II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (Inderaja) 2.2. Peran Penginderaan Jauh Pada Sektor Pertanian

dokumen-dokumen yang mirip
Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usahatani Padi dan Mobilitas Petani Padi

G ~ QJ\Y~~\-rJl<~\ Vol. 15 No.2, Desember 2009

LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

SISTEM PENGINDERAAN JAUH SATELIT ALOS DAN ANALISIS PEMANFAATAN DATA

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

TEKNIK DAN METODE FUSI (PANSHARPENING) DATA ALOS (AVNIR-2 DAN PRISM) UNTUK IDENTIFIKASI PENUTUP LAHAN/TANAMAN PERTANIAN SAWAH

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

Spektrum Gelombang. Penginderaan Elektromagnetik. Gelombang Mikro - Pasif. Pengantar Synthetic Aperture Radar

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

KLASIFIKASI PALSAR MULTI-POLARISASI DI DAERAH ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.3. Metode Penelitian

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

HASIL DAN PEMBAHASAN

SIMULASI PEMANFAATAN DATA LOSAT UNTUK PEMETAAN PADI

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

BAB IV GAMBARAN UMUM METODOLOGI DATA MINING

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Realisasi Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular dengan Catuan Proxmity Coupled

ISTILAH DI NEGARA LAIN

Heru Noviar dan Bambang Trisakti Peneliti Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusfatja, Lapan

PERANAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH DALAM MEMPERCEPAT PEROLEHAN DATA GEOGRAFIS UNTUK KEPERLUAN PEMBANGUNAN NASIONAL ABSTRAK

ABSTRAK. Kata kunci: PiSAR-L2, Berbasis piksel, Berbasis obyek, Band tekstur

2. TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrass) adalah tanaman air yang berbunga (Angiospermae) dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENELITIAN FISIKA DALAM TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING PERUBAHAN GARIS PANTAI (STUDI KASUS DI WILAYAH PESISIR PERAIRAN KABUPATEN KENDAL)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

Citra Satelit IKONOS

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

DAFTAR ISI. . iii PRAKATA DAFTAR ISI. . vii DAFTAR TABEL. xii DAFTAR GAMBAR. xvii DAFTAR LAMPIRAN. xxii DAFTAR SINGKATAN.

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

PEMETAAN SAWAH BAKU KABUPATEN SUBANG BAGIAN BARAT DENGAN CITRA SATELIT ALOS NADIA INOVA SARI A

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh (Inderaja) Penginderaan jauh merupakan ilmu untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan cara analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1979). Data penginderaan jauh dapat diperoleh melalui hasil rekaman sensor yang dipasang baik pada pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, atau wahana lainnya. Sensor tersebut akan menghasilkan data yang berbeda-beda sesuai dengan letak ketinggian sensor maupun karakteristik obyek yang dikaji (Sutanto, 1986). Sensor yang digunakan dalam penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang elektromagnetik. Akan tetapi, gelombang elektromagnetik yang paling penting bagi penginderaan jauh adalah sinar matahari. Sensor yang menggunakan energi dari sinar matahari sebagai sumber gelombang elektromagnetik disebut sebagai sensor pasif (sensor optik). Sedangkan sensor yang menggunakan energi yang dipancarkan oleh sensor itu sendiri disebut sensor aktif (Syntetic Aperture Radar). Citra satelit yang menggunakan sensor pasif antara lain: citra satelit Landsat, SPOT, IKONOS, MODIS, ALOS sensor PRISM dan AVNIR. Adapun citra satelit yang menggunakan sensor aktif antara lain: citra satelit RADARSAT, ERS-SAR, ALOS PALSAR. 2.2. Peran Penginderaan Jauh Pada Sektor Pertanian Penginderaan jauh ini dapat digunakan untuk berbagai aplikasi seperti untuk bidang keamanan dan pertahanan negara, inventarisasi sumberdaya lahan, kehutanan, pertanian, perikanan, pemantauan bencana alam, hingga survei dan pemetaan. Untuk aplikasi di bidang pertanian, Van Niel dan McVicar (2001) mencatat ada enam aspek penting yang dapat ditunjang dari data penginderaan jauh, yaitu: identifikasi jenis tanaman, pengukuran area, estimasi hasil, identifikasi gangguan, pemetaan penggunaan air, dan manajemen efisiensi air.

2.2.1. Identifikasi Jenis Tanaman Aplikasi ini dapat menggunakan informasi yang diberikan oleh spektrum data penginderaan jauh yang dapat membedakan dan mengelompokkan vegetasi penutupan lahan. Aplikasi semacam ini salah satunya pernah dilakukan oleh Panuju dan Trisasongko (2008) dengan memanfaatkan data penginderaan jauh optik dan dengan menggunakan teknik klasifikasi terbimbing (supervised classification). Dalam kasus aplikasi untuk pemetaan padi, data penginderaan jauh dapat memberikan informasi tentang status pertumbuhan padi, diantaranya adalah: status bera kering atau tanah (menunjukkan kondisi habis panen), bera basah (menunjukkan awal musim tanam baru), fase vegetatif (pertumbuhan tanaman), awal bunting (akhir masa vegetatif dan awal fase generatif), serta status siap panen. 2.2.2. Pengukuran Area Tanaman Pengukuran area tanaman merupakan salah satu praktek umum dalam bidang pertanian. Teknik penginderaan jauh sering digunakan untuk tujuan ini karena keakuratannya dalam tingkat spasial, resolusi temporal, dan dengan biaya yang relatif murah. Dalam hal ini, identifikasi jenis tanaman akan mempengaruhi pengukuran area tanaman. Hal ini dikarenakan identifikasi jenis tanaman merupakan langkah pertama yang diperlukan sebelum estimasi. Namun, identifikasi jenis tanaman lebih identik dengan pengelompokkan semua jenis tanaman, sedangkan pengukuran area lebih berkaitan dengan beberapa target dari jenis tanaman saja. Pengukuran area ini lebih sering digunakan untuk menghitung kepentingan yang berhubungan dengan statistik seperti luas panen dan luas awal tanam. 2.2.3. Estimasi Hasil Panen Perkiraan hasil panen dalam aplikasinya sangat mempengaruhi tingkat keputusan manajemen pertanian, seperti aplikasi pupuk, penyaluran air, dan dapat menghitung pendapatan hasil pertanian. Oleh karena itu, masing-masing petani dan manajer pertanian pada tingkat kabupaten banyak yang menunjukkan minat

besar untuk dapat memproduksi cepat dan dapat melakukan estimasi hasil panen dengan akurat, baik lokal maupun regional. Standar analisis estimasi hasil yang dilakukan sebelumnya dicakup dalam analisis panen dalam plot contoh acak tanah saat panen (Murthy et al., 1996 dalam Van Niel dan McVicar, 2001), atau dengan model regresi meteorologi dengan menggunakan data curah hujan dan data panen sebelumnya (Karimi dan Siddique, 1992 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Namun demikian, metode-metode ini sering menghasilkan hasil yang tidak baik dan tidak akurat baik dari segi waktu maupun secara spasial. Meskipun masih digunakan, namun metode ini dapat digantikan dengan estimasi hasil panen dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, dikarenakan kemampuan teknologi ini dapat memproduksi hasil yang cepat dan mempunyai keakuratan dari aspek spasial. Dengan menggunakan teknologi ini, maka estimasi hasil panen dapat diketahui lebih awal satu sampai tiga bulan sebelum panen. Aplikasi semacam ini pernah dilakukan oleh Rasmussen (1997) dalam Van Niel dan McVicar (2001) yang memprediksi hasil pertanian millet di Senegal dengan menggunakan data NOAA-AVHRR. Namun, terdapat beberapa kendala dalam estimasi hasil panen semacam ini, yaitu terbatasnya data dengan kondisi fisiologi relatif tetap antar waktu, serta kondisi lingkungan sekitar seperti tanah (umumnya dikenal dengan istilah soil background problems). 2.2.4. Identifikasi Kerusakan Tanaman Salah satu perhatian besar dalam bidang pertanian adalah menurunnya produktivitas tanaman karena kerusakan tanaman. Kerusakan padi dan penurunan hasil panen dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti gangguan patogen, serangga, dan gulma. Kejadian seperti ini memiliki interaksi yang kompleks dengan praktek tanam (Savary et al., 1997 dalam Van Niel dan McVicar, 2001), maupun adanya perbedaan kedalaman air atau aplikasi pupuk yang dapat mempengaruhi besarnya produksi tanaman (Anbumozhi et al., 1998 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Dalam situasi tertentu, sumber kerusakan tanaman dapat diukur secara langsung dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Penelitian kerusakan

tanaman dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh dapat disederhanakan menjadi dua kategori, yaitu dengan mengukur sumber kerusakan (pengukuran langsung), dan orang-orang yang mengukur efek dari sumber kerusakan (pengukuran tidak langsung). Teknologi ini juga dapat menghitung penilaian penggaraman, gulma, dan waterlogging. Diketahui bahwa deteksi gulma memerlukan data penginderaan jauh dengan resolusi spasial tinggi, peka terhadap tata ruang maupun kerapatan gulma, yang kesemuanya dapat mempengaruhi keakuratan hasil (Lamb et al., 1999 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). 2.2.5. Pemetaan Penggunaan Air Penggunaan air oleh tanaman dapat ditentukan melalui tanaman model empiris tertentu atau penggunaan model berbasis proses. Kedua pendekatan ini memerlukan akses tanah berdasarkan data meteorologi, dan biasanya memerlukan waktu harian. Sehingga pendekatan pemodelan semacam ini memerlukan akses ke jaringan-jaringan stasiun meteorologi. Sebuah metode yang umum digunakan untuk memperkirakan penggunaan air tanaman adalah metode dari Food and Agriculture Organisation (FAO) (Smith et al., 1991 dalam Van Niel dan McVicar, 2001). Untuk aplikasi metode FAO membutuhkan modifikasi koefisien tanaman dan peta penutupan lahan. Untuk itu, penginderaan jauh dapat digunakan untuk menyediakan peta penutupan lahan tersebut dengan tepat waktu dan biaya yang efektif. 2.2.6. Penggunaan Efisiensi Air Dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk akan menurunkan ruang hidup atau area lahan global per kapita. Dengan demikian, akan meningkatkan persaingan untuk memperoleh tanah dan sumberdaya air. Untuk dapat mempertahankan kebutuhan tersebut, maka harus ada upaya efisiensi terhadap penggunaan sumberdaya tersebut. Efisiensi penggunaan air (Water Use Efficiency, WUE) dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu: aspek hidrologi (rasio evapotranspirasi terhadap air potensial yang tersedia untuk tanaman) dan apek fisiologi (jumlah pertumbuhan tanaman yang didapat dari jumlah air tertentu) seperti yang pernah diteliti oleh Stanhill (1996) dalam Van Niel dan McVicar (2001). Teknologi

penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk menghitung evapotranspirasi regional, seperti yang telah dilakukan oleh Bella et al. (2000) dalam Van Niel dan McVicar (2001) yang menggunakan data NOAA AVHRR di wilayah pertanian Argentina. 2.3. Penginderaan Jauh untuk Prediksi Luas Panen Salah satu peran penginderaan jauh pada sektor pertanian adalah untuk prediksi luas panen. Prediksi luas panen dengan menggunakan penginderaan jauh dapat teridentifikasi melalui fase pertumbuhan padi mulai dari fase bera, awal tanam, vegetatif, sampai dengan generatif. Adapun fase pertumbuhan padi menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1988), meliputi: Fase vegetatif Fase ini meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari kecambah sampai dengan inisiasi primordial malai. Untuk suatu varietas berumur 120 hari yang ditanam di daerah tropik, maka fase vegetatif memakan waktu 60 hari. Fase pertumbuhan vegetatif merupakan fase penting yang dapat menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sebab lama fase-fase reproduktif dan pemasakan tidak dipengaruhi oleh varietas maupun lingkungan. Selama fase pertumbuhan vegetatif, anakan bertambah dengan cepat, tanaman bertambah tinggi, dan daun tumbuh secara regular. Fase reprodukif Fase ini dimulai dari inisiasi primordia malai sampai berbunga (heading). Fase reproduktif memerlukan waktu kira-kira 30 hari setelah fase vegetatif. Stadia reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas pada batang, yang sebelumnya tertumpuk rapat dekat permukaan tanah. Disamping itu, stadia reproduktif juga ditandai dengan berkurangnya jumlah anakan, munculnya daun bendera, bunting dan pembungaan (heading). Inisiasi primordial malai biasanya dimulai 30 hari sebelum heading. Stadia inisiasi ini hampir bersamaan dengan memanjangnya ruas-ruas yang terus berlanjut sampai berbunga. Oleh sebab itu, stadia reproduktif disebut juga stadia pemanjangan ruas-ruas.

Fase pemasakan Fase ini dimulai dari berbunga sampai masak panen. Pertumbuhan memasuki stadia pemasakan ditandai dengan masak susu dough (masak bertepung), menguning, dan masak panen. Periode pemasakan ini memerlukan waktu kira-kira 30 hari dan ditandai dengan penuaan daun. Suhu sangat mempengaruhi periode pemasakan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menghitung luas panen dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh, diantaranya dilakukan oleh Panigrahy et al. (1991) yang memperkirakan luas areal padi dengan menggunakan data digital penginderaan jauh Landsat MSS/TM/IRS-1A di negara bagian Orissa, India. Perkiraan luas areal dilakukan dengan menganalisis data 10 persen bagian negara melalui pendekatan stratified random sampling. Panigrahy et al. (1992) selanjutnya melakukan penelitian untuk memperkirakan estimasi areal padi di daerah tersebut dengan menggunakan data NOAA-AVHRR yang menghitung estimasi areal padi tersebut dengan menggunakan klasifikasi dari dua band NOAA (Band 1: 0,58-0,68 mikrometer dan Band 2: 0,73-1,10 mikrometer) dan menghitung NDVI dari kedua band tersebut. Penelitian ini dilanjutkan oleh Patel et al. (2004) yang menggunakan untuk multi data RADARSAT SCANSAR untuk memperkirakan luas areal. 2.4. Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) Gambar 1. Satelit ALOS (Sumber: NASDA, LAPAN)

Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS milik Jepang (Gambar 1). ALOS adalah satelit terbesar yang dikembangkan dan diluncurkan oleh JAXA di Tanegashima Space Center Jepang yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan menggunakan roket H-IIA. Satelit ini didesain untuk dapat beroperasi selama 3 sampai 5 tahun pada ketinggian 691,65 km (di atas Khatulistiwa) dengan kemiringan 98,16 (JAXA, Japan Aerospace Exploration Agency, 1997). Periode kunjungan ulang (revisiting period) dari satelit ALOS adalah 46 hari. Akan tetapi, untuk kepentingan pemantauan bencana alam atau kondisi darurat satelit ALOS ini mampu melakukan observasi dalam waktu dua hari. Karakteristik umum dari satelit ini disajikan pada Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Karakteristik ALOS No Tipe Spesifikasi 1 Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006 2 Wahana Peluncuran H-IIA 3 Tempat Peluncuran Tanegashima Space Center 4 Massa Kendaraan Angkasa Approx. 4 ton 5 Power Approx. 7 kw (pada akhir operasional) 6 Waktu Operasional 3-5 tahun 7 Orbit Siklus kunjungan ulang : 46 hari Sumber : JAXA EORC, 1997 Sub Ketinggian siklus :: 2691,65 bulan km (di khatulistiwa) Inklinasi : 98,16 deg. ALOS adalah salah satu satelit untuk mengamati permukaan bumi yang dikembangkan dengan tujuan: 1. Menyediakan peta untuk Jepang dan negara-negara lain yang termasuk di wilayah Asia-Pasifik (Carthograpy). 2. Melakukan pengamatan daerah untuk "pembangunan berkelanjutan", harmonisasi antara lingkungan Bumi dengan pembangunan (Regional Observation). 3. Melakukan pemantauan bencana di seluruh dunia (Disaster Monitoring),

4. Survei sumber daya alam (Resources Surveying). 5. Mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk satelit pengamatan Bumi masa depan (Technology Development). Satelit ini dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju untuk memberikan kontribusi bagi dunia penginderaan jauh, terutama di bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan secara lebih persis dan akurat, sehingga untuk keperluan tersebut pada setelit ini dipasang dual frequency GPS receiver dan star tracker dengan presisi tinggi. Satelit ALOS memiliki tiga sensor, yaitu: (a) Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang mempunyai resolusi 2,5 meter; (b) Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) yang mempunyai resolusi 10 meter; dan (c) Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) yang mempunyai dua resolusi, yaitu resolusi 10 meter dan 100 meter (Gambar 2). Gambar 2. Satelit ALOS (JAXA EORC, 1997) 2.4.1. Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) Sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) (Gambar 3) memiliki tiga sistem optis yang dapat merekam data pada saat yang bersamaan, yaitu melalui mode observasi dari arah tegak lurus (nadir), depan (forward) dan belakang (backward) (Gambar 4). Dengan kemampuan

seperti ini dimungkinkan untuk membangun data 3-D (three dimensional terrain data) dengan tingkat akurasi yang tinggi. Teleskop observasi pada arah nadir di sensor PRISM ini memiliki lebar sapuan 70 km, sedangkan teleskop observasi arah depan dan belakang (triplet mode) masing-masing mempunyai lebar sapuan 35 km. PRISM tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 82 derajat Lintang Selatan dan Lintang Utara. Gambar 3. Sensor PRISM (JAXA EORC, 1997) Gambar 4. Prinsip Geometri PRISM (JAXA EORC, 1997)

Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Karakteristik PRISM No Tipe Spesifikasi 1 Jumlah Band 1 (Pankromatik) 2 Panjang Gelombang 0,52 0,77 mikrometer 3 Jumlah Optik 3 (nadir, depan, belakang) 4 Resolusi Spatial 2,5 m (at nadir) 5 Lebar Petak 70 km (hanya nadir) / 35 km (Triplet mode) 6 Jumlah Detektor 28000 / band (petak lebar 70 km) 14000 / band (petak lebar 35 km) 7 Pointing Angle -1,5 sampai 1,5 derajat (Triplet Mode, Cross-track direction) 8 Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997 2.4.2. Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) Sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1 (Gambar 5). Sensor ini merupakan sensor gelombang mikro aktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR, sensor ini memungkinkan untuk dapat melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas, yaitu 250 350 km (Gambar 6). Pembangunan PALSAR adalah proyek kerjasama antara JAXA dan Japan Resources Observation System Organization (JAROS). Gambar 5. Sensor PALSAR (JAXA EORC, 1997)

Gambar 6. Prinsip Geometri PALSAR (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor PRISM disajikan pada Tabel 3, namun demikian sensor PALSAR tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 87,8 Lintang Uatra dan 75,9 Lintang Selatan ketika off-nadir adalah sudut 41,5. Tabel 3. Karakteristik PALSAR No Mode Fine ScanSAR 1 Pusat Frekuensi 2 Chrip Bandwidth 1270 MHz (L-band) 28 MHz 14 MHz 14 MHz, 28 MHz 3 Polarisasi HH atau vv HH + hv atau vv + VH 4 Incident Angle 5 Range Resolution HH atau vv Polarimetric (Eksperiment al mode)* 14 MHz 8 60 8-60 18-43 8-30 7 44 m 14 88 m 100 m (multilook) HH + hv + VH + vv 24 89 m 6 Observation Swath 40 70 km 40 70 km 250 350 km 20 65 km 7 Bit Length 5 bit 5 bit 5 bit 3 atau 5 bit 8 Data rate 240Mbps 240Mbps 120 Mbps 240 Mbps 9 Radiometric accuracy Sumber : JAXA EORC, 1997 Scene : 1 db / orbit : 1.5 db 240 Mbps

2.4.3. Sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type- 2) Sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2 (Gambar 7) dilengkapi dengan kemampuan khusus yang memungkinkan satelit dapat melakukan observasi tidak hanya pada arah tegak lurus lintasan satelit, tetapi juga mode operasi dengan sudut observasi (pointing angle) hingga sebesar + 44 o (Gambar 8). Kemampuan itu diharapkan dapat membantu dalam pemantauan kondisi suatu area yang diinginkan. Sensor ini dapat dimanfaatkan dalam penyusunan peta penggunaan lahan atau peta vegetasi terutama dengan menggunakan band cahaya tampak (visible) dan inframerah dekat (near infrared). Gambar 7. Sensor AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Gambar 8. Prinsip Geometri AVNIR-2 (JAXA EORC, 1997) Karakteristik umum sensor AVNIR-2 disajikan pada Tabel 4, namun demikian sensor AVNIR-2 tidak dapat mengamati daerah-daerah di luar 88,4 Lintang Utara dan 88,5 Lintang Selatan.

Tabel 4. Karakteristik AVNIR-2 No Tipe Spesifikasi 1 Jumlah Band 4 2 Panjang Gelombang Band 1 : 0,42 0,50 mikrometer Band 2 : 0,52 0,60 mikrometer Band 3 : 0,61 0,69 mikrometer Band 4 : 0,76 0,89 mikrometer 3 Resolusi Spasial 10 m (at Nadir) 4 Lebar petak (Swath Width) 70 km (at Nadir) 5 Jumlah Detektor 7000/Band 6 Pointing Angle -44 + 44 7 Bit Length 8 bit Sumber : JAXA EORC, 1997 2.5. Data Mining Data Mining merupakan teknik yang relatif baru yang sangat berguna untuk membantu analis data dalam menemukan informasi yang sangat penting dari gudang data para analis data. Data Mining dapat menjawab pertanyaanpertanyaan dari berbagai pihak atau kepentingan, baik di bidang bisnis, pertanian, logistik, maupun bidang lainnya, yang dengan cara tradisional memerlukan banyak waktu untuk menjawabnya (Moertini, 2002). Data mining merupakan suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi hubungan antara atribut-atribut yang berbeda dalam kumpulan data yang besar (Fayyad et al, 1996). Salah satu keterbatasan metode ini adalah dalam penggunaannya, tetap saja mengharuskan pengguna untuk mengerti data dan mengerti metode-metode analisis data. Data mining membantu analis untuk menemukan pola dan relasi data akan tetapi tidak secara langsung mengatakan nilai dari pola tersebut. Lebih jauh lagi, pola-pola yang tidak diketemukan melalui data mining harus diverifikasi kembali dalam dunia nyata. Secara umum data mining dapat dibagi menjadi dua yaitu deskriptif dan prediktif. Deskriptif maksudnya bahwa data mining dilakukan untuk mencari pola-pola yang dapat dipahami manusia yang menjelaskan karakteristik data. Sedangkan prediktif maksudnya data mining dilakukan untuk membentuk sebuah

model pengetahuan yang akan digunakan untuk melakukan prediksi. Secara lebih spesifik data mining berdasarkan fungsionalitasnya adalah sebagai berikut: Mining Frequent Patterns, Associations, and Correlations : mencari polapola yang sering muncul dalam data. Pengetahuannya biasanya berupa rule yang menunjukkan pola-pola tersebut (biasanya disebut association rule). Teknik yang digunakan misalnya Apriori, FP-Growth, CLOSET. Classification and Prediction : mencari sebuah model yang mampu melakukan prediksi pada suatu data baru yang belum pernah ada. Decision tree, neural network, bayesian network, support vector machines, k-nearest neighbor adalah contoh alat yang digunakan untuk membentuk model tersebut. Classification digunakan untuk prediksi categorical data (diskrit), sedangkan untuk numerical data (numerik) biasanya menggunakan analisa regresi. Cluster Analysis : mengelompokkan data dalam sebuah cluster berdasarkan kemiripannya. Prinsipnya adalah memaksimalkan kemiripan dalam sebuah cluster, dan meminimalisasikan kemiripan antar-cluster. Jadi data-data yang berada pada sebuah cluster akan memiliki kemiripan yang tinggi, dan sebaliknya data akan memiliki nilai kemiripan yang rendah dengan data yang berada pada cluster yang berbeda. Beberapa teknik yang digunakan dalam cluster analysis ini misalnya k-means, k-medoids, SOM, CLARANS, ROCK, BIRCH, Chameleon. Outlier Analysis : mencari data object yang sifatnya anomali (berbeda dengan sifat umum data). Analisa ini berkaitan dengan fraud detection. Justru data anomali tersebut, yang jumlahnya relatif sedikit ini menarik untuk dianalisa. Misalnya deteksi fraud credit card. Evolution Analysis : mencari model atau tren untuk data-data yang sifatnya terus berubah. Analisa ini berkaitan dengan data time-series. Tasknya bisa meliputi clustering, classification, association dan correlation analysis (Prasetyo, 2006).

Dari sisi pendekatannya, metode data mining ini termasuk dalam pendekatan a posteriori. Dikenal ada dua pendekatan, yaitu a priori dan a posteriori. A priori dan a posteriori berasal dari bahasa Latin, A priori berarti dari apa yang terjadi sebelum, sedangkan a posteriori berarti dari apa yang terjadi kemudian. Secara harfiah, a priori berarti sebelum pengalaman dan a posteriori berarti setelah pengalaman. Pendekatan a priori ini dapat diketahui secara independen dari pengalaman dan didasarkan pada semua kemungkinan bentuk pengalaman dan pengetahuan, sedangkan pendekatan a posteriori bergantung pada pengalaman atau empiris bukti yang didasarkan pada isi pengalaman (Wikipedia, 2009). Hasil penelitian berdasarkan pendekatan a priori dapat berlaku pada semua daerah yang akan diteliti, sedangkan pendekatan a posteriori hanya dapat berlaku pada daerah yang sedang diamati saja. Decision Tree Decision tree merupakan teknik klasifikasi yang dihasilkan dari training data dari atas ke bawah, dari arah general ke khusus. Status awal dari suatu decision tree adalah akar tangkai pohon yang ditugaskan semua contoh dari training set (Apte dan Weiss, 1997). Teknik ini sangat bermanfaat bagi analisis data pendahuluan mengingat kesederhanaan pola pikir dalam pengembangan pembuatan keputusan (rule). Namun demikian, kesederhanaan ini tidak identik dengan ketidak-akuratan. Penelitian pendahuluan (Panuju dan Trisasongko, 2008) menunjukkan bahwa walaupun perbedaan kinerja algoritma pohon keputusan tidak terlalu signifikan, kinerja algoritma pohon keputusan secara konsisten selalu lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasik seperti algoritma kemungkinan maksimum (maximum likekihood classification). uler Pohon keputusan ini dapat dipandang sebagai diagram alir dari titik titik pertanyaan yang menuju kepada sebuah keputusan. Pohon keputusan yang menggunakan pemisahan (split) univariate, mudah dipahami oleh pemakai karena bentuk representasinya yang sederhana. Akan tetapi, batasan-batasan yang diterapkan pada representasi aturan dan pohon tertentu dapat secara signifikan membatasi bentuk fungsional dari model. Analisis tersebut dapat pula digunakan

untuk pemodelan prediksi, keduanya untuk klasifikasi dan regresi. Selain itu, dapat digunakan juga untuk pemodelan deskripsi ringkasan (Fayyad et al, 1996). Kelebihan-kelebihan decision tree antara lain: menyediakan visual result, dibangun berdasarkan rule-rule yang dapat dimengerti dan dipahami, bersifat predictive, memungkinkan untuk melakukan prediksi, menampilkan apa yang penting. Kelebihan lainnya adalah kemampuan adaptasi (adaptability) metode ini terhadap missing data yang berasal dari gangguan awan dan haze, dimana kelebihan ini tidak dimiliki oleh metode maximum likekihood. Sedangkan kekurangan-kekurangan dari decision tree adalah model decision tree dapat melebar dan mengecil (Han dan Kamber, 2001). 2.5.1. QUEST QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees) diperkenalkan oleh Loh dan Shih (1997). QUEST merupakan algoritma pemisahan (split) biner decision tree untuk klasifikasi dan data mining. QUEST dapat digunakan dengan pemisahan (split) univariate atau pemisahan (split) kombinasi linear. Feature unik dari teknik ini adalah pemilihan seleksi atribut yang mempunyai penyimpangan yang tidak terlalu penting. Jika semua atribut tidak informatif berkenaan dengan atribut kelas, maka masing-masing atribut mempunyai perkiraan perubahan yang sama terpilih untuk pemisahan (split) suatu tangkai pohon (Loh dan Shih, 1997). Model ini juga dapat mengurangi ukuran pohon, mengembangkan prediksi kelas, dan membangun data visualisasi. Pengurangan ukuran pohon tersebut dapat terpenuhi melalui penggunaan model diskriminasi. Sebagai tambahan, model ini dapat meningkatkan ketelitian dalam hal penilaian. Hasil analisis juga menyatakan bahwa perolehan keputusannya juga lebih akurat (Panuju dan Trisasongko, 2008). Penggunaan QUEST pada penginderaan jauh sebelumnya telah disajikan oleh Pal dan Mather (2003) dan Panuju dan Trisasongko (2008) yang menggunakan metode decision tree untuk pemetaan lahan sawah.

2.5.2. CRUISE CRUISE (for Classification Rule with Unbiased Interaction Selection and Estimation) merupakan versi multivariasi decision tree lain yang dapat menggunakan unbiased multiway splits, seperti yang telah diperkenalkan oleh Kim dan Loh (2001), dan dengan menyatukan model tangkai pohon (node) bivariate linear discriminant (Kim dan Loh, 2003). Model ini mempunyai prediksi dengan ketelitian setidaknya setingkat dengan algoritma QUEST. Selain itu, perhitungan dalam model ini juga cepat karena model ini mempekerjakan multiway split yang dapat menghindari penggunaan dari metode pencarian yang tamak (greedy search) (Kim dan Loh, 2001).