menunjukkan bahwa lapisan batas oksigen terlarut tidak merata diseluruh permukaan biofilm.

dokumen-dokumen yang mirip
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Gambar IV.21 Hubungan kondisi pengudaraan dan effluen S COD untuk ketiga reaktorr

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VII PETUNJUK OPERASI DAN PEMELIHARAAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TUGAS AKHIR UJI KINERJA MEDIA BATU PADA BAK PRASEDIMENTASI PERFORMANCE TEST OF STONE MEDIA ON PRE-SEDIMENTATION BASIN. Oleh : Edwin Patriasani

BAB 5 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES FILM MIKROBIOLOGIS (BIOFILM)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III.2.1 Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit Makna Ciledug.

1 Security Printing merupakan bidang industri percetakan yang berhubungan dengan pencetakan beberapa

Bab V Hasil dan Pembahasan

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH MAKAN (RESTORAN) DENGAN UNIT AERASI, SEDIMENTASI DAN BIOSAND FILTER

penelitian ini reaktor yang digunakan adalah reaktor kedua dan ketiga. Adapun

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 9 KOLAM (PONDS) DAN LAGOON

UJI KINERJA MEDIA BATU PADA BAK PRASEDIMENTASI

Uji Kinerja Media Batu Pada Bak Prasedimentasi

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

PENINGKATAN KUALITAS AIR BAKU PDAM DENGAN MEMODIFIKASI UNIT BAK PRASEDIMENTASI (STUDI KASUS: AIR BAKU PDAM NGAGEL I)

A. BAHAN DAN ALAT B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL. Tabel 3 : Hasil Pre Eksperimen Dengan Parameter ph, NH 3, TSS

PEMULIHAN KUALITAS AIR LIMBAH LAUNDRY DENGAN MEMBANDINGKAN REAKTOR BIOFILTER DAN SLOW SAND FILTER. Oleh : Satria Pratama Putra Nasution

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian dilaksanakan di Hotel Mutiara Kota Gorontalo di mana

Pengolahan Limbah Cair Industri secara Aerobic dan Anoxic dengan Membrane Bioreaktor (MBR)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) dengan Proses Aerobik-Anoksik untuk Menurunkan Nitrogen

Proses Nitrifikasi Dan Denitrifikasi Dalam Pengolahan Limbah

Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan Moving Bed Biofilm Reactor (MBBR) dengan Proses Aerobik-Anoksik untuk Menurunkan Nitrogen

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

Bab IV Data dan Hasil Pembahasan

kompartemen 1, kompartemen 2, kompartemen 3 dan outlet, sedangkan untuk E.Coli

Mekanisme Penghilangan Nutrien

BAB V ANALISA AIR LIMBAH

PENGARUH RASIO WAKTU PENGISIAN : REAKSI PADA REAKTOR BATCH DALAM KONDISI AEROB

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DISUSUN OLEH TIKA INDRIANI ( ) DOSEN PEMBIMBING WELLY HERUMURTI, ST, MSc.

HASIL DAN PEMBAHASAN

[Type text] BAB I PENDAHULUAN

BAB IV METODE PENELITIAN. menggunakan suatu kolompok eksperimental dengan kondisi perlakuan tertentu

BAB I. PENDAHULUAN. bioetanol berbasis tebu, baik yang berbahan baku dari ampas tebu (baggase), nira

PENURUNAN KADAR BOD, COD, TSS, CO 2 AIR SUNGAI MARTAPURA MENGGUNAKAN TANGKI AERASI BERTINGKAT

BAB 6 PENGOLAHAN AIR LIMBAH DENGAN PROSES TRICKLING FILTER

penambahan nutrisi berupa lumpur sebanyak ± 200 ml yang diambil dari IPAL

PEMBENIHAN DAN AKLIMATISASI PADA SISTEM ANAEROBIK

Dosen Pembimbing: Prof. DR. Ir. Nieke Karnaningroem, M.Sc

Sistem Aerasi Berlanjut (Extended Aeratian System) Proses ini biasanya dipakai untuk pengolahan air limbah dengan sistem paket (package treatment)

Pengolahan Limbah Rumah Makan dengan Proses Biofilter Aerobik

IMPROVING THE QUALITY OF RIVER WATER BY USING BIOFILTER MEDIATED PROBIOTIC BEVERAGE BOTTLES CASE STUDY WATER RIVER OF SURABAYA (SETREN RIVER JAGIR)

Bab III Metode Penelitian 3.2. Persiapan Awal Karakterisasi Limbah Cair

BAB I PENDAHULUAN. hidup. Namun disamping itu, industri yang ada tidak hanya menghasilkan

BAB III PENGOLAHAN AIR LIMBAH PENCUCIAN JEAN DENGAN PROSES BIOFILTER TERCELUP ANAEROB-AEROB UJI COBA SKALA LABORATORIUM

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya di kotakota

Bab III Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan sumber energi fosil yang semakin menipis, sedangkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. Statistik (2015), penduduk Indonesia mengalami kenaikan sebesar 1,4 %

Karakteristik Air Limbah

DEGRADASI BAHAN ORGANIK LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN DENGAN VARIASI WAKTU TINGGAL

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI SECARA AEROBIC DAN ANOXIC DENGAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

INSTALASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH (IPAL)

II. PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK GEDUNG SOPHIE PARIS INDONESIA

STUDI PENGARUH SALINITAS TERHADAP LAJU DEGRADASI SAMPAH DI TPA BENOWO

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR DENGAN KANDUNGAN AMONIAK TINGGI SECARA BIOLOGI MENGGUNAKAN MEMBRANE BIOREACTOR (MBR)

BAB III PROSES PENGOLAHAN IPAL

3 METODOLOGI PENELITIAN

Mukhlis dan Aidil Onasis Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Padang

STUDI PENYISIHAN COD-ORGANIK PADA TAHAP NITRIFIKASI DAN DENITRIFIKASI DALAM SBR MENGGUNAKAN AIR LIMBAH COKLAT

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. gugus amino yang bersifat basa dan memiliki inti benzen. Rhodamin B termasuk

BAB VI PEMBAHASAN. Denpasar dengan kondisi awal lumpur berwarna hitam pekat dan sangat berbau. Air

adanya gangguan oleh zat-zat beracun atau muatan bahan organik yang berlebih.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. IV.1 Karakteristik Air Limbah

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Hasil Penelitian Tahap Sebelumnya

STUDI KINERJA BOEZEM MOROKREMBANGAN PADA PENURUNAN KANDUNGAN NITROGEN ORGANIK DAN PHOSPAT TOTAL PADA MUSIM KEMARAU.

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) F-254

Bab IV Data dan Pembahasan 4.2. Karakteristik Limbah Cair

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendahuluan. Prinsip Dasar. RBC (Rotating Biological Contractor) Marisa Handajani. Ukuran standar: Putaran 1,0-1,6 rpm

PENGOLAHAN AIR LIMBAH TAHU MENGGUNAKAN BIOREAKTOR ANAEROB-AEROB BERMEDIA KARBON AKTIF DENGAN VARIASI WAKTU TUNGGAL

Bab I Pendahuluan. Tabel I.1. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao di Indonesia. No Tahun Luas Areal (Ha)

RBC (Rotating Biological Contractor) Marisa Handajani. Pendahuluan

INTEGRASI PENGOLAHAN LIMBAH INDUSTRI BENANG DAN TEKSTIL MELALUI PROSES ABR DAN FITOREMOVAL MENGGUNAKAN ECENG GONDOK (Eichhornia crassipes)

PENGARUH RASIO MEDIA, RESIRKULASI DAN UMUR LUMPUR PADA REAKTOR HIBRID AEROBIK DALAM PENGOLAHAN LIMBAH ORGANIK

PENGARUH WAKTU STABILISASI PADA SEQUENCING BATCH REACTOR AEROB TERHADAP PENURUNAN KARBON

Oleh : Putri Paramita ( )

PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKIT DENGAN PROSES BIOLOGIS BIAKAN MELEKAT MENGGUNAKAN MEDIA PALSTIK SARANG TAWON

UJI PERFORMANCE BIOFILTER ANAEROBIK UNGGUN TETAP MENGGUNAKAN MEDIA BIOFILTER SARANG TAWON UNTUK PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH POTONG AYAM

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI PERMEN

UNJUK KERJA MODIFIKASI SBR AEROB TERHADAP PENYISIHAN COD

ANALISIS KINERJA AERASI, BAK PENGENDAP, DAN BIOSAND FILTER SEBAGAI PEREDUKSI COD, NITRAT, FOSFAT DAN ZAT PADAT PADA BLACK WATER ARTIFISIAL

Unit Aerasi, Sedimentasi, dan Biosand Filter Sebagai Pereduksi COD, TSS, Nitrat, dan Fosfat Air Limbah Artificial (Campuran Grey dan Black Water)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Lumpur Aktif (Activated Sludge)

APLIKASI INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH BIOFILTER UNTUK MENURUNKAN KANDUNGAN PENCEMAR BOD, COD DAN TSS DI RUMAH SAKIT BUNDA SURABAYA ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

Sebagai tinjauan awal, fungsi pengudaraan pada reaktor SAB adalah (Schulz, 2001): 1. Memberikan oksigen untuk metabolisme biologis 2. Membentuk aliran yang menghalangi media Tetapi di sisi lain pengudaraan juga berpotensi untuk menimbulkan turbulensi, menimbulkan aliran pendek, dan menimbulkan erosi pada biofilm (Mann & Stephenson, 1997). Keberadaan pengudaraan tidak menerus sebenarnya juga sudah diterapkan pada tipe reaktor lain, misalnya saja pada modifikasi reaktor lumpur aktif berupa Sequencing Batch Reactor (SBR). Penggunaan pengudaraan tidak menerus pada reaktor ini disebabkan oleh karena mode pengoperasian SBR adalah siklus dari fill, react, settle, decant, draw dan iddle, sehingga pengudaraan tidak perlu dijalankan terus menerus. Pengaturan pengadukan dan pengudaraan dapat digunakan untuk mengatur kondisi lingkungan di dalam reaktor SBR, sehingga dapat dibuat kondisi aerobik, anoksik, atau anaerobik di dalam reaktor selama periode tersebut (Grady & Lim, 1999). Meskipun secara langsung pengaturan pengudaraan di dalam reaktor SAB pada penelitian ini tidak bertujuan untuk membuat kondisi reaktor menjadi seperti kondisi pada SBR, tetapi kemungkinan kondisi yang ada di dalam reaktor SBR dapat terjadi pada reaktor SAB. Dari hasil pengamatan pada empat parameter di atas, terlihat bahwa kondisi oksigen terlarut untuk ketiga reaktor masih di atas 2 mg/l. Artinya pada kondisi yang diamati secara umum kondisi reaktor tidak mengalami kekurangan oksigen. Tetapi berbeda dengan reaktor tersuspensi, maka di dalam reaktor biofilm konsentrasi oksigen antara 2-3 mg/l dirasakan belum cukup, karena adanya faktor difusi terbatas ke dalam biofilm dan dapat menjadi faktor pembatas pada reaksi metabolisme mikroorganisme (Metcalf & Eddy, 2003). Zhang et al (1994) menunjukkan profil penurunan oksigen terlarut dengan konsentrasi awal 4.8 mg/l menjadi mendekati nol pada kedalaman biofilm kurang dari 150 µm. Pada ketebalan biofilm 300 µm, yang merupakan lekatan biofilm, konsentrasi oksigen terlarut 15 mg/l tinggal kurang dari 2 mg/l. Penelitian dari Zhang & Bishop (1994) 73

menunjukkan bahwa lapisan batas oksigen terlarut tidak merata diseluruh permukaan biofilm. Pada R1 teramati kondisi DO dipengaruhi oleh pengudaraan yang dilakukan. Dimana pada masa akhir atau tanpa pengudaraan terlihat konsentrasi DO turun. Hal yang sama ditunjukkan pada R2, dimana konsentrasi DO juga dipengaruhi oleh pengudaraan yang ada saat sampel diambil. Kondisi yang berbeda ditunjukkan oleh R3, dimana walaupun kondisi DO turun naik tetapi DO tidak pernah turun di bawah 4 mg/l. Dengan menggunakan uji statistik t-tes tidak didapatkan perbedaaan yang signifikan untuk konsentrasi DO pada efluen R1 dan R2, tetapi kedua reaktor menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi DO di R3. Kondisi lain yang teramati dalam kaitan antara DO dan pengudaraan adalah ketiadaan pengudaraan dalam jangka waktu lebih dari 2 jam akan mempengaruhi penurunan DO cukup besar. Hal ini terlihat misalnya saja pada S4 dimana kondisi DO di R2 turun sampai di bawah kondisi DO inlet setelah pengudaraan terhenti selama 3 jam. Terlihat tren penurunan DO untuk semua reaktor pada S4, tetapi tren penurunan paling tajam ditunjukkan oleh R2. Kondisi oksigen naik kembali seiring dengan adanya pengudaraan. Konsentrasi DO yang masih relatif tinggi kemungkinan dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi DO di inlet. Apabila nilai DO pada inlet sangat rendah, maka ada kemungkinan dengan waktu iddle yang lebih panjang akan menyebabkan DO drop sampai menimbulkan kondisi anoksik atau anaerobik. Walaupun ada beberapa keuntungan yang didapatkan pada kedua kondisi ini, misalnya dengan adanya denitrifikasi, tetapi kerugian yang segera teramati adalah kemungkinan munculnya bau. Di sisi lain kondisi penurunan DO ini menunjukkan aktivitas yang tinggi dari mikroorganisme, sehingga terjadi penurunan kondisi oksigen. Profil DO dari tiga reaktor menunjukkan R1 dan R2 terjadi peningkatan konsentrasi DO untuk tiap titik sampling. Sedangkan pada R3 konsentrasi DO relatif stabil untuk ketiga titik sampling. Secara rata-rata ketiga reaktor menunjukkan konsentrasi DO di atas 4 mg/l. 74

Rendahnya angka DO pada R2 menunjukkan tingginya aktivitas mikroorganisme pada R2 yang menggunakan DO sebagai elektron akseptor. Tetapi karena adanya penghentian pengudaraan selama 4 jam setelah pengudaraan 4 jam, menyebabkan oksigen tidak tersedia dalam jumlah yang cukup untuk mengatasi DO drop. Pada fluktuasi DO di R1 terlihat titik kritis terutama terjadi pada titik sampling 60 cm. Hal ini memperkuat dugaan sebagian besar proses biologis terjadi pada ketinggian antara 30-. IV.5.2 Amonium Pengukuran konsentrasi amonium dilakukan pada beban COD teoritis 300 mg/l dan konsentrasi inlet amonium teoritis 2,5 mg/l. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan konsentrasi amonium dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel lain, dan pengambilan dilakukan tiap tiga jam sekali. Sampel yang telah diambil diperiksa dengan metode Nessler, dan diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Konsentrasi amonium dihitung dengan menggunakan grafik absorbansi seperti pada Gambar III.7. Hasil pengukuran konsentrasi amonium untuk tiap titik pengambilan pada tiap reaktor dapat dilihat pada Gambar IV.11, IV.12 dan IV.13. Sedangkan konsentrasi rata-ratanya dapat dilihat pada Gambar IV.14. Sedangkan fluktuasi konsentrasi amonium pada efluen tiap reaktor untuk tiap waktu pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar IV.11. 3.00 Konsentrasi Amonium (mg/l) 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Sampling ke- R1 Outlet Gambar IV.11 Profil konsentrasi amonium pada pengudaraan 2 jam-2 jam 75

Konsentrasi Amonium (mg/l) 3.000 2.50 2.000 1.50 1.000 0.500 0.000 R2 Outlet Sampling ke- Gambar IV.12 Profil konsentrasi amonium pada pengudaraan 4 jam-4 jam Konsentrasi Amonium (mg/l) 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 Sampling ke- R3 Outlet Gambar IV.13 Profil konsentrasi amonium pada pengudaraan menerus Gambar IV.14 Rata-rata Amonium untuk tiap titik sampling pada tiap reaktor 76

Hasil penelitian menunjukkan pola yang berbeda untuk R1, R2, dan R3. Tes statistik menggunakan t-tes menunjukkan perbedaan yang signifikan untuk kondisi efluen amonium antara R1, R2 dan R3. R1 menunjukkan kondisi stabil- langsung dinamik, tetapi pola yang ada tidak menunjukkan pengaruh pengudaraan. Sedangkan pada R2 menunjukkan peningkatan dan peningkatan yang tajam terjadi pada S5. Hal yang sama juga ditunjukkan R3. Kemungkinan hal ini terjadi karenaa adanya akumulasi amonium di biofilm pada R2, sehingga terjadi perlepasan pada saat diberikan pengudaraan. Sedangkan pada R3 ada kemungkinan munculnya saluran yang menyebabkan aliran pendek, dan menyebabkan konsentrasi amonium naik. Gambar IV.15 Hubungan kondisi pengudaraan dan effluen Amonium untuk ketiga reaktor Profil amonium untuk tiap titik pengambilan sampel ditunjukkan pada Gambar 5. Secara umum dapat dilihat kenaikan konsentrasi amonium seiring dengan pertambahan tinggi titik sampling. Secara teori pada kondisii aerobik, maka amonium akan mengalami nitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat, sehingga seharusnya pada pada bagian efluen menunjukkan konsentrasi amonium yang paling kecil. Kondisi yang berbeda ini dapat terjadi apabila amonium yang terdapat di dalam serbuk Pupuk NPK terbawa oleh aliran udara. Pengudaraan terus-menerus pada 77

R3 memungkinkan munculnya saluran-saluran yang menyebabkan serbuk ini dapat melewati bed biofilm sehingga terbawa ke luar. Kondisi yang mirip terjadi pula pada R2, tetapi karena pengudaraan tidak dilakukan secara terus-menerus, maka rata-rata efluen amonium yang keluar tidak setinggi R3. Pada R1 akumulasi terjadi pada titik sampling kedua yang menunjukkan kondisi biofilm yang relatif baik di dalam reaktor, sehingga tidak terjadi channeling sampai di titik efluen. Secara rata-rata efisiensi penurunan amonium pada R1 adalah yang terbaik dibandingkan dengan R2 dan R3 (Gambar 6). Seluruh proses biofilm yang bertujuan untuk oksidasi BOD secara aerobik dapat dimanfaatkan untuk proses Nitrifikasi. Tetapi harus diperhatikan laju pertumbuhan spesifik yang lambat untuk bakteri nitrifikasi dan kompetisi antara bakteri nitrifikasi dan heterotrof utuk oksigen dan ruang (Rittman, 2001). Bakteri heterotrof selalu hadir dan berkompetisi dengan bakteri nitrifikasi untuk oksigen terlarut dan ruang. Bakteri nitrifikasi mempunyai nilai K O (konstanta pengambilan oksigen) yang tinggi sehingga tidak menguntungkan jika berkompetisi untuk oksigen. Laju pertumbuhannya yang lambat tidak menguntungkan untuk mendapatkan ruang jika harus berkompetisi dengan bakteri yang mempunyai laju pertumbuhan yang lebih tinggi. Ketidakstabilan pada proses nitrifikasi adalah permasalahan yang umum pada operasi pengolahan (Rittmann, 2001). Dua kelemahan tersebut dapat diatasi dengan memberikan bakteri nitrifikasi waktu SRT yang panjang, secara tipikal lebih dari 15 hari. Untuk proses biofilm, fluks BOD dan laju detachment secara tidak langsung mengontrol SRT bakteri nitrifikasi. Beberapa dugaan yang dapat diajukan adalah: 1. Belum stabilnya proses nitrifikasi di R2 dan R3. Dengan waktu total untuk pembibitan dan aklimatisasi selama 17 hari, diduga reaktor cukup stabil untuk untuk proses oksidasi bahan organik, tapi belum cukup stabil untuk proses nitrifikasi 2. Bakteri nitrifikasi tidak dapat berkompetisi dengan bakteri heterotrof, sehingga untuk ruang didominasi oleh bakteri heterotrof 78

3. Bakteri nitirifikasi yang ada ikut terbawa keluar dengan proses detachment biofilm. Hal ini terlihat misalnya kesesuaian dengan laju penambahan TSS pada outlet Reaktor 4. Tidak terjadi proses nitrifikasi, perubahan konsentrasi effluean amonium dipengaruhi oleh kondisi hidrodinamika reaktor. Kelemahan dari dugaan yang berkaitan dengan bakteri nitrifikasi adalah kesulitan pada identifikasi bakteri nitrifikasi di dalam biofilm, sehingga tidak dapat dilakukan di dalam penelitian ini. Analisa ketiga mempunyai kelemahan pada beberapa hasil penelitian bakteri nitrifikasi cenderung untuk tumbuh di bagian lebih dalam dari biofilm, sehingga kalaupun terdapat bakteri nitrifikasi maka proses erosi tidak terlalu akan mengurangi populasinya. Furumai & Rittman (1994) menginvestigasi penurunan populasi bakteri nitrifikasi dan meningkatnya konsentrasi amonium pada saat konsentrasi DO drop sampai dibawah 3 mg/l. Hal ini dapat diatasi dengan mengatur nilai BOD atau COD surface loading antara 2-6 kg BOD L /1000 m 2 -hari. Dengan menjaga nilai OLR di bawah 2 kg BOD L /1000 m 2 -hari menjamin kecukupan (Rittman & McCarty, 2001) Sedangkan nilai OLR untuk masing-masing reaktor adalah 0,86 kg COD/m 2.hari atau 860 kg/1000 m 2 -hari. Beban organik ini sangat jauh apabila dibandingkan kriteria dari Rittman & McCarty (2001), sehingga diduga pada penelitian ini penurunan amonium yang terjadi terutama tidak disebabkan oleh pengaruh bakteri nitrifikasi. IV.5.3 TSS Tinjauan untuk parameter TSS dilakukan dalam kaitannya untuk mengevaluasi erosi biofilm yang terjadi di dalam reaktor. Sampel diambil pada ketiga reaktor pada interval tiap 3 jam. Sampel yang diambil diuji secara gravimetri. Hasil pemeriksaan TSS ditunjukkan pada Gambar IV.16. 79

Gambar IV.16 Hubungan kondisi pengudaraan dan effluen TSS untuk ketiga reaktor Pada influen air limbah tidak diberikan suspended solid (SS) artifisial, tetapi kemungkinan penambahan SS dapat berasal dari partikel kapur (CaCO 3 ) yang ditambahkan untuk alkalinitas dan nutrien (pupuk NPK) yang berupa serbuk. Walaupun ada kemungkinan juga partikel-partikel ini telah mengendap di bak tampungan atau di dasar reaktor. Apabila dilihat pada Gambar IV.16, maka tidak didapatkan hubungan langsung antara konsentrasi TSS di efluen dengan kondisi pengudaraann saat dilakukan pengambilan sampel. R1 menunjukkan tren efluen TSS yang semakin naik dan tidak terlihat pengaruh pengudaraan pada effluen TSS. Pada R2 juga memiliki tren yang mirip dengan R1, walaupun pada S5 mengalami penurunan cukup besar. Apabila diasumsikan sebagian besar TSS berasal dari sloughing ataupun erosi biofilm, maka proses tersebut tidak berjalan secara terus-menerus meskipun pengudaraan yang diberikan pada reaktor diatur secara menerus. Di sisi lain kemungkinan sloughing dan erosi dapat terjadi akibat aliran naik aliran air limbah. Sehingga proses pelepasan biofilm berlangsung lebih dinamis daripada perkiraan 80

awal, meskipun dari penelitian lain didapatkan proses pengudaraan merupakan penyumbangan terbesar untuk konsentrasi TSS melalui mekanisme erosi. IV.5.4 S COD Pengambilan sampel COD dilakukan pada tiap reaktor pada tiap titik lokasi sampling. Sampel diambil pada interval waktu tiap 3 jam di dalam 6 kali pengambilan sampel. Sampel yang telah diambil diperiksa dengan metode oksidasi dikromat secara refluks tertutup. COD yang diperiksa adalah konsentrasi COD setelah disaring dengan menggunakan kertas saring, atau biasa disebut sebagai soluble COD (S COD ), sehingga padatan organik tidak ikut terukur. Dengan demikian secara teoritis COD total yang keluar lebih besar daripada yang diukur. Hasil pengukuran S COD ditunjukkan berturut-turut pada Gambar IV.17 untuk R1, Gambar IV.18 untuk R2, dan Gambar IV.19 untuk R3. Sedangkan Gambar IV.20 menunjukkan rata-rata konsentrasi S COD ditiap lokasi titik sampling, dan Gambar IV.21 menunjukkan hubungan antara kondisi pengudaraan dengan efluen S COD untuk ketiga reaktor. Konsentrasi S COD (mg/l) 400 300 200 100 0 Sampling R1 outlet Gambar IV.17 Kondisi penyisihan S COD untuk tiap titik sampling pada R1 81

Konsentrasi SCOD (mg/l) 400 300 200 100 0 R2 Outlet Sampling Gambar IV.18 Kondisi penyisihan S COD untuk tiap titik sampling pada R2 Konsentrasi SCOD (mg/l) 400 300 200 100 0 R3 Outlet Sampling Gambar IV.19 Kondisi penyisihan S COD untuk tiap titik sampling pada R3 Gambar IV.20 Perbandingan rata-rata Konsentrasi S COD pada R1, R2 dan R3 untuk tiap titik sampling 82