BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru. 3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

S T O P T U B E R K U L O S I S

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

II. TINJAUAN PUSTAKA. di daerah urban, lingkungan yang padat, dibuktikan dengan adanya

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

Tuberkulosis Dapat Disembuhkan

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

Dasar Determinasi Pasien TB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. paru,tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. meminum obatnya secara teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga,

KUESIONER PENGARUH PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PARU DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS 1 DAN RUMAH TAHANAN KELAS 1 MEDAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk ke

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium. mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2008).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

Dasar Determinasi Kasus TB

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KERANGKA ACUAN KEGIATAN PROGRAM TB PARU. Tuberkulosis adalah penyaki tmenular langsung yang disebabkan oleh kuman

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberkulosis. 4 Sekitar 80%

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB I PENDAHULUAN. (Thomas, 2004). Ada beberapa klasifikasi utama patogen yang dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

APA ITU TB(TUBERCULOSIS)

TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang bersifat aerobik, tahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sinar matahari, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

LISTY CEARINA N K

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian

BAGI PENDERITA TBC/TUBERCULOSIS DI KOTA BANDUNG. yakni menyerang berbagai organ tubuh (Wahyu, 2008, h.2).

/Pusk- Bal/TB/VIII/2015. Tanggal Terbit

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEMBAR PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN. Saya sebagai mahasiswa program studi D III keperawatan, Fakultas ilmu

Lampiran 1. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

Transkripsi:

9 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Di dalam bab ini akan dibahas tentang teori, konsep dan variabel dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu : TB Paru dan Program Penanggulangan TB Paru, sebagai berikut: 1. Tuberkulosis 1.1. Defenisi TB Paru 1.2. Etiologi TB Paru 1.3. Diagnostik TB Paru 1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru 1.5. Infeksi TB Paru 1.6. Penemuan Penderita TB Paru 1.7. Pengobatan TB Paru 2. Program Penanggulangan TB Paru 2.1. Tujuan penanggulangan TB Paru 2.2. Strategi DOTS 2.3. Penyuluhan TB Paru 9

10 1. Tuberkulosis 1.1. Defenisi Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis), sebagaian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2002). TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis paru menular sangat sistemik, yakni sejenis tuberculosis bakteri tahan asam aerobic. Kuman TB Paru menyebar melalui transmisi udara, dan menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi seperti paruparu dan ginjal (Reeves, dkk, 2001) Penularan kuman ini melalui udara dan bisa bertahan di udara sampai beberapa menit sampai jam setelah dikeluarkan oleh penderita TB Paru sewaktu batuk, bersin, berbicara, dan orang yang terpapar akan terinfeksi (Alsagaff dan Mukty, 2006). 1.2. Etiologi Mycobacterium Tuberkulosis merupakan penyebab dari TB Paru, kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti: usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh (Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001).

11 Kuman Mycobacterium Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002). 1.3. Diagnostik TB Paru Infeksi penyakit TB Paru dapat didiagnostik dari gejala utama yaitu: batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Di samping itu dapat diidentifikasi dari gejala tambahan berupa dahak berubah menjadi mukopurulen/ kuning atau kuning hijau, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam walau tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Alsagaff dan Mukty, 2006). Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya satu specimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan specimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila tiga specimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum

12 luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksillin) selama 1 2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil positif SPS, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB Paru. Bila hasil rontgen mendukung TB Paru, diagnosis sebagai penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB Paru (Depkes RI, 2002). 1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

13 Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 2%. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB Paru, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB Paru. Dari keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% penderita BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI, 2002). 1.5. Infeksi TB Paru Infeksi tuberkulosis dapat terjadi secara primer dan paska primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman Tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.

14 Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman Tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Infeksi Tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari Tuberkulosis paskaprimer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi fleura (Depkes RI, 2002; Crofton, dkk, 2002). 1.6. Penemuan Penderita TB Paru Penemuan penderita tuberkulosis dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini

15 biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan manemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2002). 1.7. Pengobatan TB Paru Riwayat pengobatan TB Paru telah dimulai sebelum Robert Koch menemukan basil Tuberkulosis pada tahun 1882 dengan didirikan sanatoriumsanatorium di berbagai tempat, masa ini dikenal sebagai battle against symptom. Sanatorium-sanatorium tersebut didirikan untuk tempat merawat pasien yang diduga menderita TB Paru agar tidak menularkan kuman TB Paru pada orang disekitarnya. Setelah itu berkembang pula upaya pembedahan yang dikenal dengan masa battle against cavity. Pada tahun 1990-an barulah ditemukan Streptomisin, Isoniasid (INH), Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin, yang dikenal dengan era battle against TB bacily (Aditama, 2002). Dasar pengobatannya terdiri dari dua fase, yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan. Pada fase intensif obat diminum setiap hari dengan pengawasan langsung, sedangkan fase lanjutan obat diminum seminggu tiga kali, kecuali untuk anak, OAT diminum setiap hari. Prinsip pengobatannya, yaitu dengan

16 menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama enam delapan bulan. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Satu paket kombipak kategori I berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif, 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Satu paket kombipak kategori II berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif, dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Sedangkan satu paket kombipak kategori III berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam dos besar (Depkes RI, 2002).

17 Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat yang dipakai dalam program pemberantasan TB Paru sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari tiga kategori, setiap kategori terdiri dari dua fase pemberian yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan. Obat yang biasa digunakan yaitu dengan dosis Kombipak, yang tersedia untuk penderita dengan berat badan 33 50 kg. Untuk penderita dengan berat badan selain 33 50 kg, dosisnya supaya disesuaikan. Paduan OAT tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III Kategori Rumus Indikasi Tahap Intensif I II 2HRZE/ H3R3 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3 -Penderita baru BTA positif -Penderita baru TB Paru BTA negatif roentgen positif yang sakit berat -Penderita TB Paru ekstra berat. -Penderita kambuh (relaps) -Penderita gagal penderita denagan pengobatan setelah lalai. Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat. -Selama 2 bulan pertama frekuensi 1 kali sehari, jumlah 60 kali menelan obat. -Satu bulan berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat. Tahap Lanjutan Waktu 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat. Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat.

18 Lanjutan Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III III 2HRZ/ 4H3R3 -Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan. -Penderita ekstra paru ringan yaitu: TB kelenjar limfe (limfadenitis), Pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang, sendi dan kelenjar adrenal Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat. Waktu 4 bulan seminggu 3 kali menelan obat, jumlah 54 kali menelan obat. Panduan Sisipan (HRZE) Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI, 2002). Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out dan gagal, dapat dilihat pada tabel berikut:

19 Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya Kondisi Uraian Tindak Lanjut Sembuh Bila penderita menyelesaikan Diharapkan datang pengobatan secara lengkap, minimal bila gejala muncul pemeriksaan ulang dahak 2 kali kembali. berturut-turut negatif (pada akhir pengobatan (AP) dan/atau sebulan sebelum AP dan, pada 1 pemeriksaan follow up sebelumnya). Pengobatan lengkap Penderita yang telah menyelesakan pengobatannya secara lengkap tapi tidak Diharap datang bila gejala muncul kembali ada pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut. Meninggal Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun Pindah Penderita yang berobat ke Penderita yang berobat kabupaten/kota lain. ke kabupaten/kota lain. Default/ Drop Out Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Dilacak, periksa ulang dahak: -BTA (+) ganti kategori 2. -BTA (-) lanjutkan sisa kategori 1.

20 Lanjutan Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya Gagal Pada pengobatan dengan kategori 1: hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP Pada pengobatan dengan kategori 1: hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP Pada pengobatan dengan kategori 3: hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi positif. Kategori 1 ganti menjadi kategori 2. Kategori 1 ganti menjadi kategori 2. Kategori 3 ganti menjadi kategori 2. Tatalaksana Penderita yang Berobat Tidak Teratur Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali ke unit pelayanan kesehatan (UPK). Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat (Depkes RI, 2002).

21 2. Program Penanggulangan TB Paru Usaha untuk menanggulangi TB Paru di Indonesia sudah dimulai sejak awal abad 20, tepatnya pada tahun 1908 dengan dibentuknya Centrale Vereninging Voor Tuberculosis Bestrijding (CTV), sebelum perang dunia II telah didirikan 15 sonatorium dan 20 Consultatie Bureaux untuk penyuluhan dan pengobatan sekedarnya bagi masyarakat. Setelah Indonesia merdeka, didirikan lembaga pemberantasan penyakit paru-paru (LP-4), di Yogyakarta yang dikenal dengan balai pemberantasan penyakit paru-paru (BP-4), selain itu juga diadakan pemberian vaksinasi BCG (Aditama, 2002). 2.1. Tujuan Penanggulangan TB Paru Tujuan jangka panjang penanggulangan TB Paru adalah menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularan penyakit TB Paru dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB Paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Sedangkan tujuan jangka pendek penanggulangan TB Paru di tahun-tahun mendatang sedikitnya 70% kasus TB Paru dapat didiagnosis dan diobati dengan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru yang ditemukan minimal 85% (Depkes RI, 2002). Indikator pelaksanaan program penanggulangan TB Paru hasilnya optimal jika penderita TB Paru melaksanakan pengobatan sesuai dengan strategi DOTS yaitu melakukan pemeriksaan dahak dan melaksanakan pengobatan secara teratur dan lengkap selama enam bulan hingga dinyatakan sembuh, dan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru harus mencapai 85%. Sedangkan jika

22 penderita TB paru tidak melaksanakan pengobatan dengan teratur dan lengkap selama 6 bulan, dan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru kurang dari 85% maka hasil pelaksanaan program penanggulangan TB Paru masih di bawah optimal (Depkes RI, 2004). 2.2. Strategi DOTS Strategi DOTS adalah strategi pengobatan dalam penanggulangan TB nasional yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 telah diperkenalkan dan dikembangkan strategi global pemberantasan TB Paru yang terbukti cukup efektif dalam menyembuhkan penderita TB Paru di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Dua elemen pokok dari strategi baru yang menjamin kesembuhan adalah paduan obat yang efektif dan konsep DOTS (Depkes RI, 2002). Pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program TB Paru untuk memberi Direct Attention dalam usaha menemukan penderita. Dapat juga diartikan menjadi deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopis, dan pengertiannya dapat juga diperluas dengan keharusan untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Setiap penderita TB Paru harus di observasi dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan penderita TB Paru harus di depan seorang pengawas. Selain itu, penderita TB Paru harus menerima pengobatan yang setara dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat secara baik. Penderita TB Paru juga mendapat obat yang baik, artinya pengobatan short course standar yang telah terbukti ampuh secara klinik. Untuk itu harus ada

23 dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002). Di dalam strategi DOTS terdapat lima komponen: komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan terhadap penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB Paru dalam reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB Paru harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan. Komponen kedua yaitu penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Hal ini dipilih mengingat secara umum pemeriksaan mikroskopis merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB Paru. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan radiografi, seperti roentgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.

24 Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh penderita tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan pasien menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Harus ada yang melihat penderita TB Paru menelan obatnya, ini dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, oleh pemuka masyarakat setempat, oleh tetangga penderita atau keluarganya sendiri. Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu (untuk forecasting), data akurat stok dimasingmasing gudang yang ada. Komponen kelima yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Setiap penderita TB Paru yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB Paru yang ada di kabupaten.

25 Kemanapun penderita ini pergi dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak sampai tercatat dua kali. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan, yaitu dua hari berturut-turut pada fase intensif atau seminggu pada fase lanjutan (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002). 2.3. Penyuluhan TB Paru Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan dari beberapa kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan (Effendy, 1998). Tujuan penyuluhan kesehatan: pertama, tercapainya perubahan prilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat, dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kedua, terbentuknya kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik

26 fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan penyuluhan kesehatan adalah tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, ketersediaan waktu di masyarakat, metode yang digunakan dalam penyuluhan seperti: ceramah, diskusi kelompok, demonstrasi, seminar dan sebagainya. Dalam melakukan penyuluhan kesehatan, maka penyuluh yang baik harus melakukan penyuluhan sesuai dengan langkah-langkah dalam penyuluhan kesehatan sebagai berikut: mengkaji kebutuhan kesehatan masyarakat, menetapkan masalah kesehatan mayarakat, memprioritaskan masalah yang terlebih dahulu ditangani melalui penyuluhan kesehatan, menyusun perencanaan penyuluhan, menetapkan tujuan, penentuan sasaran, menyusun materi atau isi penyuluhan, memilih metode yang tepat, menentukan jenis alat peraga yang akan digunakan, penentuan kriteria evaluasi, pelaksanaan penyuluhan, penilaian hasil penyuluhan dan tindak lanjut dari penyuluhan (Effendy, 1998). Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan

27 penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi (Depkes RI, 2002). Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa informasi penting tentang TB Paru yang dapat disampaikan pada penderita, antara lain: pengertian atau arti TB Paru, penyebab TB Paru, cara penularan TB Paru dan resiko penularan TB Paru, riwayat pengobatan sebelumnya, cara pengobatan TB Paru, pentingnya pengawasan menelan obat. Sedangkan pada kunjungan berikutnya informasi yang dapat disampaikan adalah cara menelan obat, jumlah obat dan frekuensi menelan obat, efek samping dari OAT, pentingnya jadwal pemeriksaan ulang dahak, apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap. Penyuluhan ini selain ditujukan kepada penderita, tetapi juga disampaikan kepada keluarganya. Tujuannya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh dan bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar

28 dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2002).