BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan individu yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi ataupun sekolah tinggi. Mahasiswa akan menjalani serangkaian kegiatan selama duduk di bangku perkuliahan. Kegiatan seperti menghadiri kuliah di kelas, praktikum, ujian, mewakili kampus dalam ajang perlombaan, aktif di organisasi maupun kepanitiaan, menjadi asisten, atau terlibat dalam kegiatan bersama dosen. Beberapa kegiatan tersebut bahkan masih dijalani oleh mahasiswa ketika mereka telah berada di akhir masa perkuliahan. Selain memiliki serangkaian kegiatan, mahasiswa juga mengalami banyak problematika baik dalam urusan perkuliahan maupun di luar urusan perkuliahan. Data yang diperoleh dari Kholidah dan Alsa (2012) menyebutkan bahwa mahasiswa mengaku stres karena disebabkan ketatnya persaingan dalam mencapai prestasi, tekanan untuk meningkatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK), ragamnya tugas perkuliahan, merasa salah memilih jurusan, ancaman drop out, adaptasi dengan lingkungan baru, kesulitan dalam mengatur keuangan, gangguan hubungan interpersonal, konflik dengan teman, dosen, pacar, dan keluarga. Setelah menempuh studi beberapa tahun, mahasiswa akan berada di akhir masa perkuliahan dan telah menyelesaikan banyak Satuan Kredit Semester (SKS) mata kuliah. Mahasiswa bertanggungjawab untuk segera lulus dari bangku perkuliahan. Mayoritas perguruan tinggi ataupun sekolah tinggi menetapkan tugas 1
2 akhir atau skripsi sebagai syarat utama bagi mahasiswa untuk memperoleh Gelar Sarjana maupun syarat wajib untuk lulus dari bangku perkuliahan. Penyusunan skripsi tidak jarang menjadi problematika bagi sebagian besar mahasiswa. Masalah yang umum dihadapi mahasiswa seperti kesulitan mencari judul skripsi, sulit untuk menemukan bahan bacaan, kemampuan akademis yang kurang memadai, cemas menghadapi dosen pembimbing, dana yang terbatas, kurang tertarik pada penelitian, dan tidak memiliki kemampuan dalam menulis skripsi (Gunawati, Hartati, & Listiara, 2006). Hambatan ketika menyusun skripsi dan adanya kegiatan kampus yang masih diikuti membuat mahasiswa sulit dalam hal manajemen diri dan manajemen waktu. Kesulitan tersebut mengakibatkan beberapa mahasiswa menyelesaikan skripsi dalam jangka waktu yang lama, sehingga mengalami keterlambatan untuk lulus tepat waktu. Tekanan sosial seperti rasa malu terhadap keluarga, serta temanteman yang sudah lulus, membuat mahasiswa yang terlambat lulus menjadi tertekan dan merasa kurang bertanggungjawab. Usia mahasiswa pada normalnya berkisar 18-25 tahun. Rentang usia tersebut menurut Santrock (2011) berada dalam tahap perkembangan dewasa awal. Bagi kebanyakan individu, menjadi dewasa melibatkan periode transisi yang sangat panjang. Masa ini ditandai dengan eksperimen dan eksplorasi. Individu dewasa awal masih mengeksplorasi jalur karir yang ingin mereka ambil, ingin menjadi individu yang seperti apa, dan gaya hidup seperti apa yang mereka inginkan; hidup melajang, hidup bersama, atau menikah.
3 Sementara Papalia, Olds, dan Feldman (2004) mengatakan bahwa bagi individu dewasa awal, transisi dari remaja menuju dewasa artinya membuka diri pada lingkungan pendidikan dan pekerjaan yang baru. Usia dewasa awal juga harus siap tinggal jauh dari rumah, mengambil tawaran, tantangan, dan tanggungjawab baru, serta mencoba melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai individu dewasa awal, mahasiswa juga memiliki banyak tugas perkembangan seperti yang telah dijabarkan oleh Santrock (2011) dan Papalia dkk (2004). Tugas-tugas perkembangan tersebut berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Selain permasalahan, mahasiswa juga menerima banyak tuntutan dari banyak pihak, terlebih bagi mahasiswa tahun terakhir yang harus menyelesaikan studinya tepat waktu, menetapkan tujuan, dan hal apa yang akan dilakukan setelah lulus dari bangku perkuliahan. Lane (2014) menambahkan bahwa mahasiswa khususnya yang sedang menempuh tahun terakhir berada dalam masa transisi yang sulit. Tahun terakhir dari perkuliahan merupakan masa transisi dimana mahasiswa harus meninggalkan rasa kebebasan yang sebelumnya dialami di kampus dan bersiap untuk menjalankan tanggungjawab sebagai individu dewasa. Mahasiswa mengalami ketakutan terkait kehidupan di luar kampus, tekanan mengenai rencana karir, dan kebutuhan untuk mandiri dalam hal finansial. Ketakutan tersebut mengakibatkan mahasiswa lulusan perguruan tinggi mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri setelah lulus kuliah. Hadirnya permasalahan, tuntutan dari orangtua maupun universitas yang terlalu tinggi, serta tugas-tugas perkembangan bagi individu dewasa awal, membuat mahasiswa memiliki kecenderungan untuk berpikir negatif mengenai dirinya,
4 lingkungan, dan masalah yang dihadapi. Cukup banyak kasus uji coba maupun praktik bunuh diri dilakukan oleh mahasiswa dikarenakan mereka merasa frustrasi dan mengalami stres (Kholidah & Alsa, 2012). Meskipun beberapa mahasiswa memandang masa perkuliahan sebagai masa yang sulit, namun masih banyak mahasiswa yang berhasil melalui masa tersebut dengan baik. Sikap positif seperti kemampuan mengenali diri sendiri, memiliki hubungan interpersonal yang baik, berani untuk hidup mandiri, cepat dalam beradaptasi, dapat menetapkan tujuan hidup, serta kemauan untuk mencoba tantangan baru menjadi modal penting bagi mahasiswa. Kemampuan membentuk sikap positif menandakan bahwa mahasiswa telah menjalankan fungsi psikologi positif di dalam dirinya. Hal itu mengakibatkan mahasiswa akan bisa menghadapi masalah, tuntutan, dan tugas-tugas perkembangan dengan baik. Kemampuan dalam menjalankan fungsi psikologi positif akan mengarahkan pada terbentuknya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dalam diri mahasiswa. Walker (2009) melakukan penelitian longitudinal pada 140 mahasiswa dengan rentang usia 18-26 tahun dan menemukan bahwa psychological well-being akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia dan tingkatan kuliah mahasiswa. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa mahasiswa tahun terakhir sebagai mahasiswa dengan tingkatan kuliah tertinggi akan memiliki psychological well-being yang paling tinggi. Chen, Wong, Ran, dan Gilson (2009) meneliti 342 mahasiswa pada enam universitas berbeda di Shanghai. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan
5 negatif antara stres akademik dan psychological well-being pada mahasiswa. Tingkat stres paling tinggi dengan skor psychological well-being terendah diperoleh mahasiswa tahun kedua. Sementara mahasiswa tahun terakhir, yakni tahun keempat dan diatasnya menghasilkan skor stres terendah dengan tingkat psychological wellbeing paling tinggi. Mahasiswa sebagai individu dewasa awal mengalami tahapan terjadinya kestabilan identitas, ketetapan untuk menjadi bagian dari masyarakat, menentukan arti dan tujuan hidup, menentukan orientasi individu yang berpengaruh terhadap kepuasan hidup. Kalinnikova, Shaplavska, dan Zavodilov (2016) melakukan penelitian pada 60 individu dewasa awal dengan rentang usia 20-35 tahun. Hasil penelitian membuktikan adanya hubungan antara orientasi individu dan dimensi psychological well-being. Kalinnikova dkk (2016) juga menambahkan kemampuan memahami diri sendiri menjadi faktor penentu orientasi individu dewasa awal. Lane (2014) berdasarkan penelitiannya pada 182 mahasiswa tahun terakhir dengan rentang usia 20-29 tahun, menjelaskan bahwa psychological well-being membuat individu dewasa awal mampu menjalankan tugas-tugas perkembangan. Salah satunya terkait masalah pekerjaan dan perencanaan karir. Mahasiswa dengan skor psychological well-being tinggi menghasilkan kepuasan hidup yang tinggi, sehingga akan memiliki kemampuan untuk sukses dalam hal karir dan pekerjaan. Walker (2009) mengemukakan sejak munculnya teori psychological wellbeing, teori tersebut sering digunakan untuk memonitor kesehatan mental pada mahasiswa maupun siswa sekolah. Mahasiswa yang memaksimalkan psychological well-being di dalam dirinya, akan membentuk sikap positif untuk mengatasi
6 masalah dan tuntutan yang mereka miliki, serta mampu menjalankan tugas-tugas perkembangan individu dewasa awal dengan baik. Studi mengenai psychological well-being meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Sejak awal materi di bidang psikologi umumnya fokus pada penderitaan, ketidakbahagiaan manusia, masalah perilaku, dan masalah psikologis lainnya. Studi psychological well-being merupakan perubahan baru dalam bidang psikologi yang menekankan pada pembangunan kekuatan manusia dan lebih berfokus pada perilaku positif dari pada perilaku negatif (Chaturvedula & Joseph, 2007). Psychological well-being adalah salah satu topik dalam teori psikologi positif yang menjadi bagian dari kesehatan mental. Psychological well-being berkaitan dengan kemampuan individu menjalankan fungsi psikologi positif di dalam dirinya. Menurut Ryff (1989), fungsi psikologi positif adalah pengembangan dari konsep aktualisasi diri Maslow, pandangan Rogers mengenai fully-functioning person, formulasi individuasi Jung, dan konsep maturity Allport. Kerangka kognitif mengenai fungsi psikologi positif berkembang menjadi landasan teoritis untuk menghasilkan model multidimensional yang diberi nama psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Terdapat enam dimensi, yakni evaluasi positif dari diri sendiri dan kehidupan masa lalu (penerimaan diri), perasaan tumbuh dan berkembang sebagai individu (pertumbuhan diri), keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan dan bermakna (tujuan dalam hidup), memiliki hubungan positif dengan orang lain (hubungan positif dengan orang lain), kapasitas untuk mengelola hidup secara efektif dan mengelola lingkungan di dunia sekitarnya (penguasaan lingkungan), dan perasaan untuk menentukan nasib sendiri (otonomi).
7 Ryff dan Singer (1998) mengatakan psychological well-being berbeda dari konsep well-being lainnya, seperti subjective well-being. Hal ini karena psychological well-being memformulasikan konsep well-being secara tidak sederhana, tetapi sebagai teori untuk merepresentasikan realisasi potensi seseorang. Berbeda dengan subjective well-being yang hanya menggambarkan fungsi positif secara terbatas dan subjective well-being seringkali gagal menjadi indikator kehidupan individu yang sehat. Psychological well-being memegang peranan penting terhadap kesehatan mental individu, tidak terkecuali bagi mahasiswa. Kehadiran psychological wellbeing membuat mahasiswa dapat berfungsi secara positif. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui hal yang paling berkaitan dengan psychological well-being pada mahasiswa. Landa, Martos, dan Zafra (2010) melakukan penelitian pada 259 mahasiswa dengan rentang usia 18-28 tahun dan menemukan bahwa kepribadian merupakan prediktor terbaik bagi psychological well-being mahasiswa. Tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah tipe kepribadian Big Five Personality. Dua tipe kepribadian Big Five, yakni neuroticism dan extraversion memiliki hubungan paling erat dengan seluruh dimensi psychological well-being. Saricaoglu dan Arslan (2013) juga melakukan penelitian untuk melihat psychological well-being pada 636 mahasiswa. Hasil menunjukkan terdapat korelasi antara kepribadian dan psychological well-being. Tipe kepribadian neuroticism memiliki arah korelasi negatif, sementara tipe kepribadian lainnya
8 yang termasuk dalam kategori Big Five memiliki arah korelasi positif dengan psychological well-being. Penelitian selanjutnya dari Singh, Singh, dan Singh (2012) juga menemukan adanya hubungan antara Big Five Personality dan psychological well-being pada 200 mahasiswa dengan rentang usia 21-28 tahun. Neuroticism secara signifikan memiliki hubungan negatif dengan psychological well-being, sementara agreeableness secara signifikan memiliki hubungan positif. Penelitian Singh dkk (2012) menghasilkan extraversion, openness, dan conscientiousness tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan psychological well-being. Schmutte dan Ryff (1997) juga menemukan bahwa psychological wellbeing berhubungan dengan faktor kepribadian Big Five. Pola hubungan ini berbeda antar dimensi dalam psychological well-being. Schmutte dan Ryff (1997) berpendapat bahwa ciri kepribadian extraversion dan neuroticism memiliki hubungan paling utama dengan psychological well-being, tetapi conscientiousness, agreeableness, dan openness juga memiliki hubungan yang cukup penting dengan psychological well-being. Penelitian yang dilakukan oleh Schmutte dan Ryff (1997) menunjukkan terdapat hubungan yang besar antara dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan, dan tujuan dalam hidup dengan ciri neuroticism, extraversion, serta conscientiousness. Dimensi pertumbuhan diri memiliki hubungan paling signifikan dengan ciri openness dan extraversion. Selanjutnya skor dimensi hubungan positif tertinggi dimiliki individu yang agreeableness dan extraversion. Ciri neuroticism juga memiliki berkaitan erat dengan dengan dimensi otonomi. Schmutte dan Ryff
9 (1997) juga mengatakan bahwa korelasi antara Big Five jauh lebih besar dengan psychological well-being, bila dibandingkan dengan subjective well-being. Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh Siegler dan Brummett (2000) untuk menganalisis secara detail hubungan antara Big Five dan psychological well-being. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: ciri extraversion, openness, conscientiousness, dan agreeableness berkorelasi positif dengan hubungan positif. Sementara neuroticism berkorelasi negatif dengan hubungan positif. Hasil penelitian Grant, Langan-Fox, dan Anglim (2009) menunjukkan bahwa dimensi tujuan hidup menunjukkan adanya korelasi yang kuat dengan ciri kepribadian extraversion dan conscientiousness, namun berkorelasi secara negatif dengan neuroticism. Dimensi ini juga memiliki asosiasi dengan ciri kepribadian agreeableness. Namun belum ditemukan hasil pengukuran mengenai dimensi otonomi dan pertumbuhan diri pada psychological well-being. Studi lainnya dari Keyes, Ryff, dan Shmotkin (2002) melihat interaksi Big Five dan psychological well-being pada 3.032 masyarakat Amerika berusia 25-74 tahun. Hasilnya individu yang memperoleh skor psychological well-being rendah adalah individu dengan ciri neuroticism di atas rata-rata. Well-being rendah juga ditemukan pada individu dengan extraversion dan conscientiousness di bawah ratarata. Ciri openness turut menghasilkan profil psychological well-being yang tinggi. Jabaran penelitian di atas membuktikan bahwa model kepribadian Big Five telah banyak digunakan dalam perkembangan ilmu psikologi, khususnya psychological well-being. Berdasarkan Feist dan Feist (2009), sejak akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, kebanyakan psikolog kepribadian mulai sering
10 menggunakan model kepribadian Big Five. Model kepribadian ini telah ditemukan di antara beragam budaya dan menggunakan banyak bahasa. Selain itu, Big Five terlihat bertahan seiring dengan pertambahan usia individu. Mahasiswa memiliki banyak permasalahan dan tugas individu dewasa awal, terlebih bagi mahasiswa tahun terakhir yang juga menerima tuntutan untuk segera lulus dari bangku kuliah. Walau demikian, banyak mahasiswa tetap mampu menjalankan fungsi psikologi positif di dalam dirinya. Peneliti ingin melihat apakah hasil penelitian Walker (2009) dan Chen dkk (2009) mengenai skor tinggi psychological well-being mahasiswa tahun terakhir juga terbukti di Indonesia. Peneliti tertarik menggunakan Big Five Personality dikarenakan penelitian Landa dkk (2010) menyebutkan bahwa faktor kepribadian dalam Big Five adalah prediktor utama bagi psychological well-being pada mahasiswa. Peneliti akan mengembangkan penelitian terdahulu dengan menghasilkan urutan faktor kepribadian Big Five yang paling berperan sesuai dengan skor sumbangan masingmasing faktor terhadap psychological well-being pada mahasiswa. B. Rumusan Masalah Bagaimana peran Big Five Personality terhadap psychological well-being pada mahasiswa? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui peran Big Five Personality terhadap psychological wellbeing pada mahasiswa.
11 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan bagi perkembangan ilmu dalam bidang psikologis klinis, khususnya mengenai psychological well-being pada mahasiswa dan hubungannya dengan Big Five Personality. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini bisa menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya jika ingin mengangkat tema penelitian yang sama namun dengan sudut pandang yang berbeda. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi psikolog jika ingin memberikan intervensi pada mahasiswa.