BAB I PENDAHULUAN. dewasa akhir (lansia) adalah individu yang berusia 65 tahun ke atas.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai 18,04 juta orang atau 7,59 persen dari keseluruhan penduduk (Badan

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

ABSTRAK. viii. Universitas Kristen Maranatha

LAMPIRAN A. Alat Ukur

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Unsur jasmani manusia terdiri dari badan

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

ABSTRAK. viii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Idealnya suatu keluarga terdiri atas ayah, ibu dan juga anak-anak. Tetapi

vii Universitas Kristen Maranatha

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB III METODE PENELITIAN. A. Identifikasi Variabel Penelitian. B. Definisi Operasional

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diciptakan dan terlahir di dunia dengan segala kekurangan dan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. periode terakhir dalam kehidupan manusia yaitu sekitar 60 tahun keatas (UU No.13, 1998). Data

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna di antara makhluk lainnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 3.1 Metode Penelitian Dan Rancangan Penelitian

DAFTAR ISI Dina Meyraniza Sari,2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR BAGAN.ix. DAFTAR TABEL...x. DAFTAR LAMPIRAN.xi BAB I PENDAHULUAN...

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

iv Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa berkembang sepanjang masa hidupnya, mulai dari

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kuantitatif dengan pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan mengambil metode

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

3. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Lansia (dalam hal ini sebagai jemaat lansia di Gereja X Bandung yang

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya.

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang

BAB 3 METODE PENELITIAN

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB III METODE PENELITIAN

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

Perbedaan Psychological Well-being pada Dewasa Muda Pasangan Long Distance Relationship dengan Pasangan Non Long Distance Relationship

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini beberapa variabel yang akan dikaji adalah :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Abstrak. Kata kunci : Attachment to God, Psychological Well Being, Early Adulthood

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODE PENELITIAN. Pembahasan pada bab metode penelitian ini meliputi: Identifikasi variabel

BAB 2 Tinjauan Pustaka

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.11.1 Latar Belakang Masalah Masa lansia (lanjut usia) merupakan salah satu tahap perkembangan dalam rentang kehidupan manusia. Menurut Papalia (2007), yang tergolong masa dewasa akhir (lansia) adalah individu yang berusia 65 tahun ke atas. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, lansia adalah orang yang telah berusia 60 tahun ke atas. Proporsi populasi lansia di dunia terus meningkat. Menurut data WHO, jumlah individu di dunia yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 524 juta pada tahun 2010 (8% dari populasi dunia) dan diperkiraan akan mencapai hampir 1,5 miliar pada tahun 2050 (16% dari populasi dunia). Di Indonesia pun jumlah lansia semakin meningkat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengungkapkan hasil sensus penduduk tahun 2014, jumlah penduduk lansia meningkat dari 18,1 juta jiwa pada tahun 2010 menjadi 18,78 juta jiwa. Angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 36 juta jiwa pada tahun 2025 (www.depkes.go.id). Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki persentase pertumbuhan lansia cukup tinggi. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah lansia di Bandung mencapai 6,6 %. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan terjadinya peningkatan usia harapan hidup yang mencapai usia 73,4 tahun, sedangkan usia harapan hidup nasional adalah 70,7 tahun (SurveyMeter.org). Bertambah banyaknya individu yang masuk ke dalam masa

2 lansia berarti kondisi lansia perlu lebih diperhatikan; baik kesehatan fisik maupun kesejahteraan psikologisnya. Lansia mengalami perubahan-perubahan yang khas. Secara fisik lansia mengalami kemunduran, misalnya dalam kemampuan sensori-motorik, kecepatan memberikan respon, dan daya tahan tubuh. Selain perubahan kondisi fisik, lansia juga menghadapi berbagai perubahan lainnya. Ada berbagai proses yang harus dihadapi oleh lansia, misalnya perubahan yang disebabkan karena lansia sudah pensiun, yang dapat berpengaruh terhadap kondisi finansial lansia atau pun ketersediaan kontak sosial yang sebelumnya lansia dapatkan di tempat kerja. Ada juga perubahan dalam struktur keluarga karena anak tidak lagi tinggal bersama lansia, ataupun masih tinggal bersama namun sudah memiliki rumah tangga sendiri. Lansia memerlukan kemampuan untuk dapat menerima kondisi dirinya dengan baik agar lansia sejahtera secara psikologis dalam menghadapi berbagai perubahan tersebut. Menurut Ryff dan Singer (2003), kesejahteraan psikologis atau yang lebih umum disebut sebagai psychological well-being (PWB) adalah suatu kondisi dimana individu memiliki persepsi yang kaya tentang pengalaman hidup dan keberhasilannya dalam mengatasi tantangan dan kesulitan yang mungkin muncul. Ryff (1989) mengungkapkan bahwa Psychological Well-Being terdiri dari enam dimensi, yaitu: Self-acceptance, merupakan pendapat positif yang dimiliki individu tentang diri sendiri yang berguna untuk membangun self regard; Positive relations with others, merupakan kekuatan dan kesenangan yang didapatkan dari hubungan yang dekat dengan orang lain, dari intimasi dan cinta; Autonomy,

3 merupakan kemampuan individu untuk mengikuti keyakinannya sendiri meskipun jika hal tersebut bertentangan dengan dogma atau kebijakan yang lazim; Environmental Mastery, merupakan keterampilan untuk menciptakan dan lingkungan yang bermanfaat bagi individu; Purpose in Life, merupakan kemampuan individu untuk menemukan makna dan arah dalam pengalamannya, dan untuk menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam hidupnya; dan Personal Growth, merupakan kemampuan individu untuk menyadari potensi yang dimiliki dan untuk mengembangkannya. Psychological well-being memampukan lansia menilai diri sendiri dan orang lain dengan lebih positif, serta mampu mengatasi stress kehidupan. Selain itu juga dapat meningkatkan kehidupan sosial yang lebih baik, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan memberikan dampak positif terhadap kesehatan individu (Abele & Huppert, 2009). Selain itu, psychological well-being juga berpengaruh terhadap kesehatan fisik (Lyubomirsky, 2007). Jika lansia tidak sejahtera secara psikologis, hal tersebut dapat berpengaruh negatif terhadap kondisi kesehatannya. Badan survei nasional mengungkapkan bahwa di Indonesia sebagian besar lansia tinggal dengan keluarga. Sensus Penduduk pada tahun 2014 menunjukkan bahwa 42,32 % lansia tinggal bersama tiga generasi dalam satu rumah tangga (Bappenas.go.id). Jika lansia sakit-sakitan atau memiliki tingkat stress yang tinggi, keluarga dari para lansia pun terkena dampaknya, misalnya harus mengeluarkan biaya yang besar untuk lansia berobat dan akan mengeluarkan energi lebih besar untuk mengurus lansia. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan kondisi psikologis lansia.

4 Faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being individu di antaranya yaitu usia, gender, trait kepribadian, status marital, relasi sosial, level sosioekonomi, dan kesehatan (Ryff, 1995; Ryff dan Keyes, 1995; Pinquart dan Sorensen, 2000; Escriba-Aquir dan Tenias Burillo, 2004; Ryff, 2011; Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002). Anglim, Grant, dan Fox (2009) melakukan penelitian terhadap 21 orang pria dan wanita mendapatkan hasil bahwa trait memiliki hubungan yang kuat dengan psychological well-being. Trait kepribadian merupakan kecenderungan konsisten yang dimiliki individu dalam berpikir, merasa, dan bertindak (McCrae, 2006). Ada lima jenis trait, yaitu neuroticism, extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness. Penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kestabilan diri individu lebih bisa digunakan sebagai prediktor well-being dibanding keadaan lingkungan. Trait kepribadian individu akan mempengaruhi persepsi dan reaksi individu terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya secara konsisten. Jika individu mampu mempersepsi peristiwa yang terjadi secara positif, individu tersebut lebih sejahtera secara psikologis dibanding individu yang mempersepsi peristiwa yang terjadi secara negatif. Beberapa rangkaian penelitian menunjukkan bahwa Psychological Well-Being yang tinggi diasosiasikan dengan disposisi kepribadian extraversion, sedangkan Psychological Well-Being yang rendah diasosiasikan dengan trait neuroticism (Warr et al., 1983; Emmons & Diener, 1985). Peneliti melakukan survei awal terhadap 15 orang lansia di Yayasan Simeon Hana, yaitu salah satu yayasan yang bergerak aktif dalam komunitas

5 lansia di kota Bandung. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa dari 15 orang lansia terdapat 1 orang lansia (6.6 %) yang sering menunjukkan perilaku mudah merasa khawatir atau cemas akan suatu hal, yang berarti memiliki derajat trait neuroticism yang tinggi; 5 orang lansia (33,4 %) sering menunjukkan perilaku senang berbicara, berkumpul bersama teman-teman, dan menyukai keramaian, yang berarti memiliki derajat trait extraversion yang tinggi; 1 orang lansia lainnya (6,6%) sering menunjukkan perilaku terbuka terhadap informasi atau ide-ide baru, yang berarti memiliki derajat trait openness yang tinggi; 4 orang lansia (26,7 %) sering menunjukkan perilaku mengikuti pendapat orang lain atau kebanyakan orang dalam memutuskan suatu hal, yang berarti memiliki derajat trait agreeableness yang tinggi; serta 4 orang lansia (26,7 %) sering menunjukkan perilaku terencana/ terjadwal dalam melakukan kegiatan setiap hari, yang berarti memiliki derajat trait conscientiousness yang tinggi. Berdasarkan pengelompokkan trait kepribadian tersebut, secara umum didapatkan gambaran survei awal bahwa 1 orang lansia yang memiliki trait neuroticism yang tinggi memiliki PWB yang rendah. Di antara 5 lansia yang memiliki trait extraversion yang tinggi terdapat 2 orang lansia yang memiliki PWB tinggi dan 3 orang memiliki PWB rendah. 1 lansia dengan trait openness yang tinggi memiliki PWB yang tinggi. Di antara 4 orang lansia yang memiliki trait agreeableness yang tinggi, dua di antaranya memiliki PWB yang tinggi dan dua lainnya memiliki PWB yang rendah. Di antara 4 orang dengan trait conscientiousness yang tinggi, tiga lansia memiliki PWB yang tinggi dan satu lainnya memiliki PWB yang rendah. Dari hasil survei awal tentang trait

6 kepribadian lansia dan PWB, terdapat hasil yang menonjol pada kelompok trait conscientiousness yang hampir semuanya memiliki PWB yang tinggi. Selain penelitian tentang kontribusi trait kepribadian terhadap psychological well-being, Ryff (1989) mengatakan bahwa relasi sosial pun merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap psychological well-being. Pada penelitian ini, faktor relasi sosial akan dispesifikkan menjadi dukungan sosial. Di dalam interaksi individu dengan lingkungan terdapat dukungan sosial yang dihayati didapatkan atau dihayati tidak didapatkan oleh individu. Dukungan sosial memiliki hubungan positif dengan psychological well-being (Millatina & Yanuviant, 2015). Lansia yang menghayati mendapatkan dukungan sosial dapat lebih sejahtera secara psikologis karena penerimaan dukungan tersebut dapat membuat lansia merasa diterima dan dikasihi, tidak merasa kesepian, dan memampukan lansia memiliki penilaian yang positif terhadap diri sendiri. Dukungan sosial dari keluarga memberikan kontribusi yang tinggi terhadap psychological well-being lansia, khususnya dukungan secara emosional yang memberikan kontribusi lebih tinggi dibandingkan bentuk dukungan sosial lainnya (Emily Hickey; Dinie Ratri Desiningrum, 2010). Uchino (2004 dalam Sarafino, 2012) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan, yang tersedia bagi individu dari individu atau kelompok lain. Sarafino (2012) mengungkapkan bahwa dukungan sosial dapat berupa received support, yaitu tindakan dukungan yang diterima oleh individu atau perceived support, yaitu tindakan yang dipersepsi sebagai suatu dukungan oleh individu. Menurut Cutrona & Gardner,

7 2004; Uchino, 2004 (dalam Sarafino, 2012), pada dasarnya ada empat jenis dukungan sosial: dukungan emosional, yaitu ungkapan empati, perhatian, pandangan positif, dan dorongan yang diberikan terhadap individu; dukungan tangible/ instrumental, yaitu bantuan langsung, misalnya berbentuk uang; dukungan informasi, yaitu pemberian nasehat, saran atau umpan balik kepada individu; dan dukungan companionship, yaitu kesediaan individu untuk menghabiskan waktu dengan individu yang diberi dukungan. Dukungan sosial dapat berasal dari berbagai sumber seperti pasangan hidup, keluarga, teman, atau organisasi (Sarafino, 2012). Penelitian ini akan mengkhususkan pada sumber dukungan sosial dari keluarga yang dihayati oleh lansia. Hasil survei awal yang peneliti lakukan menunjukkan adanya penghayatan yang berbeda-beda mengenai dukungan yang didapat dari keluarga. Dukungan emosional adalah penghayatan lansia akan dukungan berupa perhatian, misalnya rutin menanyakan kabar melalui telepon, memperhatikan kondisi kesehatan lansia, mengungkapkan rasa sayang. Dukungan instrumental adalah penghayatan lansia akan dukungan yang berupa bantuan secara materi, misalnya memberi uang atau barang-barang yang dibutuhkan oleh lansia. Dukungan informasi adalah penghayatan lansia akan dukungan yang terwujud dalam pemberian informasi tentang hal tertentu terhadap lansia, misalnya informasi tentang kesehatan. Dukungan companionship adalah penghayatan lansia akan kesediaan keluarga menemani lansia/ menghabiskan waktu bersama lansia. Di antara 15 orang lansia, 4 lansia menghayati paling banyak menerima dukungan dalam bentuk emosional; 3 orang menghayati paling banyak menerima

8 dukungan dalam bentuk instrumental; 5 orang menghayati paling banyak menerima dukungan dalam bentuk informasi; dan 3 orang lainnya menghayati paling banyak menerima dukungan companionship. Di antara 4 orang lansia yang menghayati paling banyak menerima dukungan dalam bentuk emosional, tiga lansia memiliki PWB yang tinggi dan seorang lainnya rendah. Di antara 3 orang lansia yang menghayati paling banyak menerima dukungan dalam bentuk instrumental, ketiganya memiliki PWB yang rendah. Di antara 5 orang lansia yang menghayati paling banyak menerima dukungan dalam bentuk informasi, dua lansia memiliki PWB yang tinggi, dan tiga lainnya rendah. Di antara 3 orang lansia yang menghayati paling banyak menerima dukungan companionship, dua lansia memiliki PWB yang tinggi dan seorang lainnya memiliki PWB yang rendah. Gambaran hasil survei awal mengenai pengaruh penghayatan akan dukungan sosial dari keluarga yang diterima dengan psychological well-being, hasil yang menonjol terlihat pada lansia yang menghayati lebih banyak menerima dukungan instrumental. Lansia tersebut memiliki gambaran kondisi psychological well-being yang paling tidak baik dibanding lansia lainnya yang menghayati menerima bentuk dukungan lainnya. Peneliti melihat pentingnya psychological well-being pada lansia serta adanya variasi gambaran pengaruh trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap psychological well-being pada lansia, maka peneliti tertarik untuk meneliti kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap psychological wellbeing pada lansia di Yayasan Simeon Hana Bandung.

9 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimanakah kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap Psychological Well-Being pada lansia di Yayasan Simeon Hana Bandung. 1.3 Maksud, Tujuan, dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Untuk memperoleh gambaran mengenai kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap Psychological Well-Being pada lansia di di Yayasan Simeon Hana Bandung 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk memperoleh gambaran kontribusi masing-masing trait kepribadian dan masing-masing bentuk dukungan sosial terhadap Psychological Well Being pada lansia di Yayasan Simeon Hana Bandung, serta untuk mengetahui variabel independen mana yang memberikan kontribusi lebih besar terhadap psychological well-being lansia. 1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.3.3.1 Kegunaan Teoretis Memberikan wawasan tentang kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap psychological well being pada lansia bagi

10 bidang ilmu Psikologi, khususnya Perkembangan Lansia, Psikologi Keluarga, dan Psikologi Kepribadian. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian tentang kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap psychological well being, serta mengembangkan penelitianpenelitian lain yang terkait dengan variabel-variabel tersebut. 1.3.3.2 Kegunaan Praktis Sebagai informasi bagi pengurus Yayasan Simeon Hana Bandung dan para aktivis yang berkecimpung dalam komunitas lansia agar dapat lebih memahami kontribusi trait kepribadian dan dukungan sosial terhadap psychological well-being lansia, sehingga dapat mengembangkan program pelayanan lansia yang lebih efektif untuk dapat mendukung psychological well-being lansia. Sebagai informasi bagi keluarga yang tinggal bersama lansia agar dapat lebih memahami bagaimana trait kepribadian dan dukungan sosial mempengaruhi psychological well-being lansia, sehingga lebih memperhatikan kondisi lansia. 1.4 Metodologi Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian korelasi fungsional (Gulo, 2004). Data diperoleh melalui hasil kuesioner. Kepada masing-masing subyek diberikan tiga buah kuesioner, yaitu kuesioner alat ukur

11 trait kepribadian berdasarkan teori dari Mc.Crae, kuesioner alat ukur dukungan sosial berdasarkan teori dari Sarafino, dan kuesioner alat ukur psychological well being berdasarkan teori dari Ryff. Pengukuran validitas alat ukur dilakukan melalui pengujian construct validity dan pengukuran reliabilitas alat ukur dilakukan melalui pengukuran internal consistency.