BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan disebutkan bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan secara bersama dan berjenjang antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat yang diatur dalam sistem kesehatan nasional. Salah satu unsur dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pembiayaan kesehatan yang bertujuan untuk menyediakan biaya kesehatan yang berkelanjutan, baik jumlah biaya, alokasi serta pemanfaatan biaya kesehatan dalam peningkatan kesehatan masyarakat. Di dalam UU tersebut juga diatur besaran anggaran kesehatan pusat yaitu 5% dari APBN di luar gaji, sedangkan APBD Propinsi dan Kab/Kota minimal 10% di luar gaji, dengan peruntukannya sekurang-kurangnya 2/3 untuk pelayanan publik (Pemerintah RI, 2009). Pada kenyataannya, pembiayaan sektor kesehatan masih belum menjadi prioritas dalam era desentralisasi. Pembiayaan kesehatan belum mencapai 10% dari total anggaran pemerintah daerah di luar gaji seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Kesehatan. Alokasi biaya kesehatan masih jauh dibawah bidang pendidikan serta mekanisme pembiayaan kesehatan di daerah menimbulkan kesulitan dalam manajemen dan sering menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan. Tantangan yang harus dihadapi saat ini adalah peningkatan efektifitas dan efisiensi pembiayaan kesehatan melalui pemilihan intervensi yang tepat, dan melalui strategic purchasing Jaminan Kesehatan Nasional, yaitu menggunakan instrumen sistem pembayaran kepada pemberi pelayanan kesehatan untuk meningkatkan insentif tenaga kesehatan di DTPK dan primary care, mendorong prioritas nasional (misalnya kesehatan ibu dan anak), mengendalikan eskalasi biaya berlebihan, serta meningkatkan upaya promosi kesehatan dan pencegahan (Bappenas, 2014). 1
2 Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 menekankan dua aspek utama dalam kerangka pendanaan yakni peningkatan pendanaan preventif, promotif dan peningkatan efektivitas pembiayaan kesehatan. Peningkatan pendanaan preventif dan promotif diharapkan lebih cost effectiveness dibandingkan pendanaan kuratif. Peningkatan pendanaan preventif dan promotif dilakukan untuk menghindari terganggunya anggaran pemerintah untuk kuratif dengan diimplementasikannya Program Jaminan Kesehatan Nasional menuju universal coverage pada tahun 2019. Untuk efektivitas anggaran hendaknya memenuhi kriteria daya ungkit yang besar, tepat guna dan hasil guna antara prioritas yang terukur, program dan kegiatan pokok dengan penganggarannya (AIPHSS, 2014). Dalam situasi pembiayaan kesehatan yang dinamis ini, JKN di Indonesia yang dimulai sejak 1 Januari tahun 2014 telah memberikan andil yang besar terhadap reformasi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia. Dengan adanya JKN pembiayaan puskesmas menjadi bertambah. Puskesmas berkewajiban untuk mengelola dan memanfaatkan secara efektif serta efisien agar tidak terjadi biaya yang tumpah tindih antara kegiatan program yang satu dengan program yang lainnya. Jumlah puskesmas secara kuantitas telah tercukupi dan tersebar ke seluruh pelosok tanah air, namun secara kualitas masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan lemahnya manajemen dan organisasi di puskesmas, kurang pahamnya dalam mempergunakan dana puskesmas, serta dukungan sumber daya. Berdasarkan data Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011 diketahui bahwa di Indonesia terdapat 9.188 puskesmas yang tersebar di 497 kabupaten/kota. Di Provinsi Jawa Timur terdapat 949 puskesmas yang tersebar di 38 kab/kota, 166 puskesmas berada di perkotaan dan 783 berada di pedesaan (Kemenkes RI, 2012). Kinerja manajemen puskesmas diukur dari 2 (dua) konsep utama yaitu efisiensi dan efektifitas. Jika efisien lebih memfokuskan pada proses pemanfaatan, penghematan dan pemberdayaan masukan (input) sumber daya, maka efektivitas lebih memfokuskan pada output dan outcome berdasarkan hasil kinerja puskesmas yang diharapkan (Handoko, 2011).
3 Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur memiliki 45 puskesmas yang tersebar di 24 kecamatan. Puskesmas perawatan sebanyak 17 dan sisanya adalah puskesmas non perawatan. Masing-masing kecamatan terdiri 1-3 puskesmas. Jumlah tenaga kesehatan di puskesmas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi Tahun 2013-2014 No. Jenis Tenaga Tahun 2013 2014 Persentase Kenaikan/ Penurunan 1 Dokter Umum 60 63 5,00 2 Dokter Gigi 43 45 4,65 3 Bidan 379 521 37,47 4 Perawat 367 395 7,63 6 Asisten Apoteker 25 25 0,00 7 Kesmas 0 39 100,00 8 Kesling 19 19 0,00 9 Analisis Kesehatan 25 28 12,00 10 Gizi 25 25 0,00 Jumlah 943 1160 23,01 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi Tahun 2013-2014 (Dinas Kesehatan Banyuwangi 2014) Pada Tabel 1 ditunjukkan secara umum terjadi kenaikan jumlah tenaga kesehatan di puskesmas dari tahun 2013 ke tahun 2014 sebesar 23,01%. Penambahan jumlah tenaga terbanyak yakni tenaga bidan sebesar 37,47%. Di sisi lain masih terdapat beberapa tenaga yang kurang antara lain tenaga asisten apoteker, gizi, analis kesehatan, kesmas dan kesling untuk memenuhi kebutuhan puskesmas. Pembiayaan di bidang kesehatan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan di daerah. Pembiayaan kesehatan di Kabupaten Banyuwangi bersumber dari dana APBN, dana APBD dan sumber dana lainnya. Sumber pembiayaan APBD ini dapat dilihat pada Tabel 2.
4 Tabel 2. Pembiayaan Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2014 (dalam rupiah) Tahun Anggaran Anggaran Kesehatan APBD Total Anggaran APBD Kabupaten (%) 2012 160.789.918.396 1.865.588.732.010 8,62 2013 194.095.436.554 2.104.452.542.374 9,22 2014 254.880.906.992 2.557.268.868.775 9,97 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi Tahun 2012-2014 Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa pengalokasian anggaran kesehatan bersumber dari APBD selama kurun waktu tiga tahun terjadi kenaikan pembiayaan kesehatan. Namun belum mencapai 10% diluar gaji seperti yang disyaratkan oleh Undang-undang, dihitung dari total anggaran APBD kabupaten. Pembiayaan APBD tersebut di atas sudah termasuk untuk belanja tidak langsung dalam hal ini gaji pegawai. Untuk rincian belanja langsung dan tidak langsung dari anggaran kesehatan selama kurun waktu tiga tahun dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini: Tahun Anggaran Tabel 3. Belanja Langsung dan Tidak Langsung Anggaran Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2014 ( dalam rupiah) Belanja Langsung (%) Tidak Langsung (%) Anggaran Kesehatan APBD 2012 81.873.482.707 51 78.916.435.689 49 160.789.918.396 2013 117.316.508.170 60 76.778.928.384 40 194.095.436.554 2014 174.946.331.280 69 79.934.575.712 31 254.880.906.992 Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kab. Banyuwangi Tahun 2012-2014 Dalam memenuhi perimbangan kebutuhan pembiayaan kesehatan di puskesmas untuk menjalankan fungsinya maka operasional puskesmas didukung oleh dana yang bersumber dari APBN seperti BOK, Jamkesmas maupun dari program JKN. Adapun jumlah pembiayaan operasional yang diluncurkan ke
5 puskesmas dari berbagai sumber dana selama tahun 2012-2015 dapat dilihat pada Gambar1. 45,000,000,000 40,000,000,000 35,000,000,000 30,000,000,000 25,000,000,000 20,000,000,000 15,000,000,000 10,000,000,000 5,000,000,000 - JKN 2012 2013 2014 2015 sebelum sesudah BOK APBD (JPKMB) APBN (Jamkesmas) Dana Kapitasi Askes Dana Kapitasi JKN Gambar 1. Alokasi Anggaran Operasional Puskesmas di Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2015 Gambar 1 di atas menunjukkan anggaran operasional yang dikelola oleh puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional sangat jauh berbeda, terlihat dari kenaikannya sangat drastis, namun APBD menurun. Sebelum Jaminan Kesehatan Nasional diimplementasikan, anggaran yang dikelola puskesmas pada tahun 2012-2013 tidak lebih dari 6 Milyar untuk 45 puskesmas dari masing-masing sumber dana dan sesudah pelaksanaan JKN pada tahun 2014-2015 dana yang dikelola puskesmas menjadi hampir 40 milyar dari dana kapitasi JKN. Anggaran puskesmas saat ini berbanding terbalik dari upaya kesehatan masyarakat bergeser pada upaya kesehatan perorangan. Melihat kondisi pendanaan puskesmas yang kuratif merupakan jauh lebih besar, sedangkan puskesmas fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Kemenkes RI, 2014c).
6 Hasil penelitian Kurniawan et al. (2014) menunjukkan bahwa operasional puskesmas hanya tergantung dari dana bantuan operasional kesehatan yang merupakan dana pusat yang diatur kementerian dengan petunjuk dari kementerian kesehatan. Hasil penelitian juga menunjukkan perencanaan dan penganggaran dilevel puskesmas ( bottom-up planning) hanya berlaku untuk BOK dan tidak untuk dana lainnya, sedangkan dana APBD fokus perencanaan masih berada pada level Dinas Kesehatan dan sering terjadi misalokasi anggaran. Pada kenyataannya di lapangan dengan adanya berbagai sumber dana yang diluncurkan ke puskesmas dalam pelaksanaannya kurang lancar. Di Kabupaten Banyuwangi sebelum adanya pembiayaan dari dana kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional, untuk anggaran yang bersumber dana APBD program Jaminan Kesehatan Masyarakat Banyuwangi (JPKMB) sejak tahun 2012 puskesmas sudah diminta untuk merencanakan anggaran tersendiri sesuai dengan kebutuhan di masing-masing puskesmas namun belum diimbangi dengan hasil kinerja yang optimal dan proses lokakarya mini belum berjalan dengan baik. Setelah Jaminan Kesehatan Nasional dilaksanakan, gejolak kembali timbul bahwa pembayaran dana kapitasi langsung ke puskesmas dan tidak melalui Dinas Kesehatan seperti halnya Jamkesmas maupun Jampersal. Di sisi lain puskesmas di Kabupaten Banyuwangi belum BLUD sehingga akan mempengaruhi dalam pengelolaan anggaran puskesmas. Berdasarkan informasi awal bahwa dengan semakin banyaknya dana yang dialokasikan dan diterima oleh puskesmas menyebabkan puskesmas disibukkan dengan kegiatan administrasi keuangan dan tenaga yang terbatas serta kurang terintegrasinya anggaran dari berbagai sumber dana dalam hal pemanfaatannya. Mengingat terjadinya perubahan pembiayaan puskesmas yang meningkat secara drastis setelah adanya pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dan ini berhubungan dengan pemahaman terhadap perubahan pengelolaan anggaran kepada stakeholders yang memiliki kepentingan dan tuntutan yang berbeda dalam organisasi.
7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengelolaan pembiayaan puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas di Kabupaten Banyuwangi? 2. Apakah ada perbedaan realisasi dana BOK, dana kapitasi dan APBD sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas di Kabupaten Banyuwangi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Mendeskripsikan pengelolaan pembiayaan puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi. 2. Tujuan Khsusus : a. Mendeskripsikan kebijakan anggaran pemerintah pusat dan daerah sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi. b. Mendeskripsikan pengganggaran puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi. c. Mendeskripsikan pemanfaatan dana puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi. d. Mendeskripsikan monitoring dan pelaporan puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi. e. Mengidentifikasi perbedaan realisasi dana puskesmas (BOK, dana kapitasi, APBD) sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Puskesmas Kabupaten Banyuwangi.
8 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan acuan bagi pengambilan keputusan dan penentu kebijakan dalam pengembangan model perencanaan anggaran dana puskesmas agar menjadi lebih baik. 1. Bagi pemerintah daerah sebagai bahan masukan untuk menyusun strategi perbaikan dalam pengalokasian pembiayaan kesehatan diera Jaminan Kesehatan Nasional. 2. Bagi Dinas Kesehatan sebagai bahan advokasi pada Pemerintah Daerah Kabupaten Banyuwangi dalam mempertimbangkan kebijakan pengalokasian dana pelayanan kesehatan di puskesmas dan sebagai bahan kajian pengelolaan keuangan puskesmas menuju BLUD. 3. Bagi puskesmas sebagai bahan masukan untuk memperbaiki proses perencanaan pemanfaatan dana dalam menunjang pelayanan kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat dan penunjang kegiatan lainnya. 4. Bagi peneliti sendiri untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam pengembangan model pengelolaan anggaran dari berbagai sumber dana. E. Keaslian Penelitian Sesuai dengan apa yang peneliti ketahui, penelitian tentang Pembiayaan Puskesmas Sebelum dan Sesudah Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional belum pernah dilakukan. Namun ada beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan, antara lain: 1. Wijaya (2010) Analisis Pembiayaan Kesehatan Daerah Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Berdasarkan Standart Pelayanan Minimal (SPM) Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Sambas. Persamaannya terletak pada jenis penelitiannya studi kasus bersifat deskriptif. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya pada lokasi penelitian dan fokus penelitian pada anggaran puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. 2. Ramadhani (2010) meneliti tentang Pengganggaran Rencana Pengembangan Program Jamkesda di Kabupaten Banjar. Persamaannya terletak pada jenis
9 penelitiannya studi kasus. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya adalah fokus penelitian dan variabel yang diteliti. 3. Kurniawan et al. (2014) yang meneliti tentang Analisis Buttom Up Pembiayaan Kesehatan di Puskesmas di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur. Perbedaannya dengan penelitian sebelumnya pada metode penelitian dan fokus penelitian pada anggaran puskesmas sebelum dan sesudah pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian di atas yaitu: a. Fokus penelitian pada anggaran puskesmas sebelum dan sesudah Jaminan Kesehatan Nasional b. Lokasi penelitian di Kabupaten Banyuwangi c. Variabel yang diteliti