TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Biofisik Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Deli Serdang secara geografis, terletak diantara 2 57-3 16 Lintang Utara dan antara 98 33-99 27 Bujur Timur. Daerah ini secara geografis terletak pada wilayah pengembangan Pantai Timur Sumatera Utara serta memiliki topografi, kountur dan iklim yang bervariasi. Kawasan hulu yang kounturnya mulai bergelombang sampai terjal, berhawa tropis pegunungan, kawasan dataran rendah yang landai sementara kawasan pantai berhawa tropis pantai. Sementara itu, dilihat dari kemiringan lahan, Kabupaten Deli Serdang dibedakan atas : dataran pantai : ± 63.002 Ha ( 26,30 %), dataran Rendah : ± 68,965 Ha ( 28.80 % ), dataran pegunungan : ± 111.970 Ha ( 44.90 %) (Tengku Herry, 2009). Sesuai dengan perbedaan geografis, topografis dan ketinggian dari permukaan laut maka iklim daerah ini juga bervariasi yaitu iklim sub tropis dan iklim peralihan antara sub tropis dan tropis. Ketinggian 0 500 meter dari permukaan laut, Kabupaten Deli Serdang beriklim peralihan antara sub tropis dan tropis, sedangkan ketinggian lebih dari 1.000 meter dari permukaan laut beriklim sub tropis. Curah hujan rata-rata pertahun 1.936,3 mm, pada umumnya curah hujan terbanyak pada bulan September, Oktober, Nopember dan Desember. Angin yang bertiup melalui daerah ini juga berbeda yakni angin laut dan angin pegunungan dengan kecepatan 0,68 meter/detik, sedangkan temperatur rata-rata 26,7.Luas jenis Tanah Kabupaten Deli Serdang dibedakan atas : entisol, histosol : 25.176 Ha; utisol : 45.873 Ha;
Andisol : 44.488 Ha; inceptisol : 112.462 Ha; spodosol : 10.624 Ha; Jumlah : 240.796 Ha (Tengku Herry, 2009). Hasil analisis tanah di lahan percobaan Sekolah Tnggi Penyuluhan Pertanian Kabupaten Deli Serdang adalah sebagai berikut : fraksi pasir: 51 %, fraksi debu: 21 %, fraksi liat: 28 %, ph H 2 O: 6.5, ph KCl: 5.5, kadungan C-organik: 0.36 %, kandungan N: 0.19 %, rasio C/N: 1.9, P Bray 2: 76 (ppm), K: 0,17 me/100 g, Na: 0.21 me/100 g, Ca: 9,93 me/100 g, jumlah kation basa: 13.41 me/100 g, K.T.K: 14.53 g, dan KB: 92 % (Lampiran 1). Syarat Tumbuh Tanaman Bawang Merah Tanaman bawang merah membutuhkan suatu kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya. Untuk dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang baik, persyaratan untuk tumbuh harus dipenuhi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tabanaman meliputi iklim dan jenis tanah. Unsur-unsur iklim yang perlu diperhatikan adalah sinar matahari, suhu, ketinggian tempat, dan curah hujan. Sedangkan yang perlu diperhatikan pada tanah adalah sifat fisik dan sifat kimia. Tanaman bawang merah dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi (1 1000 m dpl ), dengan curah hujan 100 200 mm/bulan. Namun pertumbuhan tanaman maupun umbi yang optimal pada ketinggian 0 400 m dpl. Bawang merah masih dapat tumbuh dan berumbi di ketinggian 800 900 m dpl, tetapi umbinya lebih kecil dan berwarna kurang mengkilat. Selain itu umurnya lebih
panjang dibanding umur tanaman di dataran rendah karena suhunya di dataran tinggi lebih rendah (Deptan, 2004). Budidaya bawang merah pada daerah-daerah yang beriklim kering, dengan suhu udara yang cukup tinggi dan penyinaran matahari yang penuh akan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman yang optimal. Secara umum tanaman bawang merah lebih cocok diusahakan secara agribisnis/komersial di daerah dataran rendah pada akhir musim penghujan, atau pada saat musim kemarau, dengan penyediaan air irigasi yang cukup untuk keperluan tanaman (Deptan, 2003). Bawang merah akan membentuk umbi yang lebih besar bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam (Sumarni dan Hidayat, 2005). Suhu yang baik bagi pertumbuhan bawang merah adalah sekitar 22 0 C atau lebih, bawah suhu 22 o C bawang merah akan lambat berumbi, maka bawang merah lebih menyukai tumbuh di dataran rendah dimana iklim yang cerah (Deptan, 2005). Pada suhu 22 o C tanaman masih mudah membentuk umbi, tetapi hasilnya tidak sebaik jika ditanam di dataran rendah yang bersuhu panas. Daerah yang sesuai adalah yang suhunya sekitar 25 32 0 C dan suhu rata-rata tahunan 30 0 C (Rahayu dan Berlian, 2004). Tanaman bawang merah memerlukan tanah berstruktur remah, tekstur sedang sampai liat, draenase/aerasi baik, mengandung bahan organik yang cukup, yaitu > 2,5 % (menurut Simanungkalit dkk, (2006)), dan reaksi tanah agak masam sampai normal (6,0 6,8). Tanah ber-ph ph 5,5 7,0 masih dapat digunakan untuk penanaman bawang merah (Rahayu dan Berlian, 2004), ph 5,6 6,5 (Sumarni dan Hidayat, 2005). Jenis tanah yang cocok untuk bididaya bawang merah adalah tanah Aluvial, Latosol atau tanah Andosol yang ber-ph antara 5,15 7,0 (Deptan 2005).
Tanah yang cukup lembab dan air tidak menggenang disukai tanaman bawang merah (Sumarni dan Hidayat, 2005). Pengaruh Jarak Tanam Dalam Budidaya Bawang Merah Tujuan pengaturan kerapatan tanaman atau jarak tanam pada dasarnya adalah memberikan kemungkinan tanaman untuk tumbuh dengan baik tanpa mengalami persaingan dalam hal pengambilan air, unsur hara, cahaya matahari, dan memudahkan pemeliharaan tanaman. Penggunaan jarak tanam yang kurang tepat dapat merangsang pertumbuhan gulma, sehingga dapat menurunkan hasil (Sumarni dan Hidayat, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa secara umum hasil tanaman persatuan luas tertinggi diperoleh pada kerapatan tanaman tinggi, akan tetapi bobot masing-masing umbi secara individu menurun karena terjadinya persaingan antar tanaman. Pada tingkat populasi rendah, hasil menurun disebabkan karena kurangnya jumlah tanaman, namun pada populasi tinggi hasil menurun karena kompetisi yang eksrim antar tanaman. Pengaruh peningkatan populasi menyebabkan tanaman memanjang, menghasilkan batang lebih lunak, dan tanaman mudah roboh (Supriono, 2000). Jarak tanam terbaik untuk bawang merah Palu adalah 10 cm x 20 cm dengan hasil umbi basah 11,92 ton/ha setara dengan umbi kering 10,65 ton/ha. Namun, jarak tanam ini tidak berbeda dengan jarak tanam 10 cm x 15 cm dan 15 cm x 15 cm. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa jarak tanam yang ideal untuk bawang merah Palu adalah 10 cm x 10 cm dan dapat diperlebar hingga 15 cm x 15 cm (Limbongan dan Maskar, 2003). Pada varietas Tiron yang ditanam di Kecamatan Haraggaol
Horison, Kabupaten Simalungun, Propinsi Sumatera Utara 1000 m dpl diperoleh hasil umbi kering seberat 7,88 ton/ha pada jarak tanam 20 cm x 15 cm (Winarto, dkk, 2007). Peranan Pupuk Organik Pada Tanaman Bawang Merah Bahan organik mempengaruhi sifat-sifat tanah dan akibatnya juga terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh tersebut adalah : sebagai granulator (memperbaiki struktur tanah); sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro, dan lain-lain; menambah kemampuan tanah untuk menahan air; menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (Kapasitas Tukar Kation tanah menjadi tinggi); dan sumber energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 2003). Bahan organik juga dapat memperbesar ketersediaan P tanah, melalui dekomposisi yang menghasilkan asam-asam organik dan CO 2 (Lubis, dkk, 1985). Hasil penelitian Mayun, (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi dengan 30 ton per hektar memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhan dan hasil umbi per hektar tanaman bawang merah di daerah pesisir. Sedangkan hasil penelitian Nur dan Ismiyati (2007), menunjukkan bahwa dosis pupuk kandang 15 ton/ha berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah. Meningkatnya pertumbuhan dan hasil ini disebabkan pemberian pupuk kandang sampai dengan 15 ton/ha dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta menambah ketersediaan unsur hara baik makro maupun mikro yang sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan.
Limbongan dan Maskar (2003), menyatakan bahwa pemberian pupuk organik 1,20 t/ha menghasilkan umbi kering terbanyak yaitu 5,64 t/ha dan berbeda nyata dibandingkan dengan hasil umbi dari plot yang tidak diberi pupuk organik. Peningkatan hasil terjadi karena pupuk organik dapat memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar berkembang lebih baik dan jangkauannya lebih luas untuk menyerap hara. Penelitian pemberian pupuk organik kasting (limbah organik yang diuraikan oleh cacing tanah) pada bawang merah Palu menunjukkan bahwa pemberian kasting 12 ton/ha dapat menghasilkan umbi kering 4,05 t/ha, sedangkan tanpa pupuk kasting dan ZA hasilnya hanya 1,20 t/ha (Limbongan dan Maskar, 2003). Peranan Pupuk ZA Pada Tanaman Bawang Merah Bawang merah merupakan salah satu jenis tanaman yang membutuhkan banyak sulfat. Sulfat memegang peranan penting dalam metabolisme tanaman yang berhubungan dengan beberapa parameter penentu kualitas nutrisi tanaman sayuran (Sumarni dan Hidayat, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa ketajaman aroma tanaman bawang merah berkorelasi dengan ketersediaan S di dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa batas kritis sulfat untuk bawang merah 50-90 ppm tergantung pada tipe tanahnya. Pemberian S dengan dosis 20 60 ppm meningkatkan serapan S, P, Zn, dan Cn. Momuat, dkk (2006), menyatakan bahwa pemupukan belerang dari berbagai sumber ternyata mempengaruhi status S dalam jerami dan gabah dari tanaman padi. Belerang yang terserap jerami dan gabah ditentukan oleh takaran S yang diberikan
sebagai pupuk. Belerang yang diserap jerami dari tanaman yang dipupuk gips dan ZA lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipupuk tepung belerang, kecuali pada takaran tinggi. Takaran dan sumber belerang juga berpengaruh sangat nyata terhadap S yang diserap gabah. Serapan maksimum dari perlakuan tepung belerang dicapai pada takaran tertinggi yaitu 40 ppm S dan 80 kg S/ha berturut-turut untuk percobaan pot dan lapangan. Bila gips dan ZA digunakan sebagai sumber S maka jumlah belerang yang diserap gabah tidak meningkat secara nyata sejak takaran 20 hingga 80 kg/ha. Serapan maksimum dari perlakuan tepung belerang, gips dan ZA berturut-turut adalah 13,9, 16,8 dan 17,8 kg/ha. Bila dilihat dari serapan total S, maka baik dari percobaan pot maupun lapangan secara konsisten ZA lebih baik daripada tepung belerang. Kenyataan ini menunjukkan bahwa untuk menilai status S tanaman padi, serapan didalam gabah dan jerami atau serapan total dapat dijadikan sebagai kriteria. Untuk menyamai serapan ZA, tepung belerang harus diberikan dengan takaran yang lebih tinggi. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pemberian ZA 300 kg/ha pada tanaman bawang merah dapat menghasilkan umbi kering 4,5 ton/ha, sedangkan tanpa pupuk ZA hasilnya hanya 1,20 ton/ha (Limbongan dan Maskar, 2003). Sedangkan menurut Hilman dan Asgar (1995) dalam Muhammad et al. (2001), bawang merah membutuhkan S sebanyak 120 kg/ha. Kajian Raharjo (2005) di Desa Wironanggan, Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah dengan ketinggian tanah ± 110 m di atas permukaan laut, pada tanah regosol menunjukkan bahwa pemberian Sulfur sebanyak
36 kg S/ha dan IAA 0,01 ppm berpengaruh sangat terhadap tinggi rata-rata tanaman, yaitu 40,1 cm.