V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
VII ANALISIS PENDAPATAN

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

VII. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI VARIETAS CIHERANG

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

BAB III METODE PENELITIAN. PTT Padi Sawah. Penelitian ini dilakukan di Poktan Giri Mukti II, Desa

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Desa Banjar termasuk salah satu wilayah di Kecamatan Banjar Kabupaten

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan bahan makanan yang menghasilkan beras. Bahan makanan

V. GAMBARAN UMUM. menjadikan sektor tersebut sebagai mata pencaharian masyarakat.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 LAYANAN KONSULTASI PADI IRIGASI Kelompok tani sehamparan

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VIII ANALISIS HUBUNGAN EFISIENSI TEKNIS DAN PENDAPATAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - RAWA PASANG SURUT Individu petani

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1 LAYANAN KONSULTASI PADI TADAH HUJAN Kelompok tani sehamparan

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

PENGELOLAAN TERPADU PADI SAWAH (PTPS): INOVASI PENDUKUNG PRODUKTIVITAS PANGAN

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Petani cabai merah lahan pasir pantai di Desa Karangsewu berusia antara

5. PEMBAHASAN 5.1. Penerimaan Kotor Varietas Ciherang, IR-64, Barito Dan Hibrida

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - TADAH HUJAN Individu petani

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

1 LAYANAN KONSULTASI PADI - IRIGASI Individu petani

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan STIPER Dharma Wacana Metro,

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

VI. HASIL dan PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. Petunjuk Teknis Lapang PTT Padi Sawah Irigasi...

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PENANGKARAN BENIH PADI BERSERTIFIKAT PADA PETANI MITRA DAN NON MITRA

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

PENGARUH PERBAIKAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA PADI TERHADAP PENDAPATAN PETANI DI KELURAHAN TABA PENANJUNG KABUPATEN BENGKULU TENGAH ABSTRAK

4. HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Desa Penelitian Letak Geografis dan Topografis Desa

TINJAUAN PUSTAKA. meramu bahan-bahan kimia (anorganik) berkadar hara tinggi. Misalnya, pupuk urea

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN OMISSION PLOT Kajian Efektifitas Pengelolaan Lahan Sawah Irigasi Pada Kawasan Penambangan Nikel Di Wasile - Maluku Utara

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN/PENGKAJIAN BPTP KARANGPLOSO

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. aktivitas dan produktivitas kerja. Jumlah petani pada pola tanam padi-ubi

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

Lampiran 1. Peta wilayah Provinsi Bali

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

IV. KEADAAN UMUM DESA GEDANGAN. A. Letak Geografis, Batas dan Kondisi Wilayah. Purwodadi. Kabupaten Grobogan terletak pada sampai Bujur

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diperoleh dari wawancara yang dilakukan kepada 64 petani maka dapat diketahui

BAB V DAMPAK BANTUAN LANGSUNG PUPUK ORGANIK TERHADAP PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI DI PROPINSI JAWA TIMUR

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

PT. PERTANI (PERSERO) UPB SUKASARI

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

V KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional

SRI SUATU ALTERNATIVE PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH (PADI) YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

III. BAHAN DAN METODE

III. METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Skor Tingkat Penerapan Teknologi Komponen Model PTT pada Budidaya Padi Sawah di Daerah Penelitian

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN RESPONDEN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kranggan, Desa Banaran, Desa Nomporejo, Desa Karangsewu, Desa Pandowan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. yang dianggap sudah mewakili dari keseluruhan petani yaitu sebanyak 250 orang

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI KEMBANG KOL

KELAYAKAN USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN MELALUI PENDEKATAN PTT

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. memiliki aksesibilitas yang baik sehingga mudah dijangkau dan terhubung dengan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PADI SAWAH DI KABUPATEN SELUMA ABSTRAK PENDAHULUAN

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

I. PENDAHULUAN. BPS (2016) menyatakan bahwa, selama periode waktu tahun jumlah

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BAWANG MERAH

Tabel 1. Pengukuran variabel tingkat penerapan usahatani padi organik Indikator Kriteria Skor 1. Pemilihan benih a. Varietas yang digunakan

Andi Ishak Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu Jl. Irian km. 6,5 Kota Bengkulu HP:

III. TATA LAKSANA TUGAS AKHIR

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

PENERAPAN MODEL PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU JAGUNG LAHAN KERING DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL- PTT) DALAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI KABUPATEN PURBALINGGA

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Transkripsi:

V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Keadaan Wilayah Penelitian Kertawinangun adalah satu dari 13 desa di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Desa ini terletak pada ketinggian tiga meter diatas permukaan air laut dengan curah hujan 2.000 mm/tahun. Suhu rataan harian desa ini adalah 30 o C. Luas wilayah Desa Kertawinangun adalah 5,68 km 2 terdiri atas 0,0795 km 2 area pemukiman, 0,445 km 2 lahan persawahan dengan irigasi teknis, dan sisanya digunakan untuk lahan pemakaman, pekarangan, perkantoran, dan prasarana umum. Desa Kertawinangun memiliki batas administratif sebagai berikut: Sebelah Utara: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Selatan: Desa Soge, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Timur: Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur Sebelah Barat: Desa Eretan Kulon, Kecamatan Kandanghaur 5.2. Gambaran Umum Penduduk dan Matapencaharian Desa Kertawinangun memiliki jumlah penduduk 5.514 jiwa pada tahun 2010 yang terdiri atas 2.908 jiwa penduduk laki-laki dan 2.606 jiwa penduduk perempuan dengan kepadatan penduduk 106 jiwa perkm 2 (Kantor Desa Kertawinangun 2011). Berdasarkan usia dan jenis kelamin, penduduk Desa Kertawinngun dapat dikelompokkan seperti pada tabel 6. Berdasarkan data total penduduk pada buku Profil Desa Kertawinangun dan hasil perhitungan manual pada data penduduk berdasarkan usia pada buku yang sama terdapat perbedaan jumlah penduduk. Terdapat kemungkinan ada kesalahan penulisan pada salah satu data ataupun terdapat kesalahan penulis dalam membaca data profil desa dikarenakan pendokumentasiannya dilakukan menggunakan tulisan tangan dan alat tulis pensil. Berdasarkan komposisi penduduk Desa Kertawinangun berdasarkan usia dan jenis kelamin, terlihat bahwa sebagian besar penduduk berada pada usia produktif (16-55 tahun). 38

Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Jenis Kelamin Usia (tahun) Pria (Jiwa) Persentase (%) Perempuan (Jiwa) Persentase (%) 0-15 792 28,08 782 27,12 16-55 1.651 58,53 1.663 57,68 >56 378 13,40 438 15,19 Total 2.821 100 2.883 100 Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah Komposisi penduduk Desa Kertawinangun berdasarkan matapencaharian dan jenis kelamin, sebagian besar penduduk baik pria maupun wanita bekerja sebagai buruh tani. Penduduk desa menjadi buruh tani lepas dengan sistem borongan dengan mematok harga tertentu untuk berbagai jenis kegiatan bertani. Terdapat kemungkinan ada perhitungan ganda pada tabel 7 karena terdapat penduduk yang memiliki pekerjaan ganda, misalnya sebagai TNI yang juga mengolah sawah sehingga dapat dikatakan sebagai seorang petani. Berdasarkan pengelompokan kepala keluarga (KK) Desa Kertawinangun tahun 2010 memiliki total 1.664 KK dengan 1.464 anggota keluarga petani, sedangkan jumlah keluarga buruh tani sebanyak 602 keluarga. Data menunjukan sektor utama matapencaharian penduduk Desa Kertawinangun adalah petanian. Pendapatan perkapita dari sektor pertanian tahun 2010 untuk setiap keluarga pertanian adalah Rp.12.455.295. Tidak terdapat keterangan lebih lanjut mengenai definisi dari pendapatan perkapita dari sektor pertanian yang dilakukan oleh Kantor Desa Kertawinangun. Proses penilaian ataupun pengumpulan data serta pengolahan data mengenai pendapatan perkapita dari sektor pertanian untuk setiap keluarga pertanian juga tidak diketahui lebih lanjut. Interpretasi penulis, definisi dari pendapatan perkapita dari sektor pertanian untuk setiap keluarga pertanian adalah nilai nominal rata-rata yang diperoleh setiap keluarga yang mengusahakan pertanian atau matapencahariannya dari sektor pertanian. 39

Tabel 7. Komposisi Penduduk Desa Kertawinangun Berdasarkan Matapencaharian dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Jenis Kelamin Matapencaharian Pria (Orang) Persentase (%) Perempuan (Orang) Persentase (%) Petani 119 10,09 100 8,83 Buruh Tani 481 40,80 750 66,25 Pegawai Negeri Sipil 10 0,85 14 1,24 Pedagang Keliling 15 1,27 20 1,77 Peternak 6 0,51 0 0,00 Montir 332 28,16 0 0,00 Dokter Swasta 5 0,42 0 0,00 Pembantu rumah Tangga 0,00 50 4,42 TNI 1 0,08 0 0,00 Pensiunan PNS/TNI/Polri 1 0,08 0 0,00 Pengusaha kecil dan menengah 5 0,42 4 0,35 Dukun kampung terlatih 0 0,00 1 0,09 Guru Swasta 9 0,76 1 0,09 Karyawan Swasta 145 12,30 139 12,28 Pedagang 50 4,24 53 4,68 Total 1179 100 1132 100 Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah 5.3. Karakteristik Decision Making Unit Jumlah decision making unit yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 73 orang. Terdapat beberapa decision making unit yang memiliki lahan yang terfragmentasi di beberapa lokasi namun masih terdapat dalam satu hamparan yang menjadi objek penelitian. Terdapat beberapa decision making unit yang mengolah lahan yang terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan menanam varietas yang sama, sehingga penulis mengasumsikan beberapa lahan terfragmentasi yang diolah oleh satu decision making unit dianggap sebagai satu decision making unit dengan satu decision making unit. Penulis mengasumsikan 40

satu fragmen lahan yang ditanami satu jenis varietas merupakan satu decision making unit. Sedangkan asumsi yang digunakan pada decision making unit yang melakukan budidaya pada beberapa lahan terfragmentasi dalam cakupan penelitian dengan varietas yang berbeda disetiap fragmen lahannya sebagai satu decision making unit dengan beberapa decision making unit. Fragmen lahan yang dianggap sebagai decision making unit tersendiri adalah fragmen dengan varietas yang berbeda. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa varietas memiliki pengaruh terhadap produktivitas dan memiliki karakteristik seperti kebutuhan hara, ketahanan hama dan penyakit, dan lain sebagainya yang berbeda, sehingga penulis tidak dapat mengasumsikan beberapa fragmen dengan varietas yang berbeda sebagai satu decision making unit sehingga pada penelitian ini terdapat 73 decision making unit yang diwawancara, dengan 77 decision making unit. Alasan terdapat decision making unit yang mengolah lahan yang terfragmentasi adalah karena sebagian besar decision making unit hanya petani penggarap dengan sistem sewa sehingga mereka tidak dapat memastikan mendapatkan lahan yang berada dalam satu hamparan. Simpulan yang diambil dari pernyataan para decision making unit yang menggunakan satu varietas meskipun lahannya terfragmentasi diantaranya: (a) meningkatkan efisiensi. Decision making unit hanya cukup mengkalkulasikan luas lahannya dan menghitung kebutuhan dari masukan (input) yang harus disediakan. Apabila membudidayakan lebih dari varietas, terdapat kemungkinan reponden harus mengeluarkan tenaga lebih untuk memperhitungkan inventori yang harus dikeluarkan. (b) memudahkan menghitung pendapatan bersih. (c) memudahkan dalam proses penjualan. Hal ini disebabkan setiap varietas memiliki karakteristik yang berbeda sehingga terdapat kemungkinan pasar memiliki harga yang berbeda. Terdapat beberapa alasan decision making unit membudidayakan lebih dari satu varietas dalam satu musim tanam, diantaranya: (a) coba-coba, pada alasan ini decision making unit mengatakan mencoba varietas baru dan pada akhirnya akan membandingkan hasilnya untuk menjadi referensi pada musim tanam selanjutnya. Decision making unit tidak dapat mengandalkan hasil panen decision making unit lain karena setiap decision making unit memiliki 41

karakteristik tersendiri dalam mengelola usahataninya, sehingga decision making unit perlu merasa harus langsung menguji hasil dari suatu varietas. (b) mengikuti varietas yang digunakan oleh petani sekitar lahan. Misalkan decision making unit X mengolah lahan yang dikelilingi petani yang menggunakan padi B. Meskipun decision making unit X lebih menyukai padi A, akan tetapi pada akhirnya petani X mengikuti petani lain menanam padi B. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terkena hama dan penyakit karena perbedaan varietas. (c) adanya perjanjian dengan pemilik lahan. Misalkan pemilik lahan menghendaki lahannya ditanami padi varietas tertentu dikarenakan alasan tertentu misalnya sejarah lahan. Hal ini menyebabkan petani penggarap mengikuti varietas sesuai dengan yang diinginkan pemilik lahan. Karakteristik decision making unit yang akan dibahas meliputi jenis kelamin, usia, lama bertani padi sawah, lama pendidikan formal, matapencaharian utama, status kepemilikan lahan garapan, dan sumber modal usahatani. Matapencaharian utama didefinisikan sebagai pekerjaan yang dianggap menjadi sumber penghasilan utama decision making unit. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 58 dari 73 decision making unit atau sebanyak 79,46 persen decision making unit mengatakan bahwa mereka tidak memiliki pekerjaan lain selain bertani. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki keahlian lain selain bertani. Berdasarkan usia pada kategori decision making unit yang menyatakan bertani sebagai matapencaharian utama, hanya terdapat satu decision making unit yang berusia tidak produktif (diatas 65 tahun) dengan rataan pengalaman bertani 22 tahun. Meskipun banyak decision making unit yang masih berusia produktif, namun mereka hanya menggantungkan pendapatan dari bertani dengan alasan bertani adalah satu-satunya keahlian yang dimiliki. Banyaknya pengalaman menjadi petani juga menjadikan decision making unit menjadikan bertani sebagai sumber penghasilannya. Berdasarkan lama menempuh pendidikan, decision making unit rata-rata menempuh pendidikan formal selama 6,5 tahun dengan 22 decision making unit yang menempuh pendidikan dibawah enam tahun, sehingga mereka tidak memiliki cukup banyak pilihan untuk mencari pekerjaan lain. Kedekatan dengan 42

dunia pertanian sejak kecil membuat mereka merasa bertani adalah jalan hidupnya meskipun memiliki pendapatan yang tidak pasti. Berdasarkan usia, rataan decision making unit berusia 44 tahun, dengan pengalaman bertani 22 tahun sehingga mereka menjadi lebih memilih bertani sebagai satu-satunya pekerjaan yang dimiliki. Terdapat 15 dari 73 decision making unit atau sebanyak 20,54 persen decision making unit memiliki pekerjaan lain selain bertani. Meskipun memiliki pekerjaan lain, sebagian besar decision making unit menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hal ini disebabkan besarnya penghasilan yang diperoleh dari bertani. Selain itu terdapat beberapa decision making unit yang tidak memiliki penghasilan tetap dari pekerjaan diluar bertani sehingga menganggap bertani adalah matapencaharian utama. Hanya terdapat lima decision making unit yang menganggap bertani bukan matapencaharian utama. Alasan kelima decision making unit menyatakan bertani bukan matapencaharian utama karena mereka mendapatkan penghasilan tetap setiap periode tertentu dari pekerjaannya, ataupun mereka mendapatkan pendapatan yang besar dari pekerjaan lain selain bertani. Data decision making unit yang memiliki pekerjaan lain selain bertani terdapat pada tabel 8. Usia rataan decision making unit yang memiliki pendapatan lain diluar usahatani adalah 43 tahun dengan rataan lama bertani 22 tahun, dan seluruh decision making unit masih berada pada usia produktif. Masih produktifnya usia decision making unit dapat menjadi penunjang sehingga decision making unit masih dapat menjalankan beberapa pekerjaan dalam waktu yang sama. Berdasarkan lama menempuh pendidikan formal, rataan yang diperoleh adalah 7,66 tahun dengan rincian delapan decision making unit menempuh pendidikan lebih dari 12 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai TNI dan guru (baik PNS maupun honorer), satu decision making unit tidak menempuh pendidikan formal dan bekerja sebagai pedagang, dan enam decision making unit bekerja sebagai pedagang, supir, dan tukang servis. 43

Tabel 8. Sebaran Decision Making Unit Berdasarkan Jenis Pekerjaan Selain Bertani Tahun 2010 Pekerjaan Selain Bertani Jumlah Decision Making Unit Persentase (%) Tukang Servis 1 6,67 Guru Honorer 3 20 PNS 2 13,33 Pedagang 7 46,67 Supir 1 6,67 TNI 1 6,67 Jumlah 15 100 Sumber: Kantor Desa Kertawinangun 2011, diolah Berdasarkan luasan lahan, terdapat 34 decision making unit yang menggarap lahan dibawah satu hektar. Meskipun luasan yang digarap tidak terlalu besar, akan tetapi decision making unit merasa mendapatkan keuntungan karena sebagian besar menggarap lahan pribadi sehingga apabila gagal panen tidak dibebankan untuk membayar sewa lahan. Hanya dua decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar, dan hanya terdapat satu decision making unit yang menggarap lahan diatas lima hektar dan milik sendiri. Sebagian besar decision making unit yang menggarap lahan antara satu hingga lima hektar menggarap lahan yang terfragmentasi di beberapa tempat namun masih dalam satu hamparan yang menjadi area pengamatan. Hal ini dikarenakan terdapat decision making unit yang hanya menjadi petani penggarap sehingga ketika menyewa tanah tidak dapat memastikan mendapat lahan yang berada disatu area. Terdapat dua cara pembayaran sewa yang ada di daerah pengamatan, yaitu sistem biaya sewa yang telah ditentukan sebelumnya, yang berkisar sembilan hingga dua belas juta rupiah untuk lahan seluas 0,7 hektar selama satu tahun. Sistem bayar yang lain adalah 2. 500 kg gabah untuk luasan dan masa sewa yang sama. Apabila terjadi gagal panen, maka decision making unit memiliki hutang kepada 44

pemilik lahan dengan menggunakan harga gabah pada saat decision making unit membayar. Berdasarkan sumber modal usahatani, sebagian besar decision making unit tidak menggantungkan dari satu sumber modal saja. Kurang dari sepuluh decision making unit hanya memiliko satu sumber. Rataan modal yang dibutuhkan decision making unit untuk menjalankan usahatani sebesar lima juta rupiah untuk lahan 0,7 hektar. Meskipun tidak terdapat akses terhadap lembaga perbankan di desa, petani dapat mengakses lembaga bank di desa lain yang berjarak sekitar 5 km dari desa tersebut, sehingga terdapat beberapa petani yang dapat mengakses perbankan sebagai sumber modal. Berdekatannya desa pengamatan dengan desa lain di tepi pantai menyebabkan petani yang memiliki akses ke KUD Mina sehingga meskipun bukan nelayan, namun petani tetap mendapat akses modal dari KUD tersebut. 5.4. Teknik Budidaya Teknik budidaya yang direkomendasikan oleh Departemen Pertanian adalah teknik budidaya dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Pengelolaan tanaman terpadu menjadi salah satu strategi peningkatan produktivitas dengan penerapan teknologi yang sesuai dengan sumber daya pertanian yang tersedia di suatu daerah. Komponen dalam PTT terdiri atas teknologi dasar dan teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar pada PTT adalah: (1) Penggunaan varietas unggul. (2) Benih bermutu dan berlabel. (3) Pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah. (4) Pengendalian hama dan penyakit terpadu (HPT). Komponen teknologi pilihan dalam PTT terdiri atas: (1) Penanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit satu hingga tiga bibit perlubang. (2) Peningkatan populasi tanaman. (3) Penggunaan bahan organik seperti kompos atau pupuk kandang. (4) Pengairan dan pengeringan berselang. (5) Pengendalian gulma. (6) Panen tepat waktu. (7) Perontokan gabah sesegera mungkin (BBP2TP 2008). Teknik budidaya yang digunakan decision making unit belum menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Decision making unit 45

mengandalkan kebiasaan bertani yang dilakukan. Salah satu hal yang diduga menyebabkan hal ini adalah kurangnya kedekatan antara penyuluh dengan decision making unit. Menurut keterangan decision making unit, penyuluh pertanian memiliki peran yang minim dalam membimbing dan memberikan informasi secara merata kepada decision making unit sehingga sebagian besar decision making unit kurang mengetahui perkembangan terkini mengenai teknik budidaya padi sawah. Selain itu faktor usia dan latar belakang pendidikan juga menjadi faktor pendukung sikap subsisten dari decision making unit yang diamati. Contoh hal yang membuat petani menjadi tidak percaya terhadap penyuluh adalah kejadian pada sekitar tahun 2006. Penyuluh pertanian memperkenalkan padi sawah jenis baru yaitu padi hibrida dan terdapat beberapa decision making unit yang tertarik untuk membudidayakan. Akan tetapi muncul masalah seperti gagal panen, banyaknya hama dan penyakit yang menyerang, tingginya biaya produksi, dan rendahnya harga beras di pasaran. Sekitar tahun 2008, penyuluh pertanian mengintroduksi padi varietas Ciherang, akan tetapi setelah beberapa musim tanam padi tersebut rentan terhadap hama dan penyakit, selain itu anakannya memiliki kualitas yang menurun dari hasil panen sebelumnya sehingga sebagian decision making unit enggan menggunakan bibit ini. Berbagai masalah yang muncul menyebabkan decision making unit merasa inferior dengan penyuluh pertanian sehingga saat ini sebagian besar decision making unit mereasa enggan untuk berkonsultasi dengan penyuluh pertanian. Selain itu, selama sekitar satu bulan pengamatan, terlihat penyuluh pertanian tidak melakukan pendekatan ataupun penyuluhan terhadap petani di daerah penelitian. Berdasarkan kegiatan budidaya yang digunakan oleh decision making unit, secara garis besar kegiatan budidaya dapat dikelompokkan menjadi kegiatan persemaian, persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan. a. Persemaian Kegiatan yang dilakukan decision making unit pada saat persemaian adalah menyediakan lahan untuk menjadi lahan persemaian. Sebagian decision making unit belum melakukan kegiatan persemaian seperti yang 46

dianjurkan dalam PTT. Terdapat beberapa decision making unit yang masih belum melakukan pemilihan benih bernas 4. Luas persemaian yang digunakan oleh decision making unit disesuaikan dengan jumlah benih yang hendak disemai. Idealnya luasan area pembibitan adalah empat persen dari luasan area tanam. Biaya yang dikeluarkan oleh decision making unit dalam masa pembibitan meliputi biaya pengolahan lahan sebelum pembibitan, pembelian ajir dan plastik untuk isolasi lahan pembibitan, dan biaya pembelian bibit. Bibit yang digunakan decision making unit adalah bibit varietas Ciherang, Denok, Mekongga, SMC, dan Kintani 1. Decision making unit masih belum menggunakan bibit sesuai dengan yang dianjurkan dalam PTT. Decision making unit telah menggunakan bibit unggul seperti varietas Ciherang dan Mekongga, akan tetapi sebagian besar decision making unit masih belum menggunakan bibit berlabel. Lebih dari 90 persen decision making unit mengatakan bahwa bibit yang digunakan pada musim kering tahun 2011 adalah bibit hasil panen sebelumnya. Akan tetapi terdapat kemungkinan bibit yang digunakan bukan berasal dari bibit yang ditanam sendiri pada musim tanam pertama. Terdapat beberapa petani yang membeli dari petani lain. Tidak lebih dari sepuluh decision making unit yang mengatakan pada musim kering tahun 2011 menggunakan bibit baru yang dibeli dari toko. Decision making unit lebih menyukai membeli dari petani lain dengan alasan harga yang lebih murah dibandingkan harus membeli dari toko. Decision making unit mengatakan harga bibit adalah sekitar Rp.50.000/5 kg bibit. Jumlah penggunaan bibit yang digunakan decision making unit berkisar antara 10-21,43 kg/ha. Sebagian besar decision making unit menggunakan bibit dibawah yang dianjurkan oleh PTT, yaitu 20 kg/ha. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh decision making unit. Berdasarkan penggunaan bibit, decision making unit dapat dikelompokkan seperti pada tabel 9. 4 Benih yang tenggelam dalam air 47

Tabel 9. Petani Padi Sawah Desa Kertawinangun Menurut Bibit yang Digunakan pada Musim Kering Tahun 2011 Varietas Jumlah Petani Alasan Menggunakan Varietas Ciherang 16 Varietas dari pemerintah Denok Mekongga SMC Kintani 1 39 Menghasilkan beras yang harga jualnya tinggi 20 Tahan penyakit 1 Mencoba 1 Mencoba b. Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan oleh decision making unit adalah pengolahan lahan. Pengolahan lahan biasanya dilakukan dua minggu sebelum lahan ditanami. Seluruh decision making unit menggunakan bantuan traktor untuk mengolah lahannya. Hal ini dikarenakan pengolahan tanah dengan traktor menurut decision making unit paling efisien dibandingkan menggunakan tenaga hewan ataupun manusia. Biaya yang dikeluarkan untuk pengolahan lahan dengan traktor adalah Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 hektar. Berdasarkan PTT, disarankan ketika pengolahan lahan dilakukan juga pembenaman bahan organik seperti pupuk kandang sebanyak 2 Ton/ha maupun kompos jerami sebanyak 5 Ton/ha. Tidak ada decision making unit yang melakukan pembenaman bahan organik dengan alasan menambah biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, sulit untuk mendapatkan bahan organik dalam jumlah yang banyak. c. Penanaman Penanaman dilakukan pada saat usia pembibitan sekitar 20 hingga 30 hari. Hal ini lebih lama dari yang disarankan dalam PTT, yaitu kurang dari 21 hari setelah sebar (HSS). Seluruh decision making unit menggunakan tenaga kerja manusia dengan sistem borongan untuk melakukan kegiatan penanaman. Sistem borongan berarti penggarap membayar sejumlah tertentu 48

kepada sekelompok buruh tani untuk menyelesaikan pekerjaan. Biaya tanam yang dikeluarkan oleh decision making unit berkisar Rp.400.000-800.000 untuk luasan 0,7 hektar. Terdapat dua macam sistem penanaman yang digunakan decision making unit, yaitu sistem tegalan dan sistem legowo. Sistem tegalan lebih banyak digunakan decision making unit karena beberapa alasan, diantaranya: (1) Decision making unit merasa tidak ada perbedaan menggunakan legowo maupun tegalan. (2) Decision making unit tidak mau membayar upah buruh tani lebih mahal. Hal ini dikarenakan buruh tani meminta bayaran lebih mahal untuk sistem tanam legowo. (3) Sistem legowo dianggap sulit sehingga sedikit buruh tani yang mau menerapkannya. sistem tegalan yang banyak digunakan oleh petani adalah tegalan dengan jarak tanam 27 x 30 cm dengan dua hinggga empat bibit perlubang tanam. Decision making unit memilih untuk menggunakan lebih dari satu bibit perlubang tanam untuk mengantisipasi serangan hama sehingga mengurangi kemungkinan kerugian untuk melakukan penyiangan. Sistem legowo yang digunakan oleh decision making unit adalah legowo 3:1 dan legowov 4:1. Kurang dari lima decision making unit menggunakan sistem legowo. Terdapat decision making yang telah menggunakan legowo adalah decision making unit yang memiliki hubungan baik dengan petani di desa lain dan memiliki wawasan yang lebih terbuka sehingga mau mengaplikasikan sistem legowo dalam budidayanya. Akan tetapi sistem legowo yang diterapkan masih belum sesuai dengan yang seharusnya. Seluruh decision making unit yang menggunakan legowo salah dalam menerapkan arah legowonya. Menurut decision making unit, hal ini dikarenakan buruh tani menginginkan menanam seperti itu, sehingga meskipun mengetahui kesalahan tersebut, petani penggarap tidak dapat melakukan banyak perubahan. d. Perawatan Kegiatan perawatan yang dilakukan oleh decision making unit meliputi pemupukan, pengaturan irigasi, penyiangan, pemberesan pematang, 49

dan pemberantasan hama dan penyakit tanaman. Berdasarkan pengamatan, meskipun di daerah pengamatan terdapat masyarakat yang membudidayakan ternak, akan tetapi tidak ada decision making unit yang menggunakan pupuk organik ataupun kompos dalam usahataninya. Hal ini dikarenakan menurut decision making unit, aplikasi jauh lebih mudah menggunakan pupuk anorganik. Selain itu apabila harus menggunakan pupuk organik seperti limbah hewan maupun limbah tanaman, pupuk hijau, dan lain sebagainya membutuhkan jumlah yang besar (sekitar dua Ton perhektar) dan sulit bagi decision making unit untuk mendapatkan limbah sebanyak itu dalam waktu singkat. Pupuk anorganik yang digunakan oleh decision making unit adalah pupuk Urea, TSP, dan pupuk Posca. Terdapat decision making unit yang menggunakan ketiga pupuk tersebut, Namun terdapat pula decision making unit yang hanya menggunakan dua dari tiga pupuk yang ada. Jadi, terdapat decision making unit yang menggunakan kombinasi antara pupuk Urea, TSP, dan Posca, decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan TSP, dan decision making unit yang menggunakan pupuk Urea dan Posca. Takaran yang digunakan oleh setiap decision making unit sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan decision making unit menggunakan takaran sesuai dengan perkiraan decision making unit. Terdapat pula decision making unit yang menggunakan pupuk sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki decision making unit. Berdasarkan wawancara, tidak ada decision making unit yang mengikuti anjuran pengaplikasian pupuk yang diberikan oleh pemerintah ataupun yang disarankan oleh penyuluh lapang. Pemupukan pertama dilakukan pada 15-20 hari setelah tanam (HST) padi. Pemupukan dilakukan bersamaan dengan penyiangan tanaman. Pemupukan kedua dilakukan antara 30-35 HST. Tidak ada decision making unit yang melakukan pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman, misalnya dengan menggunakan indikator bagan warna daun (BWD) seperti yang dianjurkan PTT. Seluruh decision making unit menggunakan dosis \setengah dari seluruh pupuk yang direncanakan diaplikaiskan pada setiap 50

pemupukan. Decision making unit mencampur pupuk sebelum ke sawah agar memudahkan pengaplikasian dan penyebaran yang merata. Cara pengaplikasian pupuk adalah menyebarkan pupuknya di sawah dengan perkiraan sebaran yang merata. Kegiatan pemberesan pematang disesuaikan dengan kebutuhan. Decision making unit yang menggarap luasan lahan dibawah satu hektar dan memiliki pekerjaan lain atau berusia diatas 55 tahun umumnya menggunakan tenaga kerja tambahan dengan upah antara Rp.40.000-60.000/hari/pekerja. Menurut decision making unit, dibutuhkan sekitar dua orang untuk mengerjakan pemberesan pematang pada lahan seluas 0,7 ha selama setengah hari. Kegiatan pengendalian HPT dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida maupun secara manual. Seluruh decision making unit menngunakan pestisida pada lahannya. Intensitas penggunaan pestisida sangat bervariasi, mulai dari satu hingga lebih dari sepuluh kali. Variasi intensitas pestisida dipengaruhi kebutuhan decision making unit. Akan tetapi terdapat decision making unit yang merasa belum aman jika tidak sering menggunakan pestisida sehingga mengaplikasikan pestisida hampir setiap minggu. Decision making unit juga melakukan pengendalian hama secara manual, seperti misalnya melakukan grabagan untuk menekan populasi tikus. Grabagan dilakukan secara berkelompok secara bergilir dengan cara mengairi lubang tikus sehingga tikus keluar dari sarangnya. Tikus yang keluar dari sarang kemudian dibunuh oleh petani. Pengendalian lain yang secara manual adalah pengendalian gulma. Terdapat decision making unit menggunakan buruh tani wanita untuk mencabuti gulma yang ada di area penanaman. Upah buruh wanita yang dibayarkan berkisar Rp.25.000-50.000/hari/orang. e. Pemanenan Terdapat tiga sistem panen yang digunakan decision making unit, yaitu tebasan, gebod, dan grabag. Sistem tebasan adalah sistem petani 51

menjual padi yang belum dipanen dengan suatu kisaran harga tertentu. Petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan. Terdapat beberapa decision making unit yang menggunakan sistem ini. Decision making unit memilih menggunakan sistem tebasan karena merasa hasil panennya kurang menguntungkan apabila dipanen sendiri sehingga merasa sistem tebasan adalah lebih baik digunakan. Sistem gebod adalah sistem yang menggunakan banyak tenaga kerja untuk pemanenan. Petani menggunakan sistem bagi hasil 10:7, artinya dari hasil panen tersebut, 10 bagian dari hasil panen menjadi hak petani, dan tujuh bagian hak buruh panen. Terdapat decision making unit yang merasa sistem gebod lebih menguntungkan dan merugikan. Penggunaaan sistem gebod dianggap merugikan karena terdapat kemungkinan banyak butir padi pada batangnya sehingga hasilnya kurang maksimal. Selain itu, decision making unit berpendapat bahwa sistem gebod lebih mahal dibandingkan sistem grabag. Alasan ini membuat decision making unit lebih memilih menggunakan sistem grabag. Sedangkan decision making unit yang menganggap sistem gebod lebih menguntungkan karena menggunakan banyak tenaga pemanen dapat memberi hasil yang lebih tinggi karena pemanen merasa bertanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi, karena semakin banyak hasil panen yang diperoleh, maka akan semakin besar bagian yang akan diterima. Sistem grabag adalah sistem yang menggunakan bantuan mesin perontok biji. Decision making unit menggunakan sistem ini karena membutuhkan sedikit tenaga kerja dan harga yang lebih murah. Harga untuk menggunakan mesin grabag berkisar Rp.400.000-500.000 untuk lahan seluas 0,7 ha. Kelemahan dari sistem ini adalah hanya dapat digunakan pada musim kering, karena mesin dapat masuk ke area sawah. 52