BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Film merupakan media komunikasi massa efektif yang dapat merepresentasikan suatu hal baik secara audio maupun visual yang dibuat sehidup dan semenarik mungkin sehingga pesan yang ingin disampaikan oleh sineas mudah dipahami oleh audience. Selain media komunikasi massa yang efektif film juga merupakan media multifungsional yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti pendidikan, hiburan, komersil, dan lain-lain. Dikarenakan keefektifan dan multifungsionalitas film tersebut maka tak ayal film dapat menjaring beragam audience dari berbagai lapisan masyarakat serta digemari hingga saat ini. Pengaturan yuridis mengenai perfilman Indonesia saat ini dituangkan melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Secara yuridis yang dimaksud dengan film sebagaimana definisi UU quo adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. 1 Berdasarkan definisi tersebut dapat ditemukan kata-kata bahwa film merupakan karya seni budaya yang merupakan pranata sosial. Pranata sosial itu sendiri menurut Soerjono Soekanto merupakan lembaga kemasyarakatan yang diartikan sebagai himpunan norma dari berbagai tindakan yang berkisar pada 1 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5060).
2 suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan bermasyarakat. 2 Dalam kata lain, maka segala tindakan yang ada dalam masyarakat harus sesuai dengan pranata sosial tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul di era globalisasi seperti ini adalah, bagaimana jika terdapat film yang beredar di tengah-tengah masyarakat namun tidak sesuai dengan pranata sosial di Indonesia? lalu bagaimana negara berlaku dalam menanggulangi hal tersebut? Salah satu pertimbangan dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman adalah kenyataan bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa. Pertimbangan tersebut menunjukan bahwa terdapat urgensi untuk memajukan perfilman yang sejalan dengan kepentingan nasional. Sadar akan hal tersebut maka sudah sepantasnya ada upaya perlindungan bagi masyarkat terhadap dampak suatu film. Upaya perlindungan tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan apa yang dikenal sebagai sensor. Adapun yang dimaksud sebagai sensor film adalah penelitian, penilaian, dan penentuan kelayakan film dan iklan film untuk dipertunjukkan kepada khalayak umum. 3 Demi merealisasikan kegiatan sensor film tersebut maka, UU a quo mengamanatkan kelahiran lembaga negara, yaitu Lembaga Sensor Film (LSF) 2 Y. Sri Pujiastuti, et al., 2006, IPS Terpadu, Erlangga, Jakarta, hlm 31. 3 Lihat Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5060).
3 yang berwenang mengeluarkan Surat Tanda Lulus Sensor sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. 4 Harus disadari potensi ekses negatif tidak hanya terdapat di dalam dunia perfilman, namun juga terdapat pada kegiatan penyiaran (baik di televisi, radio, dll) sebagai suatu kegiatan yang jauh lebih generik dibandingkan dengan perfilman itu sendiri. Perlu diingat bahwa pelaku kegiatan penyiaran tidak melulu menampilkan film sebagai program acarannya, maka dalam kata lain selain terdapat lembaga kontrol seperti LSF yang bertanggungjawab perihal penyensoran film, terdapat juga lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dibentuk berdasarkan amanat UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 5 KPI bertindak sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab perihal kontrol dalam kegiatan penyiaran di Indonesia, KPI berhak mengeluarkan standar program siaran (SPS) dan pedoman perilaku penyiaran (P3) demi terwujudnya hal tersebut. Berdasarkan fakta bahwa terdapat dua lembaga di atas pertanyaan yang kemudian timbul adalah, bagaimana jika suatu film/iklan yang menjadi ranah dari kewenangan LSF tersebut ditayangkan di stasiun televisi yang berada dalam ranah penyiaran yang menjadi kewenangan dari KPI? Menurut UU KPI telah dijelaskan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. 6 Berdasarkan isi pasal tersebut, dalam kata lain LSF merupakan lembaga yang melakukan pengawasan perfilman sebelum di 4 Lihat Pasal 58 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5060). 5 Wurry Parluten, Perbedaan Sensor dan Komisi Penyiaran, http://www.framemagz.com/2013/12/perbedaan-sensor-dan-komisi-penyiaran.html, diakses pada 18 Oktober 2010. 6 Lihat Pasal 47 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252).
4 tayangangkan di televisi sedangkan KPI merupakan lembaga yang melakukan pengawasan perfilman setelah film/iklan tersebut tayang di televisi. Pemaparan di atas menunjukan bahwa hubungan antara kedua lembaga ini sangat berkaita erat dan beririsan dalam melaksanakan tugasnya. Pada praktiknya hubungan kedua lembaga negara tersebut dalam melaksanakan kinerja bukan tanpa menimbulkan suatu permasalahan. Masalah tersebut timbul ketika ketika suatu film/iklan yang nyata-nyatanya telah mengantongi Surat Tanda Lulus Sensor namun mendapat pencekalan setelah tayang di televisi. Sebagai contoh terdapat sanksi administratif yang dilayangkan pada penayangan film; Doraemon dan Dragonball yang tayang di salah satu televisi swasta dikarenakan dianggap memuat konten yang tidak pantas. 7 Jika memang STLS merupakan perwujudan tujuan UU Perfilman untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif namun mengapa terdapat perbedaan presepsi diantara kedua lembaga tersebut perihal konten perfilman? Terlebih lagi bahwa terdapat stasiun televisi yang tidak mengindahkan sanksi administratif KPI dengan dalih berlindung pada STLS karena faktanya bahwa sanksi administratif yang diberikan oleh KPI bukan merupakan suatu pembatalan STLS. 8 Pertanyaan yang kemudian timbul adalah bagaimanakah kepastian hukum mengenai konten perfilman yang dinilai layak dan baik tersebut? Dari hal di atas lantas timbul suatu akar permasalahan mengenai bagaimana permasalahan tersebut bisa terjadi dan di mana saja sebenarnya letak 7 KPI, Lihat Sanksi, http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi, diakses pada 9 September 2016. 8 Rahayu, et al., 2014, Kinerja Regulator oleh Penyiaran Indonesia : Penilaian atas Derajat Demokrasi, Profesionalitas, dan Tata Kelola, PR2M, Yogyakarta, hlm. 37.
5 permasalahan dalam pola hubungan LSF dan KPI menyangkut ranah perfilman? Tentunya permasalahan a quo memerlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis tertarik untuk menulis penilitian dengan judul Analisis Yuridis Pola Hubungan Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Kepastian Hukum Bidang Perfilman Nasional guna menemukan akar permasalahan di dalam pola hubungan kelembagaan LSF dan KPI perihal konten perfilman demi menemukan solusi demi terwujudnya kinerja yang efektif diantara keduanya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diambil rumusan-rumusan masalah sebagai berikut; 1. Bagaimana pola hubungan Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia perihal konten perfilman? 2. Bagaimana permasalahan yang terjadi dalam pola hubungan Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia perihal konten perfilman? 3. Bagaimana solusi bagi permasalahan yang terjadi pada pola hubungan Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia perihal konten perfilman?
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan subyektif: Penelitian ini berguna untuk memperoleh data akurat yang berhubungan dengan obyek yang penulis teliti sebagai bahan dasar penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada. 2. Tujuan Obyektif: a. Untuk mengetahui dan memahami pola hubungan lembaga negara yang bertanggungjawab dalam hal penyensoran film dan penyiaran perihal konten perfilman. b. Untuk mengetahui dan menemukan permasalahan dalam pola hubungan lembaga negara yang bertanggungjawab dalam hal penyensoran film dan penyiaran. c. Untuk menemukan solusi yang efektif guna menanggulangi permasalahan yang timbul dalam pola hubungan kedua lembaga sebagaimana yang dimaksud. D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis Penulisan hukum ini diharapkan memberikan pandangan dalam bidang ilmu hukum khususnya Hukum Tata Negara bahwa sejatinya pola hubungan diantara kedua lembaga negara, yaitu LSF dan KPI tidak efektif, sehingga perlu ada solusi ideal mengenai hal tersebut agar dalam kinerjanya lembaga
7 negara yang berada diranah berdekatan khususnya bidang penyensoran film dan penyiaran agar berjalan efektif. 2. Secara Praktisi Diharapkan dengan adanya penelitian ini memberikan masukan kepada aparatur negara demi terwujudnya efektifitas kinerja lembaga negara yang bertanggungjawab dalam sensor film dan penyiaran. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan Pengamatan melalui media cetak ataupun elektronik oleh penulis, belum pernah ada penelitian maupun karya-karya ilmiah sejenis yang spesifik membahas dan menganalisis permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Beberapa karya ilmiah yang ditemukan hanya membahas beberapa unsur penelitian ini dengan sasaran kajian yang berbeda atau dalam kata lain membahas tema yang sama namun berbeda mengenai peristiwa atau case yang ditelitinya, adapun penelitian tersebut adalah; Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Sensor Film dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia oleh Abraham Utama seorang mahasiswa Universitas Gadjah mada, dengan NIM 08/267685/HK/1786, adapun rumusan masalahnya: 9 1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan lembaga Sensor Film dalam struktur ketatanegaraan Indonesia? 2. Apakah hambatan-hambatan yang menjadi kendala lembaga sensor film dalam melaksanakan kewenanganya periode 2009-2012? Berdasarkan fakta di atas walaupun penulisan hukum di atas mengangkat tema yang sama namun sasaran kajian yang ingin diteliti jauh berbeda dengan penulisan 9 Abraham Utama, 2013, Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Sensor Film dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 11.
8 hukum ini. Penulisan hukum ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan maksud baik sehingga penulisan hukum ini akan mengikuti etika-etika penulisan hukum