BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

meningkat. Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan deras, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

2015 PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGURANGAN RESIKO BENCANA GEMPA BUMI DI KOTA BUKITTINGGI

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

PROFIL DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA PEKANBARU TA.2017 BIDANG KAWASAN PERMUKIMAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. seseorang untuk bermukim atau tidak bermukim di suatu tempat, preferensi bermukim

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

Cindy P. Welang¹, Windy Mononimbar², Hanny Poli³

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Kata Pengantar. Yogyakarta, Desember Tim Penyusun. Buku Materi Teknis Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi BWP Sedayui

Gambar 1.1 Wilayah cilongok terkena longsor (Antaranews.com, 26 november 2016)

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pemenuhannya masih sulit dijangkau terutama bagi penduduk berpendapatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

KRITERIA DAN TIPOLOGI PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. berakar pada faktor-faktor geografi dan sejarah nusantara yang selama berabad-abad

OPINI MASYARAKAT TERHADAP PROGRAM PENGELOLAAN SUNGAI DI DAERAH HILIR SUNGAI BERINGIN KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB II KONDISI UMUM LOKASI

Ketentuan Umum Istilah dan Definisi

MOTIVASI MASYARAKAT BERTEMPAT TINGGAL DI KAWASAN RAWAN BANJIR DAN ROB PERUMAHAN TANAH MAS KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Propinsi Sumataera Utara memiliki 2 (dua) wilayah pesisir yakni, Pantai

PENGARUH PENURUNAN KAPASITAS ALUR SUNGAI PEKALONGAN TERHADAP AREAL HUNIAN DI TEPI SUNGAI TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

PENJELASAN A T A S PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN WONOSOBO TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

WALI KOTA BONTANG PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG

Click to edit Master title style

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman, yaitu kumpulan rumah

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Banjir adalah peristiwa meluapnya air hingga ke daratan. Banjir juga

ADITYA PERDANA Tugas Akhir Fakultas Teknik Perencanaan Wilayah Dan Kota Universitas Esa Unggul BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS KEBUTUHAN DAN PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU KOTA CIREBON

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan salah satu unsur penting yang mendukung kehidupan di alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan(PLP2K-BK) 1 Buku Panduan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN SLEMAN

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Manusia membutuhkan tempat bermukim untuk memudahkan aktivtias seharihari.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Tondobala (2011), yang dimaksud dengan kawasan rawan bencana adalah suatu wilayah yang memiliki kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi yang untuk jangka waktu tertentu tidak dapat atau tidak mampu mencegah, meredam, mencapai kesiapan, sehingga mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Oleh karena itu, penyelenggaraan penataan ruang secara keseluruhan haruslah merupakan upaya intervensi terhadap kerentanan wilayah dan meningkatkan kondisi ketahanan ruang wilayah terhadap kemungkinan adanya bahaya yang terjadi. Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana alam dan salah satu bencana alam yang sering terjadi adalah bencana longsor. Kota Bukittinggi terletak pada ketinggian antara 756-960 m diatas permukaan laut dan memiliki kondisi topografi yang beragam yaitu relatif datar, berbukit-bukit dan di beberapa kawasan memiliki keterjalan hampir vertikal, misalnya di kawasan sepanjang Ngarai Sianok. Wilayah yang relatif curam berada di sepanjang Ngarai Sianok yang membentang dari utara sampai bagian selatan di sebelah barat Kota Bukittinggi. Daya dukung tanah di wilayah berbukit dan curam di sekitar Ngarai ini kurang stabil sehingga sewaktu-waktu dapat menimbulkan bencana longsor (RP4D Kota Bukittinggi, 2010). Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadiannya semakin meningkat. Fenomena alam ini berubah menjadi bencana alam tanah longsor manakala tanah longsor tersebut menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun kerugian harta benda dan hasil budaya manusia. Indonesia yang sebagian wilayahnya berupa daerah perbukitan dan pegunungan, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia menjadi daerah yang rawan kejadian tanah longsor. Intensitas curah hujan yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya bencana alam tanah longsor. Permukiman menempati areal paling luas dalam pemanfaatan ruang dalam kota mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan penduduk

yang mendiami kota. Tingginya intensitas penggunaan tanah di daerah pusat kota mengakibatkan nilai tanah menjadi naik, sementara dengan terus bertambahnya penduduk kota dari waktu ke waktu yang tentunya memerlukan lahan untuk tempat hunian pada akhirnya memaksa penduduk kota untuk memilih alternatif mendirikan hunian ke arah pinggiran kota dengan asumsi daerah tersebut memiliki nilai tanah yang rendah dibanding pusat kota. Kecenderungan alami perkembangan permukiman berlangsung secara bertahap ke arah luar (mengalami pemekaran) dan pola perkembangan biasanya mengikuti prasarana transportasi (jaringan jalan) yang ada (Verstappen dalam Suranto, 2008). Berdasarkan Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No 41 Tahun 2007 dengan mematuhi kriteria teknis dan kesesuaian lahan untuk permukiman, yang dimaksud dengan kawasan legal yaitu : 1. Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0-25%); 2. Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) suplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari; 3. Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi, abrasi); 4. Drainase baik sampai sedang; 5. Tidak berada pada wilayah Sempadan sungai / pantai / waduk / danau / mata air / saluran pengairan / rel kereta api dan daerah aman penerbangan; 6. Tidak berada pada kawasan lindung; 7. Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga; 8. Menghindari sawah irigasi teknis. Tumbuhnya perumahan dan permukiman pada kawasan rawan bencana ini tentunya berkembang seiring waktu. Berbagai faktor dan alasan melatar belakangi masyarakat dalam bermukim dan mendirikan bangunan pada daerah rawan bencana tersebut. Pemerintah pusat maupun daerah sebenarnya telah memiliki peraturan dan kebijakan mengenai permasalahan perumahan permukiman pada daerah rawan bencana, namun yang menjadi kendala adalah apakah peraturan tersebut terlaksana sesuai yang diharapkan sehingga dengan

berjalannya peraturan tersebut dapat menata kehidupan masyarakat dan kota itu sendiri untuk menjadi lebih baik. B. Rumusan Masalah Pertumbuhan kota Bukittinggi selama ini berkembang di sepanjang jalur patahan aktif Sumatera yang lebih dikenal dengan Ngarai Sianok. Kota ini juga dikelilingi oleh dua buah gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kondisi ini menyebabkan secara alamiah kota Bukittinggi berada pada daerah rawan bahaya gempa bumi yang dapat memicu bencana gerakan tanah. Menyikapi hal tersebut, pemerintah menetapkan kawasan Sempadan Ngarai Sianok. Sempadan Ngarai Sianok ditetapkan selebar 100 meter dari bibir Ngarai dengan arah menjauhi Ngarai. Sempadan Ngarai Sianok kemudian ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) fungsi khusus dan kawasan strategis untuk kepentingan daya dukung lingkungan hidup di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bukittinggi tahun 2010-2030. Dokumen RP4D kota Bukittinggi tahun 2010 menjelaskan bahwa luas Kawasan Ngarai Sianok yang ditetapkan untuk berfungsi lindung di Kota Bukittinggi adalah ± 258,813 hektar. Penetapan kawasan ini sebagai kawasan lindung didasarkan pada kondisi fisik dasarnya yang unik dan rentan / rawan bencana alam longsor dan gempa, serta kekhasan alamnya yang memiliki nilai yang sangat tinggi baik keindahannya maupun keunikannya. Selain hal tersebut, kawasan ini juga menjadi kawasan yang melindungi kawasan di bawahnya karena karakteristik kawasan ini memiliki kelerengan melebihi 40% serta dengan daya resapnya yang tinggi dengan vegetasi alami yang dimilikinya. Peruntukan yang diperbolehkan didorong untuk mendukung fungsi lindungnya berupa tanaman keras. Sedangkan sawah eksisting diupayakan untuk tidak menambah luasan yang ada saat ini. Sedangkan untuk kawasan pemukiman diupayakan dipindahkan dengan pendekatan insentif disinsentif. Permasalahan perumahan eksisting di Kota Bukittinggi intinya adalah berupa permasalahan yang disebabkan oleh permukiman yang cenderung padat serta permasalahan yang disebabkan oleh permukiman yang terdapat pada daerah rawan becana, khususnya pada zona bahaya selebar 100 meter di sepanjang

pinggiran Ngarai Sianok. Penanganan perumahan eksisting cenderung bersifat strategi jangka pendek dalam merencanakan perumahan dan permukiman kota. Hal ini dikarenakan urgenitas dari solusi terhadap permasalahan. Dokumen Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP) Kota Bukittinggi tahun 2015 menyatakan, terdapat beberapa kawasan permukiman yang berada pada kawasan ilegal diantaranya : 1. Kawasan di Sempadan Ngarai sebanyak 652 unit; 2. Kawasan di Sempadan Sungai sebanyak 439 unit; 3. Kawasan di Sepadan Rel Kereta Api sebanyak 1938 unit; 4. dan beberapa pada kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang. Isu strategis dalam pembangunan permukiman dan infrastruktur perkotaan Bukittinggi terdapat beberapa permasalahan utama terkait keberadaan permukiman di daerah rawan bencana. Terdapatnya permukiman di kawasan lindung terjadi di sekitar kawasan lindung Ngarai Sianok tercipta karena perkembangan permukiman yang tidak terkendali mengakibatkan berkembangnya permukiman di kawasan lindung, selain itu kawasan tersebut juga merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi dan rawan longsor akibat kondisi tanah yang tidak stabil yang sewaktu-waktu dapat terjadi longsor yang bisa dipicu karena terjadinya gempa bumi. Tumbuhnya perumahan dan permukiman pada kawasan rawan bencana ini tentunya berkembang seiring waktu baik berkembang sebelum peraturan pemerintah kota yang tertuang dalam RTRW tahun 2010-2030 berlaku maupun berkembang sesudah peraturan RTRW berlaku pada kawasan rawan bencana tersebut. Berbagai faktor dan alasan melatarbelakangi masyarakat dalam bermukim dan mendirikan bangunan pada daerah rawan bencana di sepanjang Sempadan Ngarai Sianok tersebut, dan berbagai macam upaya pemerintah pun telah dilakukan dalam penanganan kawasan ini baik berupa peraturan maupun tindakan nyata. Dengan adanya permasalahan tersebut diatas, maka dalam penelitian yang akan dilakukan ini timbul suatu pertanyaan yang ingin dikaji peneliti yaitu : Bagaimana laju pertumbuhan perumahan permukiman pada kawasan rawan bencana di daerah Sempadan Ngarai Sianok di Kota

Bukittingi yang di analisis terhadap peraturan dan kebijakan pemerintah yang berlaku. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian adalah: 1. Menghitung laju pertumbuhan perumahan dan permukiman pada kawasan rawan bencana Sempadan Ngarai Sianok; 2. Mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait pertumbuhan perumahan dan permukiman berdasarkan rencana tata ruang D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis 1. Manfaat secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan dalam kajian teori-teori ilmu perumahan dan permukiman khususnya terhadap laju pertumbuhan perumahan permukiman pada daerah rawan bencana. 2. Manfaat secara praktis a. Bagi penulis Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan dan wawasan mengenai permasalahan perumahan permukiman pada kawasan rawan bencana serta bagaimana mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait perumahan permukiman. b. Bagi bidang akademis hasil penelitian ini diharapkan untuk menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya di Program Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang. c. Bagi pemerintah daerah Kota Bukittinggi Sebagai masukan bagi pemerintah Kota Bukittinggi dalam menyusun peraturan dan membuat strategi dan kebijakan dalam penataan perumahan permukiman pada kawasan rawaan bencana.

d. Bagi masyarakat Agar masyarakat mengetahui resiko dari pembangunan perumahan permukiman pada kawasan rawan bencana tersebut serta memperoleh solusi yang tepat untuk penataan perumahan tersebut. Sebagai masukan bagi stakeholder dalam pengambilan keputusan. E. Ruang Lingkup 1. Ruang Lingkup Substansial Ruang Lingkup substansi pembahasan pada penelitian ini yakni melakukan pembahasan terkait dengan tujuan penelitian antara lain. 1. Menghitung laju pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan rawan bencana Sempadan Ngarai Sianok dengan melakukan survey lapangan dengan mengkaji berdasarkan variabel data teknis perumahan dan variabel sarana, prasarana dan utilitas pendukung perumahan permukiman; 2. Mengevaluasi kebijakan pemerintah terkait pertumbuhan perumahan permukiman berdasarkan rencana tata ruang dengan penyelesaian masalah menggunakan metode fishbone diagram; 2. Ruang Lingkup Spasial Kota Bukittinggi memiliki 3 kecamatan dengan fokus penelitian dilakukan di daerah kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh (ABTB) tepatnya pada kelurahan Belakang Balok, kelurahan ini berada pada bagian selatan kota Bukittinggi dimana terdapat banyak perumahan dan permukiman penduduk yang dibangun di atas kawasan Sempadan Ngarai Sianok. Kawasan tersebut termasuk dalam RTH Sempadan Ngarai Sianok dan merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi dan longsor yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat disekitarnya. Batasan perumahan permukiman yang akan di observasi adalah perumahan yang berada zona bahaya selebar 100 meter di sepanjang Sempadan Ngarai Sianok.

F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam tesis terbagi menjadi 5 (lima) bagian ini bertujuan untuk mempermudah memberi gambaran secara keseluruhan mengenai isi dari penulisan yang masing-masing diuraikan sebagai berikut : BAB I Pendahuluan Berisikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, ruang lingkup dan sistematika penulisan; BAB II Tinjauan Pustaka Landasan Teori, menguraikan dasar-dasar teori (literature) yang digunakan untuk penelitian yang berisikan teori dan penelitian sebelumnya yang relevan dengan laju pertumbuhan perumahan permukiman pada kawasan rawan bencana BAB III Metode Penelitian berisi tentang metodologi pembuatan tugas akhir, disertai pembahasan mengenai tahapan-tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil akhir yang sesuai dengan tujuan penyusunan tugas akhir BAB IV Hasil dan Pembahasan Bab ini menjelaskan tentang hasil kerja yang telah didapatkan dan pembahasan dari hasil kerja yang telah didapatkan BAB V Kesimpulan dan Saran Berisi kesimpulan dan saran