BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Situasi TB di dunia semakin memburuk, sebahagian besar negara di dunia dikategorikan sebagai high burden countries, jumlah kasus TB semakin tidak terkendali dengan banyaknya pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan. Kasus baru Tuberkulosis di dunia mengalami peningkatan secara perlahan di setiap peristiwa per kapita sejalan dengan peningkatan penduduk. Pada tahun 2009 ditemukan 12-16 juta kasus TB dengan perkiraan 9.4 juta kasus baru. Demikian juga berdasarkan data Global report WHO tahun 2009 bahwa di Indonesia berada pada peringkat ke 5 negara dengan beban TB terbanyak di dunia dengan insidensi 429.000 per tahun setelah sebelumnya berada pada peringkat 3 dengan insidensi 528.000 per tahun ( Kemenkes, 2012). Sejak tahun 1995, program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru, telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse chemotherapy) yang direkomendasi oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan GERDUNAS- TB C, maka pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis ( TBC). Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang paling cost- effective (Depkes, 2008). 1
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya retensi terhadap Obat Anti-Tuberkulosis ( OAT). Bentuk kombinasi beberapa jenis OAT harus diberikan dalam jumlah dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Apabila pengobatan intensif dilakukan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan sebahagian besar pasien TB BTA positif akan berubah menjadi BTA negatif (konversi) ( Depkes, 2008). Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemantauan kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Pengobatan dikatakan gagal apabila hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Multidrug Resistant Tuberculosis ( TB MDR ) adalah jenis resisten TB dengan resisten terhadap dua obat anti tuberculosis yang paling efektif yaitu Rifampicin dan Isoniazid. TB MDR merupakan permasalahan utama di dunia untuk saat ini, prevalensi kasus TB MDR dunia pada tahun 2010 sebanyak 55,12 (52%) per 100.000 penduduk pada penderita baru TB. Di kawasan Asia Tenggara terjadi peningkatan yang sangat drastis, pada tahun 2005 terdapat 68 kasus TB MDR per 100.000 penduduk dan tahun 2010 terdapat 3.937 kasus penderita menderita TB 2
MDR dan bisa diartikan terdapat 66.757 kasus MDR TB di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2010 2012 dengan jumlah 182 kasus di tahun 2010 dan 428 kasus pada tahun 2012 (35%) ( Mulyono, 2014). TB MDR merupakan permasalahan utama dalam penanganan penyakit TB paru. Kontak penularan Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resisteni primer, pada akhirnya mengarah pada peningkatan kasus Multi Drug Resistance Pasien TB Paru (MDR TB). Penyebaran TB MDR telah meningkat karena lemahnya program pengendalian TB, kurangnya sumber dana, isolasi yang tidak adekuat dan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TB MDR (Azmah,2012). Semakin meningkatnya terjadi kasus TB MDR di hampir seluruh provinsi di Indoesia tidak terlepas dari semakin banyaknya pasien TB paru yang tidak mengkonsumsi obat TB paru tidak teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Rendahnya kepatuhan pasien terhadap pengobatan menjadi salah satu faktor yang penting dalam terjadinya TB MDR, hal ini tidak terlepas dari pasien yang lalai atau berhenti minum obat sebelum akhir pengobatan, pasien yang mengalami kambuh dan gagal dalam pengobatan TB yang membuat terjadinya resisten terhadap OAT atau terjadinya Multi Drug Resistance Pasien TB Paru (MDR TB). Hasil penelitian Azmah (2014) menunjukkan bahwa pasien yang pernah diobati sebelumnya mempunyai kemungkinan resisten 4 kali lebih tinggi dan untuk resistensi berganda atau TB MDR 10 kali lebih tinggi daripada pasien yang belum pernah menjalani pengobatan. 3
Menurut Masniari dkk (2007) bahwa banyak faktor yang memberikan kontribusi terhadap resistensi obat pada masyarakat termasuk ketidaktahuan penderita tentang penyakitnya, kepatuhan penderita buruk, keteraturan berobat yang rendah, motivasi penderita kurang, suplai obat yang tidak teratur. Penelitian yang dilakukan Sarwani (2012) menujukkan bahwa beberapa faktor yang harus diperhatikan yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB yang diantaranya yaitu kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat. Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013 memperlihatkan bahwa Provinsi Sumatera Utara Menjadi daerah dengan jumlah penderita TB terbanyak ketiga di Indonesia dengan jumlah penderita 16.930 orang penderita TB paru. Provinsi Sumatera Utara juga menjadi salah satu daerah dengan pengobatan tidak lengkap yang tinggi yaitu 635 orang ( 3.5%) (Kemenkes, 2013). Data laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2014 menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Utara memiliki jumlah pasien TB paru yang mendapatkan pengobatan sebanyak 16.567 orang, jumlah pasien TB paru yang mengalami kesembuhan sebanyak 13.682 orang dan pasien yang mendapatkan pengobatan tidak lengkap sebanyak 639 orang sedangkan pasien yang mengalami kematian setelah mendapatkan pengobatan sebanyak 169 orang (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2014). Tingginya prevalensi penderita TB paru dan pengobatan yang tidak lengkap akan meningkatkan resiko terjadinya TB MDR di Provinsi Sumatera Utara. 4
Kota Medan menjadi daerah yang memiliki resiko dengan TB MDR yang tinggi, hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatkatnya prevalensi pasien TB paru di Kota Medan dan angka kesembuhan pasien TB paru yang tidak sesuai target yang ditetapkan yaitu 85%. Data Profil Kesehatan Kota Medan Tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 2.893 orang yang mendapatkan pengobatan BTA (+) dan yang mengalami kesembuhan sebanyak 2.163 orang (75%) padahal Kementerian Kesehatan telah memberikan target untuk kesembuhan TB paru sebesar 85%. Menurut Depkes (2008) bahwa untuk menjamin kepatuhan pasien penderita TB dalam menelan obat maka pengawasan langsung Directly Observed Treatment (DOTS) dilakukan oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Keteraturan menelan obat sehari-hari akan diawasi oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), penderita perlu didampingi oleh seorang PMO karena PMO sangat penting untuk mendampingi penderita agar dicapai hasil pengobatan yang optimal. Pengawas menelan obat (PMO ) menjadi salah satu bagian yang sangat penting dalam mencegah terjadinya MDR pada pasien TB. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi PMO dalam mengawasi kepatuhan pasien TB dalam minum obat sehingga pasien TB akan tetap teratur mengkonsumsi obat TB setiap harinya. Sihombing (2011) menyatakan bahwa PMO memiliki peranan yang penting terhadap tingkat kepatuhan penderita untuk minum obat yang akan menurunkan resiko terjadinya TB MDR. PMO juga dapat meningkatkan motivasi pasien TB untuk mengkonsumsi OAT secara teratur sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 5
Dalam melakukan intervensi bidang kesehatan komunikasi merupakan alat bagi seseorang untuk memengaruhi tingkah laku pasien dan untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi kesehatan (Murwani, 2009). Untuk meningkatkan interaksi dengan pasien, diperlukan suatu komunikasi yang baik oleh tenaga kesehatan dan keluarga. Melalui komunikasi, maka keluarga dan tenaga kesehatan dapat memberi informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap informasi yang disampaikan kepadanya (Niven, 2002). Menurut Liliweri (2009) bahwa komunikasi memiliki tujuan untuk memengaruhi perubahan pikiran, pandangan, pendapat, afeksi, dan perubahan perilaku yang sesuai dengan kehendak komunikator. Pengawas Menelan Obat (PMO) merupakan orang yang akan sering berkomunikasi dengan pasien TB sehingga komunikasi yang dilakukan oleh Pengawas Menelan Obat ( PMO) akan berperan besar terhadap persepsi, sikap dan tindakan pasien TB dalam mengkonsumsi OAT. Melalui komunikasi persuasif maka komunikator akan dapat mengajak atau membujuk dan meyakinkan klien akan pentingnya memahami pesan yang akan disampaikan ( Nasir, 2007). Komunikasi persuasif yang dilakukan oleh PMO kepada pasien TB yaitu usaha untuk meyakinkan pasien TB paru agar pasien TB paru bertingkah laku seperti yang diharapkan oleh PMO sebagai komunikator dengan cara membujuk tanpa memaksanya. Komunikasi persuasif memiliki beberapa prinsip yang diantaranya yaitu membujuk demi konsistensi, membujuk demi perubahan kecil, membujuk demi 6
keuntungan, membujuk demi pemenuhan kebutuhan, membujuk berdasarkan pendekatan- pendekatan Menurut Widjanarko (2006) bahwa PMO yang melakukan pengawasan yang baik cenderung terjadi ketika mereka mendapatkan dorongan dan motivasi yang diberikan keluarga kepada PMO untuk melakukan pengawasan minum obat dengan baik. Hasil penelitian Widyaningsih ( 2004) juga menunjukkan bahwa PMO yang pernah memberikan anjuran dan dorongan kepada pasien TB tentang pengawasan minum obat ternyata membuat pasien TB paru memiliki praktik yang baik dalam mengkonsumsi obat TB paru secara teratur. Hasil penelitian Lestari (2012) memperlihatkan bahwa komunikasi persuasif PMO dalam bentuk memberikan perhatian dalam melakukan pengawasan minum obat pada penderita TB paru akan dapat meningkatkan kepatuhan pasien TB dalam minum Obat sesuai dengan jadwal minum obat. Hasil penelitian Setyani (2013) menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan yang disertai dengan komunikasi persuasif meningkatkan pengetahuan dan sikap responden tentang GAKY. Penelitian Hutapea (2006) menunjukkan bahwa sebanyak 70% responden mengungkapkan kepatuhan pasien TB paru mengkonsumsi obat disebabkan PMO yang mendorong untuk berobat secara teratur melalui pesan-pesan yang diberikan setiap harinya dalam bentuk komunikasi persuasif. Hasil penelitian Marlena (2013) memperlihatkan bahwa strategi komunikasi persuasif yang dilakukan dalam organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) berperan dalam perilaku penanggulangan bahaya HIV AIDS dikalangan remaja. 7
Pada tahun 2012, berdasarkan data lapran Dinas Kesehatan Kota Medan menunjukkan bahwa Puskesmas Martubung menjadi salah satu dari 3 puskesmas yang memiliki pasien TB MDR di Kota Medan dengan jumlah pasien TB MDR sebanyak 1 orang. Selanjutnya data laporan Puskesmas Martubung tahun 2013 menunjukkan bahwa Puskesmas Martubung salah satu puskesmas di Kota Medan yang memiliki jumlah prevalensi TB terbanyak no 9 dari 39 Puskesmas di Kota Medan, Puskesmas Martubung memiliki pasien dengan suspek TB sebanyak 450 orang dan terdapat 52 orang tercatat sebagai penderita TB paru. Angka kesembuhan pasien TB di Puskesmas Martubung juga masih sangat rendah dimana tercatat dari 52 pasien TB di Puskesmas Martubung hanya sebanyak 29 orang (55.76%) yang dinyatakan sembuh padahal pihak Puskesmas Martubung telah menargetkan 80% pasien akan sembuh dan 1 orang dinyatakan pindah rumah. Minimnya angka kesembuhan penyakit TB paru di Puskesmas Martubung dan terdapatnya pasien yang telah mengalami Multi Drug Resistance Pasien TB Paru (MDR TB) menjadi salah satu bukti bahwa masih rendahnya tindakan pengawas menelan obat ( PMO) dalam melakukan tugasnya mengawasi pasien TB paru mengkonsumsi Obat TB paru. Puskesmas Martubung memiliki 2 kelurahan yaitu kelurahan besar dengan jumlah penderita TB BTA(+) sebanyak 33 orang dan kelurahan Tangkahan dengan jumlah penderita TB BTA(+) sebanyak 19 orang. Berdasarkan observasi yang dilakukan di Puskesmas Martubung dengan mewawancarai 10 orang pasien TB paru di Kelurahan Besar dan Kelurahan Tangkahaan ditemukan bahwa sebanyak 7 orang 8
yang menyatakan mengkonsumsi OAT dengan jam yang tidak teratur dan sebanyak 3 orang menyatakan mengkonsumsi OAT secara teratur. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh penulis ke Puskesmas Martubung dengan mewawancarai 5 orang pasien TB paru yang melakukan pengobatan di Puskesmas Martubung diketahui bahwa terdapat sebanyak 1 orang pasien tidak mengkonsumsi obat secara teratur sesuai jadwal karena pasien TB paru sering lupa jadwal mengkonsumsi OAT dan PMO juga tidak mengingatkan, mengawasi pasien TB paru untuk mengkonsumsi OAT sesuai jadwal sehingga melakukan pengobatan ulang setelah berobat selama 1 bulan. Terdapat pula 1 orang pasien TB paru yang kadang mengkonsumsi OAT dan kadang tidak mengkonsumsi OAT pasien TB paru menyatakan saya sama sekali bingung dengan ketentuan konsumsi OAT dan efek samping OAT yang membuat pasien TB paru sering mual-mual dan merasa pegalpegal, jadi malas untuk mengkonsumsi OAT setiap hari. Pasien yang mengkonsumsi OAT secara rutin setiap hari sebanyak 3 orang, mereka menyatakan meskipun OAT mengakibatkan sakit yang mereka rasakan namun karena PMO sering mengingatkan pentingnya kesembuhan pasien TB paru demi anak dan istri maka pasien TB paru akan tetap mengkonsumsi OAT secara rutin. 1.2 Permasalahan Berdasarkan fenomena yang terjadi yaitu Puskesmas Martubung menjadi salah satu puskesmas di Kota Medan yang memiliki pasien TB paru yang mengalami TB MDR pada tahun 2012. Angka kesembuhan pasien TB di Puskesmas Martubung 9
juga masih sangat rendah dimana tercatat dari 52 pasien TB di Puskesmas Martubung hanya sebanyak 29 orang (55.76%), maka penulis memiliki keinginan untuk melakukan kajian penelitian tentang bagaimana hubungan komunikasi persuasif dan perilaku Pengawas Menelan Obat ( PMO) dengan pencegahan Multi Drugs Resistance (MDR) pada pasien TB paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Kota Medan tahun 2015. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui hubungan komunikasi persuasif dan perilaku pengawas menelan obat ( PMO) terhadap pencegahan Multi Drugs Resistance (MDR) pada pasien TB paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Kota Medan tahun 2015. 1.4 Hipotesis 1. Ada hubungan komunikasi persuasif Pengawas Menelan Obat (PMO) (perhatian, pemahaman, penerimaan) dengan pencegahan Multi Drugs Resistance (MDR) pada pasien TB paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Kota Medan tahun 2015. 2. Ada hubungan perilaku Pengawas Menelan Obat ( PMO) (pengetahuan dan sikap) dengan pencegahan Multi Drugs Resistance (MDR) pada pasien TB paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Martubung Kota Medan tahun 2015. 10
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan agar dapat sebagai bahan acuan untuk program pencegahan terjadinya TB MDR yang dilakukan oleh PMO melalui komunikasi persuasif dan perilaku PMO. 2. Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan partisipasi PMO TB paru dalam melakukan pencegahan TB MDR. 3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi perpustakaan hingga menjadi dasar pemikiran untuk pelaksanaan penelitian yang selanjutnya. 11