BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah muncul dengan mengubah sistem pemerintahan yang sebelumnya sentralistik menjadi desentralistik. Otonomi daerah menjadikan masyarakat di tiap daerah dapat memilih kepala daerah secara langsung dan berdampak pada keleluasaan bagi setiap kepala daerah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan dalam rangka meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan di daerah masing-masing. Keleluasaan pemerintah daerah yang terwujud dalam otonomi daerah memberikan dua manfaat nyata (Mardiasmo, 2009, hal. 25). Pertama, otonomi daerah dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemerataan pembangunan dapat terwujud. Kedua, otonomi daerah menjadikan pengambilan keputusan dilakukan oleh kepala daerah masing-masing sehingga sumber daya produktif dapat dialokasikan lebih tepat dan dampak yang ditimbulkan dapat lebih meningkatkan kegiatan perekonomian di daerah. Walaupun pemerintah pusat memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengurusi berbagai urusan, namun pemerintah pusat tetap melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah. Otonomi daerah menciptakan desentralisasi dan dekonsentrasi yang menjadikan adanya penyerahan atau pelimpahan urusan pemerintah pusat kepada daerah. Penyerahan urusan pemerintah pusat kepada daerah tentunya menjadikan adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan 1
pemerintah daerah sehingga terdapat pembagian wewenang pengaturan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Walaupun terdapat pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengaturan keuangan, namun pemerintah pusat tetap mendominasi dalam pengaturan keuangan daerah karena Indonesia merupakan negara kesatuan yang menjunjung tinggi nilai persatuan. Dominasi pemerintah pusat ini tercermin dari adanya alokasi dana transfer ke daerah dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Ketergantungan fiskal menjadikan pemerintah daerah tidak memaksimalkan usaha-usaha untuk meningkatkan kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Selain ketergantungan alokasi transfer ke daerah, pemerintah daerah juga harus mematuhi berbagai peraturan terkait anggaran yang telah ditetapkan pemerintah pusat agar perekonomian daerah dapat selaras dalam mendorong perekonomian nasional. Salah satu peraturan tersebut adalah defisit APBD yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan setiap tahunnya. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, APBD Provinsi dibentuk dan dibahas oleh gubernur dan DPRD. Selain itu, DPRD Provinsi dan gubernur juga membahas Rancangan Perda Provinsi tentang APBD Provinsi, Perubahan APBD Provinsi, dan Pertanggungjawaban APBD Provinsi. DPRD Provinsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda Provinsi dan APBD 2
Provinsi. Tahapan penyusunan hingga pertanggungjawaban ini menunjukkan bahwa peran legislatif dalam penetapan anggaran daerah sangat besar. Penganggaran dalam organisasi publik merupakan proses politik dimana terdapat berbagai kepentingan politis yang mempengaruhi dalam proses pembahasan sehingga pihak eksekutif maupun legislatif perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas agar kepentingan politis tidak mendominasi (Mardiasmo, 2009, hal. 61). Selisih pendapatan dan belanja daerah dalam APBD akan menimbulkan surplus ataupun defisit. Defisit terjadi apabila belanja daerah melebihi pendapatan daerah sehingga terjadi selisih kurang antara pendapatan dan belanja. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, selisih kurang ini nantinya akan ditutup dengan penerimaan pembiayaan daerah, seperti SiLPA (Sisa Lebih Penghitungan Anggaran), dana cadangan, maupun pinjaman. Apabila pemerintah daerah memutuskan untuk menutup defisit dengan pinjaman maka pemerintah daerah harus menganggarkan dana di tahun selanjutnya untuk pembayaran pokok utang beserta bunganya. Sedangkan apabila anggaran surplus maka daerah bisa menggunakan selisih lebih tersebut untuk investasi maupun pembentukan dana cadangan. Sejak berlakunya otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan keleluasaan bagi daerah untuk menganggarkan surplus, defisit, maupun berimbang. Setiap tahun jumlah defisit anggaran beberapa daerah di Indonesia mengalami peningkatan. Sebelum adanya otonomi daerah, 3
anggaran pemerintah pusat maupun daerah di Indonesia dirancang berimbang. Namun setelah berlakunya otonomi daerah, anggaran pemerintah pusat maupun daerah di Indonesia mayoritas defisit dengan jumlah belanja yang melebihi pendapatan. Berdasarkan Dokumen Deskripsi dan Analisis APBD tahun 2011 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, tahun 2011 terdapat 491 kabupaten/kota dan 33 provinsi dimana 438 daerah menganggarkan defisit, 80 daerah menganggarkan surplus, dan 6 daerah menganggarkan berimbang. Defisit anggaran pada tahun 2011 secara nasional mencapai Rp35,369 triliun. Sedangkan pada tahun 2014 terdapat 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi dimana terdapat 472 daerah yang menganggarkan defisit, 51 daerah menganggarkan surplus, dan 16 menganggarkan berimbang. Defisit anggaran secara nasional tahun 2014 mencapai Rp58,2 triliun. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan jumlah daerah yang merencanakan defisit dalam APBD dan terjadi peningkatan nominal defisit secara nasional. Berikut ini data mengenai defisit APBD Provinsi se-indonesia tahun 2013: Tabel 1 Defisit/Surplus APBD Provinsi se-indonesia tahun 2013 (dalam jutaan rupiah) Provinsi Defisit/Surplus Aceh (1.668.470) Sumatera Utara (385.051) Sumatera Barat (167.446) Riau (1.834.864) Jambi (206.452) Sumatera Selatan 5.037 Bengkulu (84.468) Lampung - DKI Jakarta (4.050.992) Jawa Barat (865.051) 4
Jawa Tengah (800.000) DI Yogyakarta (168.064) Jawa Timur (359.690) Kalimantan Barat (90.000) Kalimantan Tengah (45.467) Kalimantan Selatan (182.000) Kalimantan Timur (1.400.000) Sulawesi Utara (46.141) Sulawesi Tengah (68.300) Sulawesi Selatan (621.832) Sulawesi Tenggara (141.122) Bali (748.056) Nusa Tenggara Barat 3.913 Nusa Tenggara Timur (65.455) Maluku (12.697) Papua 150.000 Maluku Utara (77.091) Banten (333.303) Bangka Belitung (367.593) Gorontalo (40.601) Kepulauan Riau (182.579) Papua Barat - Sulawesi Barat (53.567) Sumber: DJPK, 2013 Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa Provinsi Jawa Tengah berada pada posisi keenam apabila diurutkan berdasarkan provinsi yang memiliki nominal defisit APBD tertinggi. Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang merencanakan defisit dalam penyusunan APBD dengan nominal yang cukup tinggi dan memiliki rasio PAD terhadap total pendapatan daerah yang tinggi. Berdasarkan data APBD Tahun Anggaran 2015 yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, persentase PAD terhadap total pendapatan yang direncanakan didapatkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada APBD 2015 yaitu sebesar 68,41%. Apabila dibandingkan 5
dengan provinsi lain maka persentase PAD Provinsi Jawa Tengah tergolong tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Ini menunjukkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kontribusi PAD. Walaupun PAD Jawa Tengah tergolong tinggi, namun Jawa Tengah tidak pernah mengadakan pinjaman daerah padahal Jawa Tengah mampu untuk membayar kembali pinjaman tersebut. tahun 2006-2015: Berikut ini data mengenai rencana defisit dalam APBD Jawa Tengah Tabel 2 Defisit/Surplus APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2006-2015 (dalam jutaan rupiah) Tahun Defisit/Surplus 2006 78.590 2007 290.570 2008 (549.089) 2009 (160.365) 2010 (154.000) 2011 (189.905) 2012 (412.000) 2013 (800.000) 2014 (260.000) 2015 (240.000) Sumber: DJPK Selama tahun 2006-2015, Jawa Tengah mayoritas merencanakan defisit dalam APBD kecuali pada tahun 2006 dan 2007. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 13 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun Anggaran 2013, defisit yang direncanakan dalam APBD Jawa Tengah tahun 2013 sebesar Rp800.000.000.000,00. Tahun 2014 defisit yang direncanakan dalam APBD Jawa Tengah menurun yaitu sebesar Rp260.000.000.000,00. 6
Sedangkan tahun 2015, defisit yang direncanakan dalam APBD Jawa Tengah menurun lagi menjadi Rp240.000.000.000,00. Berdasarkan data mengenai defisit anggaran tersebut, terlihat bahwa selisih defisit anggaran tahun 2013 dan tahun 2014 cukup besar sedangkan selisih defisit anggaran 2014 dan 2015 tidak besar. Hal ini dikarenakan kepala daerah yang memimpin Jawa Tengah pada tahun 2013 berbeda dengan kepala daerah pada tahun 2014 sehingga kebijakan yang diambil terkait defisit anggaran juga berbeda. Selain itu, nominal defisit pada tahun 2008 dan 2013 lebih tinggi daripada tahun lainnya karena pada tahun 2008 dan 2013 diadakan Pemilihan Gubernur. Defisit akan dibiayai dari penerimaan pembiayaan. Pada tahun 2012, 2014, dan 2015 penerimaan pembiayaan dalam APBD Provinsi Jawa Tengah hanya berasal dari SiLPA. Sedangkan pada tahun 2011 sebesar 82,13% penerimaan pembiayaan berasal dari SiLPA tahun sebelumnya, sisanya dari penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah. Sedangkan pada tahun 2013 penerimaan pembiayaan 37,5% berasal dari SiLPA tahun sebelumnya dan sisanya berasal dari pencairan dana cadangan. Hal ini menunjukkan SiLPA masih mendominasi dalam penerimaan pembiayaan. Adanya nominal SiLPA yang cukup besar di dalam APBD Provinsi Jawa Tengah memberikan gambaran bahwa pada Laporan Realisasi APBD terdapat surplus padahal pada APBD direncanakan defisit. Hal ini menunjukkan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah belum mampu merencanakan dan menggunakan anggaran secara cermat. Provinsi Jawa Tengah sebenarnya memiliki rasio PAD yang 7
tergolong tinggi tetapi memilih tidak berutang untuk menutup defisit, justru SiLPA yang sering digunakan untuk menutup defisit APBD. Walaupun dalam APBD sebagian besar daerah merencanakan defisit, namun pada akhir tahun dalam Laporan Realisasi APBD umumnya daerah mengalami surplus. Hal ini menunjukkan pemerintah daerah belum mampu merencanakan anggaran secara tepat. Surplus yang terjadi di akhir tahun akan menjadikan pemerintah daerah merencanakan defisit di APBD tahun selanjutnya namun pada kenyataannya di akhir tahun kembali terjadi surplus. Defisit anggaran yang dibiayai dengan pinjaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan laju pembangunan di daerah karena terjadi peningkatan uang yang beredar. Namun, apabila peningkatan uang yang beredar di masyarakat tidak dapat dikelola secara tepat maka akan menjadikan krisis perekonomian di tahun mendatang karena defisit anggaran yang dibiayai dari pinjaman tentunya akan menjadikan pemerintah harus membayar dana yang dipinjam beserta bunga di tahun mendatang. Pemerintah pusat telah menetapkan batas maksimal defisit untuk tetap menjaga stabilitas perekonomian daerah-daerah di Indonesia. Batas maksimal defisit APBD ditetapkan agar tiap daerah menetapkan defisit anggaran tidak melebihi jumlah maksimal defisit APBD yang ditetapkan Menteri Keuangan. Dalam pelaksanaan program-program pemerintah daerah, belanja daerah meningkat namun pendapatan daerah belum dapat mengimbangi belanja 8
sehingga menimbulkan fiscal gap dan akhirnya menimbulkan underfinancing maupun overfinancing yang terjadi pada akhir tahun (Soleh & Rochmansjah, 2009, hal. 48). APBD merupakan bentuk perencanaan pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah seharusnya mengusahakan untuk memenuhi tuntutan yang tercantum dalam APBD. Apabila pemerintah daerah telah merencanakan untuk defisit pada tahun yang bersangkutan maka seharusnya pada akhir tahun memang terjadi defisit anggaran. Namun, pada kenyataannya defisit yang direncanakan dalam APBD justru menjadi surplus di akhir tahun. Berdasarkan penjabaran dari fakta-fakta tersebut, peneliti mengangkat judul penelitian mengenai penyebab dan dampak defisit APBD untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemerintah daerah merencanakan defisit dalam APBD dan dampak yang ditimbulkan, khususnya di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki nominal defisit anggaran dan SiLPA yang cukup besar. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini terkait dengan defisit APBD. Hampir seluruh daerah di Indonesia merencanakan defisit dalam APBD namun dalam Laporan Realisasi Anggaran justru surplus. Hal inilah yang dikaji lebih mendalam untuk mengetahui faktor penyebab daerah memilih defisit dan dampak yang ditimbulkan dari kebijakan ini. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, berikut pertanyaan penelitian: 9
a. Bagaimana kondisi defisit dalam APBD Provinsi Jawa Tengah? b. Mengapa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah merencanakan defisit pada APBD Provinsi Jawa Tengah? c. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari rencana defisit dalam APBD Provinsi Jawa Tengah? 1.4 Batasan Masalah Peneliti membatasi masalah hanya terhadap objek yang dianalisis yaitu penyebab dan dampak defisit APBD Provinsi Jawa Tengah tahun 2006-2015. Analisis akan difokuskan pada deskripsi faktor-faktor yang melatarbelakangi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah merencanakan defisit dalam APBD, dampak yang ditimbulkan dari defisit yang direncanakan dalam APBD Provinsi Jawa Tengah, dan perumusan langkah-langkah strategis yang dapat diambil Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam mengelola defisit yang telah direncanakan dalam APBD. 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Menganalisis kondisi defisit dalam APBD Provinsi Jawa Tengah. b. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab Pemerintah Provinsi Jawa Tengah merencanakan defisit dalam APBD. c. Mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan dari rencana defisit dalam APBD Provinsi Jawa Tengah. 1.6 Manfaat Penelitian 10
Manfaat yang diharapkan tercapai dari penelitian ini antara lain: a. Bagi akademisi dan peneliti, hasil penelitian ini diharapkan akan menambah referensi mengenai defisit APBD yang direncanakan oleh pemerintah daerah dan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lainnya mengenai defisit APBD. b. Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana seharusnya mengelola defisit yang telah direncanakan dalam APBD. 1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan Bab I menjelaskan latar belakang masalah yang dijadikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan masalah, pertanyaan penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka Bab II berisi teori-teori yang melandasi penelitian dan menjadi dasar analisis defisit anggaran. Bab III Metodologi Penelitian Bab III berisi jenis penelitian, metode penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data yang 11
digunakan untuk menganalisis fakor-faktor yang melatarbelakangi defisit anggaran dan dampak yang ditimbulkan. Bab IV Pembahasan Bab IV berisi hasil penelitian melalui wawancara maupun dokumentasi dan pembahasan mengenai faktor yang melatarbelakangi pemerintah daerah merencanakan defisit pada APBD serta penjabaran mengenai dampak yang ditimbulkan dari defisit APBD. Bab V Penutup Bab V merangkum kesimpulan yang didapatkan dari bab-bab sebelumnya, keterbatasan penelitian, dan saran untuk memperbaiki pengelolaan defisit yang telah direncanakan dalam APBD. 12