BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7 Matrik korelasi antara peubah pada lokasi BKPH Dungus

BAB II METODE PENELITIAN

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDUGAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH PADA TEGAKAN AKASIA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5. SIMPULAN DAN SARAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

+ MODEL SPASIAL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA DI ATAS PERMUKAAN TANAH MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12.5 M MITRA ELISA HUTAGALUNG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. global, sehingga terjadi penyimpangan pemanfaatan fungsi hutan dapat merusak

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Oktober 2009.

Estimasi Stok Karbon di Kawasan Penambangan Akibat Perubahan Luas Penutupan Lahan Terkait dengan REDD

III. METODE PENELITIAN

Kajian Nilai Indeks Vegetasi Di Daerah Perkotaan Menggunakan Citra FORMOSAT-2 Studi Kasus: Surabaya Timur L/O/G/O

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1 Rekapitulasi data tegakan akasia (Acacia mangium)

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

BAB II METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang


BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB V ANALISIS. 5.1 Analisis Pra-Pengolahan Citra Radarsat

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB III METODOLOGI. Peta lokasi pengambilan sampel biomassa jenis nyirih di hutan mangrove Batu Ampar, Kalimantan Barat.

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan hutan tanaman yang berkelanjutan dan lestari membutuhkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-November Penelitian ini

BAB II METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

Hasil klasifikasi citra ALOS PALSAR filterisasi Kuan. dengan ukuran kernel size 9x dengan ukuran kernel size 3x

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

PENDUGAAN BIOMASSA TEGAKAN PINUS MENGGUNAKAN BACKSCATTER ALOS PALSAR, UMUR, DAN TINGGI TEGAKAN: KASUS DI KPH BANYUMAS BARAT, JAWA TENGAH

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

BAB III METODE PENELITIAN

II. BAHAN DAN METODE

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan pada tegakan Hevea brasiliensis yang terdapat di

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMANFAATAN CITRA ALOS PALSAR DALAM MENDUGA BIOMASA HUTAN ALAM: STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE

ESTIMASI BIOMASSA PADA DAERAH REKLAMASI MENGGUNAKAN DATA CITRA ALOS PALSAR : Studi Kasus Wilayah Kerja Pertambangan Batubara di Kalimantan Timur

III. BAHAN DAN METODE

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON TEGAKAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI Eucalyptus grandis hybrid MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT 8 DI PT.TOBA PULP LESTARI RANI ILMA PURBA

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK ESTIMASI STOK KARBON HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN CILACAP JAWA TENGAH

RMSE = dimana : y = nilai observasi ke-i V PEMBAHASAN. = Jenis kelamin responden (GENDER) X. = Pendidikan responden (EDU) X

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Gambar 1. Lokasi Penelitian

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

24 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Pengolahan Data Lapangan Penentuan biomassa pada tegakan akasia dilakukan berdasarkan pengukuran pohon pada plot-plot contoh sebanyak 62 plot yang berukuran 0,1 hektar tiap plot contoh. Plot contoh yang diambil tersebar di tiga kelompok kelas umur (KU). Kelas umur I (KU I) terdiri dari tegakan dengan kisaran umur 0-4 tahun, Kelas umur II (KU II) terdiri dari tegakan dengan kisaran umur 5-8 tahun, dan Kelas umur III (KU III) terdiri dari tegakan dengan umur 9 tahun atau lebih. Data yang diambil dari tiap plot contoh yaitu diameter dan tinggi pohon untuk selanjutnya dicari nilai biomassa per plot contoh dengan menggunakan persamaan alometrik. Nilai biomassa pada setiap plot contoh dihitung dengan menggunakan alometrik yang disusun oleh Heriansyah dan didapat nilai rata-rata biomassa untuk KU I sebesar 71,84 ton/ha, KU II sebesar 201,43 ton/ha dan KU III sebesar 227,24 ton/ha. Data pengukuran plot contoh dan rata-rata biomassa dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai rata-rata biomassa per KU di area revegetasi PT. Arutmin Indonesia Site Satui tahun 2011 Kelas Jml Plot Diameter Jumlah Rata-rata Biomassa Umur per KU (cm) pohon per KU (ton/ha) 0 4 th 20 5 30 1.201 71,84 5 8 th 22 6 52 1.205 201,43 >= 9 th 20 7 72 1.015 227,24 5.2 Hasil Pengolahan Data Citra ALOS PALSAR Citra radar yang digunakan adalah ALOS PALSAR dengan polarisasi HH (horizontal-horizontal) dan HV (horizontal-vertikal). Jenis data yang diambil berupa nilai dijital (digital number) yang kemudian dikonversi menjadi nilai hamburan balik (backscatter) dari masing-masing polarisasi, dimana nilai-nilai backscatter polarisasi HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter polarisasi HH (Saleh 2010 dalam Tiryana 2011).

25 Nilai backscatter pada masilng-masing plot didapatkan dengan membuat square buffer berukuran 5 piksel x 5 piksel (setara 62,5 m x 62,5 m dilapangan pada resolusi spasial 12,5 m) kemudian dilakukan overlay antara lokasi plot contoh pengamatan dan citra ALOS PALSAR. Pembuatan square buffer dalam ekstraksi nilai dijital berguna untuk mengantisipasi galat (error) GPS pada saat pengambilan titik serta pereduksi efek dari speckle dan galat rektifikasi. Berdasarkan lokasi plot tersebut dilakukan pengumpulan informasi nilai dijital (digital number) dari piksel yang bersesuaian. Konversi nilai dijital menjadi backscatter dilakukan menggunakan persamaan yang dirumuskan oleh Shimada et al. (2009). Sebaran nilai backscatter pada KU I untuk polarisari HH berkisar antara -32,34 db hingga -13,15 db, untuk KU II berkisar antara -24,34 db hingga -13,77 db, dan untuk KU III berkisar antara -16,55 db hingga -13,00 db. Sedangkan sebaran backscatter pada KU I untuk polarisasi HV berkisar antara -38,02 db hingga -21,35 db, untuk KU II berkisar antara -30,10 db hingga -24,34 db, dan untuk KU III berkisar antara -24,74 db hingga -19,98 db. Polarisasi HV memiliki nilai backscatter lebih rendah dibandingkan dengan polarisasi HH, hal tersebut dikarenakan polarisasi HV lebih sensitif dalam menduga nilai biomassa di atas permukaan pada kondisi permukaan yang datar dibandingkan di tempat yang bergelombang (Wijaya 2009). Nilai backscatter dari masing-masing polarisasi yang berbeda tersebut terjadi karena setiap jenis tumbuhan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari bentuk tajuk, susunan daun, diameter maupun tingginya. Sifat khas tersebut memberikan pengaruh terhadap distribusi gelombang elektromagnetik yang mengenai objek sehingga menghasilkan nilai dijital yang berbeda-beda. Gelombang radar yang berinteraksi dengan objek mempengaruhi besarnya koefisien backscatter suatu objek tersebut. Vegetasi yang memiliki permukaan kasar dan kelembaban yang tinggi akan lebih banyak menghamburkan dan memantulkan gelombang energi yang datang daripada yang terserap. Kekasaran permukaan dapat dipengaruhi oleh lebar tajuk tegakan, pada plot-plot dengan kelas umur muda (KU I) kondisi penutupan vegetasi di lapangan yang rapat akan memiliki permukaan yang lebih halus dibandingkan pada tegakan kelas umur tua,

26 sehingga nilai backscatter cenderung rendah. Pada kelas umur sedang (KU II) dan tinggi (KU III) dapat dilihat naiknya nilai backscatter, hal ini dikarenakan semakin besar kelas umur, maka permukaan vegetasi akan semakin kasar. Kekasaran permukaan dapat dipengaruhi oleh lebar tajuk yang sejalan dengan membesarnya tajuk maka pertumbuhan pohon dalam parameter diameter dan tinggi juga akan meningkat. Semakin kasar permukaan vegetasi, tone yang didapatkan pada citra akan semakin cerah dan nilai backscatter yang dihasilkan akan semakin tinggi (Riska 2011). 5.3 Pola Hubungan Backscatter Citra ALOS PALSAR dengan Biomassa Sebelum dilakukan penyusunan model, perlu dilakukan analisis terhadap hubungan antara sebaran data backscatter yang diekstraksi dari citra ALOS PALSAR dengan nilai biomassa diatas permukaan tanah yang dihitung berdasarkan alometrik Heriansyah. Berdasarkan hubungan antara dua variabel tersebut dimana backscatter sebagai variabel peubah bebas dan biomassa diatas permukaan sebagai variabel peubah terikat, dapat dilihat jenis persamaan yang akan dibuat sebagai model dan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel tersebut secara matematis. Untuk melihat pola sebaran dan hubungan kedua variabel tersebut digunakan diagram pencar (scatter-plot) antara nilai-nilai backscatter (pada sumbu X) dengan nilai-nilai biomassa diatas permukaan tanah dari plot-plot contoh (pada sumbu Y). Sebaran titik yang digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa pada daerah revegetasi PT. Arutmin Indonesia Site Satui adalah sebanyak 30 titik yang tersebar antara KU I hingga KU III (Tabel 8). Tabel 8 Sebaran titik penyusun model pendugaan simpanan biomassa di areal revegetasi tambang batubara PT. Arutmin Indonesia tahun 2011 No. Plot KU Backscatter HH HV Biomassa (ton/ha) 1 ABY001 2-16,90-27,47 173,07 2 ABY002 2-19,08-24,92 172,43 3 ABY003 2-19,35-25,70 151,02 4 ABY004 2-17,68-24,87 173,52 5 ABY005 2-15,12-24,43 149,42 6 ABY006 2-19,26-27,31 134,57

27 Tabel 8 (Lanjutan) No. Plot KU Backscatter HH HV Biomassa (ton/ha) 7 ABY007 2-18,17-27,04 157,41 8 ABY008 2-17,51-27,24 167,56 9 ATS001 1-32,34-38,02 44,71 10 ATS002 1-32,34-35,07 43,86 11 BSM001 3-14,11-21,16 238,00 12 BSM002 3-14,48-21,43 279,74 13 BSM003 3-14,47-23,39 283,11 14 BSM004 3-14,54-21,26 223,48 15 BSM005 3-14,31-23,41 225,30 16 BSM006 3-13,98-21,88 330,06 17 BSM007 3-14,05-22,38 364,49 18 BSM008 3-15,57-23,74 265,40 19 BSM009 3-14,07-19,98 272,25 20 BSM011 3-15,32-24,74 223,34 21 GTK004 1-20,69-31,53 99,26 22 KSN001 2-18,98-27,87 84,44 23 KSN002 2-20,47-27,31 119,70 24 KSN003 2-20,31-24,55 144,84 25 SDW001 3-13,30-22,14 217,12 26 SDW002 3-15,41-23,66 136,54 27 SDW004 3-13,00-23,57 193,57 28 SDW005 3-16,10-23,17 151,01 29 SDW006 3-16,09-22,69 275,92 30 SDW007 3-14,09-21,21 229,38 Pada Tabel 8 dapat dilihat distribusi sebaran titik plot contoh pembangun model pendugaan biomassa di areal revegetasi PT. Arutmin Indonesia Site Satui. Proporsi masing-masing kelas umur (KU) dalam pembuatan model terbaik yaitu sebanyak 3 titik untuk KU I, 11 titik untuk KU II, dan 16 titik untuk KU III. Hubungan yang lebih erat diperoleh pada hubungan antara biomassa dengan backscatter polarisasi HV dibandingkan dengan hubungan antara biomassa dengan backscatter polarisasi HH, dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 80,4% untuk backscatter polarisasi HV dan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 79,4% untuk backscatter polarisasi HH. Berikut ini disajikan kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa

28 alometrik dengan nilai backscatter pada polarisasi HH dan backscatter polarisasi HV (Gambar 7 dan Gambar 8). Gambar 7 Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai backscatter HH. Gambar 8 Kurva sebaran titik pembangun model pendugaan biomassa antara nilai biomassa alometrik dengan nilai backscatter HV. Pada plot-plot dengan kelas umur muda, kondisi vegetasi di lapangan yang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter cenderung memiliki nilai yang lebih besar, atau sebaliknya pada plot-plot dengan kelas umur tua dan memiliki kondisi vegetasi di lapangan yang kurang rapat, pendugaan biomassa dengan menggunakan backscatter akan lebih kecil. Hal ini dikarenakan hubungan antara biomassa dan backscatter dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah heterogenitas atau homogenitas hutan, topografi, tutupan tajuk, dan salah satunya adalah kerapatan tegakan (Syarif 2011).

29 5.4 Pemilihan Model Terbaik Penaksiran biomassa menggunakan teknik regresi dengan model persamaan yang baik adalah sangat disarankan, karena relatif sederhana, dan secara statistik dapat dipertanggungjawabkan. Persamaan alometrik biomassa terpilih adalah persamaan yang memiliki nilai R 2 yang besar (mendekati 100%), dan nilai RMSE yang paling kecil (Sembiring 1995). Pada penelitian ini model terbaik untuk menduga kandungan biomassa di atas permukaan tanah didasarkan pada dua kriteria yaitu besarnya koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) yang menunjukkan presentase besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter dan Root Mean Square Error (RMSE) yang menunjukkan indikator kesalahan yang didasarkan pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil di lapangan. Pada Tabel 9, model terbaik untuk menduga biomassa dengan menggunakan backscatter polarisasi HH adalah model 2 dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) sebesar 64,1% yang berarti besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter sebesar 64,1 % dan RMSE sebesar 47,49 yang menunjukkan kesalahan yang didasarkan pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil perhitungan di lapangan. Bentuk persamaan dari model terbaik yang dibentuk pada backscatter polarisasi HH yaitu Y = Exp(7,020+(0,107 BS_HH)). Tabel 9 Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan backscatter polarisasi HH citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT. Arutmin Indonesia Site Satui tahun 2011 No. Model R 2 adj (%) RMSE t hitung t tabel Sig 1 Y = 408.352+12.524 BS_HH 56,5 52,4-1,645 2,04 0,110 2 Y = Exp(7.020+(0.107 BS_HH)) 64,1 47,49-1,179 2,04 0,247 3 Y = 30.281(Exp(-29.657/BS_HH)) 60,6 49,81-1,228 2,04 0,229 4 Y = BS_HH/(0.137+0.014 BS_HH) 54,5 53,56-1,199 2,04 0,240 Y = Biomassa (ton/ha); BS_HH = Nilai backscatter polarisasi HH pada citra ALOS PALSAR 12,5 m. Model untuk menduga biomassa terbaik dengan menggunakan backscatter polarisasi HV adalah model 2 dengan nilai koefisien determinasi terkoreksi (R 2 adj) sebesar 65,7% yang berarti besarnya variasi peubah biomassa yang dapat dijelaskan oleh peubah backscatter sebesar 65,7% dan kesalahan yang didasarkan

30 pada total kuadratis dari simpangan antara hasil model dengan hasil perhitungan di lapangan atau RMSE sebesar 46,54 pada bentuk persamaan Y = Exp(7,813+(0,105 BS_HV)) (Tabel 10). Tabel 10 Model pendugaan biomassa berdasarkan hubungan biomassa dengan backscatter polarisasi HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m PT. Arutmin Indonesia Site Satui tahun 2011 No. Model R 2 adj (%) RMSE t hitung t tabel Sig 1 Y = 573.513+15.245 BS_HV 62,4 48,72-0,766 2,04 0,449 2 Y = Exp(7.813+(0.105 BS_HV)) 65,7 46,54-0,478 2,04 0,636 3 Y = 15.202(Exp(-61.069/BS_HV)) 62,3 48,73-0,594 2,04 0,557 4 Y = BS_HV/(0.269+0.016 BS_HV) 55,7 52,86-1,479 2,04 0,149 Y = Biomassa (Ton/ha); BS_HV = Nilai backscatter polarisasi HV pada citra ALOS PALSAR 12,5 m. Pada model pendugaan biomassa terbaik dengan backscatter polarisasi HH dan HV, t hitung dan Sig digunakan sebagai indikator bahwa model tersebut dapat digunakan dengan syarat t hitung < t tabel atau Sig > 0,05 (taraf nyata 5%) maka model tersebut dapat digunakan dalam menduga biomassa. Dari kedua model yang dihasilkan, model tersebut memiliki nilai t hitung kurang dari t tabel dan Sig lebih dari 0,05 sehingga model tersebut layak untuk digunakan dalam menduga biomassa. Hasil penyusunan model regresi antara nilai biomassa alometrik Heriansyah dengan nilai backscatter pada masing-masing polarisasi (Tabel 9 dan Tabel 10) menunjukkan bahwa secara umum model terbaik adalah model dengan persamaan eksponensial. Dari syarat yang telah ditentukan, kedua model tersebut dapat digunakan untuk menduga biomassa, namun hanya satu model yang akan dipilih dalam menduga biomassa, yaitu model yang dihasilkan oleh backscatter polarisasi HV. Selain memiliki nilai R 2 adj yang lebih besar dan RMSE yang lebih kecil, nilai-nilai backscatter polarisasi HV cenderung memiliki korelasi yang lebih erat dengan biomassa tegakan dibanding nilai-nilai backscatter polarisasi HH (Saleh 2010). Hasil dari kedua model terbaik untuk menduga biomassa dengan variabel backscatter polarisari HH maupun HV, dapat dilihat polarisasi silang (HV) dari memiliki korelasi yang lebih baik dengan biomassa hutan dibandingkan polasrisasi searah (HH). Hal tersebut juga dibenarkan pada berbagai studi

31 mengenai pendugaan biomassa di daerah lain. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Awaya (2009) di daerah Palangkaraya, dalam studinya tersebut dilakukan analisis terhadap hubungan antara biomassa dan koefisien backscatter dari data PALSAR dengan menggunakan analisis regresi. Dari studi tersebut diperoleh hasil bahwa polarisasi HV menunjukkan hubungan yang lebih baik dengan biomassa dibandingkan dengan polarisasi HH. Merujuk pada hasil koefsien determinasi terkoreksi (R 2 adj) dan nilai RMSE yang dijadikan sebagai dasar pemilihan model pendugaan biomassa, maka model terbaik yang digunakan untuk menduga biomassa di atas permukaan tanah pada areal revegetasi PT. Arutmin Indonesia adalah model ekponensial pada varibel backscatter polarisasi HV yaitu Y = Exp(7,813+(0,105 BS_HV)). 5.5 Verifikasi Model Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan untuk mengetahui apakah nilai dugaan biomassa yang dihasilkan oleh model terpilih tidak berbeda dengan nilai biomassa di lapangan. Verifikasi model dilakukan secara pusposive pada citra sebanyak 32 titik plot pengamatan dilapangan. Verifikasi model dilakukan dengan membandingkan antara hasil perhitungan biomassa alometrik Heriansyah yang diasumsikan sebagai biomassa aktual dengan nilai biomassa yang diperoleh dari model yang terpilih yaitu model Y = Exp(7,813+(0,105 BS_HV)) pada backscatter polarisasi HV. Verifikasi model pendugaan biomassa dilakukan dengan menggunakan analisis uji t-berpasangan (paired t-test), dengan ketentuan apabila t hitung < t Tabel maka terima H 0 atau signifikasi > 0,05 dan apabila t hitung > t Tabel maka tolak H 0 atau signifikasi < 0,05. Dimana hipotesis uji yang diberlakukan adalah sebagai berikut: H 0 : µ1 - µ2 = 0 (Biomassa aktual = biomassa model) H 1 : µ1 - µ2 0 (Biomassa aktual biomassa model) Hasil uji t-berpasangan yang dilakukan terhadap model yang terpilih telah sesuai dengan kaedah yang telah ditentukan (t hitung < t tabel maka terima H 0 atau signifikasi > 0,05) dengan nilai t hitung sebesar -0,478 yang memiliki nilai lebih kecil dari t tabel yaitu sebesar 2,04 atau signifikasi lebih besar dari 0,05 yaitu

32 sebesar 0,636. Artinya model terpilih memiliki nilai pendugaan biomassa di atas permukaan tanah yang tidak berbeda nyata dengan nilai biomassa aktual di lapangan. 5.6 Peta Sebaran Biomassa dan Akurasi Peta sebaran biomassa dibuat berdasarkan model terbaik yang terpilih, yaitu model yang dihasilkan oleh polarisasi HV (Tabel 10) dengan persamaan Y = Exp(7,813+(0,105 BS_HV)). Peta sebaran biomassa dibuat ke dalam tiga kelas biomassa. Berikut ini merupakan gambar grafik distribusi kelas biomassa. Gambar 9 Grafik distribusi kelas biomassa. Gambar 9 menunjukkan grafik distribusi biomassa aktual dilapangan yang dibagi menjadi tiga kelas biomassa. Data selang kelas biomassa disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Selang kelas biomassa yang digunakan untuk membuat peta sebaran biomassa di areal revegetasi PT. Arutmin Indonesia Site Satui tahun 2011 Kelas biomassa Selang biomassa (ton/ha) Luas Ha % Rendah 0 ~ 144,84 2.932 48,55 Sedang 144,84 ~ 237,99 1.965 32,53 Tinggi > 237,99 1.142 18,91 Total 6.038 100,00

33 Selang biomassa digunakan sebagai acuan klasifikasi dalam pembuatan peta sebaran biomassa. Pada hasil penelitian ini kelas biomassa rendah memilki luas 2.932 ha (48,55%), kelas biomassa sedang seluas 1.965 ha (32,53%), dan kelas biomassa tinggi seluas 1.142 ha (18,91%). Akurasi peta dilakukan untuk mengetahui sebarapa besar nilai kesalahan pendugaan biomassa aktual dengan biomassa dari model yang telah dibuat. Hasil perhitungan Overall Accuracy (OA) dan Kappa Accuracy (KA) pada peta sebaran biomassa yang telah dibuat, dihasilkan nilai Overall Accuracy sebesar 51,61% dan Kappa Accuracy sebesar 21,01% pada analisis akurasi dengan menggunakan rata-rata nilai biomassa pada 5 x 5 piksel (analisis akurasi peta per piksel). Analisis klasifikasi pada peta sebaran biomassa dilakukan pada 62 titik plot contoh dilapangan dengan peta sebaran biomassa yang telah dibuat. Sebaran kelas biomassa dominan berada pada biomassa rendah dan sedang, yaitu sebanyak 24 titik berada pada kelas biomassa rendah dan 23 titik berada pada kelas biomassa sedang dan sisanya sebanyak 15 titik berada di kelas biomassa tinggi. Kesalahan interpretasi peta sebaran biomassa sebanyak 30 titik, pada kelas biomassa rendah kesalahan interpretasi sebanyak 12 titik, pada kelas biomassa sedang kesalahan interpretasi sebanyak 11 titik, dan pada kelas biomassa tinggi kesalahan interpretasi sebanyak 7 titik. Peta sebaran biomassa hasil dari pendugaan dengan model terbaik disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Peta sebaran biomassa pada areal revegetasi tambang batubara PT. Arutmin Indonesia Site Satui dengan menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. 34