BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK TAHUN 2013 SKRIPSI

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dengan diagnosa penyakit diare di bangsal rawat inap RSUD Dr. Moewardi tahun

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

Antibiotic Utilization Of Pneumonia In Children Of 0-59 Month s Old In Puskesmas Kemiling Bandar Lampung Period Januari-October 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

STUDI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN RAWAT INAP PENDERITA INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSD Dr. SOEBANDI JEMBER (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2009)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 4 No. 3 Agustus 2015 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PENYAKIT PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL WAHAB SJAHRANIE

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah survei deskriptif terhadap semua variabel yang

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTIBIOTIK PADA TERAPI DEMAM TIFOID DI PUSKESMAS BANCAK KABUPATEN SEMARANG TAHUN 2014

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil dan evaluasi penggunaan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. berkontribusi terhadap terjadinya resistensi akibat pemakaian yang irasional

BAB III METODE PENELITIAN. A. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode penelitian non eksperimental dan

PHARMACY, Vol.13 No. 02 Desember 2016 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. wanita 54,5% lebih banyak dari laki-laki. Namun pada neonatus, ISK lebih

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medik yang sesuai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

INTISARI. Kata Kunci : Antibiotik, ISPA, Anak. Muchson, dkk., Dosen Prodi DIII Farmasi STIKES Muhammadiyah Klaten 42

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, demam,

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. register status pasien. Berdasarkan register pasien yang ada dapat diketahui status pasien

BAB III METODE PENELITIAN. secara descriptive dengan metode cross sectional dan pengambilan data secara

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting khususnya di negara berkembang (Kemenkes, 2011). Di Indonesia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TERAPI DEMAM TYPHOID PADA PASIEN ANAK RAWAT INAP DI RSUD Dr. M.M DUNDA LIMBOTO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan menggunakan data

DRUG RELATED PROBLEMS (DRP s) OF ANTIBIOTICS USE ON INPATIENTS CHILDREN IN SARI MEDIKA CLINIC AMBARAWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. kuman Salmonella Typhi (Zulkoni, 2011). Demam tifoid banyak ditemukan. mendukung untuk hidup sehat (Nani dan Muzakir, 2014).

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB I PENDAHULUAN. Masalah biaya kesehatan sejak beberapa tahun ini telah banyak menarik

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) merupakan suatu inflamasi pada mukosa rongga hidung

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan data retrospektif dengan. Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Juni 2015.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

Study of Antibiotic Use on Pneumonia Patient in Surakarta Referral Hospital

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

RASIONALITAS PENGOBATAN PNEUMONIA PADA BALITA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE PONTIANAK

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

LARASITA RAKHMI UTARI K

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN OPERASI APENDIKTOMI DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr.MOEWARDI TAHUN 2013 SKRIPSI

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Prevalensi Kuman Multi Drug Resistance (MDR) di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari Desember 2012

BAB I PENDAHULUAN. Di berbagai negara khususnya negara berkembang, peranan antibiotik dalam

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK ISPA NON-PNEUMONIA PADA PASIEN ANAK DI INSTALASI RAWAT JALAN RUMAH SAKIT X DEMAK TAHUN 2013 NASKAH PUBLIKASI

Truly Dian Anggraini, Ervin Awanda I Akademi Farmasi Nasional Surakarta Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK UNTUK PENYAKIT DIARE PADA PASIEN BALITA DI INSTALASI RAWAT INAP RSI SULTAN AGUNG SEMARANG TAHUN 2015 ARTIKEL.

EVALUASI POLA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN ANAK PENDERITA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RS X TAHUN NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data rekam medis pasien balita dengan penyakit ISPA atas di bangsal rawat inap RSUD Dr. Moewardi periode Januari 2013 Februari 2014. Berdasarkan penelusuran data diperoleh 129 pasien yang terdiagnosa penyakit ISPA atas, namun dalam penelusuran lebih lanjut hanya ditemukan 62 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Sebanyak 29 rekam medis pasien yang terdiagnosa ISPA atas tidak ditemukan dan 38 pasien tidak memenuhi kriteria inkulusi yaitu memiliki diagnosa utama bukan ISPA atas. A. Gambaran Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin Distribusi pasien penderita ISPA atas yang menjadi subjek penelitian sebanyak 62 orang berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini. Perempuan Laki-laki 39% 61% Gambar 2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa dari pasien balita penderita ISPA atas yang diteliti, sebanyak 61% (38 pasien) berjenis kelamin laki-laki dan 39% 28

(24 pasien) berjenis kelamin perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Handayani (2004) yang menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan terkena gangguan saluran pernafasan dibanding dengan anak perempuan. Belum diketahui alasan anak laki-laki lebih rentan terkena gangguan saluran pernafasan dibanding anak perempuan. 2. Distribusi pasien berdasarkan usia Distribusi pasien penderita ISPA atas yang menjadi subjek penelitian sebanyak 62 orang berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel III di bawah ini. Tabel III. Distribusi pasien berdasarkan usia Rentang Usia Jumlah Pasien Persentase (%) 2-<4 bulan 0 0 4-<12 bulan 7 11.3 1-<3 tahun 25 40.3 3-< 5 tahun 30 48.4 Total 62 100 Keterangan : Pembagian usia menurut Pedoman Pengendalian ISPA 2011 Pada hasil yang didapatkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan, hanya terdapat selisih 10% (5 pasien) menurut kelompok usia. Hasil ini sesuai dengan Mei (2013) yang menyatakan bahwa umur tidak berhubungan dengan frekuensi ISPA. Mikroorganisme penyebab ISPA sangat banyak jenisnya dan bisa menyerang segala usia sehingga infeksi saluran pernafasan atas dapat terjadi pada siapa saja, pada usia berapapun. Walaupun pada umumnya semakin dewasa, daya tahan tubuh sudah semakin sempurna, namun hal ini tidak berpengaruh terhadap kejadian ISPA (Mei, 2013). 3. Distribusi pasien berdasarkan lama pemberian antibiotik 29

Distribusi pasien penderita ISPA atas yang menjadi subjek penelitian sebanyak 62 orang berdasarkan lama rawat inap dapat dilihat pada Tabel IV di bawah ini. Tabel IV. Distribusi pasien berdasarkan lama pemberian antibiotik Lama Rawat Inap Jumlah Pasien Persentase (%) 1-3 hari 14 22.5 4-7 hari 46 74.19 8-10 hari 2 3.22 Total 62 100 Dari tabel IV dapat dilihat distribusi pasien berdasarkan lama pemberian antibiotik, pasien dengan lama pemberian antibiotik selama 4-7 hari memiliki persentase terbanyak yaitu 74.19. Terapi penisilin (ampisilin dan amoksisilin) pada penyakit faringitis efektif bila diberikan selama 10 hari. Terapi penisilin (ampisilin dan amoksisilin) pada penyakit faringitis efektif bila diberikan selama 10 hari. (Istiantoro, Y., 2008). Pasien yang menerima terapi antibiotik hanya sebesar 3.22%. Lama pemberian antibiotik tidak dapat di evaluasi, karena lama perawatan pasien yang kurang dari 10 hari. Lama pemberian antibiotik yang ini berhubungan dengan efek samping antibiotik yaitu jika terlalu lama dapat menyebabkan ketoksikan dan jika terlalu singkat dapat menyebabkan resistensi. 4. Distribusi pasien berdasarkan status pulang Distribusi pasien berdasarkan status pulang adalah 100% pasien pulang hidup. Tidak ada pasien yang pulang paksa maupun meninggal dunia. Karena keterbatasan data dari rekam medis status pasien yang pulang hidup tidak diketahui pasien pulang dalam keadaan sudah sehat atau masih sakit. B. Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Antibiotik 30

1. Tepat obat Persentase ketepatan obat yang digunakan 62 pasien ISPA atas dalam penelitian ini berdasarkan standar Kemenkes tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel V di bawah ini. Tabel V. Jenis antibiotik yang digunakan dalam penanganan ISPA.Jenis Antibiotik Total Penggunaan* Persentase (%)** Kesesuaian dengan Standar Ampisilin 600 76.43 sesuai Amoksisilin 125 15.9 sesuai Seftriakson 31 3.94 tidak sesuai Sefiksim 14 1.78 tidak sesuai Sefotaksim 13 1.66 tidak sesuai Gentamisin 2 0.25 sesuai Total 785 100 Keterangan: * Total penggunaan antibiotik berdasarkan jumlah antibiotik yang diperoleh perharinya selama perawatan ** Persentase dihitung dari total penggunaan dibagi 785 dikali 100% Dari Tabel V dapat diketahui bahwa penggunaan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah ampisilin sebesar 67.4 %. Berdasarkan Pedoman Pengendalian ISPA tahun 2011, ampisilin adalah first line dalam penanganan ISPA dan penggunaan gentamisin sebesar 0.36 % merupakan second line untuk rute intramuskular. Adapun penggunaan amoksisilin sebesar 25.72 % merupakan antibiotik second line dalam penanganan ISPA untuk rute oral. First line yang digunakan secara oral menurut Kemenkes adalah kotrimoksazol, namun pada penelitian tidak ditemukan pasien dengan penggunaan terapi kotrimoksazol. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan karena kotrimoksazol tidak dianjurkan untuk mengobati faringitis akut, sebagian besar jenis ISPA yang diderita oleh pasien adalah faringitis (Setiabudy, 2008). Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang 31

terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara (Depkes, 2005). Ampisilin merupakan antibiotik golongan penisilin yang bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel. Obat ini berdifusi baik di jaringan dan cairan tubuh, akan tetapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Antibiotik ini sesuai digunakan untuk pengobatan ISPA karena spektrum kerjanya yang luas (Tjay dan Rahardja, 2007). Berdasarkan analisis data ditemukan ketidaktepatan penggunaan antibiotik berdasarkan Pedoman Pengendalian ISPA Kemenkes tahun 2011, yaitu dengan digunakannya sefotaksim, seftriakson, sefiksim. Antibiotik di atas merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga, antibiotik ini memiliki spektrum aktivitas untuk bakteri Stapylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, E. coli, Klebsiella spp., Enterobacter spp, Serratia marcescens. Walaupun pada standar Kemenkes 2011 antibiotik golongan ini tidak tertera, namun antibiotik ini efektif untuk terapi ISPA karena bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus, Haemofillus, Bordetella dan Corinobakterium. (Depkes, 2005). 2. Tepat dosis a. Ketepatan penggunaan ampisilin 32

Ketepatan penggunaan ampisilin yang digunakan pada pasien ISPA atas dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel VI di bawah ini. Tabel VI. Ketepatan penggunaan ampisilin Nomor Umur / Berat Dosis dan Keterangan Sediaan Standar* pasien badan (Kg) frekuensi Dosis Durasi 1 4 tahun/ 15 Injeksi 4 x 500 mg, 4 hari 4 x 375 mg + - 2 2 tahun/ 10 Injeksi 4 x 200 mg, 3 hari 4 x 250 mg + - 3 3 tahun/ 15 Injeksi 4 x 500 mg, 4 hari 4 x 375 mg + - 5 3 tahun/ 12 Injeksi 4 x 250 mg, 5 hari 4 x 300 mg - Sesuai 6 4 tahun / 14 Injeksi 4 x 400 mg, 1 hari 4 x 350 mg + - 7 4 tahun/ 18 Injeksi 4 x 500 mg, 3 hari 4 x 450 mg + - 10 1 tahun/ 9.2 Injeksi 4 x 200 mg, 4 hari 4 x 230 mg - - 12 1 tahun/ 7 Injeksi 4 x 350 mg, 1 hari 4 x 175 mg + - 13 4 tahun/ 16.5 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 412.5 mg - - 14 4 tahun/ 10.5 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 262.5 mg - - 15 3 tahun/ 12 Injeksi 4 x 300 mg, 6 hari 4 x 300 mg Sesuai + 16 1 tahun/ 9.5 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 237.5 mg + - 17 6 bulan/ 7.2 Injeksi 4 x 150 mg, 3 hari 4 x 180 mg - - 18 2 tahun/ 8 Injeksi 3 x 300 mg, 6 hari 4 x 200 mg + + 22 3 tahun/ 12.2 Injeksi 4 x 300 mg, 2 hari 4 x 300 mg - - 23 1 tahun/ 10 Injeksi 4 x 250 mg, 3 hari 4 x 250 mg Sesuai - 24 4 tahun/ 12.4 Injeksi 4 x 300 mg, 3 hari 4 x 300 mg Sesuai - 25 4 tahun/ 15 Injeksi 4 x 350 mg, 2 hari 4 x 375 mg - - 26 3 tahun/ 13.5 Injeksi 4 x 350 mg, 2 hari 4 x 337.5 mg + - 27 3 tahun/ 15 Injeksi 4 x 370 mg, 5 hari 4 x 370 mg Sesuai Sesuai 28 2 tahun/ 10 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 250 mg Sesuai - 29 2 tahun/ 11.7 injeksi 4 x 300 mg, 2 hari 4 x 300 mg Sesuai - 30 3 tahun/ 15 injeksi 4 x 350 mg, 4 hari 4 x 375 mg - - 32 3 tahun/ 14 injeksi 4 x 350 mg, 3 hari 4 x 350 mg Sesuai - 33 1 tahun/ 11 injeksi 4 x 200 mg, 3 hari 4 x 275 mg - - 34 1 tahun/ 9.5 injeksi 4 x 250 mg, 3 hari 4 x 237.5 mg + - 35 3 tahun/ 11 injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 275 mg - - 37 9 bulan/ 7 injeksi 4 x 175 mg, 2 hari 4 x 175 mg Sesuai - 38 3 tahun/ 12 Injeksi 4 x 300 mg, 2 hari 4 x 300 mg Sesuai - 39 4 tahun/ 16 Injeksi 4 x 350 mg, 2 hari 4 x 400 mg - - 40 1 tahun/ 9.5 Injeksi 4 x 250 mg, 4 hari 4 x 237.5 mg + - Tabel VI. lanjt... 42 3 tahun/ 13 Injeksi commit 4 x 350 to mg, user 4 hari 4 x 325 mg + - 43 1 tahun/ 7 Injeksi 3 x 200 mg, 4 hari 4 x 175 mg + - 33

44 1 tahun/ 7 Injeksi 4 x 75 mg, 4 hari 4 x 175 mg - - 46 4 tahun/ 15 Injeksi 4 x 350 mg, 1 hari 4 x 375 mg - - 47 4 tahun/ 11.5 Injeksi 4 x 300 mg, 3 hari 4 x 287.5 mg + - 48 2 tahun/ 17 Injeksi 4 x 400 mg, 4 hari 4 x 425 mg - - 49 4 tahun/ 15 Injeksi 4 x 400 mg, 2 hari 4 x 375 mg + - 50 2 tahun/ 10 Injeksi 4 x 250 mg, 4 hari 4 x 250 mg - - 52 4 tahun/ 16 Injeksi 4 x 400 mg, 3 hari 4 x 400 mg - - 53 9 bulan/ 9 Injeksi 4 x 250 mg, 3 hari 4 x 225 mg + - 55 1 tahun/ 10 Injeksi 4 x 200 mg, 7 hari 4 x 250 mg - - 56 4 tahun/ 15 Injeksi 4 x 375 mg, 7 hari 4 x 112.5 mg + - 59 7 bulan/ 6.5 Injeksi 4 x 150 mg, 3 hari 4 x 162.5 mg - - 60 4 tahun/ 12 Injeksi 4 x 300 mg, 6 hari 4 x 300 mg Sesuai + 61 1 tahun/ 10 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 250 mg Sesuai - 62 1 tahun/ 10 Injeksi 4 x 250 mg, 2 hari 4 x 250 mg Sesuai - Keterangan: * Standar menurut Depkes 50 mg/ kg bb setiap 12 jam selama 5 hari +/- artinya berlebih/kurang Dari Tabel V dapat dilihat ketepatan dosis penggunaan ampisilin bahwa hanya terdapat 1 pasien yang dosis dan durasi penggunaan antibiotik sesuai dengan Pedoman Pengendalian ISPA Kemenkes 2011. Penggunaan ampisilin menurut standar Kemenkes 2011 adalah 50 mg/kg BB/12 jam selama 5 hari. Dari data dapat dilihat dari 47 pasien yang menggunakan ampisilin terdapat 36.17% dosis berlebih, 25.53% dosis sesuai dan 38.29% dosis kurang. Untuk ketepatan durasi penggunaan terdapat 6.38% durasi berlebih, 4.25% durasi sesuai dan 85.11% durasi kurang. Salah satu penyebab resistensi terhadap antibiotik adalah penggunaan yang irasional (Setiabudy, 2008). Penggunaan antibiotik yang rasional meliputi tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat indikasi, tepat durasi. Ketidak tepatan dosis dan durasi pada pemberian antibiotik pasien yang diteliti dapat menyebabkan resistensi serta efek samping pada pasien. b. Ketepatan penggunaan amoksisilin 34

Ketepatan penggunaan amoksisilin yang digunakan pada pasien ISPA atas dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel VII di bawah ini. Tabel VII. Ketepatan penggunaan amoksisilin Nomor Umur / Berat Keterangan Sediaan Dosis dan frekuensi Standar* pasien badan (Kg) Dosis Durasi 8 4 tahun/ 18.5 Oral 3 x 400 mg, 1 hari 3x 250 mg + - 9 3 tahun/ 18 Oral 3 x 500 mg, 3 hari 3 x 250 mg + Sesuai 11 5 bulan/ 15 Oral 3 x 250 mg, 3 hari 3 x 220 mg + Sesuai 14 4 tahun/ 10.5 Oral 4 x 250 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 18 2 tahun/ 8 Oral 3 x 250 mg, 1 hari 3 x 80 mg + - 19 3 tahun/ 12.5 Oral 3 x 300 mg, 2 hari 3 x 220 mg + - 22 3 tahun/ 12.2 Oral 3 x 300 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 24 4 tahun/ 12.4 Oral 3 x 500 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 25 4 tahun/ 15 Oral 3 x 250 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 26 3 tahun/ 13.5 Oral 3 x 500 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 29 2 tahun/ 11.7 Oral 3 x 500 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 34 1 tahun/ 9.5 Oral 3 x 250 mg, 1 hari 3 x 150 mg + - 38 3 tahun/ 12 Oral 3 x 250 mg, 1 hari 3 x 220 mg + - 39 4 tahun/ 16 Oral 3 x 350 mg, 2 hari 3 x 250 mg + - 40 1 tahun/ 9.5 Oral 3 x 250 mg, 2 hari 3 x 150 mg + - 44 1 tahun/ 7 Oral 3 x 175 mg, 1 hari 3 x 150 mg + - 46 4 tahun/ 15 Oral 3 x 350 mg, 2 hari 3 x 220 mg + - 51 8 bulan/ 8.3 Oral 3 x 200 mg, 4 hari 3 x 150 mg + + 52 4 tahun/ 16 oral 3 x 250 mg, 1 hari 3 x 250 mg Sesuai - 57 4 tahun/13 oral 4 x 300 mg, 2 hari 3 x 220 mg + - 58 2 tahun/11 Oral 3 x 150 mg, 8 hari 3 x 220 mg - + 59 7 bulan/ 6.5 Oral 3 x 125 mg, 1 hari 3 x 150 mg - - 62 1 tahun/ 10 Oral 3 x 250 mg, 2 hari 3 x 220 mg + - Keterangan: +/- artinya berlebih/kurang Dari Tabel VII dapat dilihat ketepatan dosis penggunaan amoksisilin bahwa tidak terdapat pasien yang dosis dan durasi penggunaan antibiotik sesuai dengan Pedoman Pengendalian ISPA Kemenkes 2011. Penggunaan amoksisilin menurut standar Kemenkes 2011 dapat dilihat pada Tabel VII. Dari data dapat dilihat dari 23 pasien yang menggunakan amoksisilin terdapat 86.95% dosis berlebih, 4.34% dosis sesuai dan commit 8.69% to dosis user kurang. Untuk ketepatan durasi 35

penggunaan terdapat 82.6% durasi berlebih, 8.69% durasi sesuai dan 8.69% durasi kurang. c. Ketepatan penggunaan sefotaksim Ketepatan penggunaan sefotaksim yang digunakan pada pasien ISPA atas dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel VIII di bawah ini. Nomor pasien Umur / Berat badan (Kg) Tabel VIII. Ketepatan penggunaan sefotaksim Sediaan Dosis dan frekuensi Standar ISO Keterangan 4 4 tahun/ 23 injeksi 2 x 500 mg, 2 50-100 hari mg/kgbb/hari Subdosis 31 2 tahun/ 12 injeksi 3 x 400 mg, 1 50-100 hari mg/kgbb/hari Sesuai 54 1 tahun/ 9.3 injeksi 2 x500 mg, 3 50-100 hari mg/kgbb/hari Dosis berlebih Dari Tabel VIII dapat dilihat distribusi penggunaan sefotaksim, pada standar Kemenkes 2011 tidak terdapat sefotaksim sebagai terapi ISPA pada balita, sehingga standar yang digunakan adalah ISO. Pada data di atas dapat dilihat bahwa terapi pada pasien nomor 4 sub dosis atau dosis kurang, hal ini dapat mengakibatkan ketidak efektifan pada pengobatan pasien. Sedangkan pada pasien nomor 31 sudah sesuai dengan standar. d. Ketepatan penggunaan seftriakson Ketepatan penggunaan seftriakson yang digunakan pada pasien ISPA atas dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel IX di bawah ini. Tabel IX. Ketepatan penggunaan seftriakson 36

Nomor pasien Umur / Berat badan (Kg) Sediaan 20 1 tahun/ 9 injeksi 21 1 tahun/ 9 injeksi 45 2 tahun/ 11.5 injeksi Dosis dan frekuensi 2 x 500 mg, 3 hari 3 x 250 mg, 5 hari 2 x 500 mg, 5 hari Standar ISO 20-80 mg/kg BB/ hari 20-80 mg/kg BB/ hari 20-80 mg/kg BB/ hari Keterangan Dosis berlebih Sesuai Dosis berlebih Dari Tabel VIII dapat dilihat distribusi penggunaan seftriakson, pada standar Kemenkes 2011 tidak terdapat seftriakson sebagai terapi ISPA pada balita, sehingga standar yang digunakan adalah ISO. Pada pasien dengan pemberian seftriakson terdapat 2 pasien yang diberi terapi antibiotik dengan dosis berlebih yaitu pasien nomor 20 dan 45. e. Ketepatan penggunaan sefiksim Ketepatan penggunaan sefiksim yang digunakan pada pasien ISPA atas dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel X di bawah ini. Nomor pasien Umur / Berat badan (Kg) Tabel X. Ketepatan penggunaan sefiksim Sediaan 36 5 bulan/ 9.1 injeksi 41 2 tahun/ 11.5 injeksi Dosis dan frekuensi 2 x 435 mg, 5 hari 2 x 300 mg, 2 hari Standar ISO 2 x 6 mg/kg BB/hari 2 x 6 mg/kg BB/hari Keterangan Dosis berlebih Dosis berlebih Dari Tabel X dapat dilihat distribusi penggunaan sefiksim, pada standar Kemenkes 2011 tidak terdapat sefiksim yang berisi sefiksim sebagai terapi ISPA pada balita, sehingga standar yang digunakan adalah ISO. Pada pemberian terapi 37

sefiksim dapat dilihat terdapat pemberian antibiotik dengan dosis berlebih, hal ini tentu dapat meningkatkan resiko toksik dan resistensi terhadap antibiotik ini. f. Ketepatan penggunaan gentamisin Pasien nomor 56 berumur 4 tahun dengan berat badan 15 kg diberikan gentamisin sediaan injeksi dengan dosis 1x 90 mg selama 2 hari. Jika di sesuaikan dengan standar Kemenkes 2011 yaitu seharusnya 1 x 112.5 mg maka dosis yang diberikan kepada pasien kurang. Penggunaan gentamisin menurut standar Kemenkes 2011 adalah 7.5 mg/kg BB/24 jam. Pasien nomor 56 menerima terapi kombinasi antibiotik antara gentamisin dan ampisilin. Gentamisin yang dikombinasikan dengan penisilin atau vancomisin menghasilkan efek bakterisid yang kuat, yang sebagian disebabkan oleh peningkatan ambilan obat yang timbul karena penghambatan sintesis dinding sel. Penisilin mengubah struktur dinding sel sehingga memudahkan penetrasi gentamisin kedalam kuman (Katzung, 2001). Dari data yang diperoleh diketahui pola penggunaan antibiotik ISPA atas pada balita di RSUD Dr. Moewardi selama Januari 2013- Februari 2014 yaitu, ampisilin sebanyak 76.43%, amoksisilin sebanyak 15.9%, seftriakson sebanyak 3.94%, sefiksim sebanyak 1.78%, sefotaksim sebanyak 1.66% dan gentamisin sebanyak 0.25%. Ketepatan penggunaan antibiotik bila dibandingan dengan Kemenkes 2011 adalah sebanyak 92.23% dan ketepatan dosis dan durasi hanya terdapat 1 pasien yang sesuai dengan standar. 38

C. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain: 1. Tidak tersedianya data hasil laboratorium pasien sehingga peneliti tidak dapat mengetahui ketepatan pemberian antibiotik dengan infeksi yang diderita pasien. 2. Peneliti hanya mengevaluasi berdasarkan literatur yang ada dan tidak mengetahui kondisi pasien yang sesungguhnya. Padahal kondisi pasien merupakan alasan pertimbangan pemberian terapi oleh dokter. 39