1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi birokrasi merupakan bagian dari upaya membuat perubahan di sektor publik. Upaya yang dilakukan dalam rangka melakukan pembenahan sistem manajemen pemerintahan tersebut telah banyak dilakukan di berbagai negara. Tujuan dari pembenahan sistem manajemen pemerintahan tersebut adalah untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan membangun aparatur negara yang profesional. Reformasi birokrasi merupakan rancangan strategis yang sebelumnya dilakukan di berbagai negara maju seperti Inggris, Australia, dan New Zeland. Kesuksesan pelaksanaan reformasi birokrasi di negara-negara tersebut menjadi pemicu bagi negara-negara lain, termasuk negara berkembang untuk ikut melaksanakan reformasi birokrasi (Gruening 2001). Meluasnya pelaksanaan reformasi birokrasi juga disebabkan oleh adanya dorongan dari organisasi lintas-negara seperti Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Asian Development Bank, the World Bank, dan International Monetary Fund (IMF) di beberapa negara. Semakin cepat dan mudahnya penyebaran informasi mengenai pengalaman penerapan reformasi birokrasi dari suatu negara ke negara lain sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi dan penggunaan berbagai media informasi juga ditengarai memiliki peran dalam penyebaran reformasi birokrasi di seluruh dunia (Jones and Kettl 2004). Menyusul terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan semakin menurun. Menurunnya tingkat kepercayaan tersebut berimbas pada tuntutan masyarakat akan terwujudnya good governance yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan perbaikan pelayanan publik. Sebagai respon atas tuntutan tersebut, pemerintah melakukan reformasi birokrasi yang dilakukan secara bertahap. Pelaksanaan reformasi birokrasi gelombang pertama dimulai pada tahun 2007 diarahkan pada 3 lembaga pemerintahan, yaitu Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Selanjutnya, tahun 2010 merupakan awal dimulainya reformasi birokrasi gelombang kedua. Dasar dari pelaksanaan reformasi birokrasi gelombang kedua dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Operasionalisasi Grand Design Reformasi Birokrasi dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Per-MenPAN dan RB) Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi yang disusun dan dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia ditujukan untuk melakukan perubahan dan perbaikan pada 8 area, yaitu organisasi, tatalaksana, peraturan perundangundangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir (mindset) dan budaya kerja (cultural set) aparatur. Seluruh kebijakan reformasi birokrasi seharusnya memberikan konsekuensi terhadap terjadinya perubahan, termasuk perubahan budaya organisasi (Simpson dan Beeby 1993; Phookpan 2012). Budaya organisasi sektor publik di Indonesia yang seringkali dianggap tidak profesional, tidak produktif, dan tidak akuntabel
2 seharusnya berubah menjadi lebih baik. Perubahan budaya organisasi seharusnya menjadi perhatian bagi manajemen karena budaya organisasi ditengarai memiliki dampak pada peningkatan kinerja organisasi yang berarti pula peningkatan kinerja reformasi birokrasi. Kesesuaian budaya organisasi dengan arah dan tujuan organisasi juga menjadi faktor penting dalam mendukung kesuksesan organisasi (Cameron and Quinn 2011). Terkait dengan kinerja reformasi birokrasi khususnya di bidang pengawasan, data Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dipublikasikan oleh International Transparancy menunjukkan bahwa kinerja reformasi birokrasi di Indonesia belum optimal. Dari data tersebut terlihat bahwa indeks korupsi Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara. Kenaikan skor dari tahun ke tahun memang terlihat, tetapi pergerakan kenaikan tersebut tidak signifikan dan masih jauh dari target yang ditetapkan dalam Grand Design Reformasi Birokrasi Indonesia, yaitu sebesar 5,0. Tabel 1 Indeks Persepsi Korupsi tahun 2009-2013 negara-negara Asia Tenggara Negara Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Indonesia 2,8 2,8 3,0 3,2 3,2 Malaysia 4,5 4,4 4,3 4,9 5,0 Singapura 9,2 9,3 9,2 8,7 8,6 Thailand 3,4 3,5 3,4 3,7 3,5 Filipina 2,4 2,4 2,6 3,4 3,6 Vietnam 2,7 2,7 2,9 3,1 3,1 Kamboja 2,0 2,1 2,1 2,2 2,0 Sumber: Transparency International Tahun 2009-2013 Indikator lain yang menunjukkan belum optimalnya kinerja reformasi birokrasi di Indonesia terlihat dari opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL) yang menunjukkan bahwa hanya sebanyak 76% yang telah mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), sehingga masih harus terus ditingkatkan. Tabel 2 Perkembangan opini BPK atas LKKL tahun 2009-2013 Tahun Opini BPK 2009 % 2010 % 2011 % 2012 % 2013 % WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) 42 57 50 65 61 76 62 71 65 76 WDP (Wajar Dengan Pengecualian) 24 33 25 32 17 21 22 25 19 22 Disclaimer (Tidak memberikan Pendapat) 7 10 2 3 2 3 3 4 2 2 TW (Tidak Wajar) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah LKKL dan LKBUN 73 100 77 100 80 100 87 100 86 100 Sumber : Siaran Pers Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2013
Kwik (2003) menyatakan bahwa kesuksesan reformasi birokrasi di bidang pengawasan dipengaruhi oleh peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai lembaga pengawasan internal pemerintah. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan salah satu APIP yang memiliki peran penting dalam mengawal penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Dalam menjalankan fungsinya, BPKP diharapkan mampu melakukan tindakan preventif atas berbagai tindakan penyelewengan yang terjadi di lingkungan pemerintah. 3 Perumusan Masalah Dalam era reformasi, BPKP merupakan lembaga pemerintah yang tak luput dari dampak perubahan lingkungan eksternal. Tuntutan akan terwujudnya good governance telah mendorong BPKP untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pengawasan dan keuangan pemerintah. Salah satu pembaharuan yang dilakukan tergambar dalam penegasan kembali fungsi organisasi pengawasan internal pemerintah yang bukan hanya melakukan kegiatan pengawasan yang bersifat represif, namun lebih menekankan pada kegiatan pengawasan yang bersifat preventif. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik merupakan perubahan lingkungan eksternal yang juga dialami BPKP. Perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralistik menyebabkan berubahnya pendekatan penugasan dari sistem mandat dari presiden sebagai top manajemen pemerintahan menjadi sistem penugasan dengan pendekatan kebutuhan dan permintaan dari stakeholder. Perubahan ini berdampak pada berubahnya tujuan penugasan. Jika dalam sistem pemerintahan sentralistik, tujuan penugasan yang berdasarkan mandat adalah untuk memberikan keyakinan bahwa obyek pengawasan telah menjalankan seluruh kebijakan dan program yang telah ditetapkan, maka pada pemerintahan desentralistik, tujuan penugasan lebih banyak pada pemberian early warning, peningkatan efektivitas manajemen risiko, dan pemeliharaan serta peningkatan kualitas tata kelola. Berbagai hal tersebut menyebabkan terjadinya pergeseran peran BPKP dari watchdog ke in house consultant. Reformasi birokrasi merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan BPKP untuk menghadapi berbagai perubahan dan melakukan pembenahan dalam rangka menjalankan peran dan fungsinya sebagai organisasi pengawasan internal pemerintah. Reformasi birokrasi yang dilakukan BPKP diharapkan dapat mengubah budaya organisasi menjadi lebih berorientasi eksternal sesuai dengan perubahan nilai organisasi yang ditetapkan, yaitu perubahan nilai organisasi dari PRIMA (Profesionalisme, Integritas, dan Kepentingan Bersama) menjadi PIONIR (Profesional, Integritas, Orientasi Pengguna, Nurani dan Akal Sehat, Independen, Responsibel). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah budaya organisasi telah sesuai dengan budaya organisasi yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi. Pemahaman budaya organisasi dapat dijadikan dasar untuk melakukan evaluasi terhadap penerapan strategi yang telah ditetapkan (Bradley and Parker 2001). Namun penelitian ini hanya difokuskan pada Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta yang merupakan salah satu instansi vertikal BPKP yang besar dan mempunyai tugas dan fungsi yang terkait secara
4 langsung dengan bidang pengawasan dan pembangunan serta penyelenggaraan akuntabilitas di Provinsi DKI Jakarta. Untuk menilai terjadinya perubahan budaya organisasi, metode competing values framework merupakan metode yang tepat karena metode ini mampu melihat terjadinya perubahan budaya organisasi baik besar maupun arah perubahannya. Penggunaan metode tersebut mampu menangkap adanya perubahan berikut arah perubahan budaya organisasi di Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta sebagai konsekuensi dari kebijakan reformasi birokrasi yang telah dijalankan. Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana budaya organisasi di Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta sebelum reformasi birokrasi? 2. Bagaimana kecenderungan perubahan yang terjadi pada budaya organisasi setelah dilaksanakannya reformasi birokrasi dan seberapa besar perubahan tersebut? 3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat atau mempercepat terjadinya perubahan budaya organisasi? Tujuan Penelitian Dari pertanyaan penelitian di atas, dapat diuraikan bahwa tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi budaya organisasi di Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta sebelum reformasi birokrasi 2. Menganalisis kecenderungan perubahan budaya organisasi setelah dilaksanakannya reformasi birokrasi dan mengukur seberapa besar perubahan tersebut 3. Merumuskan pendekatan yang dapat mempercepat terjadinya perubahan budaya organisasi Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi institusi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk meninjau kembali kebijakan atau langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk menciptakan budaya organisasi yang diarahkan sesuai dengan tujuan reformasi birokrasi 2. Bagi para peneliti, penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang dapat digunakan sebagai input atau kajian awal untuk pelaksanaan penelitian yang lebih lanjut dalam kaitannya dengan budaya organisasi maupun reformasi birokrasi 3. Bagi para pembaca umum, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai reformasi birokrasi maupun budaya organisasi.
5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan tinjauan terhadap budaya organisasi sebelum dan setelah dilaksanakannya reformasi birokrasi yang dikhususkan pada Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu instansi vertikal BPKP di Provinsi DKI Jakarta. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini ditujukan untuk menilai adakah perubahan yang terjadi dan bagaimana arah perubahan tersebut. Tinjauan budaya organisasi ini hanya dilakukan pada pegawai yang memangku jabatan auditor, mengingat jabatan auditor merupakan jabatan yang lebih banyak bersinggungan langsung dengan stakeholder dan terkait langsung dengan perubahan paradigma dari watchdog ke in house consultant. 2 TINJAUAN PUSTAKA Reformasi Birokrasi Berbagai perubahan lingkungan seperti lingkungan sosial, ekonomi, dan politik dari waktu ke waktu menyebabkan manajemen sektor publik tidak selalu dapat menjamin efisiensi, kualitas, atau efektivitas pelayanan publik. Untuk menghadapi tantangan global dan permintaan masyarakat akan perbaikan kinerja pemerintahan serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, organisasi sektor publik dituntut untuk melakukan transformasi melalui manajemen perubahan (Brown dan Waterhouse 2003). Begitu pula di Indonesia, berbagai perubahan lingkungan strategis seperti terjadinya pergeseran peran negara dari sekedar operator menjadi regulator dan fasilitator, terjadinya penguatan kesadaran dan partisipasi publik akibat maraknya kasus KKN dan kurangnya pelayanan publik, penguatan peran media dan organisasi non pemerintah, serta perkembangan teknologi informasi telah mendorong pemerintah untuk segera melakukan perubahan di sektor publik. Perubahan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah reformasi birokrasi. Membuat perubahan pada organisasi sektor publik memang tidak semudah pada sektor swasta. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi dan karakteristik lingkungan eksternal maupun internal antara sektor publik dan sektor swasta (Schraeder et al. 2005; Greasly 2008). Pada organisasi sektor swasta, persaingan pasar mengharuskan organisasi mampu beradaptasi dengan cepat untuk tetap exist dalam lingkungannya. Kondisi persaingan pasar yang ketat sebagaimana dialami sektor swasta tidak dialami oleh organisasi sektor publik. Sebaliknya, kondisi seperti faktor politis dan berbagai kendala seperti adanya tekanan dari kelompok tertentu, sistem penggajian yang tidak fleksibel, dan prosedur akuntansi dan penganggaran yang kaku tidak terjadi pada organisasi sektor swasta ((Doyle et al. 2000). Perbedaan kondisi dan karakteristik lingkungan menyebabkan perbedaan budaya organisasi antara sektor swasta dan sektor publik (Schraeder et al. 2005). Budaya organisasi di sektor publik yang cenderung birokratis dan taat pada peraturan dan prosedur formal sangat kontra dengan budaya organisasi sektor swasta yang cenderung lebih terbiasa dengan
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB