WACANA HUKUM VOL. XXIII, 1, APRIL 2017

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pemakaian kedua istilah ini mengikuti istilah dalam bahasa Belanda, yaitu assurantie

Dosen Pengampu: Ayub Torry Satriyo Kusumo, S.H., M.H. DISUSUN OLEH Asawati Nugrahani (E )

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

Lex Privatum, Vol.II/No. 2/April/2014

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

BAB IV PEMBAHASAN. A. Kedudukan Hukum Karyawan Pada Perusahaan Pailit. perusahaan. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi karyawan dalam menghasilkan

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. bisnis dimana perlindungan finansial (atau ganti rugi secara finansial) untuk jiwa,

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. atau jiwa seseorang dengan cara mengalihkan kerugian tersebut kepada perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

DAFTAR PUSTAKA. Abbas Salim, 1985, Dasar-Dasar Asuransi (Principle Of Insurance) Edisi Kedua, Tarsito, Bandung.

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seperti telah dimaklumi, bahwa dalam mengarungi hidup dan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN YANG MEMUAT KLAUSULA ARBITRASE SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

I. PENDAHULUAN. Setiap orang sering menderita kerugian akibat dari suatu peristiwa yang tidak

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan di bidang

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DAN KEPAILITAN. Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan Penelitian

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan-kepentingan ekonomi maupun kepentingan sosial. mengumpulkan premi yang dibayar oleh beberapa pihak tertanggung.

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 4, Tahun 2016 Website :

HAK HAK KARYAWAN PADA PERUSAHAAN PAILIT (STUDI TENTANG PEMBERESAN HAK KARYAWAN PADA KASUS PERUSAHAAN PT. STARWIN) SKRIPSI

DAFTAR PUSTAKA. AbdulKadir Muhammad, 2006, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan III, PT. Citra Aditua Bakti, Bandung.

PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN NIAGA PADA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT OLEH MAHKAMAH AGUNG TERKAIT DENGAN PUTUSAN PAILIT PT. DIRGANTARA INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN KREDITUR PREFEREN DALAM KEPAILITAN

BAB III KEDUDUKAN NASABAH ASURANSI KETIKA PERUSAHAAN ASURANSI DIPAILITKAN Hubungan Hukum Perusahaan Asuransi Dengan Nasabah Asuransi

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

Oleh Gede Irwan Mahardika Ngakan Ketut Dunia Dewa Gede Rudy Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

Manfaat Dan Mekanisme Penyelesaian Klaim Asuransi Prudential. Ratna Syamsiar. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Kedudukan Tertanggung Setelah Perusahaaan Asuransi Dinyatakan Pailit

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN DAN PERUSAHAAN ASURANSI. Kepailitan berasal dari kata pailit dari bahasa Belanda Failliet.

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Dimana sebagian besar masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Terhadap kasus yang dihadapi oleh PT Metro Batavia dan International Lease

BAB I PENDAHULUAN. dipastikan kapan akan terjadinya. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Proses perniagaan, apabila debitor tidak mampu ataupun tidak mau

BAB I PENDAHULUAN. suatu peristiwa yang tidak terduga semula, misalnya rumahnya terbakar, barangbarangnya

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III TINJAUAN TEORI. 1. Pengertian Asuransi dan Pengaturannya. a. Pengertian Asuransi

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT DALAM UNDANG-UNDANG KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. pengaturan yang segera dari hukum itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya manusia juga tidak bisa terlepas dari kejadian-kejadian yang tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan perikatan yang lahir dari undang-undang yang. mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam

ASPEK HUKUM KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI SHERLIN INDRAWATI THE / D

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

ASAS TANGGUNG RENTENG PADA BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM DAN AKIBAT HUKUM BAGI HARTA PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEPAILITAN. 2.8 Pengertian, Dasar Hukum, dan Tujuan Kepailitan. failite yang artinya kemacetan pembayaran.

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

PERLINDUNGAN HUKUM KREDITOR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DEDY TRI HARTONO / D

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak pernah terlepas dari bahaya, Beberapa

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

Transkripsi:

KEDUDUKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG POLIS PADA PERUSAHAAN ASURANSI YANG PAILIT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN Oleh: Rosiani Niti Pawitri ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai kedudukan dan perlindungan terhadap pemegang polis pada perusahaan asuransi yang pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dengan teknik analisis bahan hukum menggunakan metode silogisme dengan pola berpikir deduktif. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan pemegang polis pada perusahaan asuransi yang pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, di Pasal 52 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya ketika perusahaan asuransi dipailitkan atau sebagai kreditur preferen. Sementara itu, perlindungan pemegang polis pada perusahaan asuransi yang pailit diatur dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menyatakan bahwa perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Kata kunci: asuransi, pemegang polis, pailit A. LATAR BELAKANG MASALAH Setiap keputusan yang diambil manusia dalam menjalani kehidupannya selalu dipenuhi dengan risiko. Risiko adalah kemungkinan kerugian yang akan dialami, yang diakibatkan oleh bahaya yang mungkin terjadi, tetapi tidak diketahui lebih dahulu apakah akan terjadi dan kapan akan terjadi (Purba, 1992). Risiko-risiko tersebut bersifat tidak pasti, tidak diketahui apakah akan terjadi dalam waktu dekat atau di kemudian hari. Apabila risiko tersebut betul-betul terjadi, tidak diketahui berapa kerugiannya secara ekonomis. Timbulnya risiko tersebut membuat manusia dalam menjalani kegiatan dan aktivitasnya diliputi oleh perasaan yang tidak nyaman dan tidak aman. Risiko tersebut dapat berupa kematian, kecelakaan, kehilangan, dipecat, ataupun risiko kerugian akibat keadaan alam yang harus ditanggulangi agar tidak terjadi kerugian besar (Hini HD, 2015). Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan akal dan budinya mencari cara agar ketidakpastian dalam hidupnya berubah menjadi suatu kepastian. Salah satu cara untuk mengatasi risiko tersebut adalah dengan cara mengalihkan risiko (transfer of risk) kepada pihak lain di luar diri manusia (Sastrawidjaja, 2003). Pada saat ini pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah perusahaan asuransi. Asuransi didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: 1. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, 40

kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau 2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian). Sebetulnya tujuan semua asuransi ialah untuk menutup suatu kerugian yang diderita selaku akibat dari suatu peristiwa yang bersangkutan dan yang belum dapat ditentukan semula akan terjadi atau tidak (Prodjodikoro, 1981). Unsur ganti rugi sebagai unsur penting dalam asuransi sayangnya belum berjalan sesuai dengan tujuan pemegang polis asuransi mengikatkan diri dalam perjanjian asuransi. Pemegang polis asuransi mengalami kesulitan ketika akan mengajukan klaim ganti rugi. Perusahaan asuransi selaku penanggung selalu mengajukan berbagai macam alasan sebagai dasar untuk tidak membayar klaim ganti rugi yang diajukan oleh pemegang polis. Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa masih banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran untuk berasuransi. Terpuruknya kehidupan perekonomian nasional, mengakibatkan semakin banyak usaha yang tidak dapat meneruskan usahanya, termasuk memenuhi kewajibannya pada kreditur. Ketidakmampuan ini dapat diajukannya pailit. Begitu juga dengan perusahaan yang bergerak di bidang asuransi (Manik, 2012). Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas (Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Apabila dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, hal ini berbeda dengan ketentuan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bahwa permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi sebagai pengelola risiko sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan perekonomian (Sastrawidjaja, 2010). Konsekuensi hukum dari pailit adalah hal yang paling ditakuti oleh perusahaan asuransi karena status pailit ini secara hukum memberikan status sitaan terhadap seluruh harta perusahaan asuransi tersebut. Pengurusan perusahaan asuransi yang telah pailit tidak mempunyai kewenangan terhadap harta perusahaan yang telah berada dalam sitaan umum karena pada saat status pailit dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga maka kurator akan diangkat untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap seluruh harta perusahaan asuransi yang pailit tersebut (Simanjuntak, 2003). Bagi masyarakat pengguna jasa asuransi, istilah kepailitan merupakan sebuah tema yang menakutkan juga. Menakutkan karena ada rasa khawatir dana yang sudah ditanamkan dalam bentuk premi tidak dapat ditagih, baik yang sudah jatuh tempo maupun yang sedang berjalan, sehingga penulis tertarik membahasnya dalam makalah yang berjudul Kedudukan dan Perlindungan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi yang Pailit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah kedudukan hukum pemegang polis pada perusahaan asuransi yang mengalami kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian? 41

2. Bagaimanakah perlindungan hukum pemegang polis pada perusahaan asuransi yang mengalami kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian? C. METODE PENELITIAN Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian tersebut merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian hukum kepustakaan (Soekanto dan Mamudji, 2011). Sifat penelitian yang digunakan adalah preskriptif. Dengan menggunakan sifat penelitian yang preskriptif, penulis dapat melakukan penilaian mengenai benar atau salah, atau apa yang seyogianya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian (Fajar dan Achmad, 2010). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi kepustakaan (Soekanto dan Mamudji, 2011). Sementara sumber data yang digunakan berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik yang dipakai dalam pengumpulan bahan hukum dalam penulisan hukum ini adalah studi dokumen. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode silogisme yang menggunakan pola berpikir deduktif. D. PEMBAHASAN 1. Tinjauan tentang Asuransi Pengertian asuransi atau pertanggungan terdapat dalam Pasal 246 KUHD, yaitu: Pertanggungan adalah perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi, untuk menggantikan kepadanya karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu peristiwa yang belum tentu terjadi. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diambil beberapa simpulan tentang perjanjian asuransi, yaitu: a. Rumusan asuransi yang terdapat dalam Pasal 246 KUHD hanya berlaku bagi asuransi kerugian. b. Asuransi merupakan perjanjian timbal balik. Hal ini karena ada hak dan kewajiban yang berhadap-hadapan antara tertanggung dan penanggung. c. Asuransi merupakan perjanjian bersyarat. Hal ini karena pelaksanaan kewajiban penanggung digantungkan pada terjadinya suatu peristiwa yang tak tertentu, yaitu peristiwa yang tidak diharapkan dan tidak diperkirakan akan terjadi. d. Asuransi merupakan perjanjian penggantian ganti rugi. Hal ini karena Pasal 246 KUHD menekankan pada penggantian kerugian yang sungguh-sungguh diderita oleh tertanggung (Suparman dan Endang, 1997). Pengertian lain tentang asuransi terdapat dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yaitu: Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung 42

jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Pengertian asuransi dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tersebut lebih luas ruang lingkupnya, yaitu meliputi: a. Asuransi kerugian (los insurance), yaitu perlindungan terhadap harta kekayaan seseorang atau badan hukum, yang meliputi benda asuransi, risiko yang ditanggung, premi asuransi, ganti rugi. b. Asuransi jiwa (life insurance), yaitu perlindungan terhadap keselamatan seseorang, yang meliputi jiwa seseorang, risiko yang ditanggung, premi asuransi, dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen, atau pengembalian (refund) bila asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen. c. Asuransi sosial (social security insurance), yaitu perlindungan terhadap keselamatan seseorang, yang meliputi jiwa dan raga seseorang, risiko yang ditanggung, iuran asuransi, dan santunan sejumlah uang dalam hal terjadi evenemen (Muhammad dan Murniati, 2000). Sementara itu, pengertian asuransi yang terdapat pada Pasal 1 Angka 1 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian adalah sebagai berikut: Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Asuransi sebagai sebuah perjanjian bukan hanya sekadar berisi kesepakatan (konsensualisme) tetanggung dan penanggung, melainkan juga harus memenuhi syarat agar perjanjian tersebut sah. Perjanjian asuransi sebagaimana umumnya perjanjian, juga harus memenuhi unsur-unsur pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah perjanjian, di antaranya adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya objek dan adanya kausa yang halal (Ismanto, 2012). Perjanjian asuransi, sebagaimana halnya perjanjian lain, berlaku prinsip-prinsip umum hukum perjanjian/kontrak. Namun, selain itu berlaku pula prinsip-prinsip perjanjian asuransi sebagai berikut: a. Prinsip indemnity (ganti rugi) Prinsip ini menetapkan bahwa tujuan utama dari perjanjian asuransi adalah membayar ganti rugi jika terjadi risiko atas objek yang dijamin dengan asuransi tersebut. Prinsip ini tercermin dalam Pasal 246 KUHPerdata, yaitu pada kalimat untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu. Prinsip ini hanya berlaku bagi asuransi yang kepentingannya dapat dinilai dengan uang, yaitu asuransi kerugian (Sastrawidjaja, 2008). 43

b. Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) Prinsip ini menetapkan bahwa agar suatu perjanjian asuransi dapat dilaksanakan maka objek yang diasuransikan harus merupakan suatu kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), yakni kepentingan yang dapat dinilai dengan uang. Prinsip ini terdapat pada Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan bahwa penanggung tidaklah wajib memberikan ganti rugi atas barang yang dipertanggungkan, apabila tertanggung tidak mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan (Ganie, 2013). c. Prinsip keterbukaan Prinsip ini menetapkan bahwa pihak tertanggung harus beriktikad baik, terbuka penuh, yaitu harus membuka semua hal penting yang berkenaan dengan objek yang diasuransikan. Jika ada informasi yang tidak terbuka atau tidak benar, padahal informasi tersebut begitu penting sehingga seandainya penanggung mengetahui sebelumnya, penanggung tidak akan mau menjamin, meskipun tertanggung memiliki iktikad baik. Hal ini membawa akibat terhadap batalnya perjanjian asuransi tersebut. d. Prinsip subrogasi untuk kepentingan penanggung Prinsip subrogasi ini menetapkan bahwa apabila karena alasan apa pun terhadap objek yang sama pihak tertanggung memperoleh juga ganti rugi dari pihak ketiga maka prinsipnya tertanggung tidak boleh mendapat ganti rugi dua kali sehingga ganti rugi dari pihak ketiga tersebut akan menjadi hak penanggung. Pihak tertanggung bahkan harus bertanggung jawab jika ia melakukan tindakan yang dapat menghambat pihak tertanggung untuk mendapat hak dari pihak ketiga tersebut. Hal ini dapat disimpangi jika disebutkan dengan jelas dalam perjanjian asuransi. d. Prinsip kontrak bersyarat Seperti telah diuraikan bahwa asuransi merupakan perjanjian bersyarat. Dalam perjanjian asuransi harus ditentukan suatu syarat bahwa jika terjadi sesuatu peristiwa tertentu maka sejumlah uang ganti rugi akan dibayar oleh penanggung. Jika peristiwa tersebut tidak terjadi maka ganti rugi tidak diberikan (Fuady, 2005). e. Prinsip iktikad baik (good faith) Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian asuransi mengikatkan diri atas dasar iktikad baik. Ketentuan Pasal 251 KUHD yang meletakkan tanggung jawab pada tertanggung untuk memberikan keterangan yang benar merupakan bentuk dari prinsip iktikad baik (Sastrawidjaja, 2008). 2. Tinjauan tentang Kepailitan Kepailitan adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitur agar dicapai perdamaian antara debitur dan para kreditur, atau agar harta tersebut dapat dibagi secara adil di antara para kreditur (Fuady, 2005). Secara etimologis, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya, istilah pailit dalam bahasa Belanda adalah fayit sehingga ada pula orang yang menerjemahkannya sebagai palyit dan faillissement, yaitu sebagai kepailitan. Kemudian, di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy. Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh tempo (Asyhadie, 2005). 44

Lembaga kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan solusi terhadap para pihak, apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Menurut Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai berikut: a. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang kepada semua krediturnya. b. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi, keberadaan ketentuan tentang kepailitan, baik sebagai suatu lembaga atau sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU Kepailitan dan PKPU) menyebutkan bahwa dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Pernyataan pailit akan diputus oleh Pengadilan Niaga yang berwenang jika syaratsyarat pailit terhadap debitur telah terpenuhi. Berikut syarat-syarat dari kepailitan: a. Debitur harus memiliki lebih dari satu kreditur. Keharusan adanya dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata (Muljadi dan Widjaja, 2004). b. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya. c. Utang yang tidak dibayar tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Sjahdeini, 2009). Apabila syarat-syarat permohonan pailit telah terpenuhi maka pihak yang dapat dinyatakan pailit, yaitu: a. Orang perorangan b. Perserikatan dan perkumpulan yang tidak berbadan hukum lainnya c. Perseroan, perkumpulan, dan yayasan-yayasan berbadan hukum d. Harta peninggalan Setelah mengetahui pihak yang dapat dinyatakan pailit maka perlu diketahui pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) sampai dengan Ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yaitu: a. Debitur sendiri (dalam hal debiturnya sudah menikah dan terjadi percampuran harta, harus dengan persetujuan suami atau istrinya). Selain utang dalam Undang- Undang Kepailitan dan PKPU, juga mengatur definisi dari kreditur dan debitur. Definisi dari debitur menurut Pasal 1 Angka (1), yaitu: orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. b. Krediturnya, satu orang atau lebih. Definisi dari kreditur menurut Pasal 1 Angka (2), yaitu: orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Jenis-jenis kreditur menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu: 45

1) Kreditur separatis, yaitu kreditur yang didahulukan dalam pelunasan tagihannya dari hasil penjualan harta kekayaan debitur asalkan benda tersebut tidak dibebani dengan hak jaminan tertentu bagi kepentingan kreditur tersebut (Sjahdeini, 2009). 2) Kreditur preferens, yaitu kreditur yang oleh undang-undang semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferens merupakan kreditur yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya (Pasal 1134 KUHPerdata). 3) Kreditur konkuren, yaitu para kreditur dengan hak pari passu dan pro rata, artinya para kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Dengan demikian, para kreditur konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitur tanpa ada yang didahulukan (Jono, 2008). c. Kejaksaan untuk kepentingan umum d. Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah bank e. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), apabila debiturnya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian f. Menteri Keuangan, apabila debiturnya perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Tetapi, perlu diingat bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan). Kepailitan diawali dengan putusan hakim. Akibat dari putusan tersebut, menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan maka dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Putusan pernyataan pailit menciptakan suatu sita kepailitan umum untuk kepentingan para kreditur secara bersama, serta melahirkan suatu hubungan hukum yang baru. Dengan adanya kepailitan, debitur tidak lagi menguasai barang-barangnya. Kewenangan itu telah beralih pada kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Selanjutnya, para kreditur mendapat kesempatan untuk mengajukan tagihan mereka kepada kurator. Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsinya melalui mekanisme pendistribusian aset secara adil dan merata terhadap kreditur berkaitan dengan keadaan tidak membayarnya debitur karena ketidakmampuan debitur melaksanakan kewajiban tersebut (Shubhan, 2009). 3. Kedudukan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi yang Mengalami Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Kedudukan mengenai pemegang polis asuransi pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diatur pada Pasal 52, yakni sebagai berikut: 46

(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta atas pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya. (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi. (3) Dalam hal terdapat kelebihan Dana Asuransi setelah pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), kelebihan Dana Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi. (4) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau Perusahaan Reasuransi Syariah dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Tabarru dan Dana Investasi Peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain kepada Peserta. Berdasarkan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa kedudukan dari pemegang polis adalah sebagai kreditur preferen, yakni memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pihak lain. Tetapi, menurut ketentuan Pasal 1134 Ayat (2) KUHPerdata, kedudukan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan (gadai, hipotek, fidusia, dan hak tanggungan) lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan (privilege). Ini berarti bahwa kedudukan tertanggung pemegang polis atau yang memiliki hak menikmati (beneficiary) atas polis adalah sebagai kreditur nomor dua. Walaupun namanya tetap sebagai kreditur preferen yang diistimewakan, tetapi hak-haknya baru dibayarkan setelah hak-hak para kreditur separatis diselesaikan terlebih dahulu sehingga dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memberikan kedudukan kepada pemegang polis ketika perusahaan asuransi pailit, yakni sebagai kreditur preferen. 4. Perlindungan Hukum Pemegang Polis pada Perusahaan Asuransi yang Mengalami Kepailitan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup bermasyarakat. Sementara itu, perlindungan hukum dalam arti yang luas adalah perlindungan tersebut diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai. Dalam upaya untuk melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal terjadinya pencabutan izin usaha dan likuidasi terhadap perusahaan asuransi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian telah menjamin bahwa hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lain. Hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 52. Pada Pasal 53 Ayat (1) menyatakan bahwa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. Program ini akan dilaksanakan melalui sebuah undang-undang, yang sebagaimana diamanatkan Pasal 53 Ayat (4) bahwa undang-undang tersebut dibentuk paling lama tiga tahun sejak Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan. Sebelum program penjaminan polis sebagaimana diatur pada BAB XI Undang-Undang Nomor 40 Tahun 47

2014 tentang Perasuransian terealisasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur dalam Pasal 20 bahwa setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah wajib membentuk dana jaminan sesuai dengan bentuk dan jumlah yang telah ditetapkan oleh OJK. Tujuan dibentuknya dana jaminan tersebut untuk memberikan jaminan atas penggantian sebagian atau seluruh hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal perusahaan harus dilikuidasi. Dana jaminan ini selanjutnya tidak akan berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah saat Program Penjaminan Polis, sebagaimana diatur pada Pasal 53, sudah terealisasi berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut, Pasal 44 mengatur bahwa demi melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, menyatakan bahwa likuidasi perusahaan yang telah dicabut izin usahanya perlu segera dilakukan. Hal ini karena dengan dibentuknya tim likuidasi maka tanggung jawab dan kepengurusan perusahaan dilaksanakan oleh tim likuidasi. E. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Kedudukan pemegang polis pada perusahaan asuransi yang pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, di Pasal 52 Ayat (1) menyebutkan bahwa pemegang polis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya ketika perusahaan asuransi dipailitkan atau sebagai kreditur preferen. 2. Perlindungan pemegang polis pada perusahaan asuransi yang pailit diatur dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menyatakan bahwa Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. F. SARAN 1. Pemerintah perlu membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur sejauh apa hak preferen yang diberikan kepada pemegang polis pada perusahaan asuransi pailit. 2. Pemerintah perlu segera merealisasikan adanya lembaga penjamin polis seperti yang telah diamanatkan pada Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, agar hak-hak yang terdapat pada polis asuransi dapat diklaim ketika perusahaan asuransi pailit. DAFTAR PUSTAKA. 2005. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bhakti.. 2008. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.. 2010. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: PT. Alumni. Asyhadie, Zaeny. 2005. Hukum Bisnis Proses dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fuady, Munir. 2005. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Ganie, A. Junaedy. 2013. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 48

Hini HD, Mastriati. 2015. Analisa Manfaat Asuransi dan Perlindungan Hukum bagi Pihak Tertanggung. Yogyakarta: Jurnal Ekonomia Vol. 6 No. 2, Agustus 2015. Ismanto, Kuat. 2012. Principle of Utmost Good Faith dalam Perjanjian Asuransi Studi Asas Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta: Epistemé, Vol. 7, No. 2, Desember 2012. Jono. 2008. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika. Manik, Edwind. 2012. Cara Mudah Memahami Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Mandar Maju. Muhammad, Abdulkadir dan Rilda Murniati. 2000. Lembaga Keuangan dan Pembiayaan. Bandung: Citra Aditya Bhakti. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2004. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: PT. Intermasa. Purba, Radiks. 1992. Memahami Asuransi di Indonesia, Seri Umum No. 10. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Sastrawidjaja, Man. Suparman. 2003. Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga. Bandung: PT. Alumni. Shubhan, M. Hadi. 2009. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Simanjuntak, Ricardo. 2003. Beberapa Catatan yang Perlu Mendapat Perhatian dari Draf Revisi UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian. Palu: Jurnal Hukum Bisnis Vol. 2, No. 4. Sjahdeini, Sutan Remy. 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suparman, Man dan Endang. 1997. Hukum Asuransi: Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuransian. Bandung: Alumni. 49