan protein manusia, daging sapi digolongkan sebagai salah satu produk

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat kearah protein hewani telah meningkatkan kebutuhan akan daging sapi. Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal merupakan bagian yang sangat penting untuk membangun, mempertahankan, dan mengembangkan sebuah bisnis. Lingkungan eksternal juga dapat didefinisikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia hal ini bisa dilihat dari besarnya sumbangan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kontribusi sektor peternakan terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional antara tahun 2004-2008 rata-rata mencapai 2 persen. Data tersebut menunjukkan peternakan memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perolehan pangan yang cukup baik dalam jumlah maupun mutu merupakan sesuatu yang penting bagi setiap manusia agar dapat hidup secara berkualitas. Oleh karena itu hak atas kecukupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sub sektor peternakan merupakan salah satu kegiatan pembangunan yang menjadi skala prioritas karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani yang dibutuhkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Perkembangan suatu wilayah selain ditentukan oleh wilayah itu sendiri uga dipengaruhi oleh perkembangan wilayah lain di sekitarnya. Salah satu indikator maunya

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS POTENSI WILAYAH KECAMATAN KUANTAN TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

SKRIPSI ANALISIS POTENSI WILAYAH KECAMATAN KUANTAN TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI SKRIPSI ANALISIS POTENSI WILAYAH KECAMATAN KUANTAN TENGAH UNTUK PENGEMBANGAN SAPI POTONG DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI Oleh : Yuliandri 10981006594 JURUSAN ILMU PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi I. PENDAHULUAN.. Latar Belakang Dalam era otonomi seperti saat ini, dengan diberlakukannya Undang- Undang No tahun tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi sesuai dengan keadaan dan keunggulan daerah

Lebih terperinci

KEMBALI KE PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI RIAU (Upaya Mengembalikan Kemandirian Masyarakat Pedesaan)

KEMBALI KE PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI RIAU (Upaya Mengembalikan Kemandirian Masyarakat Pedesaan) KEMBALI KE PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI RIAU (Upaya Mengembalikan Kemandirian Masyarakat Pedesaan) Agus Sutikno, SP., M.Si. 1 dan Ahmad Rifai, SP., MP 2 (1) Pembantu Dekan IV Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tantangan utama pembangunan peternakan sapi potong dewasa ini adalah permintaan kebutuhan daging terus meningkat sebagai akibat dari tuntutan masyarakat terhadap pemenuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I

PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I PENENTUAN LOKASI PASAR INDUK KABUPATEN BOGOR BERDASARKAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN AKSESIBILITAS E L I Y A N I SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis yang sangat mendukung, usaha peternakan di Indonesia dapat berkembang pesat. Usaha

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN GROBOGAN SEBAGAI SENTRA PRODUKSI SAPI POTONG SKRIPSI DREVIAN MEITA HARDYASTUTI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010 (SUATU SUMBANG SARAN PEMIKIRAN) Oleh: Suharyanto PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK JURUSAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna memenuhi kebutuhan akan protein.

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menjadikan kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan pangan tersebut tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal

I. PENDAHULUAN. Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apabila dicermati kembali proses pemekaran Provinsi Riau menjadi Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, ada dua perkiraan yang kontradiktif bahwa Provinsi Riau Kepulauan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI RIAU

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI RIAU BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI RIAU Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak

Lebih terperinci

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5. NO KOMODITAS POPULASI (EKOR) PRODUKSI DAGING (TON) 1 Sapi Potong 112.249 3.790,82 2 Sapi Perah 208 4,49 3 Kerbau 19.119 640,51 4 Kambing 377.350 235,33 5 Domba 5.238 17,30 6 Babi 6.482 24,55 7 Kuda 31

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia pada tahun 213 mengalami pertumbuhan sebesar 5.78%. Total produk domestik bruto Indonesia atas dasar harga konstan 2 pada tahun 213 mencapai Rp. 277.3

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat

I. PENDAHULUAN. meningkat, rata-rata konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor peternakan merupakan sektor yang cukup penting di dalam proses pemenuhan kebutuhan pangan bagi masyarakat. Produk peternakan merupakan sumber protein hewani. Permintaan

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS SAPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS SAPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS SAPI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan dan lautan yang sangat luas sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduk berada di sektor pertanian. Sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan Indonesia, yang pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan produksi, memperluas lapangan

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI BENGKULU DALAM MENDUKUNG AGRIBISNIS YANG BERDAYA SAING (Prospect of Beef Cattle Development to Support Competitiveness Agrivusiness in Bengkulu) GUNAWAN 1 dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pertambahan penduduk Indonesia setiap tahunnya berimplikasi pada semakin meningkatkan kebutuhan pangan sebagai kebutuhan pokok manusia. Ketiadaan pangan dapat disebabkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk baik pada tingkat nasional maupun wilayah provinsi. Untuk

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses

I. PENDAHULUAN. industri dan sektor pertanian saling berkaitan sebab bahan baku dalam proses 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan dalam pembangunan perekonomian di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh petumbuhan di sektor industri dan sektor pertanian. Sektor industri dan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS

STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS STUDI KOMPARATIF SISTEM PENGGEMUKAN SAPI KEREMAN DI DAERAH BANTARAN SUNGAI DAN LUAR DAERAH BANTARAN SUNGAI KRUENG ACEH KABUPATEN ACEH BESAR TESIS OLEH : SURYANI 107040002 PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS JAGUNG Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia maka semakin meningkat pula kebutuhan bahan makanan, termasuk bahan makanan yang berasal dari

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut (Putra et. al., 2015). Usaha

I. PENDAHULUAN. mendapatkan manfaat dan hasil dari kegiatan tersebut (Putra et. al., 2015). Usaha I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub-sektor di dalam sektor pertanian yang berperan dalam kegiatan pengembangbiakan dan membudidayakan ternak untuk mendapatkan manfaat dan

Lebih terperinci