BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Menurut data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 214 juta kasus malaria di dunia, dimana 438.000 diantaranya meninggal dunia. Anak balita (bawah lima tahun) yang menderita malaria berisiko dua hingga empat kali lipat mengalami kematian dibandingkan anak yang berusia lebih dari lima tahun (Douglas et al., 2014). Sejak tahun 2001 hingga 2015, diperkirakan terdapat 6,2 juta kasus kematian karena malaria, dimana 5,9 juta (95%) di antaranya adalah anak balita (WHO, 2015a). Pada tahun 2013, malaria menduduki peringkat ketiga penyebab kematian pada anak balita di luar masa neonatus, setelah pneumonia dan diare (Liu et al., 2015a). Upaya pengendalian malaria telah menjadi salah satu komitmen global di seluruh dunia dalam Millenium Developmental Goals (MDGs). Selama 15 tahun terakhir, tingkat kematian malaria di dunia telah mengalami penurunan sebesar 60%. Walaupun sudah terdapat kemajuan dalam upaya pengendalian malaria di dunia, masih terdapat 3,2 milyar jiwa (setengah populasi dunia) yang masih berisiko terkena malaria (WHO, 2015a). Di wilayah Asia Tenggara dilaporkan terdapat 1,6 juta kasus malaria pada tahun 2014. Indonesia menduduki peringkat kedua negara dengan kasus malaria terbanyak di wilayah Asia Tenggara. Di Indonesia, angka kejadian malaria yang 1
diukur dengan Annual Parasite Incidence (API) adalah sebesar 1,38 per 1000 penduduk pada tahun 2013. Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Tiga propinsi dengan API tertinggi yaitu Papua Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Setiap tahunnya, diperkirakan terdapat 40.000 kematian karena malaria di Indonesia (CDC, 2013; Kemenkes, 2014; WHO, 2015a). Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax adalah 2 spesies utama yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas akibat malaria di dunia. Komplikasi fatal malaria falsiparum yang paling sering ditemukan adalah terjadinya malaria serebral. Plasmodium vivax lebih sering menyebabkan anemia berat dan trombositopenia berat, dibandingkan. Douglas et al. (2013) melaporkan anemia berat dapat meningkatkan risiko kematian dengan AOR 5,80 ([IK 95% 5,17 6,50]; p 0,001). Sedangkan, trombositopenia berat juga dilaporkan dapat meningkatkan risiko kematian sebesar 4,7 kali lipat (Lampah et al., 2015). Selain jenis spesies, anemia berat, dan trombositopenia berat, faktor risiko kematian malaria lainnya adalah usia, malnutrisi, dan koinfeksi malaria. Di area endemis malaria seperti Afrika dan Asia Tenggara, seringkali terjadi koinfeksi malaria dengan penyakit infeksi lainnya seperti HIV, helminthiasis, dengue, dan typhoid. Koinfeksi malaria dengan berbagai penyakit infeksi tersebut dilaporkan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien. Virus HIV dilaporkan dapat menyebabkan episode malaria yang lebih sering dan lebih berat (Cohen et al., 2005). Noland et al (2008) melaporkan infeksi cacing dapat meningkatkan transmisi parasit malaria. Sedangkan, koinfeksi malaria
dengan dengue dan typhoid dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kerusakan hati (Enemchukwu et al., 2014; Magalhães et al., 2014). Anak terinfeksi malaria dilaporkan berisiko tinggi menderita koinfeksi bakteri invasif. Kondisi ini disebabkan oleh imaturitas sistem imun terutama organ limpa (hiposplenisme fungsional). Pada infeksi malaria, terjadi gangguan struktur dan fungsi limpa, dimana terjadi apoptosis sel-sel imun pada zona marginal limpa. Hal ini memudahkan terjadinya translokasi endotoksin dan bakteri ke pembuluh darah, sehingga menginduksi respon inflamasi. Bakteremia dilaporkan meningkatkan risiko kematian malaria sebesar 8,5 kali lipat. (Berkley et al., 1999; Gómez-Pérez et al., 2014; Were et al., 2011) Penelitian mengenai koinfeksi pada malaria telah banyak dipublikasikan. Akan tetapi, penelitian mengenai koinfeksi malaria dengan penyakit pneumonia dan diare belum banyak dilaporkan. Padahal, kedua infeksi tersebut adalah penyakit yang sangat sering ditemukan pada anak dan merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia (WHO, 2013). Edwards et al. (2015) melakukan penelitian eksperimental yang meneliti tikus yang terinfeksi virus pneumonia dan plasmodium. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa koinfeksi virus tidak mempengaruhi pertumbuhan plasmodium. Akan tetapi, plasmodium dapat meningkatkan penyebaran virus pneumonia di paru. Penelitian lain mengenai koinfeksi malaria dengan infeksi pernapasan dilakukan oleh Thompson et al. (2012) dan Waitumbi et al. (2010) yang melaporkan kejadian koinfeksi sebesar 45% dan 52%, secara berurutan. Koinfeksi berkaitan dengan lama perawatan yang lebih panjang pada anak usia 24 59
bulan. Takem et al. (2014) meneliti koinfeksi malaria dengan Salmonella nontyphoid (SNT) yang menyebabkan infeksi saluran pencernaan. Malaria merupakan salah satu faktor risiko terjadinya bakteremia karena SNT, apalagi jika terdapat kondisi anemia berat. Penelitian ini bermaksud untuk meneliti tentang pengaruh koinfeksi malaria dengan pneumonia dan diare terhadap kejadian mortalitas pada anak balita. Selain itu, akan dilakukan analisis terhadap faktor-faktor risiko kematian yang mungkin berperan, sehingga nantinya diharapkan dapat bermanfaat dalam menurunkan mortalitas pada anak dengan malaria di area endemis seperti Indonesia. B. Permasalahan Anak balita dengan malaria memiliki risiko kematian yang tinggi. Koinfeksi dengan penyakit infeksi lain (pneumonia dan diare) sering terjadi pada anak dengan malaria. Koinfeksi ini diduga meningkatkan risiko kematian pada balita. Faktor risiko kematian pada anak balita dengan malaria yang mengalami koinfeksi penting untuk diketahui. C. Pertanyaan Penelitian 1. Apakah anak balita dengan malaria yang mengalami koinfeksi pneumonia dan/atau diare memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan balita dengan malaria tanpa koinfeksi? 2. Faktor apa saja yang meningkatkan risiko kematian anak balita dengan malaria yang mengalami koinfeksi?
D. Tujuan 1. Tujuan umum: untuk mengetahui apakah koinfeksi diare dan/atau pneumonia meningkatkan risiko kematian anak balita dengan infeksi malaria. 2. Tujuan khusus: mengetahui faktor risiko kematian balita dengan malaria yang mengalami koinfeksi pneumonia dan/atau diare. E. Manfaat 1. Bidang Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan, khususnya tentang aspek klinis dan kesehatan masyarakat malaria pada anak. Penelitian ini juga diharapkan dalam menambah informasi mengenai koinfeksi malaria pada balita. 2. Pelayanan Masyarakat Jika terbukti bahwa koinfeksi malaria dengan pneumonia dan/atau diare meningkatkan risiko kematian, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para petugas kesehatan agar dapat dilakukan tindakan-tindakan yang adekuat untuk mencegah kematian. Dengan diketahuinya faktor-faktor risiko (terutama faktor risiko yang dapat dimodifikasi) kematian pada anak malaria dengan koinfeksi pneumonia dan/atau diare, tenaga kesehatan dapat melakukan tindakan pencegahan. 3. Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai koinfeksi malaria, terutama faktor risiko mortalitas malaria dengan komorbid penyakit infeksi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk melakukan penelitian di masa mendatang terkait mekanisme kematian pada malaria dengan komorbid penyakit infeksi. F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai koinfeksi malaria dengan penyakit infeksi lain, seperti HIV, helminthiasis, dengue, dan typhoid cukup banyak dilaporkan. Sebagian besar penelitian ini dilakukan di Afrika yang merupakan daerah endemik malaria falsiparum. Di India, terdapat penelitian mengenai koinfeksi malaria vivax dengan subjek penelitian anak dan dewasa (Bhattacharya et al., 2013). Belum ada penelitian mengenai koinfeksi malaria vivax pada anak balita. Padahal, sebagian besar kasus malaria di Indonesia disebabkan oleh P.vivax (57%), disusul (43%) (WHO 2015a). Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan antara infeksi malaria dengan pneumonia dan/atau diare dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Penelitian mengenai hubungan antara infeksi malaria dengan pneumonia dan/atau diare Desain Subjek Penelitian Hasil Penelitian Peneliti (tahun) / Lokasi/Jenis Spesies Plasmodium Greenwood et al., (1989)/ Gambia/ Sodemann et al., (1999)/ Guinea-Bissau/ Kohort prospektif, selama 3 tahun (Household survey) Nested case control (Household survey) 750 anak usia 3-59 bulan, dibagi 2 kelompok perlakuan (diberikan kemoprofilaksis malaria dan kontrol) 297 anak (kasus=diare, kontrol=tidak diare) Morbiditas dan mortalitas infeksi gastrointestinal dan infeksi pernapasan akut sama pada kedua kelompok. Malaria falsiparum tidak berhubungan dengan risiko infeksi gastrointestinal akut dan infeksi pernapasan akut. Proporsi infeksi malaria tidak berbeda pada kedua kelompok. Tidak terdapat hubungan antara malaria dan kejadian diare. Bassat et al., (2011)/ Mozambique Bhattacharya et al., (2013)/ India/ P.vivax Church dan Maitland (2014)/ Afrika/ Crosssectional (Hospital setting) Crosssectional Systematic review 646 balita Proporsi koinfeksi malaria dengan pneumonia berat sebesar 1,4%, malaria saja sebesar 9%, pneumonia berat sebesar 37%, sisanya bukan malaria/pneumonia. 3371 orang (anak dan dewasa). 89 terinfeksi malaria vivax. 25 penelitian, 20.889 anak terinfeksi malaria falsiparum, 7208 malaria berat. Proporsi bakteremia 6,7% (6/89). 5 pasien terinfeksi gram negatif (1 S.typhi, 1 S. paratyphi A, 3 bakteri gram negatif lain). Semua pasien hidup. Proporsi koinfeksi bakteri sebesar 5,58% di antara anak dengan malaria, dan 6,4% di antara malaria berat. CFR pada koinfeksi lebih tinggi (24,1% vs 10,2%). Salmonella non typhoid dan S.pneumoniae adalah kuman yang paling sering ditemukan.