KEAKSARAAN MASA KINI Oleh : Dadan Mulyana, S.Si., MM. Literasi atau di Indonesia lebih dikenal dengan istilah keaksaraan, merupakan merupakan hak dan dasar untuk belajar sepanjang hayat, baik kesejahteraan ataupun bermata pencaharian. Keaksaraan menjadi pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. Keaksaraan jauh lebih dari prioritas utama dalam pendidikan. Selain sebagai investasi utama di masa depan dan langkah pertama menuju semua bentuk-bentuk baru literasi yang diperlukan dalam abad kedua puluh satu. Menurut Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO, menyatakan bahwa satu abad ini setiap anak harus dapat membaca dan menggunakan keterampilan ini untuk mendapatkan otonomi. Gagasan keaksaraan terus berkembang seiring perkembangan abad 21. Konsep keksaraan konvensional yang terbatas pada membaca, menulis dan berhitung masih digunakan secara luas, begitu juga gagasan keaksaraan fungsional yang menghubungkan keaksaraan dengan pembangunan sosial-ekonomi. Namun cara lain untuk memahami "melek" atau "kemahiran" beraksara terus bermunculan untuk mengatasi kebutuhan belajar beragam individu dalam masyarakat pengetahuan berorientasi dan global. Globalisasi telah merubah berbagai segi kehidupan masyarakat terutama pengaruh perkembangan teknologi dan informasi. Implikasinya, keberaksaraan tidak hanya sebatas konsep konvensional dan fungsional, namun harus mampu menjawab tantangan dan orientasi global. Sehingga kini harus dipikirkan pula, bagaimana keaksaraan dibentuk oleh budaya, sejarah, bahasa, agama dan kondisi sosialekonomi? Apa dampak dari kemajuan teknologi terhadap keberaksaraan? Inilah yang harus terus dikembangkan ke depan. Perkembangan keaksaraan Awalnya keaksaraan, memang hanya sebatas masalah a, b, c, d dan seterusnya, kedengarannya sangat sepele bahkan diabaikan oleh sebagian orang. Akan tetapi dari permasalahan ini, Indonesia menjadi negara yang terpuruk di dunia Internasional. Pada tahun 2014 United Nations Development Programme (UNDP) merilis laporan Human Development Index (HDI) untuk 187 negera dengan nilai rata-rata HDI sebesar 0,702 (pada skala 0 sampai 1). Sebagian besar negara-negara di dunia menunjukkan peningkatan HDI, akan tetapi peningkatannya tidak merata. Wilayah yang masih menunjukkan HDI relatif rendah adalah Afrika sub-sahara (0,502) dan Asia Selatan (0,588), sedangkan yang tertinggi yaitu Amerika Latin dan Karibia (0,740), diikuti oleh Eropa dan Asia Tengah (0,738). Indonesia menempati peringkat ke-108 dari 187 negara pada tahun 2013, atau tidak mengalami perubahan dari tahun 2012. Posisi tersebut menempatkan Indonesia pada
kelompok menengah. Skor nilai HDI Indonesia sebesar 0,684, atau masih di bawah rata-rata dunia sebesar 0,702. Peringkat dan nilai HDI Indonesia masih di bawah ratarata dunia dan di bawah empat negara di wilayah ASEAN (Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand). Tiongkok yang pada tahun 1990 masih di bawah Indonesia mulai menyusul Indonesia pada tahun 2005, dan hal itu secara faktual salah satunya disebabkan oleh masih banyaknya penduduk yang menyandang buta aksara. Melihat kondisi seperti itu, paradigma pendidikan keaksaraan secara global mengalami perluasan makna. Pendidikan keaksaraan bukan hanya sekedar berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis dan berhitung atau dikenal dengan istilah calistung. Akan tetapi juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu atau penguasaan keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia yang melahirkan konsekuensi logis tentang adanya tuntutantuntutan baru setiap individu. Problem seperti ini akan menciptakan kesenjangan yang hanya bisa dijembatani oleh pendidikan, khususnya pendidikan nonformal. Pendidikan keaksaraan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan nonformal ini pun tidak terlepas dari tugas dan fungsinya yaitu sebagi pelengkap (suplemen), penambah (komplemen), dan pengganti (subtitusi) yang tercipta dari suatu sistem pendidikan secara menyeluruh. Setelah 70 tahun bangsa Indonesia merdeka, kondisinya telah berbalik. Kini, jumlah warga negara yang telah melek aksara sebanyak 97 persen. Berarti masih ada tiga persen saja yang masih buta aksara. Meskipun terkesan hanya tiga persen, namun sesungguhnya jumlah tersebut terbilang masih cukup besar. Karena masih ada sekitar 5,3 juta orang di Indonesia yang buta aksara. Secara global berdasarkan data UNESCO, terdapat 781 juta penduduk dewasa yang tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Dua pertiga dari mereka adalah perempuan. Sedangkan pada kelompok anak terdapat lebih dari 126 juta yang tidak dapat membaca kalimat sederhana meskipun separuh dari mereka pernah bersekolah selama empat tahun. Selain itu, terdapat 42 persen anak-anak dari keluarga miskin dan anak yang berada di wilayah konflik tidak bisa sekolah (out of school) yang akan menjadi "calon" butaaksarawan baru. Oleh karena itu, strategi dan metode pelaksanaan pendidikan keaksaraan harus tetap dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi setiap negara. Sedangkan di tingkat nasional, selama satu dekade terakhir ini, program penuntasan buta aksara di Indonesia telah menunjukkan hasil yang positif. Jika tahun 2005 penduduk buta aksara mencapai 9,55 persen, maka pada tahun 2013 turun menjadi 3,86 persen. Capaian tersebut menunjukkan Indonesia berhasil memenuhi target Deklarasi Dakkar tentang Pendidikan untuk Semua (PUS) atau Education for All (EFA). Di tahun 2015 Indonesia telah berhasil menurunkan separuh penduduk buta aksara hingga tinggal 5 persen.
Pada tahun 2014, jumlah penduduk buta aksara di Indonesia yang masih relatif tinggi, terdapat di 11 provinsi, yaitu Papua 28,61 persen atau 584.441 jiwa, Nusa Tenggara Barat 10,62 persen atau 315.258 jiwa, Sulawesi Barat 7,63 persen atau 59.127 jiwa, Sulawesi Selatan 7,15 persen atau 375.221 jiwa, Nusa Tenggara Timur 6,94 persen atau 199.800 jiwa, Jawa Timur 5,78 persen atau 1.458.184 jiwa, Kalimantan Barat 5,50 persen atau 165.087 jiwa, Bali 5,11 persen atau 135.148 jiwa, Papua Barat 4,43 persen atau 24.334 jiwa, Sulawesi Tenggara 4,42 persen atau 64.798 jiwa, dan Jawa Tengah 4,43 persen atau 943.683 jiwa. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah terutama Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. Selain menuntaskan sisa penduduk buta aksara di 11 provinsi, juga terdapat 27 kabupaten yang masih memiliki sekitar 50.000 penduduk buta aksara yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pemberantasan buta aksara. Menurut laporan UNESCO, trend peningkatan persentase penduduk melek aksara di atas 90 persen. Jumlah warga buta huruf di Indonesia hasil survei Pusat Data Statistik Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014 menyebutkan penduduk tuna aksara usia 15-59 tahun saat ini tercatat masih 5.984.075 orang atau masih sekitar 3,70 persen dari rata-rata nasional. Penduduk perempuan tercatat lebih banyak yang menyandang tuna aksara, yaitu 3.990.000 orang dibandingkan lelaki yang tuna aksara sebanyak 1.993.445 orang. Jumlah penduduk usia 15-59 tahun yang melek aksara sampai akhir Desember 2014 tercatat 155.657.749 orang. Mengingat jumlah penduduk tuna aksara masih tinggi, maka pemerintah harus mengubah paradigma perkembangan pendidikan keaksaraan di Indonesia seiring dengan pendidikan keaksaraan dunia yang mengusung tema "Literacy and Sustainable Society" atau "Keaksaraan dan Pendidikan Masyarakat Berkelanjutan". Sesuai dengan perkembangan pembangunan abad 21. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan keaksaraan ke depan diperuntukan untuk memperkuat kemandirian dan kewirausahaan. Sehingga program yang dikembangkan adalah program Keaksaraan Usaha Mandiri dan Aksara Kewirausahaan sebagai kelanjutan program keaksaraan dasar. Melalui program tersebut diharapkan terjadinya pelestarian atau pemeliharaan kemampuan keaksaraan dasar sekaligus diberikan sejumlah pendidikan kecakapan hidup, baik soft-skill berupa sikap dan karakter maupun hard-skill dalam bentuk keterampilan vokasional.
Pemberdayaan masyarakat abad 21 Abad 21 ditandai dengan semakin membaurnya warga masyarakat dunia dalam satu tatanan kehidupan masyarakat yang luas dan beraneka ragam akan tetapi juga bersifat terbuka untuk semua warga. Semua kebiasaan yang menyangkut pilihan pekerjaan, kesibukan, makanan, mode pakaian, dan kesenangan telah mengalami perubahan, dengan kepastian mengalirnya pengaruh kota-kota besar terhadap kota-kota kecil, bahkan sampai ke desa. Kebisaan hidup tradisional berubah menjadi gaya hidup global. Kesenangan bergaya hidup internasional mulai melanda. Perbincangan mengenai pengembangan hubungan antar negara menjadi mirip pembahasan tentang pengembangan komunikasi antar kota dan desa. Teknologi komunikasi memang memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, dalam berbagai bentuk yakni suara dan gambar yang menyajikan informasi, data, peristiwa dalam waktu sekejap. Secara psikologis kondisi tersebut akan membawa manusia pada perubahan peta kognitif, pengembangan dan kemajemukan kebutuhan, pergeseran prioritas dalam tata nilai. Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan, yakni yang bersifat people-centered (diarahkan pada masyarakat), participatory (partisipasi), dan sustainable (kemampuan untuk hidup terus). Konsep ini lebih luas dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses kemiskinan lebih lanjut (safety net). Maka memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu: 1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Tidak ada masyarakat yang tanpa daya sama sekali, karena jika itu terjadi maka komunitas masyarakat akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi semakin berdaya. Yang lebih penting dalam pemberdayaan ini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. 3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah jangan menjadi bertambah lemah, oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi bukan berarti mengisolasi atau menutupi mereka dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melalaikan yang lemah. Melindungi merupakan upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi semakin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain). Proses pemberdayaan masyarakat dapat dikatakan setiap usaha pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran/pengertian dan kepekaan pada warga masyarakat terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan/atau politik sehingga pada akhirnya warga masyarakat memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat, atau menjadi masayarakat yang berdaya. Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat adalah upaya memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara seimbang. Proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal, sesungguhnya merupakan sebuah upaya yang memungkinkan masyarakat dengan segala keberadaanya dapat memberdayakan dirinya. Dengan pusat aktivitas harusnya berada di tangan masyarakat itu sendiri dengan bertitik tolak dari masyarakat, dilaksanakan oleh masyarakat dan manfaatnya untuk masyarakat atau dengan istilah lain pendidikan berbasis pada masyarakat. Sejak tahun 2008 Indonesia telah bergabung dengan program LIFE (Literacy Initiative for Empowerment) yang digulirkan oleh UNESCO bagi sembilan Negara penyandang buta aksara terbesar termasuk di dalamnya Indonesia. Sejalan dengan program LIFE, dibangunlah dalam kerangka kerja AKRAB (Aksara agar Berdaya) pada tahun 2009 sebagai upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup yang diharapkan dapat meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomi yang mengarah pada pembangunan sumber daya manusia, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di negeri ini. Berdasarkan hal tersebut, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan keaksaraan bukan sekedar penerapan Budaya Literasi (BUDAL). Akan tetapi lebih pada pendidikan kewirausahaan harus menjadi unsur utama bagi pemenuhan akan outcome dari pendidikan keaksaraan. Pendidikan kewirausahaan tidak terlepas dari keberaksaraan, namun keduanya saling bersinergi, sehingga pada gilirannya mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas masyarakat. Inilah sebenarnya yang diharapkan dalam masyarakat di era abad 21.