BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar belakang Obesitas pada anak dan remaja merupakan salah satu masalah kesehatan yang dihadapi oleh negara yang sedang berkembang maupun negara maju (Baur, 2002; Reilly dan Kelly, 2011). Prevalensi obesitas pada remaja usia 16-18 tahun di Indonesia mengalami peningkatan sebanyak 5,9 % dari tahun 2007 (1,4 %) sampai 2013 (7,3 %). Provinsi yang memiliki prevalensi obesitas tertinggi adalah DKI Jakarta sebesar 4,2 %, sedangkan prevalensi obesitas terendah adalah Sulawesi Barat sebesar 0,6 %. Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk ke dalam 15 besar provinsi dengan prevalensi obesitas di atas prevalensi nasional (BP2K Kemenkes RI, 2013). Obesitas pada remaja merupakan faktor risiko penyakit jantung, dislipidemia, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, resistensi insulin, gangguan tidur, asma (Dehghan et al., 2005; Cali dan Caprio, 2008; Park et al., 2013). Obesitas dapat berkembang menjadi kondisi resistensi insulin akibat kegagalan organ target seperti otot, jaringan lemak, dan hepar yang secara normal merespon aktivitas insulin (Qatanani dan Lazar, 2007). Prevalensi resisten insulin pada remaja obes di Amerika mencapai 52,1% (Lee et al., 2006). Fenomena ini juga terjadi di Yogyakarta, 55,7% remaja obesitas mengalami resistensi insulin. Remaja laki-laki dan perempuan mengalami peningkatan indeks masa tubuh (IMT) secara perlahan disertai peningkatan massa jaringan lemak, tetapi pada akhir pubertas, jumlah prosentase lemak tubuh pada wanita lebih banyak 1
2 dibandingkan remaja laki-laki (Aldhoon-Hainerova et al., 2014). Perubahan IMT dan lemak tubuh ini berkorelasi positif dengan resistensi insulin pada remaja (Geer dan Shen, 2009). Obesitas merupakan suatu proses inflamasi kronis. Pada populasi obes terjadi inflamasi derajat rendah yang ditandai dengan peningkatan produksi adipositokine, C-reactive protein (CRP) serta peningkatan sitokin-sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-6, MCP-1 dan IL-8, dan leptin (Zuniga et al., 2010). Interleukin 17 (IL-17) merupakan sitokin proinflamasi yang berperan pada patogenesis beberapa penyakit autoimun seperti multiple sclerosis, rheumatoid arthritis dan psoriasis (Gaffen, 2011; Sumarac-Dumanovic et al., 2013). Selain itu, IL-17 juga berperan pada respon imun terhadap patogen ekstraselular seperti Candida ablican, Staphylococcus aureus (Gaffen, 2011). Terdapat beberapa penelitian mengenai keterkaitan antara IL-17 dengan obesitas maupun pada diabetes mellitus. Aktivitas aksis interleukin- 23/Interleukin-17 pada perempuan dengan obesitas dilaporkan meningkat (Sumarac-Dumanovic et al., 2009). Terdapat juga penelitian di Iran yang menyebutkan peningkatan kadar serum IL-17 pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (Arababadi et al., 2012). Penelitan lain menyebutkan peningkatan Th17 sel darah tepi pada pasien diabetes mellitus dibandingkan dengan kontrol (Jagannathan- Bogdan et al., 2011). Penelitian pada hewan coba memperlihatkan peningkatan IL-17 pada mencit dengan obesitas yang diinduksi makanan tinggi lemak (Winer et al., 2009).
3 Oshima et al. (2012), melaporkan bahwa IL-17 berperan penting pada patogenesis resistensi insulin yang diinduksi oleh angiotensin II reseptor tipe 1. Pemberian antibodi anti IL-17 dapat memperbaiki resistensi insulin pada tikus diabes melalui peningkatan asupan glukosa pada otot skeletal dan menurunkan kadar TNF-α serta meningkatkan kadar adiponektin dan meningkatkan ekspresi mrna adiponektin, peroxisome proliferator-activated receptor (PPARγ), CCAAT enhancer-binding protein-α (C/EBPα) dan adipocyte protein 2 (ap2). Selain itu, penelitian in vitro pada human bone marrow mesenchymal stem cells (hbm- MSCs) memperlihatkan bahwa IL-17 menghambat diferensiasi adiposit dan secara signifikan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-6 dan IL- 8, yang berperan pada terjadinya resistensi insulin melalui jalur inflamasi (Shin et al., 2009). Jenis kelamin berkaitan dengan produksi sitokin. Verthely dan Klinman. (2000) meneliti korelasi antara kadar serum estrogen, progesterone dan dehydroepiandrosterone sulphate (DHEA-S) dengan jumlah IL-2,IL-4,IL-6,IL- 10, tumor necrosis factor-α (TNF-α) atau interferon-γ (IFN-γ) yang dihasilkan oleh sel darah tepi secara in vivo. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hormon reproduksi dapat memodulasi produksi sitokin dan berkontribusi terdahap respon normal dan patologis sistem imun. Selain itu, variasi profil adipokin meliputi adiponektin, resistin, leptin dan IL-6 pada perkembangan pubertas berkaitan dengan fungsi gonad (Martos-Moreno et al., 2006). Pada wanita ditemukan bahwa kadar IL-6 yang tinggi pada anak-anak berkaitan dengan resistensi insulin saat remaja (Bugge et al., 2012).
4 IL-17 sudah mulai dikembangkan sebagai penanda keberhasilan terapi dan terapi target. Peningkatan IL-17 digunakan sebagai penanda defisiensi vitamin D pada pasien penyakit jantung kronik (Milovanovic et al., 2012). IL-17 juga digunakan sebagai penanda keberhasilan terapi penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes (Sumarac-Dumanovic et al., 2013). Selain itu, IL-17 juga sebagai target terapi berbagai penyakit autoimun seperti psoriasis dan tidak menutup kemungkinan dapat digunakan untuk kasus dengan kadar IL-17 yang tinggi seperti pada obesitas, diabetes militus. Tidak seperti sitokin proinflamasi TNF-α dan IL-6 yang telah banyak digunakan sebagai penanda terjadinya inflamasi, penelitian tentang kadar IL17 terutama pada kasus obesitas dengan resistensi insulin jauh lebih sedikit. Semakin dini mengetahui resistensi insulin pada remaja dapat membantu untuk pencegahan penyakit metabolik yang serius di masa yang akan datang. Karena itu IL-17 memerlukan perhatian tersendiri dan pengetahuan tentang kadar IL-17 pada remaja yang mengalami obesitas dengan resistensi insulin merupakan data penting dalam pengembangannya untuk penanda biologis dan upaya pencegahan serta terapi. I.2. Perumusan masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat diperoleh rumusan masalah yakni: 1. Apakah kadar IL-17 yang lebih tinggi merupakan faktor risiko resistensi insulin pada remaja?
5 2. Apakah hubungan antara kadar IL-17 dan resistensi insulin dipengaruhi oleh status obesitas? 3. Apakah hubungan antara kadar IL-17 dan resistensi insulin dipengaruhi oleh jenis kelamin? I.3. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui apakah kadar IL-17 yang lebih tinggi merupakan faktor risiko resistensi insulin pada remaja. 2. Untuk mengetahui apakah hubungan kadar IL-17 dan resistensi insulin dipengaruhi oleh status obesitas. 3. Untuk mengetahui apakah hubungan kadar IL-17 dan resistensi insulin dipengaruhi oleh jenis kelamin. I.4. Keaslian penelitian Pencarian pada PubMed dengan kata kunci IL-17 dan resistensi insulin ditemukan 36 penelitian. Sedangkan pencarian dengan kata kunci yang lebih spesifik yaitu IL-17 dan resistensi insulin pada remaja tidak ditemukan penelitian pada PubMed. Terdapat beberapa penelitian mengenai IL-17 yang paling mirip adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Sumac-Dumanovic et al. (2009) yang berjudul Increase activity of interleukin-23/interleukin-17 proinflammatory axis in obese women pada International Journal of Obesity, 33: 151-156. Penelitian ini melihat kadar IL-17 pada wanita
6 yang mengalami obesitas. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada usia dan jenis kelamin subyek penelitian. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Ohshima et al. (2012) yang berjudul Role of interleukin 17 in angiotensin II type 1 receptor-mediated insulin resistance pada Hypertension. 59(2):493-99. Penelitian ini melihat hubungan kadar IL-17 dengan resistensi insulin pada tikus diabetes. Perbedaan dengan penelitian ini terutama terletak pada subyek penelitian, yakni subyek manusia pada penelitian ini dan subyek hewan coba pada penelitian Ohshima et al. (2012). I.5. Manfaat penelitian 1. Memberikan sumbangan ilmu tentang peranan IL-17 pada resistensi insulin. 2. Dapat dipertimbangkan sebagai salah satu penanda resistensi insulin pada remaja. 3. Bagi ilmu pengetahuan, sebagai dasar untuk penelitian-penelitian lebih lanjut, upaya pencegahan dan terapi kondisi terkait resistensi insulin.