PENDAHULUAN Latar Belakang Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah eksotik primadona ekspor yang sangat potensial untuk dikembangkan. Manggis dijuluki Queen of the Tropical Fruit, karena memiliki cita rasa yang eksotik dan keindahan kulit buah dan daging buah yang berwarna putih bersih, yang tidak dimiliki oleh komoditas buah-buahan eksotik lainnya (Poerwanto, 2004). Sentra produksi manggis terbesar di Indonesia berada di Provinsi Jawa Barat (Purwakarta, Subang, Bogor dan Tasikmalaya). Pusat penanaman pohon manggis adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (BPP, 2003). Buah manggis merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis dan kandungan gizi yang tinggi, sehingga berpontensi untuk pengembangan agribisnis yang mendukung peningkatan ekspor buah-buahan tropika. Permintaan buah manggis untuk pasar lokal dan pasar internasional terus meningkat dari tahun ke tahun (Sutrisno et al., 2009). Potensi, peluang dan pengembangan tanaman manggis cukup cerah, baik untuk memenuhi konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Peluang ekspor manggis masih terbuka karena pasar buah-buahan termasuk manggis belum dibatasi oleh kuota. Bahkan permintaan pasar dunia akan manggis belum terpenuhi. Rata-rata produktivitas tanaman manggis di Jawa dan Sumatera pada tahun 1989 hanya
28,2 kg/pohon atau 2,82 t/ha, padahal di Thailand dapat mencapai 4,5-6 t/ha (Balai Penelitian Tanaman Buah, 2006). Berdasarkan data statistik produksi hortikultura tampak bahwa perkembangan luas panen maupun produksi manggis selama 5 tahun menunjukkan keadaan berfluktuasi. Luas panen manggis pada tahun 2002 adalah sebesar 8.051 ha meningkat menjadi 9.354 ha pada tahun 2003, turun kembali menjadi 8.473 ha pada tahun 2004. Selanjutnya pada tahun 2005 meningkat kembali menjadi 9.119 ha walaupun pada tahun 2006 turun lagi menjadi 8.275 ha. Demikian juga produksi manggis pada tahun 2002 tercatat sebesar 62.055 ton meningkat menjadi 79.073 ton pada tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 mengalami penurunan lagi menjadi 62.117 ton dan meningkat kembali pada tahun 2005 dan 2006 masing-masing menjadi 64.711 ton dan 72.634 ton (Direktorat Jenderal Hortikultura, 2010). Sebagai komoditas ekspor, maka persyaratan mutu harus dijaga agar buah yang diekspor dapat diterima oleh konsumen. Selama ini produksi manggis sebagian besar di Indonesia dan di Pulau Lombok adalah produk dari kebun campuran dengan rata-rata persentase yang memenuhi ekspor masih cukup rendah. Persentase buah manggis kualitas ekspor hasil kebun rakyat di NTB berkisar 25% 30%. Beberapa kendala yang menyebabkan rendahnya kualitas ekspor adalah tidak dilakukan pencegahan terhadap organisme pengganggu tanaman dan penanganan panen dan pasca panen kurang tepat (Rahayu, 2006). Salah satu kendala dalam budi daya manggis adalah serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) seperti kutu putih (Pseudococcus spp.), ulat penggorok daun (Phyllocnitis citrella), Aspidiotus destructor Sign.,
thrip (Scirtothrips sp.), Hyposidra talaca (Wlk.) dan tungau (Tetranychus spp.) (Balai Penelitian Tanaman Buah, 2006). Serangan hama dan penyakit pada tanaman budidaya merupakan salah satu faktor penting yang dapat mengurangi hasil pertanian. Selama ini, petani sangat tergantung kepada pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit tersebut, padahal penggunaan pestisida yang berlebihan, tidak saja akan meningkatkan biaya produksi, tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan petani, konsumen maupun keseimbangan hayati sekitarnya. Pencegahan harus dilakukan melalui penggunaan pestisida alami yang tidak meninggalkan residu berbahaya dan ramah lingkungan (Samsudin, 2010). Aplikasi insektisida kimia sintetik yang kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dapat memberikan berbagai dampak negatif seperti terjadinya resistensi hama, munculnya hama sekunder, terbunuhnya organisme bukan sasaran, adanya residu insektisida pada bahan makanan, pencemaran lingkungan, dan bahaya pada pemakai. Sebagai alternatif, sekarang mulai dikembangkan penggunaan bahan tumbuhan untuk dijadikan insektisida nabati (Untung, 1996). Insektisida nabati kembali mendapat perhatian menggantikan insektisida kimia sintetik karena relatif aman, murah, mudah aplikasinya di tingkat petani, selektif, tidak mencemari lingkungan, dan residunya relatif pendek (Herminanto et al., 2001). Pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida nabati relatif mudah dibuat dengan kemampuan yang terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami/ nabati maka jenis pestisida
ini bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan, residunya mudah hilang dan tanaman aman untuk dikonsumsi (Kardinan, 2004). Keberhasilan penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh aplikasi yang tepat, untuk menjamin pestisida tersebut mencapai jasad sasaran yang dimaksud, selain juga oleh faktor jenis dosis, dan saat aplikasi yang tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik kecuali bila diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis (Zulkarnain, 2010). Indonesia yang mempunyai potensi luar biasa dalam mengembangkan produksi buah manggis seringkali terganjal ekspornya akibat keberadaan kutu putih pada bagian bawah kelopak buahnya. Kendala ini semata-mata muncul karena belum tersedianya metode pengendalian kutu putih yang efektif. Metode pengendalian yang diharapkan tidak menyebabkan kerusakan pada buah dan tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Sehingga dapat digunakan dalam sertifikasi untuk keperluan ekspor. Sehubungan dengan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui metode pengendalian berbasis ramah lingkungan yang efektif terhadap kutu putih (Pseudococcus spp.), maka perlu dilakukan penelitian untuk menekan serangan kutu putih (Pseudococcus spp.) pada buah manggis.
Tujuan Penelitian Menguji efektifitas jenis pestisida dan metode aplikasi terhadap mortalitas dan perilaku hama kutu putih (Pseudococcus spp.) pada buah manggis di laboratorium. Hipotesa Penelitian Ada perbedaan efektifitas pada jenis pestisida dan metode aplikasi terhadap hama kutu putih (Pseudococcus spp.) pada buah manggis di laboratorium. Kegunaan Penulisan - Sebagai salah satu syarat untuk dapat mendapatkan gelar sarjana di Departemen Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. - Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.