BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Perilaku Perilaku adalah aktivitas manusia untuk melaksanakan atau mempraktikkan apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) setelah mengetahui stimulus dan mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahuinya (Notoatmodjo, 2012). Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri manusia dan dorongan itu merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam diri manusia (Sudarma, 2008). Menurut Notoatmodjo (2012), pengukuran terhadap perilaku manusia dapat dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung yaitu dengan mengobservasi tindakan, sedangkan pengukuran secara tidak langsung yaitu dengan teknik recall atau menanyakan terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, perilaku dibedakan menjadi dua. a. Perilaku tertutup (covert behavior) Perilaku tertutup merupakan respon terhadap stimulus dalam bentuk tertutup, terselubung, serta masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, sikap, dan belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. 5
6 b. Perilaku terbuka (overt behavior) Perilaku terbuka merupakan respon terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Determinan perilaku merupakan faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda, yang terdiri dari: a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan seperti tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Perilaku manusia sangatlah kompleks, dalam Notoatmodjo (2007) perilaku manusia dibagi dalam tiga domain, antara lain. a. Pengetahuan (knowledge) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mencakup enam tingkatan. 1) Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2) Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
7 3) Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu situasi atau kondisi sebenarnya. 4) Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. 5) Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. 6) Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. b. Sikap (attitude) Sikap merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek, tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya dapat ditasirkan terlebih dahulu dari perilaku tertutup. Sikap memiliki berbagai tingkatan sebagai berikut. 1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
8 2) Merespon (responding) Merespon merupakan suatu indikasi dari sikap yang dapat berupa memberikan jawaban jika ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3) Menghargai (valuing) Menghargai termasuk di dalamnya mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4) Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. c. Perilaku atau praktik atau tindakan (practice) Perilaku atau praktik kesehatan adalah suatu praktik atau pelaksanaan terhadap apa yang diketahui atau disikapinya (dinilai baik) setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan dan mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahuinya tersebut. Perilaku terbentuk melalui proses tertentu dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Perilaku atau praktik mempunyai beberapa tingkatan. 1) Respons terpimpin (guided response) Indikator praktik tingkat pertama yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh. Misalnya seorang ibu yang dapat mencuci tangannya dengan benar, mulai dari menggunakan sabun saat mencuci tangan, teknik mencuci
9 tangannya, hingga pelaksanaan sesuai dengan waktu-waktu penting untuk melakukan cuci tangan. 2) Mekanisme (mechanism) Seseorang dikatakan sudah mencapai praktik tingkat kedua apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan suatu kebiasaan. Misalnya seorang ibu yang sudah melakukan perilaku mencuci tangan tanpa menunggu perintah atau ajakan orang lain. 3) Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Misalnya seorang ibu melakukan kebiasaan mencuci tangan dengan menggunakan sabun antiseptik khusus dan mengeringkan tangannya dengan mesin pengering khusus. 2. Cuci Tangan yang Benar a. Perilaku Cuci Tangan yang Benar Perilaku cuci tangan yang benar tidak cukup hanya dengan menggunakan air saja. Cuci tangan yang benar adalah mencuci tangan dengan menggunakan sabun dan air mengalir yang bersih (Depkes, 2008). Penggunaan sabun dan air tetap penting pada kedua tangan untuk kesehatan dan kebersihan tangan rutin, walaupun tangan terlihat tanpa kotoran atau debu (Saifuddin, 2005).
10 Penggunaan sabun dan dengan menggosok jemari tangan bertujuan untuk menghilangkan kuman yang tidak tampak, minyak, lemak, dan kotoran di permukaan kulit (Kemenkes, 2010). Cuci tangan dengan air dan sabun biasa sama efektifnya dengan cuci tangan menggunakan sabun antimicrobial (Saifuddin, 2005). Cara yang tepat untuk cuci tangan menurut WHO (2013), yaitu. 1) Basahi kedua tangan dengan air mengalir. 2) Gunakan sabun secukupnya. 3) Gosokkan kedua telapak tangan dan punggung tangan. 4) Gosok sela-sela jari tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya. 5) Gosok kedua telapak tangan dengan jari-jari rapat. 6) Jari-jari tangan dirapatkan sambil digosokkan ke telapak tangan, jarijari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci. 7) Gosok ibu jari kiri berputar dengan genggaman tangan kanan dan lakukan sebaliknya. 8) Gosokkan kuku jari kanan memutar ke telapak tangan kanan dan sebaliknya. 9) Basuh tangan dengan air mengalir. 10) Keringkan tangan dengan handuk yang bersih. 11) Matikan kran air dengan handuk. Cara mencuci tangan yang benar dapat dilihat dalam gambar berikut.
11 Gambar 2.1 Cara mencuci tangan yang baik dan benar (WHO, 2013) b. Waktu Cuci Tangan yang Tepat Di Indonesia (Kemenkes, 2010) diperkenalkan lima waktu penting dimana seseorang harus melakukan cuci tangan yaitu: 1) Setelah buang air besar (BAB). 2) Setelah membersihkan anak yang buang air besar (BAB).
12 3) Sebelum menyiapkan makanan. 4) Sebelum makan. 5) Setelah memegang atau menyentuh hewan. Selain itu, Proverawati (2012) menjelaskan waktu lain yang tepat untuk melakukan cuci tangan yang benar yaitu di saat setiap kali tangan kotor (setelah memegang uang, memegang binatang, dan berkebun), sebelum memegang makanan dan menyuapi anak, sebelum menyusui bayi, setelah bersin atau batuk, setelah membuang ingus, setelah bepergian, dan setelah bermain. c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cuci Tangan Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cuci tangan antara lain. 1) Umur Umur responden adalah umur yang dimiliki ibu balita pada saat dilaksanakan penelitian. Menurut Sarwono (2005), umur atau satuan usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu benda atau zat makhluk yang hidup maupun mati, semakin banyak pengalaman yang diperoleh seseorang dapat membuat keputusan yang bijaksana dalam bertindak. Umur seseorang akan berpengaruh pada pengetahuan dan sikap hingga akhirnya mempengaruhi dalam perilaku cuci tangan. 2) Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan responden adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dicapai ibu balita. Menurut Pramitasari (2013), pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga perilaku positif
13 akan meningkat. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal maka akan semakin mudah menyerap informasi termasuk juga informasi kesehatan dan akan semakin tinggi pula kesadaran untuk berperilaku hidup sehat. 3) Pekerjaan Pekerjaan responden adalah pekerjaan atau kegiatan rutin yang dilakukan responden sehingga menghasilkan imbalan materi ataupun uang (Nurhasanah, 2008). Bekerja atau tidaknya seseorang akan berpengaruh terhadap peminatan atau perilaku kesehatan seseorang. 4) Kemudahan mendapat air bersih Kemudahan mendapat air bersih responden adalah kemudahan responden dalam memperoleh air untuk kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya untuk kebutuhan cuci tangan. Ketersediaan sarana sanitasi seperti sumber air bersih akan berpengaruh terhadap perilaku kebersihan seseorang termasuk memudahkan seseorang dalam memiliki kebiasaan cuci tangan. 5) Sumber informasi Sumber informasi responden adalah keterpaparan terhadap berbagai sumber informasi mengenai cuci tangan yang benar baik dari surat kabar, poster, radio, televisi, penyuluhan posyandu, anggota keluarga, ataupun tetangga. Melalui berbagai sumber informasi, seseorang dapat meningkatkan pengetahuannya sehingga dapat mengubah perilaku kesehatan ke arah yang lebih positif (Notoatmodjo, 2012).
14 3. Diare a. Pengertian Diare Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan berbentuk cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya (Dewi, 2011). Frekuensi berak cair tiga kali atau lebih dalam sehari semalam atau 24 jam (Widoyono, 2008). Diare sesuai dengan definisi Hipocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Suharyono, 2008). b. Faktor-faktor Penyebab Diare Menurut Hidayat (2009), diare dapat disebabkan karena beberapa faktor sebagai berikut. 1) Infeksi Proses ini diawali dengan adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel mukosa intestinal yang dapat menurunkan daerah permukaan intestinal sehingga terjadinya perubahan kapasitas dari intestinal yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi intestinal dalam absorbsi cairan dan elektrolit. 2) Malabsorsi Faktor malabsorpsi berupa kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan osmotik meningkat kemudian akan terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare.
15 3) Makanan Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik dan dapat terjadi peningkatan peristaltik usus yang akhirnya menyebabkan penurunan kesempatan untuk menyerap makanan. 4) Psikologis Faktor psikologis dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik usus sehingga mempengaruhi proses penyerapan makanan. Faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko diare yaitu (Widoyono, 2008). 1) Pada usia 4 bulan bayi sudah tidak diberi ASI eksklusif lagi. 2) Memberikan susu formula dalam botol kepada bayi. 3) Menyimpan makanan pada suhu kamar. 4) Tidak mencuci tangan pada saat memasak, makan, atau sesudah buang air besar yang akan memungkinkan kontaminasi langsung c. Gejala dan Tanda Diare Berikut ini adalah tanda dan gejala pada anak yang mengalami diare (Dewi, 2011) yaitu anak menjadi cengeng, rewel, gelisah, suhu meningkat, nafsu makan menurun, turgor kulit menurun, dan feses menjadi cair serta berlendir. d. Penatalaksanaan Diare Penatalaksanaan diare di Indonesia sesuai dengan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan penyakit diare adalah dengan Lima
16 Langkah Tuntaskan diare atau disebut Lintas diare (Kemenkes, 2011). Penatalaksanaan Lintas diare adalah sebagai berikut. 1) Berikan oralit Oralit yang saat ini beredar di pasaran adalah oralit baru dengan osmolaritas rendah yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Jika tidak tersedia oralit, berikan cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, atau air matang. Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi untuk anak usia kurang dari 1 tahun adalah ¼ - ½ gelas, usia 1 sampai dengan 4 tahun adalah ½ 1 gelas, usia di atas 5 tahun adalah 1 1½ gelas, diberikan setiap kali anak mencret atau diare. Dosis oralit untuk diare dehidrasi ringan atau sedang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgbb dan selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi. Pada diare dehidrasi berat dengan kondisi penderita tidak dapat minum maka harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk diberi infus. 2) Berikan obat zinc Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian diare pada tiga bulan berikutnya.
17 Dosis pemberian zinc pada balita untuk usia kurang dari 6 bulan adalah ½ tablet (10 mg)/hari selama 10 hari dan untuk usia lebih dari 6 bulan adalah 1 tablet (20 mg)/hari selama 10 hari. 3) Pemberian ASI atau makanan Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang minum ASI harus lebih sering diberi ASI sedangkan anak yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. 4) Pemberian antibiotika hanya atas indikasi Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis) dan suspect kolera. 5) Pemberian nasehat (edukasi) Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat mengenai hal berikut. a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah. b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, timbul demam, tinja berdarah, dan tidak membaik dalam tiga hari.
18 e. Pencegahan Diare Menurut Dewi (2011), penyakit diare dapat dicegah melalui promosi kesehatan, antara lain. 1) Menggunakan air bersih, yaitu air yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. 2) Memasak air sampai mendidih sebelum diminum untuk mematikan sebagian besar kuman penyakit. 3) Mencuci tangan dengan sabun pada waktu sebelum makan, sesudah makan, dan sesudah buang air besar. 4) Memberikan ASI pada anak sampai berusia dua tahun. 5) Membuang tinja bayi dan anak yang benar. 4. Hubungan Cuci Tangan yang Benar dengan Kejadian Diare Perilaku cuci tangan yang benar setelah buang air besar atau setelah kontak dengan tinja merupakan cara terbaik untuk mengurangi risiko transmisi kuman penyebab diare. Menurut The Handwashing Handbook (2013), di negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang masih buruk, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun merupakan kebiasaan yang penting untuk dilakukan, khususnya saat setelah buang air besar, setelah membersihkan anak yang buang air besar, dan sebelum memegang makanan. Penyakit yang menular dapat disebabkan karena tidak mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir (CDC, 2013). Orang tua yang memiliki anak balita menjadi kelompok sasaran primer untuk program cuci tangan yang benar. Ibu khususnya sebagai pengasuh utama anak perlu untuk menerapkan perilaku cuci tangan yang benar. Studi
19 Basic Human Services (BHS) di Indonesia pada tahun 2006 menyatakan bahwa perilaku cuci tangan sesudah buang air besar hanya dilakukan oleh 12% masyarakat, 9% masyarakat melakukannya setelah membersihkan tinja bayi dan balita, 14% masyarakat melakukan sebelum makan, 7% masyarakat melakukan sebelum memberi makan bayi, serta 6% masyarakat melakukan sebelum menyiapkan makanan (Depkes, 2008). Sabun telah dapat dijangkau oleh lebih dari 90% rumah tangga di Indonesia. Masalahnya tidak semua masyarakat menggunakan sabun tersebut untuk mencuci tangan. Mencuci pakaian, mandi, dan mencuci peralatan makan yang dijadikan prioritas utama penggunaan sabun rumah tangga bagi sebagian besar masyarakat (Kemenkes, 2010). B. Kerangka Konsep Tangan yang terkontaminasi dengan kotoran manusia, hewan, dan cairan lain Faktor yang mempengaruhi: 1. Umur 2. Tingkat pendidikan 3. Pekerjaan 4. Kemudahan mendapat air bersih 5. Sumber informasi Perilaku ibu dan anak: Kebiasaan mencuci tangan yang benar Mencegah transmisi mikroorganisme patogen penyebab diare Gambar 3.1 Kerangka Konsep Menurunkan kejadian diare pada balita
20 C. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara perilaku cuci tangan yang benar dengan kejadian diare pada balita.