BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini membahas tentang implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Pangan merupakan kebutuhan pokok dan hak asasi setiap warga negara. Pemerintah Kabupaten Pati mempunyai kewajiban untuk menjamin terpenuhinya pangan penduduknya sampai pada tingkat perorangan, sebagaimana diamanatkan dalam Undangundang nomor 7 tahun 1996 dan diubah dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan. Pemenuhan pangan dapat dikatakan menyangkut hidup matinya suatu bangsa, sehingga harus dilakukan secara menyeluruh dan bersungguh-sungguh karena sebagai pondasi hidup suatu bangsa. Penyelenggaraan pangan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, dimana pemerintah bertanggungjawab dalam ketersediaan pangan, mewujudkan keterjangkauan pangan, meningkatkan pemenuhan kuantitas dan/atau kualitas konsumsi pangan dan gizi, mengupayakan terwujudnya penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat, mewujudkan keamanan pangan dengan menerapkan dan mengawasi pelaksanaan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) keamanan pangan, melaksanakan penelitian dan pengembagan pangan. Sedangkan masyarakat berperan dalam pelaksanaan produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi pangan; penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat; pencegahan dan penanggulangan
rawan pangan; penyampaian informasi pangan dan gizi; pengawasan kelancaran penyelenggaraan ketersediaan, keterjangkauan, penanekaragaman, dan keamanan pangan, dan/atau peningkatan kemandirian pangan rumah tangga. Istilah diversifikasi pangan atau penganekaragaman pangan diartikan sebagai upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal (UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan). Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada diversifikasi pangan dalam konteks konsumsi pangan saja. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Sukara (2012) dan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan (2012) dalam Arini dan Pitono (2013,234) Indonesia memiliki: 100 spesies tanaman bijibijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula (sumber karbohidrat); 100 spesies tanaman kacang-kacangan sumber protein dan lemak; 389 buah-buahan; 250 spesies sayur-sayuran; 70 spesies bumbu dan rempah-rempah; 40 spesies tanaman bahan minuman; 940 spesies tanaman obat tradisional; perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil, lainnya) sekitar 4.948.824 ton/tahun; Budi daya air tawar: 1.039.100 ton/tahun. Namun kenyataannya masyarakat hanya mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok utama (Purwantini dan Susilowati,2013:210). Data Kajian Konsumsi dan Cadangan Beras Nasional 2011 ( BPS dan Badan Ketahanan Pangan) menyebutkan bahwa jumlah konsumsi beras nasional dari berbagai sumber baik yang dikonsumsi sebagai makanan maupun nonmakanan mencapai 27,34 juta ton dengan rata-rata konsumsi beras mencapai
113,72 Kg / kapita / tahun atau 0,31 Kg per hari. Konsumsi perkapita tertinggi terjadi pada konsumsi beras yang diolah dalam rumah tangga (90,10 kg/kapita/tahun). Jika dihitung khusus untuk konsumsi makanan, konsumsi beras per kapita per tahun adalah sebesar 113,42 kg. Beras menjadi komoditas yang strategis yang ketersediannya harus dijaga agar tetap stabil. Pemerintah berupaya menjaga kestabilan ketersediaan beras dengan menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi serta mengendalikan jumlah impor beras. Meskipun Indonesia merupakan negara agraris yang mampu menghasilkan beras sendiri, Pemerintah mengambil kebijakan untuk melakukan impor beras dengan berbagai alasan, salah satunya yaitu karena produksi dalam negeri belum mencukupi. Data BPS menyebutkan jumlah impor beras tahun 2013 sebanyak 472.664 ton senilai US$ 246 juta 2014 dan mengalami kenaikan pada tahun 2014 sebanyak 844.163 ton senilai US$ 388,1 juta. Tingginya konsumsi beras masyarakat Indonesia sebagai sumber karbohidrat, menyebabkan berbagai masalah seperti timbulnya penyakit degeneratif dan penyakit lainnya seperti diabetes (www.bbc.com). Selain itu, ketergantungan hanya pada satu jenis pangan dapat menyebabkan krisis pangan jika terjadi gagal panen atau kelangkaan komoditas pangan tersebut. Pemerintah menargetkan penurunan konsumsi beras 1,5% per tahun melalui kebijakan Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumberdaya Lokal. Menurut data statistik konsumsi pangan tahun 2015 yang dikeluarkan Kementerian Pertanian, rata-rata konsumsi beras menurun sejak tahun 2011
sampai tahun 2015. Rata-rata penurunan konsumsi beras sebesar 1,3%. Penurunan konsumsi beras tersebut ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan konsumsi pangan lokal seperti umbi-umbian. Rata-rata konsumsi perkapita kelompok umbiumbian mengalami penurunan kecuali sagu dan ubi jalar. Rata-rata konsumsi ubi kayu sejak tahun 2011-2015 mengalami penurunan sebesar 9,41%, untuk tales dan umbi lainnya menurun sebesar 10,43%. Sebaliknya terjadi tren peningkatan rata-rata konsumsi per kapita tepung terigu sejak tahun 2011-2015 sebesar 13,13%. Berdasarkan data tersebut, terlihat adanya pergeseran konsumsi pangan sumber karbohidrat di masyarakat. Hasil penelitian Purwantini dan Susilowati (2013) menyimpulkan bahwa penurunan konsumsi beras diikuti dengan penurunan konsumsi pangan lokal (umbi-umbian) baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan sedangkan konsumsi terigu dan produk turunannya semakin meningkat. Produk dominan yang dikonsumsi masyarakat adalah mie instan. Data dari World Instant Noodle Association (WINA) menyebutkan bahwa Indonesia mengkonsumsi 13,2 miliar bungkus mie instan pada tahun 2015, sekitar 13,5% dari total konsumsi mie instan di seluruh dunia (http://industri.bisnis.com/). Perubahan zaman mengubah pola konsumsi pangan masyarakat. Dahulu masyarakat mengkonsumsi pangan pokok yang beragam seperti umbiumbian, sagu dan jagung (pangan lokal), kemudian dalam perkembangannya masyarakat beralih ke beras sebagai makanan pokok, dan akhir-akhir ini masyarakat mengarah ke pangan berbasis terigu ( Saliem dan Suryani, 2008 dalam Purwantini dan Susilowati, 2013:211). Kebijakan pemerintah untuk melakukan
gerakan penganekaragaman / diversifikasi pangan sangat tepat mengingat jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta (Sumber : bps.go.id) dan semakin bertambah namun disisi lain adanya penurunan kuantitas produksi pertanian terutama beras serta tingginya konsumsi makanan berbasis terigu yang merupakan produk impor. Perlu adanya pengalihan / pengurangan konsumsi beras dan terigu ke pangan lokal yang keberadaan dan harganya terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Secara umum kondisi konsumsi pangan nasional tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di Kabupaten Pati. Konsumsi pangan masyarakat didominasi oleh beras. Berdasarkan survey Pola Pangan Harapan (PPH) masyarakat Kabupaten Pati tahun 2010-2014 terdapat perbaikan pola konsumsi masyarakat yang terlihat dengan meningkatnya skor PPH dari tahun ke tahun. Gambar 1.1 86 84 82 80 78 76 74 72 70 68 66 Skor PPH Kabupaten Pati Tahun 2010-2014 85 82.4 83.5 72.9 73.1 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber : Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Pati, 2016 ( diolah)
Namun demikian, pencapaian skor PPH tersebut masih menggambarkan kualitas dan keragaman konsumsi pangan masyarakat yang belum ideal. Kualitas konsumsi pangan dianggap baik dan terdiversifikasi sempurna apabila skor PPH mencapai 100 dan dapat dikatakan semakin tinggi skor, diversifikasi konsumsi pangan semakin baik. Pola konsumsi masyarakat Kabupaten Pati masih didominasi dari padi-padian atau beras. Data menunjukkan bahwa konsumsi energi kelompok padi-padian masyarakat Kabupaten Pati pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 melebihi proporsi ideal yaitu 50%. Pada tahun 2009 konsumsi beras sebesar 60,9% artinya masih lebih besar 10,9% dari proporsi ideal., tahun 2010 kelebihan sebesar 9,4% dan tahun 2011 kelebihan 9,5%. Kondisi tersebut perlu diperbaiki agar pola konsumsi pangan khususnya konsumsi energi yang berasal dari kelompok pangan padi-padian dapat mencapai proporsi yang ideal dengan cara menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi umbi-umbian sebagai pangan sumber karbohidrat yang mudah diperoleh karena termasuk dalam kategori pangan lokal. Tabel 1.1 Konsumsi Energi Kelompok Padi-padian (beras) Kabupaten Pati Tahun 2009 s/d 2011 Tahun %AKE 2009 60.9 2010 59.4 2011 59.5 Sumber : Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Pati, 2016 ( diolah)
Kabupaten Pati merupakan wilayah yang memiliki potensi pertanian yang cukup tinggi. Produksi pertanian terutama padi telah mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat bahkan mengalami surplus. Tahun 2010-2014 ratarata surplus padi sebanyak 215 ribu ton. Selain padi, Kabupaten Pati juga merupakan daerah yang memiliki potensi menghasilkan ubi kayu dan jagung yang cukup tinggi di Jawa Tengah. Produksi rata-rata ubi kayu dan jagung melebihi rata-rata produksi ubi kayu dan jagung di Jawa Tengah pada tahun 2014 yaitu sebanyak 116.847 ton dan 83.740 ton (http://jateng.bps.go.id/). Tabel 1.2 Produksi Ubi Kayu dan Jagung Kabupaten Pati Tahun 2007-2014 (dalam ton) Tahun Ubi Kayu Jagung 2007 219.799 53.711 2008 318.194 76.339 2009 386.434 97.210 2010 643.558 123.180 2011 532.874 114.220 2012 732.961 119.123 2013 695.460 96.028 2014 744.746 126.411 Rata-rata 534.253 100.778 Sumber : BPS Kab. Pati, diolah Selain sumber karbohidrat, Kabupaten Pati juga memiliki potensi yang tinggi dalam hal ketersediaan sumber protein hewani khususnya ikan. Pada tahun 2015, produksi ikan laut sebanyak 52.793 ton. Untuk ikan segar budidaya tambak seperti bandeng produksinya sebanyak 441.646 ton; udang windu sebanyak
63.170,6 ton; udang vaname sebanyak 27.260,6 ton. Sedangkan untuk budidaya di kolam seperti Ikan lele produksinya sebanyak 8.272 ton. Kabupaten Pati memiliki ketersediaan pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang cukup tinggi. Kondisi tersebut dinilai mampu untuk melakukan penganekaragaman konsumsi pangan yang diarahkan pada pangan lokal sumber karbohidrat non beras seperti umbi-umbian. Percepatan diversifikasi pangan merupakan hal yang sangat penting diwujudkan baik untuk saat ini maupun untuk masa depan dengan beberapa alasan sebagaimana dikemukakan Ariani dan Pitono (2013,236-237) yaitu (1) Komitmen Indonesia untuk menurunkan prevalensi rawan pangan/kelaparan sesuai kesepakatan MDGs. Penduduk rawan pangan sekitar 15,34% pada tahun 2010, padahal target MDGs 8,5%. Upaya yang dilakukan masyarakat adalah mengkonsumsi beraneka ragam jenis pangan sesuai dengan daya beli dan preferensinya; (2) Peningkatan produksi pangan terutama beras ke depan akan semakin sulit karena adanya berbagai permasalahan seperti perubahan iklim, konversi dan degradasi lahan, kompetisi pemanfaatan air, kerusakan infrastruktur pertanian, kelestarian lingkungan, dan volatilitas harga pangan; (3) Permintaan pangan akan terus meningkat disebabkan adanya peningkatan jumlah penduduk dan peningkatn pendapatan; (4) Kekayaan keanekaragaman hayati dan potensi produksi sebagai sumber pangan lokal. Untuk mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat dengan memanfaatkan pangan lokal, Pemerintah mengeluarkan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan yaitu Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009
tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Di tingkat daerah, Pemerintah Kabupaten Pati menindaklanjuti kebijakan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Bupati Pati Nomor 28 Tahun 2010 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kebijakan penganekaragaman konsumsi pangan yang dicanangkan oleh pemerintah pusat, akan sulit mencapai tujuan jika tidak ada tindak lanjut dan kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah yang mengetahui potensi pangan lokal dan kondisi masyarakatnya akan lebih mudah menyusun kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 28 Tahun 2010. Selain itu, peneliti juga akan melakukan identifikasi faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah : a. Bagaimana implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati?
b. Faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati c. Mengevaluasi implementasi kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di Kabupaten Pati 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Pati dalam pelaksanaan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan lokal di daerahnya untuk mendukung terwujudnya ketahanan pangan. 1.5 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang diversifikasi pangan telah banyak dilakukan oleh peneliti peneliti sebelumnya. Suyastiri (2008) melakukan penelitian dengan judul Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola konsumsi pangan pokok didominasi oleh beras, namun sudah mulai ada pola diversifikasi konsumsi pangan pokok beras dan non beras dengan pola beras-jagung, beras-
ketela pohon, dan beras-jagung-ketela pohon. Pola diversifikasi konsumsi pangan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain : pendapatan rumah tangga, harga pangan, dan jumlah anggota keluarga. Hanafie (2010) juga melakukan penelitian tentang diversifikasi pangan lokal dengan judul Peran Pangan Pokok Lokal Tradisional Dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pangan pokok lokal tradisional utamanya ketela pohon dan jagung belum sepenuhnya diposisikan sebagai pangan pokok karena selalu digantikan dengan beras jika situasi memungkinkan, selain itu ketela dan jagung dikonsumsi masyarakat dalam bentuk kudapan. Penelitian tentang diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan oleh Iftitah dengan judul Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Desa Sukolilo Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Penelitian ini menganalisa pola konsumsi pangan rumah tangga pedesaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga pedesaan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola konsumsi pangan rumah tangga pedesaan belum beragam dan cenderung bergantung pada satu jenis bahan pangan saja. Diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga pedesaan juga belum tercapai yang dilihat dari skor Pola Pangan Harapan (PPH) hanya sebesar 52,23 jauh di bawah skor ideal PPH yaitu 100. Faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi pangan antara lain : pendapatan masyarakat, pendidikan ibu rumah tangga dan jumlah anggota keluarga.
Penelitian lain dilakukan oleh Sukesi dan Shinta (2011) yang berjudul Diversifikasi Pangan Sebagai Salah Satu Strategi Peningkatan Gizi Berkualitas di Kota Probolinggo. Hasil penelitian menyatakan bahwa Angka Kecukupan Gzi (AKG) di Kecamatan Kanigaran adalah tahan energi dan strategi untuk meningkatkan kualitas konsumsi makanan dengan sosialisasi diversifikasi pangan dengan mengatur pola konsumsi pangan yang berimbang,bergizi dan beragam. Selain dari segi teknis seperti yang telah diuraikan di atas, penelitian tentang diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan pada aspek psikologi yang dilakukan oleh Hidayah (2011) dengan judul Kesiapan Psikologis Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Menghadapi Diversifikasi Pangan Pokok. Penelitian tersebut menyimpulkan beberapa hal antara lain (1) tingkat pengetahuan tentang diversifikasi pangan pokok masyarakat perkotaan lebih tinggi dari pada masyarakat pedesaan, (2) Masyarakat perkotaan dan pedesaan sama-sama memiliki sikap positif terhadap diversifikasi pangan pokok, (3) Masyarakat sudah menerapkan diversifikasi pangan pokok, sedangkan masyarakat perkotaan belum siap menerapkan diversifikasi pangan pokok, dan (5) Masyarakat pedesaan memilih umbi-umbian sebagai jenis pangan non beras sedangkan masyarakat perkotaan memilih makanan olahan berbasis gandum. Penelitian tentang implementasi kebijakan pangan lokal pernah dilakukan oleh Wastutiningsih dkk (2011) di Bantul. Penelitiannya berjudul Kebijakan Pengembangan Pangan Lokal di Kabupaten Bantul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat dominan dalam pengembangan pangan lokal, pelaksanaan kebijakan pengembangan pangan lokal dilakukan
dengan penggunaan pangan lokal untuk konsumsi dalam setiap pertemuan yang diadakan mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat RT. Selain itu Beberapa SD di Bantul juga sudah memperkenalkan pangan lokal dalam proses pembelajarannya.