1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis(m.tbc). Basil ini dapat menyerang seluruh organ tubuh, namun paru-paru paling banyak terserang (WHO, 2011).TB paru dapat menular melalui udara di saat batuk dan berdahak. Cara penularan dapat terjadi melalui udara (air borne spreading) dari droplet infeksi. Pada saat penderita TB paru membatukkan dahaknya, ditemukan BTA+ dalam pemeriksaan hapusan dahaknya. Sekali batuk terdapat keluaran 3000 droplet. Penularan dapat terjadi pada ruangan yang sangat kurang ventilasinya. Sinar matahari dapat membunuh kuman secara cepat, sedangkan pada ruangan yang gelap kuman dapat hidup. BTA(+) berisiko menular lebih tinggi dibanding BTA(-) (Enarson D, et al 2004) TB paru memang masih merupakan permasalahan kesehatan di dunia. Perkiraan oleh WHO bahwa bakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tbc) telah membunuh sekitar 2 juta jiwa untuk setiap tahunnya.who telah memperkirakan bahwa antara tahun 2002 2020 terdapat sekitar 1 miliar manusia akan terinfeksi.terdapat 22 negara yang telah dinyatakan oleh WHO sebagai negara dengan kejadian TB paru tertinggi di dunia, dimana separuhnya (50%) berasal dari negara-negara benua Afrika dan Asia serta Amerika dalam hal ini adalah Brasil. Di benua Asia sendiri, hampir seluruh negara yang merupakan anggota ASEAN telah masuk dalam kategori 22 negara yang dimaksudkan oleh WHO, namun terkecuali Singapura dan Malaysia. Negara terbesar penyumbang kasus TB
2 paru di dunia ditempati oleh India (30%), yang diikuti oleh China (15%) dan kemudian Indonesia (5%) (WHO, 2011). Di Asia Tenggara sendiri, angka prevalensi telah mencapai 4,88 juta per tahunnya dan angka kejadian 3,17 juta. Kasus terbanyak terjadi pada kelompok usia antara 15-54 tahun, dan berjenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan wanita dengan rasio 2:1 (WHO, 2011). TB paru merupakan masalah yang sangat besar di Indonesia, karena di setiap tahun terdapat 250.000 penderita dan sekitar 140.000 kematian yang terjadi setiap tahun dan merupakan kasus baru yang disebabkan oleh TB paru (WHO, 2011). Kasus TB parudi Indonesia menduduki peringkat ke-4 pada tahun 2012, sedangkan di Kebumen pada tahun 2015 mengalami peningkatan (Profil Kesehatan Kebumen, 2015). Laporan Dinas Kabupaten Kebumen pada tahun 2014, ditemukan sejumlah 1553 pasien TB paru, dimana BTA (+) 793 pasien (51,06%) dan BTA (-) dengan hasil rontgen (+) 645 pasien (41,53%), sedangkan 96 pasien (6,18%) menderita TB ekstra paru serta 19 pasien (1,22%) merupakan kasus TB paru pada anak. 144 kasus drop out (9,27%) dan angka kesembuhan (Cure Rate) 593 kasus (74,7%) (Profil Kesehatan Kebumen, 2014).Berdasarkan jenis kelamin, pada laki-laki dengan kasus baru BTA+ lebih tinggi daripada perempuan yaitu 1,3 kali dibandingkan kasus BTA+ pada perempuan (Profil Kesehatan Kebumen, 2015). Pada tahun 2015 di wilayah Kebumen kasus TB Paru 125.,3 per 100.000 penduduk (Profil Kesehatan Kebumen, 2015). Selain itu, angka kesembuhan masih di bawah 85 % yang disebabkan penderita kurang teratur minum obat (Profil Kesehatan Kebumen, 2015).
3 Dari data-data tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa masih rendahnya angka keberhasilan dari program TB. Salah satu faktor penyebabnya adalah masih rendahnya kepatuhan dan ketaatan pasien TB paru selama menjalani pengobatan standar.penatalaksanaan TB paru dengan program DOTS dapat memberikan kesembuhan bagi penderita TB, apabila terdapat kepatuhan dari pasien dan melakukan pengobatan secara teratur. Lamanya pengobatan ini dapat mengakibatkan kejenuhan bagi pasien TB paru, yang pada akhirnya mereka tidak mau lagi untuk mengkonsumsi obat sehingga dapat mengakibatkan pasien TB paru tidak sembuh dan juga menjadi resisten terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).Ketidakpatuhan merupakan penyebab utama terjadinya kegagalan dalam pengobatan atau drop out dan meningkatkan terjadinya kasus Multi Drugs Resistant (MDR) (Mkopi et al., 2012). WHO dalam Adherence to long-term therapies(2013) mengemukakan bahwa ketidak patuhan terhadap pengobatan juga dapat mengakibatkan peningkatan risiko morbiditas, mortalitas, dan ketahanan terhadap obat standar. Untuk mengantisipasi hal ini, maka perlu adanya pengawasan pada penderita TB paru selama melakukan pengobatan. Pengawasan ini dilakukan oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO) (Ryan,et al 2000). Hal ini diperlukan bertujuan untukkepatuhan minum obat dari pasien TB. Ketaatan dan keteraturan penderita TB paru selama pengobatan OAT akan mempengaruhi hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan Asam (BTA). Hasil pemeriksaan dari BTA dapat untuk mengidentifikasi adanya bakteri M.tbc pada penderita TB paru (Zachariah R,et al 2003).
4 Kepatuhan merupakan kunci utama dalam meningkatkan angka kesembuhan penatalaksanaan pada pasien TB paru. Keteraturan dan ketaatan penderita dalam masa pengobatan sangat ditentukan oleh peranan dari pengawas minum obat (PMO) (Depkes,2010). Keberhasilan pengobatan penderita pengobatan penderita TB paru sangat tergantung antara lain pada tingkat pengetahuan dan kemampuan PMO melakukan komunikasi interpersonal dengan penderita (Depkes, 2010). Pranoto (2017) mengemukakan bahwa dari hasil penelitiannya dapat ditunjukkan bahwa keberadaan PMO merupakan hal yang sangat penting dan sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan TB paru melalui strategi DOTS. PMO merupakan salah satu kunci berhasilnya pengobatan TB paru. Oleh karena tugas PMO disamping mengantarkan penderita TB paru yang baru ke fasilitas kesehatan primer untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan, kontrol ulang pemeriksaan BTA serta dalam pengambilan obat, PMO juga berkewajiban untuk memberikan motivasi dan edukasi kepada pasien TB paru dan keluarga pasien agar patuh selama menjalani proses pengobatan. Menurut Hapsari (2010), PMO mempunyai beberapa tugas yang memerlukan kemampuan komunikasi yaitu mengingatkan penderita TB paru untuk melakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, memberikan dorongan terhadap penderita untuk mau berobat secara teratur hingga selesai, memberikan nasehat kepada penderita agar tetap mau menelan obat, Mampu memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB paru yang memiliki gejala-gejala tersangka tuberkulosis untuk segera mungkin
5 melakukan pemeriksaan diri kepada petugas kesehatan. Hal tersebut semestinya menjadi dasar pemilihan PMO, tetapi selama ini pemilihan PMO belum memperhatikan hal hal tersebut. Hasil penelitian terhadap PMO yang dilakukan oleh Pranoto (2017), PMO pada kenyataannya masih memiliki hambatan komunikasi dalam mengawasi dan mengingatkan penderita TB paru yang disebabkan karena adanya perbedaan hierarki dan status sosial dalam masyarakat. Terdapat rasa ewuh pakewuh yang merupakan penyebab terhambatnya PMO dalam bertugas. Hambatan lain adalah keras kepalanya penderita TB paru sehingga semakin mempersulit bagi PMO untuk memberikan masukan yang dapat diterima oleh penderita tersebut. PMO juga masih dikategorikan jauh dari ideal. PMO yang ideal semestinya adalah seseorang yang dekat dengan penderita TB paru, baik dari sisi jarak atupun hubungan. Kedekatan diharapkan dapat memunculkan kesabaran dan rasa sayang PMO terhadap penderita TB paru sehingga dapat mendampingi dan mengawasi penderita TB paru dalam jangka waktu yang lama untuk penyelesaian proses pengobatan standar. Selain itu, masih minimnya pengetahuan yang cukup tentang TB paru dan memiliki kemampuan komunikasi yang kurang baik. Komunikasi yang efektif juga diperlukan dalam melakukan sosialisasi mengenai TB paru kepada keluarga dan masyarakat untuk pemberian dukungan terhadap penderita TB paru selama menjalani proses pengobatan yang panjang.claramita et al (2013) mengemukakan bahwa dalam budaya Timur masih sangat menganut strata hierarki, baik dalam hal usia, status, pendidikan, maupun ekonomi dalam membangun suatu hubungan. Oleh karena faktor tersebut, maka
6 dapat menyebabkan terjadinya penghambat komunikasi yang baik antara PMO dengan penderita TB paru. Dibutuhkan kemampuan komunikasi untuk dapat membangun komunikasi yang baik dan efektif (Pranoto, 2017). Hal tersebut mengingat dalam budaya Jawa, bahwa jawaban ya belum merupakan kepastian bermakna untuk menyetujui atau telah memahami apa yang telah disampaikan. Ungkapan tersebut karena rasa takut terhadap orang dengan memiliki strata lebih tinggi (Claramita et al., 2011). Pranoto (2017) mengemukakan bahwa sesungguhnya penderita TB berharap untuk memperoleh perlakuan yang baik, diperhatikan dan didengarkan pendapatnya dari awal hingga akhir, terutama jika penderita mengalami efek samping obat. Di sinilah peran PMO sangat dibutuhkan. PMO harus dapat berperan membangun kesetaraan sehingga pada akhirnya komunikasi dapat berjalan dengan baik. Ludlow dan Panton pada tahun 1992 mengemukakan bahwa salah satu penyebab komunikasi tidak efektif adalah status effect. Leonard dan Strauss dalam Pranoto (2017) mengemukakan salah satu hambatan komunikasi adalah karakter dasar manusia. Sifat keras kepala seseorang akan menjadi penyebab komunikasi tidak dapat berjalan secara efektif. Selain kemampuan dalam berkomunikasi, menurut Pranoto (2017), PMO sangat diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang TB paru. PMO juga seharusnya mengetahui dan memahami tentang TB paru, cara penularan, cara pencegahan, lama pengobatan dan efek samping obat. Apabila pengetahuan PMO baik maka akan berdampak saat PMO menjalankan tugasnya. Pemberian edukasi, motivasi dan penyuluhan tentang TB kepada pasien, keluarga dan masyarakat
7 sangat dipengaruhi oleh pengetahuan PMO yang baik mengenai TB paru. Hal ini didukung oleh pendapat Green (1980), dikemukakan bahwa perilaku akan dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti pengetahuan yang bersangkutan. Seperti yang telah dikemukakan Ancok dalam Notoatmodjo tahun 2002, menurutnya pengetahuan seseorang yang baik terhadap suatu kegiatan dapat membuat dampak bersikap positif, hal tersebut dapat tercermin dalam keaktifan seseorang dalam mengikuti suatu kegiatan. Seperti yang telah dikemukakan oleh Widjanarko dkk (2006) menyimpulkan adanya hubungan yang positif bermakna antara tingkat pengetahuan dengan praktik PMO dalam pengawasan penderita TB paru. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui pengaruh pelatihan pada pengawas menelan obat (PMO) terhadap kemampuan komunikasi dan pengetahuan PMO pada penderita tuberkulosis paru (TB paru). PMO sangat penting untuk dibekali dengan kemampuan teknik komunikasi agar dapat melakukan edukasi dan motivasi yang baik pada penderita TB paru, keluarga dan masyarakat. Selain diberikan pembekalan teknik komunikasi, PMO juga akan diberikan pembekalan pengetahuan mengenai TB paru, mulai dari tentang penyakit TB, cara penegakan diagnosis, proses pengobatan dan efek samping obat. Hal tersebut belum pernah dilakukan evaluasi mengenai kemampuan komunikasi dan tingkat pengetahuan PMO pada penderita TB paru. Dimana akan mempengaruhi kepatuhan dan ketaatan dari penderita TB paru selama pengobatan TB.
8 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian di bidang kedokteran keluarga untuk mengetahui pengaruh pelatihan tentang tuberkulosis paru dan komunikasi pada pengawas menelan obat (PMO) penderita tuberkulosis paru (TB paru). Rumusan masalah yang akan diteliti adalah : 1. Apakah terdapat pengaruh pelatihan tentang tuberkulosis paru pada Pengawas Menelan Obat (PMO) penderita tuberkulosis paru 2. Apakah terdapat pengaruh pelatihan komunikasi pada Pengawas Menelan Obat (PMO) penderita tuberkulosis paru C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan tentang tuberkulosis paru dan komunikasi pada pengawas menelan obat (PMO) penderita tuberkulosis paru (TB paru). D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh pelatihan tentang tuberkulosis paru dan kpmunikasi pada Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat jarang sekali dilakukan di luar negeri. Hasil pencarian di PubMed dengan kata kunci communication, knowledge, supporter treatment (PMO), DOTS dan tuberculosis, menunjukkan penelitian yang belum banyak dilakukan bahkan sangat jarang sekali. Peneliti melakukan pencarian di dalam negeri dengan kata kunci komunikasi, pengetahuan, PMO dan penyakit Tuberkulosis (TB) belum didapatkan penelitian terkait pengaruh pelatihan komunikasi untuk kemampuan
9 komunikasi PMO. Ada beberapa penelitian tentang PMO tetapi belum ada penelitian tentang pengetahuan tuberkulosis dan komunikasi. Tabel 1: Keaslian Penelitian No Judul Penelitian Tahun dan Peneliti 1 Pelatihan Kader Chatarina Kesehatan untuk Umbul Penemuan Suspek Wahyuni Penderita 2013 tuberkulosis 2 Analisis Faktor Faktor yang Mempengaruhi Praktek PMO dalam Pengawasan Penderita TB paru 3 Pengaruh Pelatihan tentang Tuberkulosis Paru dan Komunikasi pada Pengawas Menelan Obat (PMO) Penderita Tuberkulosis Paru (TB paru). Bagoes Widjanarko 2006 Sri Fatmahwati 2017 Desain Kuantitatif pre test post test Penelitian Analitik bersifat Eksplanatori Kwantitatif pre test post test Hasil Pengetahuan kader tentang penemuan suspek TB meningkat dari 67 menjadi 89 Ada hubungan yang positif bermakna antara pengetahuan dengan praktek PMO Dari tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang pelatihan tuberkulosis yang sudah pernah dilakukan oleh Chatarina Umbul Wahyuni pada tahun 2013 mempunyai perbedaan yaitu subyek penelitian adalah kader kesehatan untuk penemuan suspek penderita tuberkulosis dan materi hanya tentang tuberkulosis sedangkan pada penelitian ini subyek adalah PMO yang akan mendampingi penderita tuberkulosis selama pengobatan dan materi pelatihan tidak hanya tentang TB paru tetapi juga tentang Komunikasi. Penelitian lain yang dilakukan Bagoes Widjanarko pada tahun 2006 subyek sama yaitu PMO tetapi
10 subyek tidak mendapat mendapat perlakuan berupa pelatihan tentang TB paru maupun komunikasi, sedang pada penelitian ini subyek yaitu PMO mendapat perlakuan berupa pelatihan tentang TB paru dan Komunikasi E.Manfaat Penelitian Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan beberapa kaedah manfaat bagi Minat Kedokteran Keluarga, Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, Puskesmas Kabupaten Kebumen dan bagi pembaca. Beberapa manfaat dari penelitian ini, yaitu : 1. Hasil penelitian ini dapat menjadikan terwujudnya pengembangan Ilmu Kedokteran Keluarga berupa modul komunikasi bagi PMO. 2. Bagi Instansi pemerintah, dapat sebagai percontohan pelatihan komunikasi dan pengetahuan bagi PMO sehingga dapat meningkatkan kinerja PMO yang bertujuan untuk meningkatkan angka kesembuhan pada pasien tuberkulosis paru. 3. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh pelatihan komunikasi dan pengetahuan tentang penyakit TB paru dalam upaya mendukung program DOTS untuk kesembuhan pasien TB paru.