BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bisnis oleokimia saat ini cukup pesat, beberapa perusahaan yang sebelumnya bergerak di bidang perkebunan (hulu atau upstream) mencoba merambah ke bisnis hilir (downstream) salah satunya yakni dengan menggarap bisnis oleokimia. Bisnis ini banyak diminati perusahaan besar, karena mereka ingin mengolah sendiri hasil dari perkebunan mereka, disamping itu prospek bisnis industri oleokimia yang terus berkembang seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan dunia terhadap sumber energi yang terbarukan. Industri oleokimia adalah industri antara yang berbasis minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti kelapa sawit (CPKO). Dari kedua jenis produk ini dapat dihasilkan berbagai produk antara sawit yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri hilir baik untuk kategori pangan ataupun non pangan. Diantara kelompok industri antara sawit tersebut salah satunya adalah oleokimia dasar (fatty acid, fatty alcohol, fatty amines, methyl esther, glycerol). Produk-produk tersebut menjadi bahan baku bagi beberapa industri seperti farmasi, toiletries, dan kosmetik. Fatty alcohol sebagian besar digunakan untuk produksi deterjen sebesar 48% dan pembersih kemudian disusul oleh penggunaan sebagai bahan antioksidan sebesar 11%. Sedangkan gliserin banyak digunakan antara lain untuk sabun, kosmetik dan obat-obatan yang mencakup 37% dari total konsumsi material ini. 1
Kelompok produk lainnya yang cukup banyak menggunakan gliserin adalah Alkyd resin dan makanan masing-masing 13% dan 12% (Samardi, 2009). Salah satu perusahaan perkebunan yang mencoba bisnis oleokimia adalah PT. Bakrie Sumatera Plantation (PT. BSP), Tbk atau yang memiliki nama di bursa efek dengan sandi UNSP. PT BSP, Tbk memulai bisnis ini dengan cara mengakuisisi perusahaan oleokimia yang sudah ada. Hal ini mereka wujudkan dengan mengaukisisi perusahaan oleokimia yang berada di bawah bendera PT Domba Mas Group dan selanjutnya diberi nama PT. Sarana Industama Perkasa atau PT.SIP. Sejak berdirinya industri oleokimia tersebut dan masih dibawah manajemen PT. Domba Mas Grup, pabrik belum beroperasi secara komersial dengan berbagai alasan diantaranya adalah kekurangan dana operasional, infrastruktur yang belum memadai maupun kurangnya sumberdaya yang diperlukan. Akibat belum beroperasinya pabrik, menimbulkan keresahan bagi karyawan dimana selama periode 2007-2009, tingkat turnover karyawan secara persentase mengalami peningkatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Tingkat Turnover tahun 2007 2009 TAHUN Tingkat Turnover KPI Realisasi 2006 2007 5% 12% 2007 2008 5% 9% 2008 2009 5% 8% Sumber: Data internal Perusahaan 2
Harapan muncul ketika PT BSP, Tbk melakukan akuisisi pada tahun 2010 dan diproyeksikan akan beroperasi pada November 2010. Apalagi BSP merupakan salah satu perusahaan perkebunan terbesar di Asia. Hingga November 2011 atau mengalami keterlambatan selama 1 (satu) tahun, pabrik di Kuala Tanjung belum beroperasi normal, meskipun dalam tempo November 2010 (jadwal yang ditetapkan semula) hingga November 2011 pabrik sudah beberapa kali running, namun proses running belum berjalan sempurna. Beragam penyebab belum beroperasinya pabrik di Kuala Tanjung, mulai dari modal, infrastruktur yang belum memadai, hingga permasalahan teknis. Padahal dari sisi sumber daya manusia, manajemen sudah memiliki dan layak untuk beroperasi, hal ini dengan ditandai bahwa karyawan sudah menjalani proses training pengoperasian pabrik (dibuktikan dengan adanya kualifikasi karyawan melalui training step-up card). Beralih kepemilikan ke BSP sempat menimbulkan harapan baru bagi karyawan, apalagi semula diproyeksikan pabrik akan berjalan pada November 2010. Namun, ternyata hal ini belum mampu menjawab harapan mereka. Harapan semula pabrik akan berjalan di akhir tahun 2010 ternyata pabrik belum juga beroperasi hingga saat ini (Juli 2012). Hal ini kembali membuat karyawan merasa cemas terhadap masa depan perusahaan. Mathis dan Jackson (2008) menyatakan bahwa karyawan akan loyal terhadap perusahaan jika perusahaan memiliki kejelasan dalam hal masa depan. Tidak jelasnya kapan operasional perusahaan merupakan salah satu penyebab mundurnya karyawan dari perusahaan. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2: 3
Tabel 1.2. Tabel Turnover berdasarkan Department Tahun 2010 2012 No Department Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Total Turn over Non Staff Staff Persentase Total Turn over Non Staff Staff Persentase Total Turn over Non Staff Staff Persentase 1 Production 45 15 13 2 33.33% 47 12 9 3 25.53% 42 9 6 3 21.43% -Fatty Alcohol 21 9 7 2 42.86% 23 7 6 1 30.43% 19 5 3 2 26.32% -Fatty Acid 24 6 5 1 25.00% 24 6 3 3 25.00% 23 7 3 4 30.43% 2 Maintenance 63 2 2 0 3.17% 75 5 3 2 6.67% 69 8 5 3 11.59% 3 Utility 80 9 8 1 11.25% 83 7 6 1 8.43% 79 9 5 4 11.39% 4 Logistik 45 1 6 1 2.22% 42 2 2 0 4.76% 44 5 3 2 11.36% 5 QA/QC 21 4 3 1 19.05% 25 3 2 1 12.00% 21 2 2 0 9.52% 6 EHS 19 4 4 0 21.05% 19 2 0 2 10.53% 17 4 2 2 23.53% 7 Finance and 14 2 2 0 14.29% 12 1 0 1 8.33% 15 0 0 0 0.00% Accounting 8 HRD 47 1 0 1 2.13% 43 4 2 2 9.30% 41 2 2 0 4.88% 9 Project 27 3 2 1 11.11% 31 4 1 3 12.90% 28 3 3 0 10.71% TOTAL 361 41 33 8 11.36% 377 40 25 15 10.34% 356 45 28 17 12.64% Sumber: Data HRD PT Sarana Industama Perkasa Tahun 2012 4
Pada Tabel 1.2. dapat dilihat bahwa departemen yang tingkat turnover paling besar adalah production, yang terdiri dari Fatty Alcohol dan Fatty Acid. Secara keseluruhan Departemen Produksi memiliki tingkat turnover sebesar 21.05%. Angka ini melebihi batas wajar tingkat keseluruhan turnover sebesar 10.34%. Departemen produksi merupakan sentral dari proses produksi. Namun justru tingkat turnover banyak terjadi pada divisi ini. Karyawan di Departemen Produksi memiliki keahlian yang unik. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Head of Production PT BSP Downstream, Kuala Tanjung. Unik dikarenakan mereka memiliki kemampuan khusus hanya di bagian oleokimia, sehingga penggantinya juga harus di peroleh dari proses pembinaan dari perusahaan atau dengan merekrut karyawan baru yang berasal dari perusahaan oleokimia yang sejenis. Namun hal ini sangat sulit, dikarenakan persaingan dalam mempertahankan karyawan cukup protektif dilakukan oleh perusahaan oleokimia lainnya. Seperti apa yang dilakukan oleh PT Ecogreen, salah satu perusahaan oleokimia yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Mereka memagari karyawan mereka dengan jenjang karir dan fasilitas gaji yang tinggi dibandingkan dengan perusahaan lainnya. Karyawan baru juga belum memiliki keahlian dari karyawan sebelumnya, dimana karyawan sebelumnya sudah memahami kultur perusahaan. Karyawan baru harus belajar lagi, walaupun dia memiliki keahlian, tetapi keahlian tersebut belum tentu sesuai dengan kultur perusahaan (Stewart, 2012). Dari masalah 5
waktu, dengan adanya karyawan baru maka beberapa proyek akan tertunda karena karyawan baru harus belajar dan menyesuaikan diri lagi (Stewart, 2012). Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang Oleokimia, karyawan yang handal merupakan hal yang mutlak. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Karim, selaku Training and Development di PT. SIP yang menyatakan bahwa seluruh karyawan yang beroperasi di PT SIP sudah melalui proses training dan kualifikasi. Proses training dilakukan untuk memastikan keahlian dan keterampilan karyawan bisa memenuhi kapabilitas yang telah ditetapkan perusahaan. Proses ini disebut dengan kualifikasi. Sehingga dipastikan karyawan yang ada di PT BSP, Downstream, Kuala Tanjung sudah melalui proses training dan dikualifikasi. Proses kualifikasi tidak bisa dilakukan dalam proses selama 1 atau 2 hari, namun hingga 3 bulan, karena ada beberapa pelatihan yang wajib mereka ikuti. Jika ada yang tidak lulus, maka prosesnya bisa lebih lama, bisa 4 sampai 6 bulan. Sehingga, kehilangan karyawan sama artinya kehilangan asset yang sudah perusahaan bina selama minimal 3 bulan. Untuk menggantikan karyawan yang sudah dikualifikasi disamping butuh waktu, juga butuh biaya. Para karyawan yang berpotensi ini jika keluar maka akan disebut sebagai functional turnover, dan ini yang harusnya dihindari. Usaha yang perusahaan lakukan agar mereka bertahan, disamping memenuhi kebutuhan mendasar mereka adalah melakukan career path, sebagai jalur karir yang jelas dan karyawan pun termotivasi untuk berbuat sebaik mungkin agar bisa meniti karir mereka. 6
Usaha-usaha yang manajemen terapkan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan teori Maslow, yakni kebutuhan biologis dengan memberikan penawaran salary yang kompetitif hingga kebutuhan aktualisasi diri dengan menyediakan jenjang karir yang jelas. Namun, sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa karena perusahaan saat ini belum beroperasi secara maksimal mengakibatkan beberapa karyawan berpersepsi adanya ketidakjelasan pada perusahaan. Data turnover juga menunjukkan adanya kecenderungan tingkat turnover yang terus meningkat. Secara bisnis, turnover juga tidak bagus buat perusahaan. Turnover mengakibatkan membengkaknya biaya pengeluaran terutama di Departemen Sumber Daya Manusia (SDM). Pada Tabel 1.3. berikut tampak bahwa besarnya varian realisasi anggaran Belanja Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) sebesar 19% di tahun 2011, sedangkan tahun 2010 melebihi 27%. Bako (2009) menyatakan bahwa varian diatas 5% adalah anggaran belanja yang perlu mendapatkan tindakan perbaikan untuk penyusunan budget pada tahun berikutnya. Tabel 1.3. Jurnal Realisasi Belanja Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkaitan dengan Turnover tahun 2009 hingga 2011 : No Budget untuk HRD Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Realisasi Biaya Realisasi Biaya Realisasi Biaya 1 Rekrutmen Rp. 10,000,000 Rp. 12,000,000 Rp. 10,000,000 2 Pelatihan Rp. 9,000,000 Rp. 20,000,000 Rp. 15,000,000 7
JUMLAH Rp. 18,000,000 Rp. 32,000,000 Rp.35.000.000 Sumber: Data Keuangan PT Sarana Industama Perkasa Tahun 2012 Berdasarkan Tabel 1.3 terlihat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk proses rekruitmen dan pelatihan cukup besar, sehingga bila turnover tinggi berdampak bagi kerugian. Berdasarkan uraian diatas, ingin diketahui bagaimana pelaksanaan employee retention strategic yang diterapkan perusahaan untuk mempertahankan karyawan yang berprestasi di lingkungan PT SIP. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, terlihat bahwa terjadi tingkat turnover yang tinggi melebihi dari target Key Performance Indicator (KPI) yang telah ditentukan, maka ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut: 1) Faktor apa saja yang menyebabkan masih tingginya tingkat turnover di PT SIP? 2) Bagaimana pelaksanaan Employee Retention Strategy tersebut mempengaruhi terhadap tingkat turnover karyawan di PT SIP? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 8
1. Mengetahui tingkat hubungan faktor-faktor penyebab terjadi tingginya tingkat turnover di PT SIP 2. Merumuskan employee retention strategy sebagai dasar pertimbangan bagi manajemen SDM guna mengurangi tingkat turnover di PT SIP 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi perusahaan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk bahan pertimbangan bagi pihak manajemen yang berkaitan dengan employee retention. 2. Bagi Program Studi Magister Managemen USU, dapat sebagai bahan informasi dan acuan dalam melakukan penelitian penelitian berikutnya yang berkaitan. 3. Bagi peneliti, menambah pengetahuan yang berkaitan dengan employee retention terhadap tingkat turnover. 4. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat digunakan untuk menambah informasi dan acuan dasar yang membantu dalam penelitian yang lebih luas lagi. 1.5 Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian 9
Adapun yang menjadi batasan dan ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Batasan waktu Penelitian ini dilakukan selama lebih kurang 6 (enam) bulan efektif, dalam rentang waktu Januari Maret 2013. 2. Batasan objek penelitian Penelitian ini dibatasi pada employee retention dan turnover. 3. Ruang lingkup penelitian: Ruang lingkup dalam penelitian ini dilakukan di PT Sarana Industama Perkasa (BSP Group) di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. 10