BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TBC) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Insiden tertinggi di dunia dijumpai di Afrika yaitu sebanyak 165 kasus per 100.000 penduduk, diikuti dengan Asia yaitu 110 kasus per 100.000 penduduk (Mangunnegoro & Suryotenggara, 1996). Di Indonesia diperkirakan secara kasar setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif (Depkes RI, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menyatakan bahwa tuberkulosis sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua golongan usia dan nomor satu untuk golongan penyakit infeksi. Infeksi TBC di masyarakat dapat terjadi, jika salah satu penderita TBC yang tidak diobati dapat menularkan kepada 10-15 orang tiap tahun (Krishnajaya, 2002). Penderita TBC terbanyak dijumpai pada usia produktif, antara 15-54 tahun yaitu sekitar 75% penderita, hal ini akan menurunkan jumlah sumberdaya manusia yang produktif sehingga pendapatan keluarga pun akan menurun, jika hal ini dibiarkan maka kesejahteraan keluarga juga akan ikut terganggu dan akan menambah jumlah keluarga miskin di Indonesia. Masalah kemiskinan akan mengurangi kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan terhadap gizi,
pendidikan, perumahan dan lingkungan yang sehat, sehingga keadaan tersebut menyebabkan risiko untuk terjadinya mata rantai penyakit (Depkes RI, 2002). Agar tidak terjadi penularan penyakit TB Paru pada anggota keluarga yang lain maka perlu dilakukan upaya pelibatan anggota keluarga melalui kegiatan PMO (Pengawas Minum Obat). Pengawas Minum Obat (PMO) merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam strategi program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), karena mengingat pengobatan TB Paru yang relatif lama yaitu selama 6 bulan atau 114 kali pengobatan membuat penderita bosan. Untuk itu diperlukan seseorang yang selalu mengawasi dan memberi motivasi pada penderita supaya obatnya diminum secara teratur dan tuntas. Menurut Gitawati & Suka Sediati (2002) kesulitan utama penerapan DOTS terletak pada rekrutmen PMO karena dituntut motivasi dan dedikasi yang kuat sebagai sukarelawan yang tidak dihargai dengan materi berupa imbalan uang atau barang. Departermen Kesehatan Republik Indonesia (1996) menyatakan bahwa tujuan PMO adalah menjamin keteraturan dan ketekunan pengobatan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati, serta mengurangi kemungkinan gagal pengobatan dan resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Dukungan keluarga dan masyarakat mempunyai andil besar dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan adanya pengawasan dan pemberi dorongan kepada penderita. Keuntungan keluarga sebagai PMO adalah tempat tinggalnya yang serumah dengan penderita sehingga pemantaunnya lebih optimal dan langsung tidak perlu biaya transportasi (Becher, 1997).
Penderita dan keluarga menyadari akan pentingnya kepatuhan berobat, dan seringkali penderita ingin segera menyelesaikan pengobatan supaya dilihat oleh masyarakat dirinya sembuh, sehingga dapat diterima kembali di masyarakat. Keperawatan tidak hanya ditujukan kepada individu perseorangan melainkan juga kepada kelompok, keluarga dan masyarakat seperti yang dikemukakan dalam model konsep Orem yang mengutamakan keperawatan mandiri klien, mengajak klien dan keluarga untuk secara mandiri dalam mencegah, mendeteksi, dan menangani masalah kesehatan. Menurut model konsep sistem dari Neuman menyatakan bahwa keluarga merupakan salah satu target pelayanan perawatan di masyarakat baik dalam melakukan pengkajian, pencegahan primer, sekunder dan tertier. Menurut model konsep terbuka oleh King, perawatan keluarga adalah membantu anggota keluarga dalam menyusun tujuan untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan (Friedman, 1998). Hasil pendataan tahun 2003 di Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang didapat penderita TB paru 84 orang terdiri dari BTA (+) 22 orang (26%), BTA (-) 62 orang (72%). Diakhir pengobatan semua penderita TB paru BTA (+) dinyatakan sembuh. Sedangkan pendataan tahun 2004 didapat penderita TB paru 154 orang yang meliputi BTA (+) 57 orang (37%). BTA (-) 97 orang (62%). Pada akhir pengobatan dinyatakan sembuh. Adapun pada tahun 2005 ini didapat penderita TB paru 131 orang terdiri dari BTA (+) 46 orang (35%), BTA (-) 85 orang (64%). Diantara penderita TB paru BTA (+) tidak memakai PMO sebanyak 1 orang. Yang mengalami kegagalan atau DO (drop out) 10 orang
(21%), pindah tempat pengobatan 2 orang (4%) dan yang meninggal dunia 2 orang (4%). ( Data tahunan TB paru Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang). Melihat fenomena di atas menunjukkan bahwa dari jumlah penderita TB Paru BTA Positif masih ada beberapa orang yang mengalami berhenti berobat (drop out). Keluarga yang telah disepakati dan ditunjuk menjadi PMO bagi penderita diharapkan mampu mengurangi dan menekan angka kelalaian minum obat karena keluarga dapat mengawasi penderita secara langsung dan kontinyu, hal ini menjadikan latar belakang penulis melakukan penelitian, sejauh mana hubungan peranan keluarga sebagai PMO ikut andil dalam kepatuhan berobat penderita tuberkulosis.dengan demikian penulis memilih judul Hubungan Antara Peran Keluarga Sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) Dengan Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Di Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian adalah Bagaimana hubungan peran keluarga sebagai Pengawas Minum Obat dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Diketahuinya hubungan antara peran keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang.
2.Tujuan khusus a. Diketahuinya peran keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (PMO). b. Diketahuinya tingkat kepatuhan berobat penderita tuberkulosis di Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang. c. Menganalisa hubungan antara peran keluarga sebagai PMO dengan kepatuhan penderita minum obat TB Paru. D. Manfaat penelitian 1. Bagi ilmu Keperawatan. Dapat dijadikan masukan untuk ilmu keperawatan bahwa keluarga berperan dalam menentukan keberhasilan asuhan keperawatan yang diperlukan anggota keluarga yang sakit. Keberhasilan keperawatan di Puskesmas dapat menjadi siasia jika tidak dilanjutkan oleh keluarga sebagai Pengawas Minum Obat sangat diperlukan untuk mencegah ketidak patuhan pengobatan, karena pengobatan tuberkulosis yang relatif lama. 2.Bagi institusi Puskesmas Salaman I Kabupaten Magelang. Dapat dijadikan masukan bagi bidang penyuluhan di Puskesmas, khususnya perawat, bahwa penyuluhan kesehatan juga perlu diberikan kepada keluarga penderita, yang telah disepakati menjadi PMO, yang berupa pendidikan kesehatan tentang tuberkulosis dan pengobatannya, serta tugas dan tanggung jawabnya menjadi PMO. 1. Bagi perawat. Dapat dijadikan masukan terutama perawat keluarga dalam membantu menyelesaikan masalah kesehatan. Peran perawat sebagai pendidik dan pemberi
informasi kepada keluarga dengan penyakit tuberkulosis, informasi yang diberikan berupa penyakit dan tentang bagaimana cara merawat pasien serta menjelaskan kepada keluarga dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya sebagai PMO. Perawat sebagai pendukung, pengkoordinir dan bekerja sama dengan dan untuk individu dan keluarga itu sendiri. E. Bidang ilmu Penelitian ini terkait dengan Ilmu keperawatan komunitas (community health nursing).