20 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, guru tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi mereka. Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah diposisikan mempunyai peran ganda bahkan multifungsi. Guru dituntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global. Peranan guru sangat menentukan karena kedudukannya sebagai pemimpin diantara peserta didik. Guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan mengawasi kelas serta menciptakan situasi yang kondusif agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar serta merangsang kreativitasnya. Guru menempati posisi penting dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan dapat membawa negara kepada kemajuan. Peranan guru bersifat multidimensional 1
21 dan bergradasi menurut jenjang pendidikan. Dikatakan multidimensional karena peran itu bukan satu tetapi beraneka ragam yaitu guru sebagai pendidik atau orangtua, pemimpin atau manajer, produsen atau pelayan, pembimbing atau fasilitator, motivator atau stimulator, peneliti atau narasumber. Di Kota Medan sekarang ini terdapat sekolah-sekolah swasta khususnya sekolah Islam Terpadu. Sekolah Islam Terpadu memiliki ciri yang berbeda dari sekolah swasta lainnya, di mana sekolah ini menerapkan kurikulum nasional dan juga muatan agama, di samping itu guru-guru tetap yang mengajar di sekolah tersebut memiliki jam mengajar atau jam bekerja mulai jam 7.30 WIB sampai dengan jam 16.30 WIB. Dalam hal ini guru-guru dituntut harus memiliki kompetensi paedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial agar mampu mendidik dan membina siswa menjadi anak yang memiliki ilmu pengetahuan dan juga akhlak yang mulia. Untuk itu, peran kepala sekolah sangat penting untuk tercapainya tujuan tersebut. Masih banyak ditemukan guru yang belum mampu berprestasi dalam bekerja karena kurangnya motivasi dari kepala sekolah. Guru tidak diberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan kreativitas dalam proses pembelajaran karena adanya ketidakpercayaan kepala sekolah terhadap kemampuan guru dan merasa tidak perlu adanya perubahan dalam menghadapi tuntutan zaman yang semakin maju karena kepala sekolah berkeyakinan bahwa yang telah dilakukan sekarang ini sudah cukup berhasil. Kepala sekolah juga kurang aktif dalam upaya peningkatan profesionalisme dari guru-gurunya seperti mengikutsertakan guru dalam berbagai pendidikan dan pelatihan, sehingga kompetensi guru jarang di up-grade atau
22 diperbaharui. Di samping itu masih ditemukan tidak terdapatnya hubungan kerjasama fungsional bagi peningkatan keberhasilan sekolah antara guru dan kepala sekolah karena kepala sekolah merasa hanya ditangannyalah akan tercapai keberhasilan. Guru hanya sebagai alat semata, tidak dipandang sebagai mitra kerja dalam menunjang peningkatan keberhasilan sekolah. Hal ini tentu menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis dan menyebabkan timbulnya ketidakpuasan guru dalam bekerja. Dalam melaksanakan proses pembelajaran, guru masih jarang menggunakan media, melakukan evaluasi, proses perbaikan dan pengayaan. Rata-rata guru telah menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, tetapi belum mampu secara mandiri mengembangkan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Rencana pelaksanaan pembelajaran dan silabus diperoleh dari pihak lain kemudian ditulis kembali oleh guru. Pada akhirnya hal ini tampak dari penilaian kinerja guru dalam melakukan proses pembelajaran sebagaimana terlihat pada data rata-rata kinerja guru dalam tiga semester terakhir sebagai berikut: Tabel 1.1. Data Rata-rata Kinerja Guru SMP Swasta Islam Terpadu Semester Ganjil Tahun Ajaran 2008/2009 Sampai dengan Semester Ganjil 2009/2010 Tahun Ajaran SMP Al Ulum Terpadu SMP Hikmatul Fadhillah SMP Muhammadiyah 1 Target Nilai Tertinggi = 9 Nilai Tertinggi = 6,25 Nilai Tertinggi = 8 Pencapaian Semester I 6,3 3,47 7,2 2008/2009 Semester II 6,8 4,38 6,7 2008/2009 Semester I 2009/2010 6,5 4,86 6,4 Sumber: SMP Al Ulum Terpadu, SMP Hikmatul Fadillah, SMP Muhammadiyah 1, 2010 (data diolah)
23 Dari Tabel 1.1 terlihat bahwa kinerja guru rata-rata masih rendah, masih jauh dari nilai yang seharusnya diraih sebagai indikator pencapaian proses pembelajaran. Hal ini juga menunjukkan masih perlu adanya berbagai perbaikan untuk dapat memperbaiki kinerja guru di masa mendatang, yang mana di sini peran kepemimpinan kepala sekolah tentu akan sangat menunjang pencapaian tujuan tersebut. Pemberian kompensasi juga merupakan salah satu penentu kepuasan guru dalam bekerja. Masih banyak guru yang memperoleh gaji di bawah Upah Minimum Regional, padahal para guru tersebut memiliki jam kerja mulai dari jam 7.30 WIB sampai dengan jam 16.30 WIB. Guru selalu dituntut untuk melakukan yang terbaik bagi sekolah tetapi hal itu tidak sepadan dengan gaji yang diterimanya dan ini menyebabkan ketidakpuasan guru dalam bekerja. Karena terjadinya ketidakpuasan guru dalam bekerja, mengakibatkan timbulnya kondisi-kondisi yang mengakibatkan organisasi berjalan kurang efektif, seperti adanya guru-guru yang kurang perhatian terhadap siswanya, tidak melakukan teguran ketika siswa berpakaian kurang rapi ataupun yang bertingkah laku kurang sopan, tidak memberikan arahan dan nasehat walaupun mengetahui ada siswa yang selalu terlambat karena merasa bahwa itu adalah tugas dari guru Bimbingan dan Penyuluhan, tidak menjaga keindahan dan kerapian dari kelas dan ruang guru serta sering terlambat menghadiri rapat. Di samping itu juga apabila ada guru yang berhalangan hadir, guru tidak mau langsung menggantikan sementara waktu agar kondisi kelas tetap tenang, juga adanya keengganan untuk membantu siswa yang
24 membutuhkan bimbingan baik mengenai hal pribadi maupun yang berkenaan dengan materi pelajaran di waktu senggangnya. Di samping itu ditemukan juga adanya guru yang selalu mengeluh dengan kondisi sekolah yang ada, terlambat atau bahkan tidak memberitahukan kepada pihak sekolah jika berhalangan hadir. Guru tidak mau tahu terhadap perkembangan organisasi sekolah, tidak memiliki pemikiran tentang bagaimana meningkatkan mutu dan prestasi sekolah, seperti dengan sukarela membantu kegiatan ekstrakurikuler. Sementara agar organisasi dapat mencapai tujuan dengan efisien dan efektif, sangat diperlukan peran yang tidak hanya sebatas lingkup tugas dan tanggung jawabnya semata, tetapi harus ada peran lebih yang dikenal dengan perilaku prososial organisasi, yang akan berkontribusi dalam menunjang tercapainya tujuan organisasi. I.2. Perumusan Masalah Dari latar belakang, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Sejauhmana pengaruh kepemimpinan transformasional dan kebijakan kompensasi terhadap kepuasan kerja guru SMP Swasta Islam Terpadu di Kota Medan? 2. Sejauhmana hubungan kepuasan kerja dengan perilaku prososial organisasi guru SMP Swasta Islam Terpadu di Kota Medan?
25 I.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kepemimpinan transformasional dan kebijakan kompensasi terhadap kepuasan kerja guru SMP Swasta Islam Terpadu di Kota Medan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kepuasan kerja dengan perilaku prososial organisasi guru SMP Swasta Islam Terpadu di Kota Medan. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai bahan masukan bagi SMP Islam Terpadu di Kota Medan khususnya dalam kepemimpinan kepala sekolah dan kebijakan kompensasi yang dilakukan yayasan sehingga dapat menciptakan kepuasan kerja guru-guru yang pada akhirnya dapat menghasilkan bentuk perilaku prososial organisasi yang dapat menunjang keberhasilan organisasi sekolah. 2. Sebagai bahan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan memperkaya penelitian ilmiah di dunia pendidikan khususnya mengenai model kepemimpinan transformasional, kebijakan kompensasi, kepuasan kerja dan perilaku prososial organisasi. 3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang memfokuskan studi pada bidang penelitian ini di masa yang akan datang.
26 I.5. Kerangka Berpikir Kepuasan kerja merupakan hal yang penting dimiliki oleh setiap orang dalam bekerja. Dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi mereka akan bekerja dengan sungguh-sungguh, sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Kepuasan kerja pada prinsipnya mengacu pada sikap seseorang, yaitu kesesuaian antara harapan seseorang akan sesuatu dengan apa yang benar-benar diterimanya. Oleh karena itu, organisasi perlu memperhatikan dan meningkatkan faktor-faktor kepuasan kerja pegawai. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pegawai. Salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah gaya kepemimpinan. Judge dan Locke (1993) menyatakan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah gaya kepemimpinan. Menurut Rivai (2004), bahwa, "gaya kepemimpinan merupakan perilaku pemimpin (manajer) dalam berinteraksi dengan lingkungan organisasinya. Gaya yang paling tepat adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja, dan mudah menyesuaikan serta dapat memenuhi kebutuhan dalam berbagai situasi tertentu". Sedangkan Handoko (2003) menyatakan bahwa "Kenyataannya gaya para pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kepuasan kerja, kualitas kehidupan kerja, terutama tingkat prestasi suatu institusi". Dari ketiga pendapat tersebut di atas, maka gaya kepemimpinan itu merupakan suatu cara untuk berinteraksi dengan lingkungan kerja guna mencapai
27 tujuan organisasi dan dapat berkomunikasi dengan bawahannya untuk mempengaruhi kepuasan kerja. Ada beberapa gaya kepemimpinan yang diterapkan manajer dalam upaya mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Salah satu gaya kepemimpinan tersebut adalah gaya kepemimpinan transformasional. Keller (1992) menyatakan bahwa praktik gaya kepemimpinan transformasional mampu meningkatkan kepuasan kerja bagi karyawan karena kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. Penelitian yang dilakukan oleh Pawar dan Eastman (1997) bahwa praktik gaya kepemimpinan transformasional mampu membawa perubahan-perubahan yang lebih mendasar seperti nilai-nilai, tujuan, dan kebutuhan karyawan dan perubahanperubahan tersebut berdampak pada meningkatnya kepuasan kerja karyawan karena terpenuhinya kebutuhan yang lebih tinggi. Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Howell dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki keterkaitan yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan karena karyawan merasa dihargai eksistensinya. Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin,
28 motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Syafei (2006) dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Etos Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Guru SMP PAB Deli Serdang menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional dan etos kerja mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja guru SMP PAB Deli Serdang. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) dengan judul Pengaruh Kepemimpinan Transformasional Terhadap Sikap Guru dan Prestasi Siswa di Singapura menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan transformasional terhadap sikap guru dan prestasi siswa di Singapura. Selain kepemimpinan transformasional, kebijakan kompensasi juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Kebijakan kompensasi hendaknya dapat memberikan rasa keadilan dan kelayakan terhadap karyawan, sehingga karyawan merasakan kepuasan atas hasil kerja yang telah dilakukan. Menurut Hasibuan (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain: balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai dengan keahliannya, berat ringannya pekerjaan, suasana dan lingkungan kerja, peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pemimpin dan sifat pekerjaan. Mangkunegara (2009) menyatakan bahwa kompensasi yang diberikan kepada pegawai sangat berpengaruh terhadap motivasi dan hasil kerja pada tingkat kepuasan kerja.
29 Handoko (2000) menyatakan, Bila karyawan merasa kompensasi atau imbalan mereka tidak memadai, prestasi kerja, motivasi kerja dan kepuasan kerja bisa menurun secara dramatis. Program-program kompensasi bukan hanya penting untuk para pegawai saja, melainkan juga penting bagi organisasi untuk mempertahankan sumber daya manusianya. Di samping itu, kompensasi (dalam bentuk pengupahan dan balas jasa lainnya) sering merupakan komponen-komponen biaya paling besar dan penting. Bila pengupahan dan penggajian tidak diadministrasikan secara tepat, perusahaan bisa kehilangan karyawan yang baik dan harus mengeluarkan biaya untuk menarik, menyeleksi, melatih dan mengembangkan penggantinya. Bahkan bila karyawan tidak keluar, mereka mungkin menjadi tidak puas terhadap perusahaan dan menurunkan produktivitas mereka. Menurut Ivancevich (2004), Pelaksanan pemberian imbalan yang adil dan layak pada suatu organisasi dapat mempengaruhi kepuasan atau ketidakpuasan karyawan. Dampak dari ketidakpuasan karyawan bisa dalam berbagai bentuk antara lain menurunnya tingkat produktivitas, meningkatnya perputaran karyawan (turnover), seringnya tidak masuk kerja (absenteism). Di samping itu, kepuasan kerja juga berhubungan dengan perilaku prososial organisasi. Karyawan yang merasa puas akan mampu bersikap positif terhadap organisasi. Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa, Kepuasan kerja seharusnya merupakan penentu utama dari perilaku prososial organisasi. Karyawan yang puas akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain dan jauh melebihi harapan yang normal dalam pekerjaan mereka. Menurut Siders et al dalam Cohen (2003), meningkatnya perilaku prososial organisasi dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri karyawan (internal) seperti moral, rasa puas, sikap positif, dan sebagainya, sedangkan faktor yang berasal dari luar karyawan (eksternal) seperti sistem manajemen, sistem kepeminpinan, budaya perusahaan.
30 Kreitner dan Kinicki (2004) menyatakan bahwa variabel-variabel yang berhubungan dengan kepuasan kerja terdiri dari motivasi, keterlibatan dalam pekerjaan, perilaku prososial organisasi (Organizational Citizenship Behavior), komitmen terhadap organisasi, absensi, tingkat perputaran tenaga kerja (turnover), tingkat stres dan kinerja dalam pekerjaan. Menurut Podsakoff et al (2000), ada empat faktor yang mendorong munculnya perilaku prososial organisasi dalam diri karyawan. Keempat faktor tersebut adalah karakteristik individual, karakteristik tugas/pekerjaan, karakteristik organisasional dan perilaku pemimpin. Karakteristik individu ini meliputi persepsi keadilan, kepuasan kerja, komitmen organisasional dan persepsi dukungan pimpinan, karakterisitik tugas meliputi kejelasan atau ambiguitas peran, sementara karakteristik organisasional meliputi struktur organisasi, dan model kepemimpinan. Dari kajian teoritis di atas dapat dibuat suatu konsep pemikiran yaitu: Kepemimpinan Transformasional Kebijakan Kompensasi Kepuasan Kerja Perilaku Prososial Organisasi Gambar 1.1. Kerangka Berpikir I.6. Hipotesis Dari kerangka berpikir di atas, maka dihipotesiskan sebagai berikut: 1. Kepemimpinan transformasional dan kebijakan kompensasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja guru SMP Islam swasta terpadu di kota Medan.
31 2. Kepuasan kerja berhubungan dengan perilaku prososial organisasi pada guru SMP Islam swasta terpadu di Kota Medan.