A. Usahatani Padi Sawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Shinta (2011:1), bahwa ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya secara efesien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil maksimal. Sumberdaya itu adalah lahan, tenaga kerja, modal dan manejemen. Dilanjutkan oleh Abdulrachman et al., (2012:16), bahwa dalam pelaku usahatani padi yaitu petani padi sawah yang langsung menangani dan melakukan pekarjaan budidaya padi. Bagi petani pemilik lahan sawah yang bertindak sebagai menejer dan tidak secara langsung mengelolah pekerjaan budidaya padi. Ditambahkan oleh Rahim dan Hastuti (2007:158), bahwa usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelolah input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien dan untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usahataninya meningkat. Usahatani adalah suatu organisasi produksi dimana petani sebagai usahawan yang mengorganisir lahan atau tanah, tenaga kerja dan modal yang ditunjukan pada produksi dalam lapangan pertanian, bisa berdasarkan pada pencaharian pendapatan maupun tidak. Sebagai usahawan dimana petani berhadapan dengan berbagai permasalahan yang segera diputuskan. Salah satu permasalahan tersebut adalah apa yang harus ditanam petani agar nantinya usaha yang dilakukan tersebut dapat memberikan hasil yang menguntungkan, dengan kata lain hasil tersebut sesuai dengan yang diharapkan ( Shinta, 2011:75). Ditambahkan oleh Soekartawi et al., (2011:81), mengatakan bahwa apabila penghasilan baersih usahatani ditambah pendapatan rumah tangga yang berasal dari luar usahatani, seperti upah dalam bentuk uang atau benda, maka diperoleh penghasilan keluarga (family earnings). Menurut Sumarto et al., (2007) dalam Abdulrachman et al., (2012:4), dari hasil penelitiannya bahwa teknis budidaya padi sawah ternyata sangat beragam dari segi 1
prosedur tata urut pekerjaan. Ditambahkan oleh Shinta (2011:161), bahwa pemilihan cabang usahatani perlu dipertimbangkan berdasarkan sumbangan yang di harapkan (pendapatan bersih) harus lebih besar dari biaya yang diluangkan. Suatu cabang usaha dipertimbangkan dalam perencanaan usahatani selama sumbangan yang diharapkan terhadap pendapatan bersih usahatani melebihi biaya yang diluangkan sumberdaya yang mereka gunakan. Ilmu usahatani pada dasarnya memperhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, waktu, pengelolaan) yang terbatas untuk mencapai tujuannya, maka disiplin induknya ialah ilmu ekonomi (Soekartawi et al., 2011:9). Dilanjutkan oleh Rahim dan Hastuti (2007:161), bahwa dalam pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal. B. Pendapatan Usahatani Menurut Rahim dan Hastuti (2007:166), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain pendapatan meliputi pendapatan kotor dan pendapatan bersih. Pendapatan kotor/penerimaan total adalah nilai produksi komoditas pertanian secara keseluruhan sebelum dikurangi biaya produksi. Ditambahkan oleh Soekartawi (2006:57), bahwa pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Dilanjutkan oleh Shinta (2011:176), pengetahuan tentang hubungan antara resiko dengan pendapatan merupakan bagian yang penting dalam pengelolaan usahatani. Pendapatan petani akan berbeda apabila lingkungan petani berbeda. Pendapatan petani yang didataran rendah yang umumnya menanam padi tidak sama dengan pedapatan petani yang di dataran tinggi yang umumnya menanam palawija sebagai sumber utama pendapatan (Soekartawi et a., 2011:7). Ditambahkan oleh Rahim dan Hastuti (2007:170), bahwa sumber pendapatan masyarakat petani berasal dari berbagai kegiatan yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi industri, 2
pengrajin, dan jasa angkutan. Menurut Soekartawi et al., (2011:78), pendapatan kotor usahatani (gross farm incame) adalah didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Ditambahkan Rahim dan Hastuti (2007:172), bahwa hasil pendapatan yang dikeluarkan/dikonsumsi untuk rumah tangga petani biasanya untuk usaha pertanian atau usahatani. Besar pengeluaran rumah tangga petani untuk dikonsumsi dipengaruhi besar pendapatan. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman, yang diinvestasikan kedalam usahatani (Soekartawi et al., 2011:80). Ditambahkan oleh Rahim dan Hastuti (2007:173), pendapatan rumah tangga petani rendah yang ditunjukan untuk pengeluaran, baik pangan maupun non pangan harus senantiasa dipenuhi untuk mendorong penduduk dalam bertahan hidup dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada di lingkungan sekitar. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang dihasilkan dengan harga jual (Shinta, 2011:83). Ditambahkan oleh Rahim dan Hastuti (2007:165), bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Dilanjutkan oleh Soekartawi (2006:54), bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Menurut Soekartawi (2006:56), biaya usahatani dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit, misalnya pajak (tax). Sedangkan biaya tidak tetap yaitu merupakan biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh, misalnya biaya untuk saprodi atau sarana produksi komoditas pertanian. Ditambahkan oleh Rahim Dan Hastuti (2012:162), bahwa rumus yang dapat 3
digunakan untuk menghitung biaya total. Total biaya atau total cost (TC) adalah jumlah biaya dari biaya tetap atau fixed cost (FC) dan biaya tidak tetap atau variable cost (VC). C. Sistem Tanam Legowo Menurut Abdulracrahman et al., (2012:4), sistem tanam legowo adalah pola bertanam yang berselang-seling antara dua atau lebih (biasanya dua atau empat ) baris tanaman padi dan satu baris kosong. Istilah legowo diambil dari bahasa Jawa, yaitu berasal dari kata lego berarti luas dowo berarti memanjang. Ditambahkan oleh Suriaperman et al., (1990) dalam Lalla et al., (2012:256), mengatakan bahwa sistem tanam legowo merupakan rekayasa teknologi yang ditunjukan untuk memperbaiki produktivitas usahatani padi. Teknologi ini merupakan perubahan dari teknologi jarak tanam tegal menjadi tanaman jajar legowo. Diantara kelompok barisan tanaman terdapat lorong yang luas dan memanjang sepanjang barisan. Sistem tanam legowo 2:1 akan menghasilkan jumlah populasi tanaman per/ha sebanyak 213.300 rumpun/ha, serta akan meningkatkan populasi 33.31%. Dengan pola tanam ini, seluruh barisan tanaman akan mendapatkan tanaman sisipan. Sedangkan legowo 4:1 merupakan pola tanam legowo dengan keseluruhan baris mendapat tanam sisipan. Populasi tanaman mencapai 256.000 rumpun/ha dengan peningkatan populasi sebesar 60% (Abdulracrahman et al., 2012:16). Ditambahkan oleh Azwir (2008:104), bahwa perbandingan jumlah populasi tanaman antara sistem tanam legowo 2:1 dengan legowo 4:1. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Jumlah Populasi Antara Legowo 2:1 dan Legowo 4:1. Sistem Tanam Jumlah Populasi Tambah Populasi Taman Persentase (rumpun ha -1 ) (rumpun ha -1 ) Legowo 2:1 333.250 83.250 33% Legowo 4:1 300.00 50.000 20% Sumber : Azwir (2008) Berdasarkan hasil penelitian Azwir (2008) menujunkan bahwa jumlah populasi 4
untuk legowo 2:1 berjumlah 333.250/rumpun sedangkan jumlah populasi untuk legowo 4:1 berjumlah 300.000/rumpun. Hubungan antara faktor internal petani dengan tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2:1 menujukan hubungan yang tidak nyata pada beberapa variabel. Hal ini dikarenakan kegiatan usahatani dilakukan secara turun temurun sehingga petani cenderung untuk melakukan kegiatannya berdasarkan pengalamannya sehingga sulit untuk mengadopsi teknologi baru (Lalla et al., (2012:261). Ditambahkan oleh Abdulrachman (2012:5), mengatakan bahwa pada penerapannya perlu diperhatikan tingkat kesuburan tanah pada areal tanam. Jika tergolong subur, maka disarankan untuk menerapkan pola tanaman sisipan hanya pada baris pinggir kiri dan kanan (legowo 4:1 tipe 1). Sedangkan, pada areal yang kurang subur semua barisan disisipkan tanaman (legowo 4:1 tipe 2). Menurut Syamsiah et al., (2004) dalam Azwir (2008:102), bahwa sistem tanam legowo adalah salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi sawah dengan jalan menata populasi tanaman menjadi lebih tinggi 20-25 % dibandingkan dengan sistem tanam biasa. Jika sistem tanam biasa yang dilakukan petani jarak tanam 20x20 cm atau 25x25 cm dengan jumlah populasi tanam per ha hanya 200.000-250.000. Sedangkan dengan sistem tanam legowo 2:1 jumlah populasi tanam per ha mencapai 333.250 rumpun, legowo 4:1 sebanyak 300.000 rumpun dan legowo 6:1 menjadi 285.000 rumpun/ha. Ditambahkan oleh Abdulrachman et al., (2012:5), mengatakan bahwa sistem tanam legowo kemudian berkembang untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem tanam tegal melalui penambahan populasi. Selain itu, dapat mempermudah pada saat pengendalian hama, penyakit, gulma, dan juga pemupukan. Hubungan yang nyata antara tingkat adopsi teknologi legowo 2:1 terhadap peningkatan produksi usahatani karena dengan sistem tanam ini tanaman padi mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan sinar matahari, karena semua tanaman berada dipinggir. Hama tanaman, utamanya tikus berkurang karena 5
kondisi lahan yang relatif terbuka (Lalla et al., 2012:263). Dilanjutkan oleh Sembiring (2012), dalam Abdulracrahman et al., (2012:16), mengatakan bahwa sistem tanam legowo merupakan Pengelolaan Tanaman Terpadu ( PTT) pada padi sawah yang apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut: 1. Terdapat ruang terbuka yang lebih lebar diantara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk kesetiap rumpun tanaman padi, sehingga meningkatkan aktivitas fotosintesis yang berdampak pada peningkatan produktivitas tanaman. 2. Sistem tanaman berbaris ini memberi kemudahan petani dalam pengelolaan usahataninya seperti pemupukan susulan, penyiangan, pelaksaan pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan). Disamping itu juga lebih mudah dalam mengendalikan hama tikus. 3. Meningkatkan jumlah tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap sistem legowo, sehingga berpeluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman akibat peningkatkan populasi. 4. Sistem tanam berbasis ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi - ikan (mina padi) atau parlebek (kombinasi padi, ikan, dan bebek). 5. Meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%. D. Penelitian Terdahulu Suparwoto (2010), melakukan penelitiannya di Desa Sungai Dua, Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan. Judul Penelitian Penerapan Sistem Tanam Legowo Pada Usaha Tani Padi Untuk Meningkatkan Produksi dan Pendapatan Petani. Tujuan penelitian untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas padi melalui terobosan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi usahatani padi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu secara eksperimen dengan salah satu alternatif teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi adalah penerapan sistem tanam legowo. 6
Hasil penelitian ini menujukan bahwa padi dengan sistem tanam legowo memberikan beberapa keuntungan diantaranya: peningkatan produksi secara nyata sebesar 25,7-26,9% dan pendapatan sebesar Rp. 1.480.000 Rp. 2.121.500/Ha dibandingkan dengan sistem tanam tegel biasa di lahan rawa lebak dan lahan sawah irigasi. Teknologi ini secara ekonomi cukup menguntungkan yang diindikasikan oleh nilai B/C ratio lebih besar dari satu dan layak untuk disebarluaskan. Supriyanto (2007), telah melakukan penelitian di Desa Pejangkaran Kecamatan Batang Kabupaten Batang, dengan judul Pengaruh Sistem Tanam Legowo dan Konsentrasi Pupuk Pelengkap Cair Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh sistem tanam legowo dan konsentrasi pupuk pelengkap cair terhadap pertumbuhan dan produksi padi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan rancangan percobaan yang digunakan adalah Split Plot Design. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tanam legowo berpengaruh nyata terhadap jumlah malai per rumpun, bobot gabah kering per petak dan berpengaruh sangat nyata terhadap panjang malai. Konsentrasi pupuk pelengkap cair berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, bobot gabah kering per petak, bobot 1000 butir gabah, panjang malai, jumlah gabah hampa per rumpun, bobot gabah kering per rumpun. Azwir (2006), telah melakukan penelitian dilahan sawah dataran tinggi di Koto Gaek, Solok Sumatera Barat, Judul Penelitian Pengaruh Sistem Tanam Legowo dan Konsentrasi Pupuk Pelengkap Cair Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi. Tujuan penelitian adalah melihat peningkatkan pertumbuhan dan hasil padi sawah dataran tinggi dengan cara penataan populasi tanaman dan pemberian pupuk fosfat (P) dengan teknologi P-stater yang lebih efektif dan efisien. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dengan melihat hasil padi sawah dataran tinggi dengan cara penataan populasi tanaman dan pemberian pupuk fosfat (P) dengan teknologi P-stater. Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam teknologi shafter disamping meningkatkan populasi tanam padi per satuan luas, juga dapat mengurangi 7
penggunaan pupuk fospat (P) sebanyak 80% yaitu dari 100 kg menjadi 20 kg Sp36 per hektar. Aplikasi teknologi shafter pada padi dataran tinggi sangat mempengaruhi nyata pada pertumbuhan dan hasil yang lebih dengan kisaran hasil 5,08-6,39 ton GKP ha-1 sementara cara tanam biasa jarak tanam 20 x 20 cm hanya memperoleh 4,69 ton GKP ha-1. Secara berurut peningkatan hasil yang dicapai dengan cara tanam shafter adalah masing-masing 35,6, 21,02, 12,8 dan 8,3% untuk shafter 2: 1, 4:1, 6:1 dan 8:1 dibanding dengan hasil gabah yang diperoleh dengan cara petani. Saihani (2011), melakukan penelitian di Kecamatan Sungai Tabukan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Propinsi Kalimantan Selatan, Judul Penelitian Analisis Finansial Usahatani Padi Ciherang Pada Sistem Tanam Jajar Legowo. Tujuan penelitian untuk menentukan ongkos penghasilan, tanda terima, pendapatan, keuntungan dalam kelayakan dan titik imfas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan analisis kuantitatif. Hasil penelitian diperoleh bahwa padi Ciherang pada sistem tanam jajar legowo di Kecamatan Sungai Tabukan untuk satu kali musim tanam, biaya total rata - rata petani responden untuk satu kali musim tanam adalah sebesar Rp 4.207.776,3/usahatani. Penerimaan rata-rata diperoleh sebesar Rp 4.763.500/usahatani dan pendapatan rata-rata usahatani adalah Rp 3.299.445,33/ usahatani. Keuntungan rata-rata petani adalah sebesar Rp 55.723,69/usahatani, keuntungan yang didapatkan per kg oleh petani responden adalah sebesar Rp 342,66/usahatani. Kelayakan rata- rata petani pada usahatani padi Ciherang yang diterima petani sebesar 1,12/usahatani, jadi usahatani pada sistem tanam jajar legowo layak diusahakan. Titik impas ( Break Event Point) pada usahatani padi Ciherang selama musim tanam tercapai pada volume produksi sebesar 1.253,83 kg, sedangkan menurut hasil penjualan atau penerimaan tercapai pada Rp 4.420.547,93. Lalla et al., (2012), melakukan penelitian di Kecamatan Polongbangkeng Utara, Kabupaten Takalar, Judul Penelitian Adopsi Petani Padi Sawah Terhadap Sistem Tanam jajar Legowo 2:1. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi sistem tanam jajar legowo 2:1 pada petani padi sawah, hubungan faktor internal dan eksternal petani terhadap tingkat adopsi teknologi sistem tanam 8
jajar legowo 2:1 pada petani padi, dan hubungan tingkat adopsi teknologi sistem tanam jajar legowo 2:1 terhadap peningkatan produktivitas usahatani. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survey dengan menggunakan analisis statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat adopsi tehadap sistem tanam jajar legowo 2:1 yang rendah. Faktor internal petani menunjukkan hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi teknologi sistem jajar legowo 2:1 meliputi motivasi mengikuti teknologi jajar legowo 2:1, tingkat keuntungan relatif, tingkat kerumitan dan tingkat kemudahan untuk dicoba, sedangkan umur, lama pendidikan, pengalaman berusaha tani, luas lahan, frekuensi mengunjungi informasi, dan pandangan petani terhadap sifat-sifat inovasi yang meliputi tingkat kesesuaian dan kemudahan untuk melihat hasilnya tidak menunjukkan hubungan yang nyata. Faktor eksternal petani, yakni tingkat ketersediaan sumber informasi dan intensitas penyuluhan tidak memiliki hubungan yang nyata dengan tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2:1. Tingkat adopsi teknologi jajar legowo 2:1 menunjukkan hubungan yang nyata terhadap peningkatan produktivitas usahatani. E. Kerangka Pikir Teoritis Dalam menjalankan usahatani, petani sawah biasanya menerapkan sistem tanam tegal 20x20 cm. Namun perlu adanya usaha untuk meningkatkan produksi tanaman padi sawah yang berkaitan dengan peningkatan populasi tanaman, oleh karena itu dilakukan penerapan teknologi sistem tanam baru yaitu sistem tanam legowo. Sistem tanam legowo merupakan suatu sistem tanam dalam budidaya padi sawah bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi sawah melalui pengaturan jarak tanam. Penerapan sistem tanam legowo dapat mempermudah dalam pemeliharaan seperti pada penyiangan, pemupukan, serta penanggulangan hama dan penyakit lebih baik. Jika penerapan sistem tanam legowo dilakukan secara baik hal ini dapat memberikan pendapatan dan keuntungan bagi petani. 9
Sistem tanam legowo merupakan suatu sistem tanam pada padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Sistem tanam legowo terdiri dari legowo 2:1 dan 4:1. Legowo 2:1 yaitu suatu tanaman terdapat dua baris tanaman padi kemudian diselingi oleh barisan kosong, sedangkan sistem tanam legowo 4:1 yaitu suatu tanaman yang terdapat empat baris tanaman padi dan diselingi oleh baris kosong. Pengenalan dan penggunaan sistem tanam legowo tersebut disamping untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang optimal juga untuk meningkatkan hasil dan pendapatan petani padi sawah. Sistem tanam legowo dalam usahatani padi sawah memiliki beberapa input produksi diantaranya bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. Input produksi ini menjadi komponen biaya produksi dalam pengelolaan usahatani padi sawah. Input dan output dari usahatani mencakup biaya dan hasil biaya pada usaha pertanian umumnya adalah biaya produksi yang meliputi biaya tetap dan biaya tidak tetap. Penerimaan usahatani adalah jumlah produksi yang diterima oleh petani pada satu musim tanam yang belum dikurangi dengan biaya. Biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Misalnya biaya untuk sarana produksi, meliputi bibit, pupuk, obat-obatan sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar kecilnya produksi yang diinginkan. Sedangkan biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relative tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, misalnya pajak lahan. Untuk mengetahui pendapatan dari usahatani padi sawah pada sistem tanam legowo di Kecamatan Dungaliyo, maka pendapatan usahatani padi sawah diperoleh dari penerimaan usahatani padi sawah dikurangi dengan biaya produksi untuk mengetahui selisih pendapatan dalam satu musim tanam dan kelayakan usahatani padi sawah pada sistem tanam legowo di Kecamatan Dungalio akan menentukan peluang pengembangan sistem tanam legowo, yaitu dengan menganalisis apakah layak atau tidak untuk diusahakan di Kecamatan Dungaliyo. Oleh karena itu, untuk 10
menganalisis kelayakan usahatani padi sawah pada sistem tanam legowo dengan metode analisis R/C. Analisis R/C ini membandingkan nilai penerimaan ( Revenue) dengan total biaya produksi ( Cost) dengan menggunakan kriteria, bila nilai R/C >1, maka usahatani ini layak, bila nilai R/C = 1, maka usahatani ini berada pada titik impas dan bila nilai R/C < 1, maka usahatani ini tidak layak. Agar lebih jelas kerangka pikir penelitian di sajikan pada Gambar 1. Kerangka Pemikiran Teoritis Legowo 2:1 Sistem Tanaman Legowo Legowo 4:1 Penerimaan Biaya Tetap Struktur Biaya Biaya Tidak Tetap Pendapatan Kelayakan Keterangan: Input Proses Hasil Gambar 1. Kerangka Pikir Teoritis. 11
F. Hipotesis Berdasarkan teori diatas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu 1. Diduga penerapan sistem tanam legowo pada usahatani padi sawah hal ini dapat meningkatkan pendapatan petani di Kecamatan Dungaliyo. 2. Diduga bahwa sistem tanam legowo layak dikembangkan di Kecamatan Dungaliyo karena dapat memberikan keuntungannya. 12