Sri Damayanti 1, Zahrul Fuadi 2

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Indonesia saat ini berada pada ranking kelima negara

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia maupun di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis complex (Depkes RI, 2008). Tingginya angka

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

BAB I PENDAHULUAN. prevalensinya paling tinggi di dunia. Berdasarkan laporan World Health

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

BAB 1 PENDAHULUAN. TB sudah dilakukan dengan menggunakan strategi DOTS (Directly Observed

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus baru

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang muncul dilingkungan masyarakat. Menanggapi hal itu, maka perawat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting (Widoyono, 2011).

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor risiko..., Helda Suarni, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis faktor-faktor..., Kartika, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya kuman penyebab tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

Endang Basuki dan Trevino Pakasi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki, perempuan, tua, muda, miskin, kaya, dan sebagainya) (Misnadiarly,

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium Tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk batang (basil) tahan asam

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

BAB I PENDAHULUAN. mencanangkan TB sebagai kegawatan dunia (Global Emergency), terutama

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB dapat disembuhkan dengan pengobatan

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

BAB I PENDAHULUAN. menjangkit jutaan orang tiap tahun dan menjadi salah satu penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan


BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan

BAB 1 PENDAHULUAN. karena penularannya mudah dan cepat, juga membutuhkan waktu yang lama

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau sering disebut dengan istilah TBC merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menyerang paru dan dapat juga menyerang organ tubuh lain (Laban, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit TB paru di Indonesia masih menjadi salah satu penyakit yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan dalam masyarakat (Depkes RI, 2009). pembangunan berkelanjutan yang diberi nama Sustainable Development Goals

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. tanah lembab dan tidak adanya sinar matahari (Corwin, 2009).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. infeksi di seluruh dunia setelah HIV. Pada tahun 2014, WHO melaporkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh (Mycobacterium tuberculosis). Penyakit ini juga dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

Transkripsi:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM KEPATUHAN BEROBAT PADA PASIEN TUBERKULOSIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN SIMEULUE Sri Damayanti 1, Zahrul Fuadi 2 Latar Belakang : Data dari Dinas Kesehatan Simeulue, jumlah penderita TB mendapat OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Simeulue, pada tahun 2010 sebanyak 33 orang, tahun 2011 ada 67 orang, dan tahun 2012 ada 74 orang. bahwa sebagian besar (>50%) penderita TB paru belum mengetahui faktor penyebab penyakitnya, upaya pencegahan dan prinsip pengobatan TB paru. Berdasarkan keterangan dari penderita TB paru, sebanyak 8 orang mengatakan tidak rutin berobat oleh karena malas untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui hubungan komunikasi terapeutik (sikap p erawat, teknik komunikasi) dengan kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian explanatory survey dengan rancangan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah semua penderita TB paru BTA (+) sebanyak 84 orang, sampel menggunakan tehnik total sampling. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2015. Analisa data menggunakan SPSS for Windows versi 16. Hasil Penelitian : Ada hubungan Ada hubungan antara sikap dengan Kepatuhan berobat pada pasien Tuberkulosis di RSUD Kabupaten Simeulue dengan nilai P Value = 0,036 dan Ada hubungan antara tehnik komunikasi dengan Kepatuhan berobat pada pasien Tuberkulosis di RSUD Kabupaten Simeulue dengan nilai P Value = 0,026. Kesimpulan : ada hubungan antara sikap dan tehnik komunikasi dengan Kepatuhan berobat pada pasien Tuberkulosis di RSUD Kabupaten Simeulue. Perawat agar lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi sehingga dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat bagi pasien dalam mendukung kesembuhan dan meningkatkan kesehatan pasien khususnya pasien Tuberkulosis Kata Kunci : Sikap, Teknik Komunikasi, Kepatuhan Berobat PENDAHULUAN Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1993 World Health Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh penyakit infeksi (Depkes RI, 2002). Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Menurut data WHO tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat ke-3

penyumbang kasus TB terbesar di dunia setelah India dan China. Pada Tahun 2013 Indonesia menepati urutan ke-4 untuk kasus TB setelah China, India dan Afrika Selatan. Meskipun prevalensinya menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TB) di Indonesia masih terbilang tinggi (Depkes RI, 2013). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan ratarata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (costefective). Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes RI, 2007). Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan terjadi penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Sulianti, 2007). Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah

prevalensi TB menurun menjadi 222 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015. Berdasarkan Global Report tahun 2013, Prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per 100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus. Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015. Namun demikian tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di duniatb masih menjadi tantangan dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). TB paru merupakan communicable disease, dimana kepatuhan yang rendah terhadap obat yang diberikan dokter dapat meningkatkan risiko morbiditas, mortalitas dan resistensi obat baik pada pasien maupun pada masyarakat luas. Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak diikuti dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obatnya (Asti, 2006). Riskesdas tahun 2010 melaporkan bahwa cakupan OAT nasional adalah sebesar 83,2%. Dari 94,6% penderita yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan dan mengambil OAT, terdapat 21,9 % penderita yang tidak patuh, 59,0% mendapat obat selesai > 6 bulan, 19,3% tidak lengkap < 5 bulan, dan 2,6% tidak berobat. Jumlah TB baru BTA positif di Provinsi Aceh tahun 2012 berjumlah 4.028 dengan CDR 53.3/100.000 penduduk. Angka Kesembuhan Penderita TB Paru yang di obati 3.602 dan yang sembuh 3213 (89.20%), dan yang mendapat pengobatan lengkap berjumlah 182 (5.05). Untuk Angka kesuksesan (Success Rate/SR) sudah mencapai 94.25%. Angka ini dapat secara langsung dipantau serta akurat dalam kontrol pasien yang diobati melalui DOTS. Pengawasan yang efektif melalui penemuan dan penanganan kasus infeksi akan membatasi risiko penyebarannya. Data dari Dinas Kesehatan Simeulue, jumlah penderita TB mendapat OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Simeulue, pada tahun 2010 sebanyak 33 orang, tahun 2011 ada 67 orang, dan tahun 2012 ada 74 orang. Jumlah penderita TB BTA (+) yang menjalani pengobatan dengan OAT dalam masa 3 tahun tersebut berjumlah 174 orang. Bila setiap keluarga di Simeulue rata-rata memiliki 3 orang anak maka ada 522 anak berisiko terinfeksi TB dalam masa 3 tahun tersebut. Peningkatan jumlah penderita TB mengindikasikan potensi masalah penyakit TB di masyarakat Simeulue cukup tinggi. Sementara pengetahuan masyarakat terhadap TB dan penularannya ternyata sangat rendah. Kinerja tenaga kesehatan di Simeulue rendah, cakupan dan data imunisasi BCG tidak terlaksana dan terdata dengan baik. Program TB yang direkomendasikan Depkes, tidak mempunyai sistim pencatatan dan pelaporan yang baik dan benar

sehingga penemuan penderita TB baru sangat rendah dan penderita TB yang putus berobat tinggi. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti melalui pengamatan dan wawancara terhadap 15 orang penderita TB paru yang berobat ke poli penyakit dalam RSUD Simeulue, bahwa sebagian besar (>50%) penderita TB paru belum mengetahui faktor penyebab penyakitnya, upaya pencegahan dan prinsip pengobatan TB paru. Berdasarkan keterangan dari penderita TB paru, sebanyak 8 orang mengatakan tidak rutin berobat oleh karena malas untuk melakukan kontrol ke rumah sakit. Hal ini disebabkan karena jarak antara tempat tinggal dengan rumah sakit yang cukup jauh sehingga memerlukan biaya yang cukup besar untuk biaya transportasi. Selain alasan tersebut, penderita TB paru juga mengatakan bosan mengkonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama, kurang merasakan efek kesembuhan, sehingga merasa pesimis dan ragu akan kesembuhan penyakitnya. Dan sebanyak 7 orang tidak pernah mendapat penjelasan dari petugas kesehatan tentang kondisi penyakitnya. Beberapa penderita pernah menanyakan kondisi kesehatannya kepada petugas kesehatan, tetapi jawaban dari petugas kesehatan dianggap kurang memuaskan, dan cenderung kurang menanggapi keluhan penderita. Bertitik tolak dari masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk meneliti Faktor-faktor yang berhubungan Komunikasi Teraupetik dalam kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue tahun 2015. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan adalah Apakah ada Faktor-faktor yang berhubungan Komunikasi Teraupetik dalam kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue tahun 2015. Tujuan Penelitian Tujuan Umum Untuk mengetahui Faktorfaktor yang berhubungan Komunikasi Teraupetik dalam kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue tahun 2015. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan antara sikap perawat dengan kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue tahun 2015. 2. Untuk mengetahui hubungan antara tehnik komunikasi dengan kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue tahun 2015. HASIL PENELITIAN a. Sikap Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Sikap responden di RSUD Kabupaten Simeulue N o Sikap Frekue % nsi 1. Baik 58 69 2. Tidak 26 31 baik Jumlah 84 10 0

Dari tabel 4.1 diatas diketahui bahwa dari 84 responden yang diteliti sekitar 69% (58 orang) mempunyai sikap yang baik. b. Teknik Komunikasi Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Teknik Komunikasi responden di RSUD Kabupaten Simeulue N Teknik Frekue % o Komunikasi nsi 1. Baik 56 66, 7 2. Tidak baik 28 33, 3 Jumlah 84 10 0 Dari tabel 4.2 diatas diketahui bahwa dari 84 responden yang diteliti sekitar 66,7 % (56 orang) mempunyai tehnik komunikasi yang baik dalam berobat ke RSUD Simeulue. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Berobat responden di RSUD Kabupaten Simeulue N o Kepatuhan Frekue % Berobat nsi 1. Patuh 57 67, 9 2. Tidak patuh 27 32, 1 Jumlah 84 10 0 Dari tabel 4.3 diatas diketahui bahwa dari 84 responden yang diteliti sekitar 67,9 % (57 orang) patuh dalam berobat tuberculosis ke RSUD Simeulue. Hubungan Sikap Responden dengan Kepatuhan Berobat Pada Pasien Tuberkulosis Di RSUD Simeulue c. Kepatuhan Berobat Tabel 4.4 Hubungan Sikap Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Di RSUD Kabupaten Simeulue Kepatuhan Berobat No Sikap Total Patuh % Tdk % Patuh 1 Baik 44 75,9 14 24,1 58 2 Tidak baik 13 50 13 50 26 Jumlah 57 27 Berdasarkan tabel 4.4 dapat dilihat bahwa dari 58 responden yang mempunyai sikap baik, 44 orang (75,9%) patuh dalam berobat P.Value 0,036 tuberculosis ke RSUD. Sedangkan dari 26 responden yang mempunyai sikap tidak baik, hanya 13 orang (50 %) yang patuh dalam berobat tuberculosis ke RSUD.

Dan dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p < 0,05 Hubungan Teknik Komunikasi yaitu 0,036, yang berarti dapat Responden dengan Kepatuhan disimpulkan bahwa ada hubungan Berobat Pada Pasien Tuberkulosis antara sikap dengan Kepatuhan Di RSUD Simeulue berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Kabupaten Simeulue. Tabel 4.5 Hubungan Teknik Komunikasi Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Di RSUD Kabupaten Simeulue No Kepatuhan Berobat Tehnik Komunikasi Patuh % Tdk % Patuh Total P.Value 1 Baik 33 58,9 23 41,1 56 2 Tidak baik 24 85,7 4 14,3 28 0,026 Jumlah 57 27 Berdasarkan tabel 4.5 dapat dilihat bahwa dari 56 responden yang mempunyai tehnik komunikasi yang baik, 33 orang (58,9 %) patuh dalam yaitu 0,036, yang berarti dapat berobat tuberculosis ke RSUD. Sedangkan dari 28 responden yang mempunyai tehnik komunikasi tidak baik, sebanyak 24 orang (85,7 %) patuh dalam berobat tuberculosis ke RSUD. Dan dari hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p < 0,05 yaitu 0,026, yang berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tehnik komunikasi dengan Kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Simeulue. Kabupaten PEMBAHASAN 4.3.1. Hubungan Sikap Responden dengan Kepatuhan Berobat Pada Pasien Tuberkulosis Di RSUD Simeulue Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa dari hasil uji statistik Chi- Square didapatkan nilai p < 0,05 disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan Kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Kabupaten Simeulue. Sikap perawat adalah bagian dari komunikasi terapeutik. Menurut Nurjannah (2001), perawat tidak boleh terlihat bingung, sebaliknya pasien harus merasa bahwa dia merupakan fokus utama perawat selama interaksi. Agar perawat dapat berperan aktif dan terapeutik, perawat harus menganalisa dirinya yang meliputi kesadaran diri, klarifikasi nilai, perasaan dan mampu menjadi model yang bertanggung jawab. Seluruh perilaku dan pesan yang disampaikan perawat hendaknya bertujuan terapeutik untuk pasien. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2006), dari hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa ada hubungan antara sikap perawat dengan kepatuhan berobat penderita TB paru, dimana nilai p = 0,000, dan

setelah dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik, menunjukkan ada pengaruh sikap perawat terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru dimana nilai p = 0,025. Sejalan dengan pendapat Nurjannah (2001) bahwa pada waktu berkomunikasi dengan klien, perawat tidak cukup hanya mengetahui teknik komunikasi, tetapi yang penting adalah sikap atau penampilan dalam berkomunikasi. Dalam melaksanakan tugas setiap harinya seorang perawat sering berhadapan dengan pasien yang memiliki bermacam-macam sifat dan tabiat. Namun dengan sikapnya yang tulus seorang perawat dapat membantu meringankan beban pasien tanpa membedakan antara pasien yang satu dengan pasien yang lainnya. Perawat perlu menyadari diri sendiri termasuk sikap dan caranya berkomunikasi sebelum menggunakan dirinya secara terapeutik untuk membantu kerjasama dengan klien dalam memecahkan dan mengatasi masalah kesehatan klien. Untuk mewujudkan terlaksananya komunikasi terapeutik secara efektif diperlukan adanya kemauan dan kesadaran diri yang tinggi dari perawat. Perawat harus mampu menciptakan kondisi yang dapat menimbulkan adanya rasa percaya klien terhadap perawat, klien merasa diperhatikan: diterima, merasa aman, nyaman, merasa diikutsertakan dalam setiap tindakan yang akan dilakukan untuknya, pelayanan yang diberikan perawat dirasakan tulus, tidak dengan paksaan, informasi yang dibutuhkan klien harus jelas, klien merasa perawat dapat membantu mengurangi hal-hal yang mengganggu pikirannya dalam menghadapi penyakitnya dan tanpa memandang siapa klien tersebut sehingga klien merasa puas (Purba, 2003). Menurut asumsi peneliti sikap pasien dan petugas sangat mempengaruhi kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis karena sembuh tidaknya penderita Tuberkulosis dipengaruhi oleh sikap dari dirinya sendiri dan sikap petugas kesehatan yang ada di Rumah Sakit. Sehingga dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa penderita Tuberkulosis akan patuh berobat apabila sikap perawat baik dan adanya kesadaran dari diri sendiri, maka tingkat kepatuhan penderita TB paru akan semakin baik. 4.3.2. Hubungan Tehnik Komunikasi Responden dengan Kepatuhan Berobat Pada Pasien Tuberkulosis Di RSUD Simeulue Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa dari hasil uji statistik Chi- Square didapatkan nilai p < 0,05 yaitu 0,026, yang berarti dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara tehnik komunikasi dengan Kepatuhan berobat pada pasien tuberculosis di RSUD Kabupaten Simeulue. Tujuan dalam teknik komunikasi adalah dalam rangka memperoleh hasil atau efek yang sebesar-besarnya, sifatnya tahan lama bahkan kalau mungkin bersifat abadi. Jika suatu komunikasi berhasil mengubah perilaku kepercayaan dan sikap seseorang, maka perubahan tersebut diharapkan dapat benar-

benar langgeng atau dapat tahan lama (Widjaja, 2000). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2006), dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 37 responden yang menyatakan teknik komunikasi perawat baik, sebanyak 32 orang (86,5%) patuh berobat dan sebanyak 5 orang (13,5%) tidak patuh berobat. Kemudian, dari 16 responden yang menyatakan teknik komunikasi perawat kurang baik, sebanyak 8 responden 50,0%) patuh berobat dan 8 responden (50,0%) tidak patuh berobat. Menurut Skinner yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), proses dalam penyampaian informasi sampai dapat dipahami oleh seseorang tergantung pada kemahiran intelektualnya. Untuk menangkap rangsangan atau stimulus dari orang lain sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari orang yang bersangkutan. Faktor karakteristik seseorang digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena adanya ciriciri individu yang berbeda-beda. Oleh sebab itu dalam memberikan informasi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan kondisi penerima informasi dan teknik penyampaian informasi itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Ley dan Spelman dalam Niven (2002) yang menyatakan bahwa tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah pesan tentang intstruksi yang diberikan kepadanya. Ley dan Spelman menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Sedangkan menurut Sarwono (2007), hal -hal yang dapat menghambat komunikasi antara petugas kesehatan dengan pasien adalah penggunaan simbol (istilah-istilah medis atau ilmiah yang diartikan secara berbeda atau sama sekali tidak dimengerti oleh pasien); dan pseudo komunikasi (tetap berkomunikasi dengan lancar padahal sebenarnya pasien tidak sepenuhnya mengerti atau mempunyai persepsi yang berbeda tentang apa yang dibicarakan). Seringkali petugas kesehatan memberikan terlalu banyak informasi dan berbicara dengan gaya paternalistik dan merendahkan pasien, terutama jika si pasien berasal dari tingkat sosial/pendidikan yang rendah. Hal-hal ini dapat menimbulkan kerancuan dalam proses komunikasi sehingga pesan yang disampaikan oleh kedua belah pihak tidak dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Dari hasil penelitian peneliti berasumsi bahwa teknik dan media informasi digunakan dalam penyampaian informasi serta merta akan meningkatkan pemahaman penderita Tuberkulosis tentang penyakit dan prosedur pengobatannya sehingga patuh berobat, hal ini kemungkinan disebabkan karena teknik atau metode yang digunakan oleh perawat bervariasi sehingga cukup menarik perhatian, juga mungkin perawat tidak terlalu mendominasi selama pembicaraan berlangsung sehingga pasien cukup mendapat kesempatan untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya. Selain itu, informasi yang disampaikan perawat melalui

media cukup jelas sehingga pasien tidak mengalami salah tafsir terhadap informasi yang tertera pada media. Hal ini menunjukkan bahwa teknik komunikasi yang dilakukan oleh perawat cukup efektif dalam memberikan pemahaman kepada penderita Tuberkulosis sehingga penderita Tuberkulosis patuh berobat. Kesimpulan 1. Ada hubungan antara sikap dengan Kepatuhan berobat pada pasien Tuberkulosis di RSUD Kabupaten Simeulue tahun 2015 dengan nilai P Value = 0,036. 2. Ada hubungan antara tehnik komunikasi dengan Kepatuhan berobat pada pasien Tuberkulosis di RSUD Kabupaten Simeulue tahun 2015 dengan nilai P Value = 0,026. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, peneliti mengemukakan beberapa saran antara lain: 1. Perawat agar lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi sehingga dapat memberikan pelayanan informasi yang bermanfaat bagi pasien dalam mendukung kesembuhan dan meningkatkan kesehatan pasien khususnya pasien Tuberkulosis. Sikap perawat hendaknya tulus melayani pasien. Isi informasi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan pasien dalam memahami pesan. Teknik komunikasi perawat hendaknya lebih bervariasi dan menggunakan media informasi yang menarik perhatian pasien. 2. Manajemen RSUD Simeulue hendaknya menerapkan strategi DOTS dalam penanggulangan penyakit Tuberkulosis dan menjalankan program penyuluhan kesehatan masyarakat di rumah sakit. Kegiatan penyuluhan kesehatan harus terus dilakukan secara berkesinambungan dan intensif dan harus lebih difokuskan pada penderita Tuberkulosis yang belum atau sementara berobat agar dapat dilakukan tindak lanjut pengobatannya. 3. Pada penelitian lebih lanjut diharapkan agar penelitian seperti ini dapat diteliti lagi dengan tempat penelitian yang lebih luas dan jumlah sampel yang lebih banyak serta menggunakan jenis penelitian yang berbeda.