BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kerasionalan penggunaan antibiotik pada pasien pneuomia anak di instalasi rawat inap RSUD Dr Moewardi Surakarta periode Januari - Desember 2014, berdasarkan tepat obat, tepat indikasi, tepat dosis, dan tepat lama pemberian. Data yang diambil meliputi data karakteristik pasien (jenis kelamin, umur dan kondisi pulang) serta data pengobatan pasien (terapi antibiotik, cara pemberian dan evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik). Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan (Sugiyono, 2008). Berdasarkan hasil pengumpulan data selama periode tersebut sebanyak 139 pasien dan diperoleh 62 pasien pneumonia anak yang dirawat di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi surakarta. Perolehan data tersebut sesuai dengan kriteria inklusi dalam penelitian. Sedangkan untuk 77 pasien yang data rekam medisnya tidak diambil karena data tersebut kurang lengkap, pasien tidak memperoleh pengobatan antibiotik dan pasien pulang dalam keadaan meninggal. A. Karakteristik Pasien Pneumonia 1. Jenis Kelamin Penelitian terkait distribusi jenis kelamin pasien pneumonia anak dilakukan pada 62 pasien pneumonia anak di instalasi rawat inap RSUD Dr. 25
26 Moewardi Surakarta periode Januari Desember 2014. Hasil yang diperoleh dapat dilihat dalam Tabel II berikut : Tabel II. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Pasien (n) Persentase (*) Laki Laki 32 51,61 Perempuan 30 48,39 Total 62 100 * Persentase dihitung dari jumlah jenis kelamin dibagi total pasien dikalikan 100 % Dapat diketahui pada Tabel 1, pasien anak berjenis kelamin laki-laki sebanyak 32 pasien (51,61%) sedangkan pasien anak berjenis kelamin perempuan sebanyak 30 pasien (48,39%). Penelitian sebelumnya di Medan melaporkan bahwa karakteristik pasien pneumonia berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan. Hasil penelitian ini diperkuat dengan Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa penderita pneumonia sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (Kemenkes, 2012). Pneumonia lebih sering terjadi pada anak laki-laki berusia kurang dari 6 tahun. Hal ini mungkin berkaitan dengan respon pada anak, karena secara biologis sistem pertahanan tubuh laki-laki dan perempuan berbeda. Organ paru pada perempuan memiliki daya hambat aliran udara yang lebih rendah dan daya hantar aliran udara yang lebih tinggi sehingga sirkulasi udara dalam rongga pernapasan lebih lancar dan paru terlindung dari infeksi patogen (Uekert dkk, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Sigalingging (2011), yang menunjukkan bahwa angka pneumonia yg terjadi pada balita berjenis kelamin
27 laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan, dimana perbedaan tersebut disebabkan oleh faktor hormonal dan faktor keturunan. 2. Umur Penelitian ini mengenai distribusi umur pasien pneumonia anak di instalasi rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Januari Desember 2014. Distribusi umur pasien dibagi dalam 5 kelompok umur, yaitu kelompok umur bayi baru lahir (0-1 bulan), bayi/ infant (1-12 bulan), toddler (1-3 tahun), pra sekolah (3-5 tahun) dan usia sekolah (5-12 tahun) (Suharjono dkk, 2009). Hasil dapat dilihat pada Tabel III berikut: Klasifikasi Umur Bayi Baru Lahir (0-1 bulan) Tabel III. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Umur Jumlah Pasien (n) Persentase (%) Total Persentase Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan (*) 1 1 1,61 1,61 3,22 Bayi/ Infant (1-12 bulan) 21 21 33,87 33,87 67,74 Toddler (1-3 tahun) 8 6 12,90 9,86 22,58 Pra Sekolah (3-5 tahun) 2-3,23-3,23 Usia Sekolah (5-12 tahun) - 2-3,23 3,23 Jumlah Sampel 62 Jumlah Persentase 100 *Persentase dihitung dari jumlah rentang usia dibagi total pasien dikalikan 100 % Dari hasil yang didapatkan kelompok umur pasien (1-12 bulan) mendominasi dikarenakan sistem kekebalan imun pada anak usia tersebut belum sepenuhnya sempurna dan kontak dengan orang, makanan, lingkungan dalam waktu dan jumlah lebih banyak sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi yang salah satunya pneumonia (Lakhanpaul et al, 2004).
28 Data ini juga sesuai dengan data epidemiologi yang menyebutkan insiden pneumonia pada anak-anak berumur kurang dari 5 tahun lebih besar dari pada umur 5-12 tahun. Hasil penelitian ini diperkuat dengan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 yang menunjukkan pneumonia tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak dengan kelompok usia kurang dari lima tahun rentan mengalami pneumonia berat dengan gejala batuk dan sukar bernapas. Sistem kekebalan tubuh anak pada usia tersebut juga sangat rentan sehingga mudah terinfeksi oleh penyakit yang ditularkan melalui udara (Misnadiarly, 2008). 3. Kondisi Pulang Dalam hasil penelitian terkait kondisi pulang pasien pneumonia anak dapat dikelompokkan dalam 3 kondisi, yakni pasien yang pulang dalam kondisi sembuh, membaik dan pulang paksa. Hasil penelitian karakteristik kondisi pulang pasien pneumonia anak tersebut dapat dilihat pada Tabel IV berikut: Tabel IV. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Kondisi Pulang Kondisi Pulang Jumlah Pasien (n) Persentase (*) Sembuh 49 79,03 Membaik 12 19,36 Pulang Paksa 1 1,61 Total 62 100 * Persentase dihitung dari jumlah kondisi pulang pasien dibagi total pasien dikalikan 100 % Dari hasil diatas, sebanyak 49 pasien pulang dengan kondisi sembuh (79,03%), 12 pasien pulang dengan kondisi membaik (19,36%), dan 1 pasien pulang paksa (1,61%). Penyebab pasien pulang paksa bisa dikarenakan dari faktor keuangan dan faktor sosial, pasien meminta untuk melakukan perawatan jalan sehingga pengobatan masih tetap dilanjutkan.
29 Pasien pulang sembuh yaitu pasien yang dikatakan dalam kondisi kesehatan yang sudah sembuh oleh dokter dan diperbolehkan untuk pulang. Pasien pulang membaik yaitu pasien yang dikatakan dalam kondisi kesehatan yang membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sedangkan pasien pulang paksa yaitu pasien yang mendapatkan perawatan dan pengobatan yang dinyatakan belum sembuh oleh dokter, pulang atas kemauannya sendiri. 4. Data Pengobatan Dari 62 sampel pasien yang terdiagnosa pneumonia dan menjalani perawatan di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta diperoleh data pengobatan yang dapat dikelompokkan menjadi 13 kelompok. Terapi antibiotik yang diberikan terdiri dari pengobatan awal dan pengobatan lanjutan. Data hasil penelitian terkait terapi antibiotik yang diberikan pada pasien pneumonia anak dapat dilihat pada Tabel V berikut: Tabel V. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Data Pengobatan No Pengobatan Awal Pengobatan Jumlah Persentase Lanjutan Pasien (n) (*) 1 Ampisilin - 9 14,52 2 Gentamisin - 4 6,45 3 Kloramfenikol - 2 3,23 4 Sefotaksim - 3 4,84 5 Seftriakson 10 16,13 6 Ampisilin Gentamisin - 12 19,35 7 Ampisilin Kloramfenikol 13 20,97 8 Sefotaksim Gentamisin - 2 3,23 9 Seftriakson Gentamisin - 3 4,84 10 Amoksisillin Ampisilin Kloramfenikol 1 1,61 11 Ampisilin Gentamisin Seftriakson 1 1,61 12 Sefotaksim Gentamisin Seftriakson 1 1,61 13 Ampisilin Seftriakson 1 1,61 Total 62 100 * Persentase dihitung dari jumlah masing-masing obat dibagi total pasien dikalikan 100 %
30 Berdasarkan data diatas, mengenai terapi antibiotik yang diberikan pada pasien pneumonia anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Januari Desember 2014. Diketahui bahwa penggunaan kombinasi antibiotik Ampisilin dan Kloramfenikol pada pengobatan awal tanpa pengobatan lanjutan memiliki persentase tertinggi, yakni sebesar 20,97%, diikuti oleh kombinasi antibiotik Ampisilin dan Gentamisin dengan persentase 19,35%. Terapi antibiotik yang disertai dengan pengobatan lanjutan yaitu Ampisilin dengan Seftriakson, Amoksisilin dengan kombinasi antibiotik Ampisilin - Kloramfenikol serta kombinasi antibiotik yang disertai dengan pengobatan lanjutan yaitu Ampisilin Gentamisin dan Sefotaksim Gentamisin dengan Seftriakson memiliki persentase yang sama yaitu 1,61%. Pada pengobatan pasien pneumonia anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Januari Desember 2014 sudah dapat dikatakan sesuai jika dibandingkan dengan buku pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Untuk kasus yang berat diberikan pengobatan golongan Sefalosporin sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan atau sedang dipilih golongan penisilin. Streptococcus dan Pneumococcus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh Ampisilin, sedangkan hemofilus dapat dicakup oleh Ampisilin dan Kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Pada pasien pneumonia yang Community acquired, umumnya Ampisilin dan Kloramfenikol
31 masih sensitif. Pilihan lini kedua adalah obat golongan Sefalosporin (Pingkan et al, 2014). 5. Cara Pemberian Cara pemberian antibiotik pada pasien pneumonia anak yang dirawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilakukan melalui intravena maupun peroral. Data hasil penelitian mengenai karakteristik cara pemberian antibiotik dapat dilihat pada Tabel VI sebagai berikut: Tabel VI. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Cara Pemberian Cara Pemberian Jumlah Persentase (*) Pengobatan Awal Pengobatan Lanjutan Pasien (n) Iv - 58 93,55 Po Iv 1 1,61 Iv Iv 3 4,84 Total 62 100 * Persentase dihitung dari total jumlah rentang usia dibagi total pasien dikalikan 100 % Dari hasil Tabel VI, pasien mendapatkan pengobatan secara intravena dari awal. Hal ini dikarenakan pasien dalam kondisi berat, pasien tidak dapat makan atau minum bahkan ada beberapa pasien yang mengalami muntah sehingga tidak mungkinkan diberi pengobata secara peroral. Pemberian antibiotik secara intravena direkomendasikan pada anakanak dengan pneumonia berat atau anak yang tidak bisa menerima antibiotik oral. Sedangkan pemberian antibiotik oral dilakukan pada pasien dengan kondisi yang cukup stabil, dapat makan atau minum dan tidak muntah (British, 2011). 6. Evaluasi Kerasionalan Evaluasi kerasionalan penggunaan antibiotik dilakukan terhadap 62 data rekam medik pasien pneumonia anak yang dirawat inap di RSUD Dr,
32 Moewardi Surakarta periode Januari sampai Desember 2014. Evaluasi ini dilakukan dengan mengetahui kriteria kerasionalan antibiotik yang digunakan berdasarkan tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan tepat lama pemberian. Dari data rekam medik yang diperoleh yaitu sebanyak 100 item antibiotik yang digunakan untuk 62 pasien tersebut. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai berikut : Tabel VII. Karakteristik Pasien Pneumonia Berdasarkan Evaluasi Kerasionalan Kriteria Kerasionalan Jumlah Pengguna Antibiotik Persentase (*) Antibiotik Sesuai Tidak Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Tepat Indikasi 100-100 - Tepat Obat 100-100 - Tepat Dosis 100-100 - Tepat Lama Pemberian 100-100 - * Persentase dihitung dari jumlah masing-masing kriteria kerasionalan dibagi total pasien dikalikan 100 % Evaluasi dilakukan meliputi beberapa kriteria kerasionalan penggunaan antibiotik yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis dan tepat lama pemberian. Evaluasi pengobatan dikatakan tepat indikasi adalah kesesuaian pemberian antibiotik dengan indikasi yang dilihat dari diagnosis utama yang tercantum dalam kartu Rekam Medis pasien. Misalnya antibiotik diindikasikan untuk infeksi bakteri, dengan demikian pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri Staphylococcus atau Streptococcus pneumoniae. (Depkes RI, 2006). Dari suhu tubuh pasien antara 36,5 0 C 38,5 0 C, dapat diketahui bahwa kebanyakan pasien terkena bakteri Streptococcus pneumoniae dan Haemophylus influenza. Bakteri tersebut sulit tumbuh di bawah suhu 25 0 C dan juga sulit tumbuh di atas 41 0 C. Dalam penelitian sebelumnya penyebab
33 pneumonia terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenza, Influenza A dan B (Faisal, 2014). Pada penelitian ini antibiotik yang digunakan untuk terapi pneumonia berat diberikan pengobatan golongan Sefalosporin (Sefotaksim dan Seftriakson) sebagai pilihan, terutama bila penyebabnya belum diketahui. Sedangkan pada kasus yang ringan atau sedang dipilih Kloramfenikol, Amoksisilin, Ampisilin dan Gentamisin. Streptococcus dan Pneumococcus merupakan kuman gram positif yang dapat dicakup oleh Ampisilin, sedangkan Hemofilus dapat dicakup oleh Ampisilin dan Kloramfenikol. Dengan demikian keduanya dapat dipakai sebagai antibiotik lini pertama untuk kasus pneumonia anak tanpa komplikasi. Sehingga ketepatan indikasi dalam penelitian ini dapat dikatakan memenuhi kriteria kerasionalan. Evaluasi pengobatan dikatakan tepat obat yaitu pemilihan obat yang aman dan sesuai untuk pasien, yang sesuai dengan pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dengan demikian obat yang dipilih haruslah yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit (Depkes RI, 2006). Dalam pengobatan antibiotik pneumonia ada beberapa tingkatan penyakit yaitu pneumonia ringan, pneumonia sedang dan pneumonia berat. Dalam penelitian ini digunakan terapi antibiotik spektrum luas yaitu untuk terapi pneumonia ringan dan sedang digunakan antibiotik Amoksisilin, Ampisilin, Kloramfenikol dan Gentamisin, sedangkan untuk pneumonia berat digunakan antibiotik golongan Sefalosporin yaitu Seftriakson dan sefotaksim.
34 Sehingga evaluasi ketepatan obat pada penelitian pengobatan pasien pneumonia anak di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta sudah dapat dikatakan rasional. Tepat dosis yaitu pemberian obat dengan besarnya dosis dan lama pemberian yang disesuaikan dengan pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentan terapi yang sempit misalnya theofilin akan sangat berisiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Depkes RI, 2006). Sedangkan untuk evaluasi ketepatan dosis dalam penelitian ini dibandingkan dengan buku pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dosis yang digunakan untuk pengobatan sudah sesuai, sehingga dapat dikatakan dalam evaluasi ketepatan dosis sudah memenuhi kriteria kerasionalan. Evaluasi tepat lama pemberian yaitu kesesuaian dalam pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Lama pemberian antibiotik tergantung pada kemajuan klinis penderita, hasil laboratoris, foto polos dada dan jenis kuman penyebab. Jika kuman penyebab adalah Staphylococcus, maka diperlukan pemberian terapi 6 8 minggu. Jika penyebab Haemophylus influenza atau Streptococcus pneumoniae pemberian terapi cukup 10-14 hari. Secara umum pengobatan antibiotik pneumonia diberikan 10 14 hari (British, 2011).
35 Data tentang terapi antibiotik pada pneumonia menunjukkan bahwa durasi tiga hari sudah cukup sehingga WHO merekomendasikan penggunaan antibiotik untuk tiga hari pada pneumonia ringan (Gulani dan Sachdev, 2009). Dalam penelitian ini untuk lama pemberian antibiotik pada pasien rawat inap pneumonia anak yaitu 1 hari hingga 29 hari. Terdapat pasien yang diberikan pengobatan antibiotik selama 1 hari, dimana pada pengobatan antibiotik itu sendiri biasanya digunakan untuk pengobatan minimal 3 hari. Hal ini dikarenakan pasien sudah dalam keadaan stabil dan dinyatakan sembuh oleh dokter serta diperbolehkan untuk pulang, tetapi pasien tersebut masih mendapatkan pengobatan jalan yaitu diberikan antibiotik Amoksisilin diminum selama 3 hari. Sehingga untuk evaluasi lama pemberian obat dapat dikatakan rasional. Hasil evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik pada Tabel VII menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang tepat indikasi sebanyak 100%, tepat obat sebanyak 100%, tepat dosis sebanyak 100% dan tepat lama pemberian sebanyak 100%. Sehingga dapat dikatakan evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk penderita pneumonia anak di RSUD Dr. Moewardi Surakarta memenuhi kriteria kerasionalan. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan kriteria kerasionalan berdasarkan tepat pasien. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini dilakukan dengan metode secara retrospektif, sehingga tidak melihat data keterkaitan dengan kondisi organ klinis pasien serta tentang bagaimana sensitivitas dan alergi pasien terhadap pemberian antibiotik.