BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi makanan merupakan usaha pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebaskan makanan dan minuman dari segala bahaya yang menganggu atau merusak kesehatan.dengan demikian pengawasan terhadap makanan dan minuman harus dilakukan secara rutin karena makanan bisa menjadi media perantara penularan penyakit (PERMENKES,2011). Makanan memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Selain menyediakan sumber zat-zat yang diperlukan oleh tubuh, makanan juga menyediakan zat-zat yang diperlukan untuk mendukung kehidupan tubuh yang sehat. Karena itu untuk meningkatkan kesehatan diperlukan adanya persediaan makanan yang memadai dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari segi kuantitas selain mengandung semua zat yang diperlukan oleh tubuh makanan juga harus memenuhi syarat keamanan (Sugiatmi,2006 ) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, tentang Bahan Tambahan Pangan yang selanjutnya disingkat BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk rnempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Kasus penyalahgunaan bahan tambahan pangan yang biasa terjadi adalah penggunaan bahan tambahan yang dilarang untuk bahan pangan dan penggunaan bahan makanan melebihi batas yang ditentukan. Penyebab lain, produsen berusaha memenuhi kebutuhan dengan keuntungan yang besar dan pada harga murah serta munculnya zat pewarna makanan ini digunakan untuk mempertahankan kondisi makanan agar menarik (Mukaromah, 2008). Zat pewarna makanan merupakan suatu senyawa berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap benda yang diwarnainya.warna dari suatu produk makanan ataupun minuman merupakan salah satu ciri yang sangat penting. Warna merupakan kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan, antara lain warna juga dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan, seperti pencoklatan (Cahyadi, 2009). Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.239/Menkes/Per/V/85 menetapkan 30 zat pewarna berbahaya. Rhodamin B termasuk salah satu zat pewarna yang dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan, namun demikian, penyalahgunaan Rhodamin B sebagai zat pewarna pada makanan masih sering terjadi di lapangan dan diberitakan di beberapa media massa, sebagai contoh, Rhodamin B ditemukan pada makanan dan minuman seperti kerupuk, sambal botol dan sirup di Makassar pada saat BPOM Makassar melakukan pemeriksaan sejumlah sampel makanan dan minuman ringan. Bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terdiri dari pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis terbuat dari bahan-bahan kimia, seperti Tartrazin untuk warna kuning atau Alleura red
untuk warna merah, kadang-kadang pengusaha yang nakal menggunakan pewarna bukan makanan untuk memberikan warna pada makanan. Untuk tujuan mendapat keuntungan produsen sering menggunakan pewarna tekstil untuk makanan, ada yang menggunakan Rhodamin B pewarna tekstil untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup sedangkan penggunaan pewarna jenis itu dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya. Pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makananpun harus dibatasi penggunaannya, karena pada dasarnya, setiap senyawa sintetis yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan efek (Sarmalin, 2011). Berbeda dengan pewarna sintetis, pewarna alami malah mudah mengalami pemudaran pada saat diolah dan disimpan sebenarnya, pewarna alami tidak bebas dari masalah. Menurut Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) dari segi kehalalan, pewarna alami justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi, dikarenakan pewarna natural tidak stabil selama penyimpanan, maka untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya, dan kondisi lingkungan (Cahyadi, 2009). Penambahan zat pewarna pada makanan dilakukan untuk memberi kesan menarik bagi konsumen, menyeragamkan warna makanan, menstabilkan warna dan menutupi perubahan warna selama penyimpanan.penambahan zat pewarna rhodamin B pada makanan terbukti mengganggu kesehatan, misalnya mempunyai efek racun, berisiko merusak organ tubuh dan berpotensi memicu kanker, oleh karena itu rhodamin B dinyatakan sebagai pewarna berbahaya dan dilarang penggunannya (Seto, 2001).
Berdasarkan penelitian Ade (2009) telah melakukan penelitian tentang zat pewarna yang terdapat pada cabai merah gililing di lima pasar tradisional kota medan, ternyata dari 10 sampel yang diuji didapatkan 1 sampel yang mengandung zat pewarna sintetik yang di larang penggunaanya terhadap makanan yaitu sampel cabai giling di pusat pasar medan. Makanan yang beredar di masyarakat memiliki warna yang macam-macam dan kebanyakan menggunakan zat warna sintetik.adanya peraturan yang telah ditetapkan, diharapkan keselamatan konsumen dapat terjamin tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Penjual makanan di pinggiran jalan sudah biasa menggunakan bahan tambahan makanan termasuk zat warna yang tidak diijinkan, ini disebabkan karena bahan-bahan itu mudah diperoleh dalam kemasan kecil di toko dan pasar dengan harga murah. Penjual makanan dalam menggunakan zat warna tekstil ini karena kesengajaan atau ketidaktahuan produsen makanan untuk tujuan menghasilkan warna yang lebih menarik, yang dikiranya aman (Utami, 2005). Penelitian yang serupa juga pernah dilakukan oleh Rohmah (2013) mengenai kandungan Rhodamin B didalam saos, mengungkapkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan di desa Blawirejo Kecamatan Kedungpring Lamongan menunjukan bahwa semua sampel saos tomat pentol cilok (bakso tusuk) mengandung Rhodamin B. Saos salah satu produk yang bisa di jadikan salah satu contoh olahan bahan tambahan pada makanan, saos juga mengandung zat pewarna dan zat kimia lain yang terkandung didalamnya. Saos merupakan bahan pelengkap yang digunakan sebagai tambahan untuk menambah kelezatan makanan dapat berupa cairan kental (pasta) yang terbuat dari bubur buah berwarna menarik (biasanya merah),
mempunyai aroma dan rasa yang merangsang (dengan atau tanpa rasa pedas), mempunyai daya simpan panjang karena mengandung asam, gula, garam dan seringkali pengawet (Saparianto, 2011). Keamanan makanan merupakan masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam penyelenggaraan upaya kesehatan secara keseluruhan. Salah satu masalah keamanan makanan di Indonesia adalah masih rendahnya pengetahuan, sikap dan tindakan produsen pangan tentang mutu dan keamanan makanan, alasan inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang penggunaan zat kimia yaitu Rhodamin B pada produk saos yang dijual di Desa Meurandeh Kecamatan Langsa Lama, mengingat lokasi tersebut banyak pedagang bakso yang berjualan dikarenakan dekat dengan kampus dan jalan Desa. 1.2 Permasalahan Penelitian Saos yang merupakan bahan pelengkap yang selalu disajikan bersamaan dengan makanan jenis bakso yang banyak digemari oleh mahasiswa maupun masyarakat. Saos yang mengandung rhodamin B dapat membahayakan berbagai kesehatan masyarakat yang mengkonsumsinya. Begitu juga dengan keamaan makanan merupakan masalah yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam penyelenggaraan upaya kesehatan secara keseluruhan.salah satu masalah keamanan makanan adalah masih rendahnya pengetahuan, dan tanggung jawab produsen pangan tentang mutu dan keamanan makanan, terutama adanya kandungan Rhodamin B pada produk saos. Berdasarkan hal tersebut perumusan masalah yang ada yaitu belum di ketahui ada atau tidak ada kandungan Rhodamin B pada pewarna produk saos
cabai yang di pergunakan oleh pedagang bakso yang berjualan di Jalan Pendidikan Gampong Meurandeh Dayah Kecamatan Langsa Lama dan minimnya pengetahuan pedagang dan pembeli bakso tentang pewarna makanan (Rodhamin B) pada produk saos cabai. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan Rhodamin B pada produk saos dan pengetahuan, sikap serta tindakan pedagang dan pembeli tentang penggunanan Rhodamin B pada pewarna produk saos yang di pergunakan oleh pedagang bakso yang berjualan di Jalan Pendidikan Gampong Meurandeh Kecamatan Langsa Lama Tahun 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi jenis-jenis produk saos cabe yang terindikasi mengandung Rhodamin B yang digunakan oleh pedagang bakso. 2. Untuk mengetahui karakteristik pedagang dan pembeli bakso yang berada di Jalan Pendidikan Gampong Meurandeh Kecamatan Langsa Lama. 3. Mengetahui tingkat pengetahuan responden pedagang bakso dan pembeli terhadap penggunaan Rhodamin B pada produk saos cabai. 4. Mengetahui sikap responden pedagang bakso dan pembeli terhadap penggunaan Rhodamin B pada saos cabe. 5. Mengetahui tindakan penjual bakso dan pembeli terhadap penggunaan Rhodamin B pada saos cabe.
6. Mengetahui kandungan rhodamin B pada produk saos yang dipergunakan oleh pedagang bakso. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermampaat baik bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan, masyarakat maupun bagi lembaga-lembaga yang bertugas membina keamanan makanan. 1. Memberikan masukan kepada Dinas Kesehatan dan Badan Pengawasan Makanan dan Obat-obatan (BPOM) untuk lebih memperhatikan penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak diijinkan pada makanan seperti penggunaan pewarna makanan (Rhodamin B). 2. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pewarna makanan yang tidak aman digunakan pada makanan. 3. Sebagai bahan masukan dan petunjuk bagi pedagang bakso dalam memilih produk saos yang tidak mengandumg zat pewarna (rhodamin B) sebagai pelengkap makan bakso.