I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar, sehingga ketersediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat harus selalu terjamin. Dengan terpenuhinya kebutuhan pangan masyarakat maka masyarakat akan memperoleh hidup yang tenang dan akan lebih mampu berperan dalam pembangunaan (Sunanda U,2008). Penyediaan pangan yang cukup, merata dan bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan suatu prioritas yang terpenting guna mewujudkan ketersedian pangan. Karena pada dasarnya beras adalah komoditas strategis dan merupakan pangan pokok bangsa Indonesia. Konsumsi beras setiap tahun selalu meningkat seiring dengan laju penambahan penduduk. Sudah banyak upaya untuk mengerem laju konsumsi beras dengan penganekaragaman pangan lokal namun tampaknya setiap tahun selalu mengalami kenaikan (Sunanda U,2008). Berdasarkan posisi strategisnya, pemerintah berkepentingan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga komoditas pangan, karena gejolak harga yang tajam dapat berdampak terhadap usahatani dan kesejahteraan masyarakat, terutama para petani dan buruh tani, serta para konsumen. Apabila kejadian ini berlanjut dari tahun ke tahun, dikhawatirkan akan menjadi disinsentif bagi para petani dalam berusahatani padi yang dapat menurunkan produktivitas dan produksi secara Nasional (Anonimous,2007).
Beras merupakan salah satu makanan pokok bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perhatian akan beras atau tanaman padi tidak ada henti-hentinya. Perjalanan bangsa Indonesia dalam pengadaan beras pun berliku-liku yang pada akhirnya dapat berswasembada beras pada tahun 1984. Keadaan tersebut tentunya perlu dipertahankan hingga sekarang (Sunanda U,2008). Bagaimanakah keadaan produksi padi di Indonesia? Kebutuhan padi sebagai bahan makanan pokok di negara kita selalu mengalami kenaikan. Produksi yang dihasilkan dari hasil tanaman dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan. Tiap tahun pemerintah masih harus mengimpor beras ratusan ribu ton dari luar negeri. Hal itu bukan berarti kita tidak mempunyai usaha untuk meningkatkan hasil pertanian (Sugeng, 2001). Peningkatan produksi padi, selain untuk menjamin adanya stok pangan (beras) Nasional, juga merupakan salah satu upaya untuk menaikkan pendapatan/ kesejahteraan petani dan keluarganya. Namun peningkatan produksi yang di capai petani pada panen raya, pada kenyataannya belum membawa petani pada peningkatan pendapatan/kesejahteraan tersebut. Sesuai dengan pola produksi tahunan, produksi gabah pada saat panen raya di daerah sentra produksi selalu melimpah, sedangkan permintaan gabah/beras bulanan relatif stabil, mengikuti hukum ekonomi, dimana penawaran meningkat permintaan akan menurun, maka demikian juga yang dialami petani pada musim panen raya, dimana harga gabah turun sampai dibawah harga dasar bahkan sampai titik terendah, sehingga tidak memberi keuntungan kepada petani.
Sebaliknya pada musim paceklik, sering kali produksi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan sehingga harganya meningkat, bahkan sampai tidak terjangkau oleh petani yang pada saat itu justru tidak memiliki lagi produksi gabah. Pada saat panen raya (Maret - April), harga gabah di tingkat petani turun, dengan harga titik terendah pada bulan April. Keadaan berbeda terjadi pada musim panen (Juni - Juli), harga gabah lebih tinggi daripada musim panen raya. Harga akan terus menaik pada bulan berikutnya dengan harga tertinggi terjadi pada bulan Desember Januari (Anonimous,2007). Mengingat beras masih merupakan komoditi strategis dalam kehidupan sosial ekonomi Nasional, dimana sebagian besar penduduk Indonesia konsumsi bahan pokoknya adalah beras, dan rumah tangga petani bergantung pada sumber pendapatan usaha tani padi, maka pada posisi yang strategis tersebut, gejolak atau instabilitas harga beras akan berdampak negatif terhadap usahatani, kesejahteraan para petani dan buruh tani, serta para konsumen beras terutama masyarakat miskin. Penurunan produktivitas akan menyebabkan produksi padi secara nasional akan stagnant, atau malahan menurun, apalagi dengan pertambahan penduduk yang tinggi yang akan menyebabkan kebutuhan impor beras menjadi sangat besar. Kondisi ini tentunya tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan Nasional dan ekonomi Nasional, bahkan stabilitas Nasional.
Walaupun Pemerintah dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan Nasional, telah menetapkan kebijakan Harga Dasar Pembelian Gabah oleh Pemerintah (HDPP), dimana untuk operasionalisasi kebijakan HDPP tersebut telah dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Badan Bimas Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dengan Badan Urusan Logistik (BULOG) No. 02/SKB/BBKP/I/2003. Kep-08/UP/01/2003 tanggal 16 Januari 2003 tentang harga pembelian gabah oleh kontraktor pengadaan gabah/beras dalam negeri dari petani/kelompoktani. Namun demikian keadaan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak petani yang menjual gabahnya dibawah harga dasar. Hal ini disebabkan antara lain : kurangnya Akses Lembaga Usaha Ekonomi Pedesan (LUEP) terhadap desa untuk pengadaan gabah/beras, tidak adanya institusi penghubung antara Dolog dengan Petani/kelompoktani yang menjamin bahwa petani menerima harga sesuai HDPP (Anonimous,2007). Melihat keadaan yang tidak menguntungkan petani ini, maka pada tahun 2003 dikembangkan suatu kegiatan berupa pengembangan modal pemanfaatan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM - LUEP) untuk pembelian gabah/beras petani. Dengan menggunakan Dana APBN yang dikelola Departemen Pertanian(Anonimous,2007).
Adapun tujuan DPM LUEP untuk pembelian gabah petani adalah : 1) Menjaga stabilitas harga jual di tingkat petani. 2) Meningkatkan pendapatan petani melalui harga jual gabah/beras melalui penerapan HDPP. 3) Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan. 4) Meningkatkan kerjasama antara LUEP dengan petani/kelompok tani. 5) Memperkuat posisi daerah dalam ketahanan pangan wilayah yang berakumulasi pada Ketahanan Pangan Nasional. " Dana Talangan " kepada LUEP agar kemampuan pembiayaan mereka bertambah untuk membeli gabah petani pada saat panen raya sesuai HDPP. Dana Penguatan Modal LUEP untuk pembelian gabah petani adalah bersifat komplementer dan diharapkan selain memperkuat kegiatan serupa yang telah dilaksanakan oleh daerah serta mendorong daerah mengalokasikan/meningkatkan alokasi APBD untuk kegiatan serupa, dan berfungsi sebagai dana talangan (bridging fund) untuk modal kerja, yang pada jangka waktu tertentu dikembalikan kerekening kas negara. Kegiatan ini bersinergi dengan kegiatan lainnya seperti Lumbung Pangan Masyarakat Desa (LPMD) Tunda Jual, dan Pengadaan Gabah/Beras oleh Dolog (Anonimous,2007). Berdasarkan apa yang telah dipaparkan dan untuk mengetahui pengaruh LUEP terhadap peningkatan produksi dan kestabilan harga gabah, maka penelitian ini dilaksanakan di Kab. Deli Serdang yang tergolong sebagai salah satu kabupaten yang mendapat DPM-LUEP tepatnya di Desa Sekip Kecamatan Lubukpakam berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan.
1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang berhubungan dengan penelitian sebagai berikut : 1) Bagaimanakah kestabilan harga gabah sebelum dan setelah adanya program DPM-LUEP di daerah penelitian? 2) Bagaimana pengaruh luas lahan, jumlah tenaga kerja, dan keikutsertaan petani pada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan terhadap produksi usahatani padi sawah di daerah penelitian? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengetahui kestabilan harga gabah sebelum dan setelah adanya program DPM-LUEP di daerah penelitian 2) Mengetahui pengaruh luas lahan, jumlah tenaga kerja, dan keikutsertaan petani pada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan terhadap produksi usahatani padi sawah di daerah penelitian. 1.4. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah: 1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi para pembuat kebijaksanaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani melalui program DPM-LUEP. 2) Sebagai bahan informasi dan studi bagi semua puhak yang memerlukannya.