PENDAHULUAN Latar Belakang Program aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di Indonesia dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal. Ketahanan pangan dibangun sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Produksi pangan di Indonesia terus meningkat, namun peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga terjadi masalah dalam hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada komoditas pangan pokok tertentu seperti beras menjadi salah satu penyebab sulitnya mengatasi masalah ketersediaan pangan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mencari berbagai alternatif produk pangan baru yang dapat digunakan sebagai pangan pokok dengan memanfaatkan potensi pangan lokal yang tersedia di masyarakat. Berbagai komoditas pertanian memiliki kelayakan yang cukup baik untuk dikembangkan di negeri ini, salah satunya adalah umbi-umbian. Umbi-umbian merupakan bahan pangan yang memiliki rasa yang unik dan kandungan gizi yang baik, sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber pangan alternatif. Keladi sebaring merupakan jenis umbi-umbian yang memiliki potensi besar sebagai bahan pangan sumber serat yang cukup baik tetapi belum dikembangkan. (Widiawan, et al., 2012). Pangan pokok sumber karbohidrat yang bersifat lokal banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Konsumsi pangan pokok lokal dan pengolahannya sangat sederhana dan sudah berlangsung turun temurun di daerah-daerah. Kondisi yang demikian itu sangat
potensial untuk usaha penelitian dan pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan pokok lokal. Pati memegang peranan penting dalam industri pengolahan pangan. Dalam perdagangan dikenal dua macam pati yaitu pati yang belum dimodifikasi dan pati yang telah dimodifikasi. Pati yang belum dimodifikasi adalah semua jenis pati yang dihasilkan dari pabrik pengolahan dasar misalnya tepung tapioka. Pati yang belum dimodifikasi (pati alami) seperti tapioka, pati jagung, dan pati-patian lain mempunyai beberapa kendala jika dipakai sebagai bahan baku dalam industri pangan maupun non pangan (Koswara, 2009 a ). Salah satu bahan baku pembuatan pati adalah keladi yang dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Indonesia memiliki berbagai spesies tanaman keladi, seperti keladi sebaring, keladi minyak, keladi gajah, keladi betawi, keladi udang, dan lain-lain. Masing-masing daerah memiliki nama yang berbeda. Biasanya masyarakat mengkonsumsi keladi hanya sebagai camilan. Namun, di beberapa daerah umbi keladi atau keladi dijadikan makanan pokok pengganti beras. Maumere merupakan salah satu daerah di Pulau Flores-NTT yang banyak ditemukan berbagai tanaman keladi diantaranya keladi sebaring (Alocasia macrorhiza). Tanaman keladi sebaring banyak dibudidayakan oleh masyarakat bukan untuk dikonsumsi oleh manusia tetapi dijadikan pakan ternak, terutama babi. Masyarakat beranggapan bahwa keladi sebaring mengandung racun yang berakibat kematian jika dikonsumsi manusia. Pati termodifikasi adalah pati yang gugus hidroksilnya telah diubah lewat suatu reaksi kimia (esterifikasi, eterifikasi atau oksidasi) atau dengan mengganggu struktur asalnya (Fleche, 1985). Tujuan dari modifikasi pati adalah untuk menghasilkan sifat yang lebih baik dari sifat sebelumnya. Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap
sharing mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et al., 1989). Modifikasi secara kimia dapat dilakukan dengan cara penambahan reagen atau bahan kimia tertentu dengan tujuan mengganti gugus hidroksil (OH-) pada pati. Sebagai contoh, dengan adanya distribusi gugus asetil yang menggantikan gugus OH- melalui reaksi asetilasi akan mengurangi kekuatan ikatan hidrogen di antara pati dan menyebabkan ganula pati menjadi lebih mengembang (banyak menahan air), mudah larut dalam air, serta meningkatkan freeze-thaw stability pati (Adebowale dan Lawal, 2002; Adebowale et al., 2005; Singh, 2004). Metode asetilasi merupakan metode yang sangat penting untuk memodifikasi karakteristik pati karena metode ini dapat memberikan efek pengentalan (sebagai thickening agent) pada berbagai makanan (Yeh, 1993). Keunggulan sifat fisika kimia yang dimiliki oleh pati terasetilasi seperti suhu gelatinisasi, swelling power, solubility, dan tingkat kejernihan pasta (paste clarity) yang tinggi, serta memiliki stabilitas penyimpanan dan pemasakan yang lebih baik jika dibandingkan dengan pati asalnya (Raina, et al., 2006). Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan dari pati terasetilasi lebih stabil dan tahan terhadap retrogadasi. Sifat fisika-kimia pada pati yang terasetilasi ini dipengaruhi oleh jumlah distribusi gugus asetil yang menggantikan gugus hidroksil (OH-) pada pati (Yeh, 1993). Dalam beberapa penelitian, seperti Ninin (2010) melaporkan bahwa modifikasi pati jagung dengan proses asetilasi asam asetat, perlakuan terbaik terdapat pada konsentrasi asam asetat 2% dan lama perendaman 105 menit. Karakteristik kekuatan pembengkakan dan kelarutan dari pati sagu yang mengalami modifikasi secara asetilasi cenderung lebih tinggi dibanding dengan pati sagu yang tidak mengalami modifikasi (Widiawan, 2012 dan Teja, et al, 2007).
Mi merupakan salah satu makanan yang paling populer di Asia terutama di Asia Timur dan Asia Tenggara. Mi instan disukai karena penyajiannya yang cepat. Mi biasanya terbuat dari tepung terigu, sehingga kebutuhan gandum untuk pembuatan tepung diperlukan sangat banyak. Tetapi kondisinya sekarang ini, ketersediaan tepung terigu semakin sedikit dan semakin mahal. Oleh karena itu dalam pembuatan mi instan penggunaan tepung terigu disubstitusi dengan pati keladi. Perumusan Masalah Nusa Tenggara Timur adalah salah satu propinsi di Indonesia yang merupakan daerah rawan pangan, khususnya Maumere. Sementara, banyak potensi alam yang ada di daerah ini yang dapat menggantikan beras dengan bahan makanan berkomposisi sama atau lebih bergizi seperti umbi-umbian. Salah satu umbi yang banyak terdapat di NTT adalah umbi keladi sebaring. Pengolahan umbi keladi sebaring menjadi produk tepung dan pati akan meningkatkan umur simpan dan memperluas penggunaannya sebagai bahan baku pangan. Pati modifikasi dari umbi keladi sebaring dapat digunakan sebagai bahan pengganti terigu dalam pembuatan mie kering, sehingga penggunaan terigu yang merupakan produk impor dapat dikurangi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik umbi keladi sebaring, mengetahui pengaruh rasio pati asetilasi dan tepung terigu dengan metode asetilasi terhadap mi kering, mengetahui pengaruh penambahan konsentrasi sodium tripolifosfat (STPP) terhadap mi kering, mengetahui pengaruh interaksi pati asetilasi dan tepung terigu dengan penambahan sodium tripolifosfat (STPP) terhadap mutu mi kering. Kegunaan Penelitian Sebagai sumber informasi ilmiah dan rekomendasi bagi pengusaha makanan dan pakar pangan dalam menentukan bahan baku pembuatan mi kering serta sebagai sumber
informasi bagi para petani untuk memanfaatkan sumber daya alam di daerahnya, sebagai sumber data dalam penyusunan tesis di Progam Magister Ilmu Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Medan, serta sebagai informasi bagi peneliti lanjutan dalam penggunaan pati modifikasi keladi sebaring dengan metode kimia lainnya. Hipotesis Ada pengaruh rasio pati asetilasi dan tepung terigu konsentrasi sodium tripolifosfat, dan interaksi pati asetilasi dan tepung terigu dengan konsentrasi sodium tripolifosfat terhadap mutu mi kering.