BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

ANALISIS PENGELOLAAN USAHATANI TEBU DENGAN SISTEM TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI (TRI) DI DESA BULU CINA KECAMATAN HAMPARAN PERAK KABUPATEN DELI SERDANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara pertanian, artinya sektor tersebut memegang

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

Program Bimas lntensifikasi Tebu Rakyat (TR1) adalah salah satu

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

BAB V KESIMPULAN. Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang program TRI 1975 dengan tujuan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. usahatani, pendapatan usahatani, dan rasio penerimaan dan biaya (R-C rasio).

1. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun adalah merupakan. salah satu kebijaksanaan pemerintah dalam rangka

I. PENDAHULUAN. zaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa.

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PROGRAM PENGEMBANGAN TEBU RAKYAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Permasalahan Industri Gula Indonesia 2.2. Karakteristik Usahatani Tebu

I. PENDAHULUAN. berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tedy Bachtiar, 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan merupakan

SISTEM AGRIBISNIS BIBIT TEBU ASAL KULTUR JARINGAN BPTP SULAWESI SELATAN

Tanggung Jawab Pabrik Gula Trangkil dalam Kerja Sama dengan Petani Tebu Rakyat di Trangkil Kabupaten Pati. Ema Bela Ayu Wardani

BAB II PABRIK GULA KWALA MADU (PGKM) SEBELUM TAHUN 1984

I. PENDAHULUAN. pemerintah yang konsisten yang mendukung pembangunan pertanian. Sasaran pembangunan di sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan pertanian di Indonesia adalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

REKAYA DAN UJI KINERJA ALAT ROGES TEBU BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS. Semarang dalam Suharyono dan Moch. Amien (2013: 19) bahwa geografi adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan rakyat, dan pembangunan dijalankan untuk meningkatkan produksi dan

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

XI. PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI UBI KAYU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang benar tentang konsep agribisnis itu sendiri. Sering ditemukan bahwa

TINJAUAN PUSTAKA. Padi merupakan salah satu komoditas strategis baik secara ekonomi, sosial

III KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data melakukan analisa-analisa sehubungan dengan tujuan

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

pestisida dan permodalan (Sisfahyuni, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

menghasilkan limbah yang berupa jerami sebanyak 3,0 3,7 ton/ha.

GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 52 TAHUN 2002 TENTANG

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TEBU. (Saccharum officinarum L).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan suatu tindakan untuk mengubah kondisi

ANALISIS PENGELOLAAN USAHATANI TEBU DENGAN SISTEM TEBU RAKYAT INTENSIFIKASI (TRI) DI DESA BULU CINA KECAMATAN HAMPARAN PERAK KABUPATEN DELI SERDANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

Semakin tinggi tingkat pendidikan petani akan semakin mudah bagi petani tersebut menyerap suatu inovasi atau teknologi, yang mana para anggotanya terd

II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN DAN KERANGKA PIKIR. Geografi menurut ikatan Geografi Indonesia (IGI :1988) dalam adalah ilmu yang

Mungkur dan Gading Jaya. kebun Limau. PT Selapan Jaya, OKI ha ha, Musi Banyuasin. PT Hindoli, 2, kebun Belida dan Mesuji

II. LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

I. PENDAHULUAN. bekerja pada bidang pertanian. Menurut BPS tahun 2013, sekitar 39,96 juta orang

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I L A M P U N G KEPUTUSAN GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I LAMPUNG NOMOR 111 TAHUN 1998 TENTANG

Kajian Biaya, Penerimaan & Keuntungan Usahatani

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan penelitian.

III KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan 12 varietas yang akan dilakukan oleh 10 kabupaten yang sentra produksi

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

PERKEMBANGAN KEMITRAAN PETANI TEBU DENGAN PG. KREBET BARU:PERILAKU EKONOMI PETANI TEBU. Fadila Maulidiah

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

ABSTRAK. Peneliti : Dr. Lilis Yuliati, S.E., M.Si 1 Mahasiswa Terlibat : - Sumber Dana : BOPTN Universitas Jember Tahun 2014

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tinjauan Sosial Ekonomi Tebu Nasional Tanaman Tebu dalam bahasa latin (saccharum officinarum L) merupakan salah satu bahan dasar (raw material) pembuatan gula. Tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di daerah tropika, sub-tropika dan beriklim sedang. Di Indonesia khususnya di Jawa, tanaman tebu diusahakan sebagai tanaman rakyat dan perkebunan PTP/PTPN (Setyohadi, 2012). Indonesia merupakan salah satu penghasil tebu terbesar di dunia. Perkebunan tebu di Indonesia terdapat di Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagian besar perkebunan tebu di Indonesia berupa perkebunan rakyat yang jumlahnya mencapai 50%, 30% dikelola oleh swasta dan 20% lagi oleh perkebunan negara. Perkebunan tebu negara dikelola oleh PT. Perkebunan Negara (PTPN) II, VII, IX, X, XI, XIV. Masing-masing PTPN memiliki sejumlah pabrik gula yang mengolah tebu menjadi gula untuk didistribusikan ke masyarakat. Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peranan dan posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu merupakan bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula untuk masyarakat, tetapi juga gula sebagai bahan baku industri makananminuman serta produk-produk lain, seperti energi, serta, blotong, tetes, dan lainlain yang merupakan hasil ikutannya. Industri gula, tanaman tebu, dan hasil 11

12 ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap tenaga kerja begitu besar (Zafrullah, 2013). Tanaman tebu (Saccharum officinarum) terkategori tanaman berserat yang memiliki kandungan polisakarida yang cukup tinggi dan kandungan lignin yang relatif rendah sehingga pemanfaatan terbesar saat ini adalah untuk industri gula. Budidaya tebu merupakan upaya manusia untuk mengoptimalkan kondisi tanaman tebu agar memperoleh sumberdaya alam yang dibutuhkannya, sehingga diperoleh hasil panen yang maksimal, baik dilihat dari sisi produktivitas maupun dari sisi kualitas (Arda, 2009). Saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman tebu untuk mengatasi rendahnya produksi gula di Indonesia. Usaha pemerintah sangat wajar dan tidak berlebihan mengingat Indonesia pernah mengalami masa kejayaan sebagai pengekspor gula (Suwarto dan Octavianty, 2010). 2.1.2 Usahatani Tebu Dengan Sistem TRI Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), merupakan kebijaksanaan pemerintah di bidang perindustrian gula tertuang dalam Inpres No. 9 tahun 1975. Program TRI awalnya berkembang di pulau Jawa sekitar tahun 1975, dan mulai diterapkan di Sumatera Utara sekitar tahun 1986, yaitu: di kabupaten Langkat dan meluas ke kabupaten Deli Serdang sekitar tahun 1988 (Elizabeth, 2002). Dalam program ini, pemerintah mengalihkan sistem penyewaan lahan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh petani di bawah bimbingan pabrik gula (PG) dan BRI sebagai institusi bantuan permodalan (dalam bentuk kredit). Tenaga kerja

13 dari para petaninya merupakan faktor utama yang penting dalam pengusahaan pertanaman tebu rakyat, dimana tenaga kerja merupakan faktor produksi utama pula bagi seorang petani dalam berusaha di bidang manapun. Secara historis, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) merupakan salah satu kebijakan pemerintah di masa Orde Baru, yang berhubungan dengan pembangunan di bidang perindustrian gula. Sebagai salah satu kebijakan pemerintah, program TRI tertuang dalam Inpres No.9 tahun 1975, yang mengalihkan sistem penyewaan lahan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh petani dengan pola intensifikasi dibawah bimbingan pabrik gula (PG) dan bantuan kredit dari BRI, serta BULOG yang berperan untuk membeli dan menampung seluruh produksi gula (Majalah Gula Indonesia, 1986). Program TRI merupakan salah satu usaha untuk peningkatan produksi gula, sebagai salah satu komoditas komersil dunia, dan meningkatkan pendapatan petani tebu di Sumatera Utara yang dilaksanakan berdasarkan SK Menteri Pertanian tahun 1989, tentang Program Intensifikasi Pertanian dan SK Gubernur Kepala Daerah Tk. I Sumatera Utara No. 520 tahun 1990, tentang Program Intensifikasi Pertanian di Sumatera Utara. Program TRI sangat besar pengaruhnya, yang menyebabkan: perubahan sosial ekonomi petani tebu; perubahan sistem produksi, pemasaran, alokasi sumberdaya dan kodal; serta kelembagaan yang menunjang undustri pergulaan. Perubahan tersebut antara lain:

14 1) Terjadinya pemisahan antara sistem produksi dan subsistem pengolahan, dimana kegiatan PG sangat tergantung pada tersedianya bahan baku tebu dari produksi usahatani petani; 2) Pengusahaan pertanaman tebu skala besar oleh PG, dengan pola TRI merupakan akumulasi usahatani skala kecil oleh petani, sehingga sangat bergantung pada pilihan petani untuk tetap mempertahankan usahatani tebunya; 3) Melibatkan banyak lembaga penunjang, dimana keberhasilan industri gula tergantung pada efisiensi lembaga penunjang tersebut; 4) Terjadi perubahan pasar input, output dan modal di pedesaan didasari Inpres No.9 tahun 1975 tersebut (Malian, 2004). 2.2 Landasan Teori Program Bimas Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) adalah salah satu program nasional yang dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975, dan merupakan suatu program inovasi untuk menerapkan teknologi dengan tujuan meningkatkan dan memantapkan produksi gula sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani melalui peningkatan pendapatan. Pelaksanaan TRI ditempuh melalui peningkatan mutu intensifikasi (penerapan teknologi anjuran) dengan sistem Bimas, dan telah dikembangkan sejak MTT. 1975/1976 sampai sekarang. Dalam penyelenggaraan TRI ini terdapat 2 unsur pelaku utama yaitu petani yang terhimpun dalam suatu kelompok tani dan pabrik gula. Petani dan kelompok tani berfungsi sebagai penanam tebu untuk bahan baku

15 pabrik gula dan pabrik gula sebagai pimpinan kerja para petani, sumber teknologi, pembimbing teknis dan pengolah tebu hasil TRI. Untuk dapat melaksanakan fungsinya kedua unsur pelaku utama tersebut periu mendapat dukungan dari unsur pelayanan (KUD) dan Bank pemberi kredit serta dorongan dari unsur pengaturan dan pembinaan. Pelaksanan pertanaman tebu dilapangan untuk tiap-tiap pabrik gula telah diatur wilayah kerja dan binaannya masing-masing yang disesuaikan dengan kapasitas pabriknya dengan jumlah hari giling yaitu maksimun 180 hari, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih antara satu pabrik dengan pabrik lainnya dalam hal penyedian bahan baku. Waktu dan jumlah tebangan harus disesuaikan dengan kapasitas pabrik diatur sedemikian rupa agar pada waktu ditebang berada dalam keadaan rendemen optimal (matang dan siap untuk langsung diolah dipabrik gula). Agar siap diolah dalam keadaan MBS maka peranan manajemen/ pengaturan penebangan, dan angkutan tebu cukup penting agar keadaan tersebut diatas yaitu tebu yang telah ditebang dapat tiba di pabrik tepat waktu dan tepat jumlah sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan demikian pula agar tebu yang diangkut tersebut dapat tiba ketujuannya (Sukarman, 1998). Pelaksanaan TRI dilakukan berdasarkan fungsi kelembagaan yaitu terkait di dalamnya: fungsi pelaksana meliputi petani TRI dan PG; fungsi pelayanan meliputi KUD, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP); fungsi pembinaan meliputi semua instansi yang terkait dalam koordinasi Satuan Pembina (SATPEM), Satuan Pelaksana (SATPEL) BIMAS.

16 Kepala Daerah Tingkat II/Ketua SATPEL BIMAS beserta para Kepala Wilayah Pemerintahan bawahannya selaku ketua SATPEL BIMAS sampai dengan desa, bertanggung jawab atas terlaksananya program TRI. Dalam hubungan ini para Kepala Daerah/Kepala Wilayah harus mengusahakan: pengendalian pelaksanaan sistim/tata tanam glebagan secara lebih mantap; mengembangkan KUD agar dapat berfungsi dengan baik dalam pelaksanaan program TRI; terciptanya hubungan kerjasama yang baik dan serasi antara PG, KUD, dan kelompok tani. Kepala Daerah tingkat II/Ketua SATPEL BIMAS dengan memperhatikan pertimbangan dari PG dan Kantor Departemen Koperasi menetapkan KUD mampu untuk melaksanakan tugas penyediaan sarana produksi, penyaluran dan pengembalian kredit TRI. Pabrik Gula sebagai perusahaan pengelola mempunyai tanggung jawab operasional dan bertindak sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman tebu di wilayah kerjanya, serta bertanggung jawab dalam menyebarluaskan informasi hasil penemuan baru (inovasi) yang berasal dari lembaga-lembaga penelitian terutana dari BP3G, dibantu Cabang Dinas Perkebunan Daerah/Unit Pelaksana Proyek (UPP) TRI serta wajib memberikan buku pedoman teknis bercocok tanam tebu kepada semua kelompok tani di wilayah kerjanya. Sinder Kebun Kepala/Sinder Kebun Wilayah wajib menyusun rencana kerja dan pembiayaan pengelolaan kebun sesuai dengan buku kultur teknis di wilayahnya sebagai pedoman bagi kelompok tani dalam mengusahakan tanaman tebunya. Kelompok tani berdasarkan hamparan yang telah dibentuk dalam rangka sistim kerja latihan dan kunjungan, digunakan untuk menjamin pengelolaan usahatani

17 tebu rakyat yang rasional. Masing-masing kelompok tani hamparan dipimpin oleh seorang Ketua Kelompok Tani. Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan wadah kegiatan ekonomi yang melayani masyarakat pedesaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing, melaksanakan fungsi penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti pupuk, pestisida, dan lain-lain, fungsi penyaluran dan pengembalian kredit dari petani, serta fungsi pemasaran hasil. Pendapatan atau keuntungan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Analisis pendapatan usaha tani dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat apakah suatu usaha tani menguntungkan atau merugikan, sampai seberapa besar keuntungan atau kerugian tersebut (Soekartawi, 2006). Faktor faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani adalah luas usahatani, efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas usahatani yang sempit dapat mengakibatkan produksi persatuan luas yang tinggi tidak dapat tercapai. Sementara efisiensi kerja dan efisensi produksi yang tinggi meneyebabkan pendapatan petani semakin tinggi (Makeham dan Malcolm, 1991). Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara volume produksi yang diperoleh dengan harga jual. Harga jual adalah harga transaksi antara petani (penghasil) dan pembeli untuk setiap komoditas menurut satuan tempat. Satuan yang digunakan seperti satuan yang lazim dipakai pembeli/penjual seperti partai besar, misalnya: kg, kwintal, ikat, dan sebagainya (Soekartawi, 2006).

18 Pada dasarnya, pendapatan petani tebu banyak ditentukan oleh tingkat produksi, harga input, harga produksi, dan sistem bagi hasil. Bila harga dan bagi hasil yang telah ditentukan dapat menguntungkan petani tebu, maka tidak sia-sialah petani yang telah mengorbankan banyak biaya dan tenaga. Adapun penentuan bagi hasil dapat dilakukan berdasarkan pengukuran rendemen efektif (Tim Penulis PS, 1994). Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal, serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang memasukkan manajemen sebagai faktor produksi keempat walaupun tidak langsung (Suratiyah, 2008). Osburn dkk. (1978) menyatakan bahwa manajemen terdiri atas tiga hal yang saling berkaitan, yaitu manajemen sebagai suatu pekerjaan, manajemen sebagai sumber daya, dan manajemen sebagai prosedur. Jika manajemen sebagai suatu pekerjaan maka petani harus dapat menjabarkan dan merealisasikan idea tau buah pikirannya dalam mengelola usahataninya sehingga berhasil seperti yang dia inginkan. Manajemen sebagai sumber daya juga sangat penting karena sangat menentukan keberhasilan suatu usaha. Sebagai contoh, dua orang petani dengan luas lahan dan kondisi yang sama, pada saat yang sama dapat diperoleh hasil yang berbeda. Hal ini karena ditentukan oleh pengelolaan yang berbeda. Manajemen atau pengelolaan yang baik dan benar akan memberikan hasil yang baik pula. Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas. Tebu yang sudah mencapai umur masak, keadaan kadar gula di sepanjang batang seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk dan pangkal batang. Panen

19 dilakukan dengan cara ditebang. Usahakan agar tebu ditebang saat rendemen pada posisi optimal, yaitu umur sekitar 10 bulan atau tergantung jenis tebu. Tebu yang berumur 10 bulan akan mengandung saccharose 10%, sedangkan yang berumur 12 bulan bias mencapai 13% (Suwarto dan Octavianty, 2010). Rendemen yang tinggi menjadi idaman setiap petani tebu. Hal itu berarti pendapatan bersih mereka menjadi lebih tinggi. Rendemen tebu adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Apabila tanaman tebu memiliki rendemen 10%, berarti dari setiap 1 ku tebu atau 100 kg tebu yang digiling akan dihasilkan gula seberat 10 kg. Perhitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut. Rendemen = Sejumlah gula yang dihasilkan x 100% Sejumlah tebu yang digiling Secara umum biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan oleh produsen dalam mengelola usaha taninya untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Menurut Makeham dan Malcolm (1991: 93), biaya produksi merupakan jumlah dari dua komponen: (i) biaya tetap, yang tidak langsung berkaitan dengan jumlah tanaman yang dihasilkan di atas lahan (biaya ini harus dibayar apakah menghasilkan sesuatu atau tidak). Menurut Hernanto (1991: 179), biaya yang tergolong dalam kelompok ini antara lain: pajak tanah, pajak air, penyusutan alat dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor dan lain sebagainya. Total biaya produksi adalah total biaya tidak tetap ditambah dengan total biaya tetap; (ii) biaya tidak tetap, yang secara langsung berkaitan dengan jumlah tanaman yang diusahakan dan input variable yang dipakai. Biaya

20 yang tergolong dalam kelompok ini antara lain: biaya untuk pupuk, bibit, obat pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya pengolahan tanah baik yang merupakan kontrak maupun upah harian, dan sewa tanah. Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunity, Threats) adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (Strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru (http://id.wikipedia.org/wiki/analisis_swot). 2.3 Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai petani tebu yang melakukan kontrak dan yang tidak memiliki kontrak dengan PG adalah Yustika (2008). Yustika (2008)

21 menyatakan bahwa biaya transaksi tertinggi berada pada petani yang tidak memiliki kontrak dengan pihak pabrik gula. Sutrisno (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa penerimaan petani tebu di PG Mojo, Sragen dipengaruhi oleh kultur teknik, varietas tebu, pupuk, rendemen, dan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan usahatani tebu. Variabel yang paling mempengaruhi penerimaan petani adalah rendemen tebu. 2.4 Kerangka Pemikiran Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) adalah salah satu program nasional yang dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975, yang merupakan salah satu usaha untuk peningkatan produksi gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Pelaksanaan TRI dilakukan berdasarkan fungsi kelembagaan yaitu terkait di dalamnya: fungsi pelaksana meliputi petani TRI dan PG; fungsi pelayanan meliputi KUD, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP). Namun, dalam praktiknya fungsi kelembagaan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, tidak ada lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD ataupun penyuluh yang membantu petani dalam mengelola usaha tani tebu kecuali Pabrik Gula sebagai jasa penggiling. Maka, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana sebenarnya mekanisme pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Usaha tani tebu yang dilaksanakan dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) terbagi atas TRI Mitra dan TRI Murni. TRI Mitra diusahakan di atas lahan PTPN sedangkan TRI Murni diusahakan di atas lahan sendiri. Pada dasarnya, pendapatan petani tebu banyak ditentukan oleh tingkat produksi, harga input, harga produksi, dan sistem bagi hasil. Adapun penetuan bagi hasil dilakukan

22 berdasarkan pengukuran rendemen. Rendemen yang tinggi menjadi idaman setiap petani tebu. Hal itu berarti pendapatan bersih mereka menjadi lebih tinggi. Dalam praktiknya, tingkat produksi yang diperoleh TRI Mitra lebih tinggi dari TRI Murni karena pada TRI Mitra hasil panen dan rendemen harus sesuai dengan ketentuan atau target yang ditetapkan oleh pabrik sedangkan pada TRI Murni bergantung pada perlakuan petani itu sendiri. Adanya perbedaan hasil usaha tani tebu antara TRI Mitra dengan TRI Murni menghasilkan pendapatan yang berbeda. Pendapatan dihitung dengan selisih antara penerimaan dan pengeluaran dimana penerimaan diperoleh dari hasil perkalian penjualan dengan harga yang berlaku dan pengeluaran merupakan total biaya. Pendapatan yang rendah dibarengi dengan kewajiban untuk membayar sewa lahan membuat petani merugi, begitu juga dengan perbedaan pendapatan yang terjadi. Kondisi ini perlu dicari jalan keluar atau strategi dengan mengetahui apa yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha tani tebu dengan sistem TRI Mitra dan sistem TRI Murni.

23 TRI Mekanisme Pelaksanaan TRI Mitra TRI Murni Rendemen Rendemen Tingkat Produksi Tingkat Produksi Harga Jual Harga Jual Penerimaan Penerimaan Biaya Produksi Biaya Produksi Pendapatan Pendapatan Besar Perbedaan Pendapatan Analisis SWOT Strategi Strategi Keterangan: = menyatakan hubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran

24 2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis penelitian ini dibuat sebagai berikut: 1) Pendapatan rata-rata petani dengan sistem TRI Mitra lebih tinggi daripada pendapatan rata-rata petani dengan sistem TRI Murni.