BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah laut Indonesia dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan terpanjang di dunia setelah Kanada. Di sepanjang pantai tersebut, yang potensil sebagai lahan tambak 1,2 juta Ha. Yang digunakan sebagai tambak udang baru 30.000 Ha. Sisanya masih tidur, artinya peluang membangunkan potensi tambak tidur tersebut untuk budidaya kepiting masih terbuka lebar (Rusmiyati, 2011). Kepiting merupakan salah satu sumber pendapatan masyarakat nelayan dan devisa negara. Saat ini kepiting dibudidayakan seiring dengan meningkatnya nilai ekonomis dan pembudidayaan kepiting jauh lebih mudah dan biayanya murah daripada pembudidayaan udang dan komoditi lain. Indonesia merupakan negara pengekspor kepiting terbesar di dunia dengan jumlah ekspor untuk tahun 2013 mencapai 19.786 ton termasuk produk olahannya. Volume ekspor ini meningkat 25,76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 15.733 ton. Adapun nilai ekspor kepiting tercatat pada tahun 2012 lalu US$ 183,7 juta pada semester I atau setara Rp 2,09 triliun, menjadi US$ 198,0 juta (Rp 2,25 triliun) naik 7,82% pada semester I tahun 2013. Amerika Serikat menjadi pasar ekspor kepiting terbesar dengan volume ekspor 5.711 ton senilai US$ 104,7 juta atau Rp 1,193 triliun (Dinas Perikanan dan Kelautan, 2014).
Kepiting merupakan jenis ikan utama yang paling banyak dibudidayakan di Kabupaten Langkat. Dominasi jumlah rumah tangga usaha budidaya kepiting adalah sekitar 34 % dari seluruh jenis ikan utama yang dibudidayakan di Kabupaten Langkat. Jumlah rumah tangga usaha budidaya air payau menurut jenis ikan utama yang diusahakan dapat dilihat pada tabel 1.1 Tabel 1.1 Jumlah Rumah Tangga Usaha Budidaya Air Payau menurut Jenis Ikan Utama yang Diusahakan di Kabupaten Langkat Budidaya Air Payau No. Jenis ikan utama Jumlah Rumah Tangga 1. Kepiting 274 2. Udang vaname 189 3. Nila 121 4. Udang Windu 90 5. Bandeng 64 6. Kerapu Lumpur 36 7. Mujair 17 8. Udang Putih 14 9. Belanak 8 10. Kerapu Karng 2 Jumlah 801 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Langkat (2013) Menurut Badan Penanaman Modal dan Promosi Sumatera Utara (2014) menyatakan bahwa jumlah tambak yang ada di Kabupaten Langkat meliputi 8 Kecamatan ( Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Besitang dan Pangkalan Susu adalah ± 2.010 Ha, yang berpotensi sebagai pengembangan tambak udang dan kepiting. Kegiatan budidaya kepiting di Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat hanya sebatas pembesaran bibit kepiting. Bibit kepiting diperoleh petani dari pencari bibit kepiting di sepanjang hutan manggrove.
Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara (2013), lahan hutan manggrove Kabupaten Langkat banyak mengalami kerusakan. Jumlah luas lahan hutan bakau tahun 2013 seluas 31.656,02 Ha dengan 11.145,90 Ha rusak berat, 14.343,66 Ha rusak, dan bersisa 6.166,46 Ha tidak rusak. Hal ini berdampak terhadap budidaya kepiting. Ekosistem hutan mangrove ini berfungsi sebagai sumber plasma nutfah untuk mata pencarian masyarakat nelayan yang ada di sekitarnya seperti ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Akibatnya bibit kepiting sulit diperoleh dan harga bibit semakin mahal. Harga bibit kepiting mengalami kenaikan dari Rp20.000 tahun 2013 menjadi Rp35.000/kg tahun 2014. Kenaikan harga bibit menyebabkan pendapatan petani tambak kepiting semakin berkurang. Rata-Rata pendapatan yang diperoleh petani tambak masih relatif rendah sebesar Rp800.000-Rp1.000.0000, pendapatan tersebut belum mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari petani tambak kepiting di Desa Pantai Gading (Ppl Desa Pantai Gading, 2014). Usaha tambak kepiting merupakan sumber pendapatan utama bagi petambak di Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang dan merupakan lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya. Masyarakat Desa Pantai Gading sebagian masih tetap bersikeras untuk mengusahakan tambak kepiting tersebut dan tidak berkeinginan untuk berpindah mata pencaharian, walaupun dengan pendapatan yang rendah. Sisanya, banyak petambak di Desa Pantai Gading keluar dari desa mencari pekerjaan lain atau merubah alih fungsi tambak kepiting menjadi tambak ikan ataupun udang.
Besarnya pendapatan atau keuntungan yang diperoleh akan menentukan layak atau tidaknya usaha tersebut dijalankan, maka dihitung seberapa besar penerimaan atau pendapatan yang diperoleh petani tambak dan dilakukan analisis kelayakan secara finansial usaha tambak kepiting. Dari permasalahan yang dijabarkan, maka peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut khususnya dalam meneliti Analisis Finansial Usaha Tambak Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Pantai Gading, Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah usaha tambak kepiting bakau (Scylla serrata) secara finansial layak untuk diusahakan dan dikembangkan di daerah penelitian? 2. Masalah-masalah apa yang dihadapi dan upaya apa yang dilakukan pengusaha dalam pengelolaan usaha tambak kepiting bakau (Scylla serrata) di daerah penelitian? 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang dipaparkan di atas maka tujuan dari penelitian adalah: 1. Untuk menganalisis usaha tambak kepiting bakau (Scylla serrata) secara finansial layak untuk diusahakan dan dikembangkan di daerah penelitian. 2. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dan upaya apa yang indilakukan pengusaha dalam pengelolaan usaha tambak kepiting bakau (Scylla serrata) di daerah penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka kegunaan penelitian ini adalah: 1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak yang ingin membuat bisnis kepiting bakau (Scylla serrata). 2. Sebagai bahan masukan bagi pengusaha yang membudidayakan kepiting.