BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempe merupakan salah satu makanan tradisional khas penduduk Indonesia. Tempe diproduksi secara turun temurun, khususnya di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya. Tempe terbuat dari biji kedelai atau beberapa bahan lain yang diproses melalui fermentasi menggunakan kapang Rhizopus atau secara umum dikenal sebagai ragi tempe. Indonesia merupakan Negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia digunakan untuk memproduksi tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan sekitar 6.45kg (BSN, 2012). Umumnya saat ini tempe yang banyak dijual di pasaran adalah tempe dari kedelai impor. Hal ini dapat dilihat dari banyak usaha pembuatan tempe di Indonesia yang memproduksi 2.4 juta ton tempe per tahun. Dari data yang dimiliki Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia, dari 2.2 juta ton pertahun kebutuhan kacang kedelai dalam negeri, hanya 600 ribu ton yang mampu dipenuhi oleh petani kedelai lokal. Sementara 1.6 juta ton lainnya harus di impor dari Amerika Serikat. Kemudian, dari 1.6 juta ton tersebut, sekitar 80% diolah menjadi tempe dan tahu, sementara 20% lainnya untuk panganan seperti susu kedelai (BSN, 2012). 1
2 Di samping itu, pengrajin tempe cenderung memilihi kedelai impor sebagai bahan bakunya dibandingkan kedela lokal karena pasokan bahan bakunya terjamin. Menurut Krisdiana (2005) dalam Ginting dkk (2009), sekitar 93% pengrajin tempe menyukai kedelai yang berkulit kuning dan berbiji besar (82%) karena menghasilkan tempe yang warnanya cerah dan volumenya besar. Jenis tersebut banyak tersedia di pasaran, yakni kedelai impor. Selain mudah didapat dan harganya murah, tempe memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh. Hal ini dikarenakan kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Kasmidjo, 1990). Konsumsi tempe juga dapat mencegah kanker, penyakit jantung, dan osteoporosis berdasarkan sifat antioksidan yang terkandung didalamnya (Babu dkk, 2009). Tempe termasuk dalam produk yang tidak tahan lama karena aktivitas enzimatis dari mikrobia. Tempe mentah yang disimpan di suhu ruang, lebih baik dikonsumsi sebelum lebih dari 2 hari. Kerusakan tempe ditandai dengan miselium putih yang tidak kompak, berbau busuk, basah, licin, dan jamur yang tumbuh tidak merata (Kasmidjo, 1990). Kemasan tempe berperan penting dalam memperpanjang umur simpan. Hal ini dikarenakan kemasan yang mengatur suplai oksigen dan mempertahankan suhu untuk terjadinya fermentasi. Selain dapat mempengaruhi umur simpan, kemasan juga dapat memberikan citarasa tersendiri
3 terhadap tempe. Kemasan tempe yang paling umum digunakan yaitu plastik dan daun pisang. Tetapi sebagian kecil masih ada yang menggunakan daun jati dan daun waru untuk membungkus tempe seperti di daerah Yogyakarta. Kemasan alami seperti membungkus tempe menggunakan daun dapat memberikan aerasi (sirkulasi udara) yang baik melalui celak-celah pembungkus yang ada. Kapang tempe membutuhkan banyak oksigen untuk pertumbuhannya (Sarwono, 2010). Selain itu, produk yang dikemas menggunakan daun biasanya memiliki aroma yang khas karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalam daun tersebut. Sedangkan, produsen tempe di perkotaan umumnya menggunakan bahan pembungkus buatan, yakni kantong plastik karena lebih praktis dan tidak merepotkan. Tetapi pembungkusan bahan tempe dalam kantong plastik perlu dilubangin agar oksigen dapat masuk ke dalam kemasan. Penelitian Astuti (2009), membandingkan sifat orgenoleptik tempe kedelai kuning yang dibungkus menggunakan kemasan plastik, daun pisang dan daun jati. Hasilnya menyebutkan bahwa penggunaan jenis pembungkus plastik, daun pisang dan daun jati pada tempe kedelai berpengaruh terhadap sifat organoleptik seperti warna, aroma, rasa, tekstur dan kekompakan, namun tidak ada perbedaan nyata pada sifat teksturnya. Namun tempe yang menggunakan pengemas daun pisang lebih disukai daripada tempe dengan pengemas plastik dan daun jati. Terdapat juga penelitian pendahulu lainnya mengenai pengaruh bahan kemasan dan lama inkubasi terhadap kualitas tempe kacang gude sebagai sumber belajar ipa (Sayuti, 2015). Hasilnya menyebutkan bahwa bahan kemasan dan lama inkubasi secara bersama-sama memberikan interaksi terhadap kualitas tempe
4 kacang gude dinilai dari perubahan kandungan protein, lemak, dan karbohidrat. Tempe yang dikemas dengan daun waru memberikan pengaruh tertinggi pada kandungan protein dan lemak sedangkan pada kandungan karbohidrat, kemasan daun pisang memiliki pengaruh yang tertinggi. Untuk hasil uji organoleptik, panelis lebih menyukai tempe gude yang dikemas daun waru dan daun pisang dibandingkan tempe kemasan plastik. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada yang meneliti mengenai pengaruh penggunaan kemasan plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru terhadap karakteristik sensoris dan kenampakan tempe kedelai impor. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hal tersebut. Pada penelitian ini menggunakan sampel kedelai impor yang telah diragi yang diambil langsung dari pabrik untuk mengurangi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian karena umumnya proses pembuatan tempe di Pabrik sudah sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP). Penelitian ini juga menggunakan kombinasi kamera digital, komputer, dan piranti lunak analisis gambar untuk menentukan warna dan bercak hitam dari sampel. Metode ini belum banyak digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya sehingga dapat menjadi hal baru untuk penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik sensoris (kenampakan dan aroma) dan kesukaan tempe kedelai impor mentah yang dikemas dengan kemasan plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru?
5 2. Bagaimana karakteristik sensoris (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dan kesukaan tempe kedelai impor goreng yang dikemas dengan kemasan plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru? 3. Bagaimana perubahan kenampakan tempe (warna dan bercak hitam) kedelai impor yang dikemas plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengetahui karakteristik sensoris (kenampakan dan aroma) dan kesukaan tempe kedelai impor mentah dengan kemasan plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru. 2. Mengetahui karakteristik sensoris (kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa) dan kesukaan tempe kedelai impor goreng dengan kemasan plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru. 3. Mengetahui perubahan kenampakan (warna dan bercak hitam) tempe kedelai impor yang dikemas plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai sifat sensoris dan kesukaan tempe kedelai impor yang dikemas plastik, daun pisang, daun jati, dan daun waru.
6 2. Memanfaatkan daun jati dan daun waru sebagai kemasan tempe selain plastik dan daun pisang.