BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Anzar, tangan dari pemerintah pusat (Fitriyanti & Pratolo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi tersebut yaitu dengan diselenggarakannya otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Akuntansi Sektor Publik

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lahirnya otonomi daerah memberikan kewenangan kepada

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 33 Tahun 2004, menjadi titik awal dimulainya otonomi. dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia dilandasi oleh Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. penting yang dilakukan yaitu penggantian sistem sentralisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. daerah, karenanya pembangunan lebih diarahkan ke daerah-daerah, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu konsekuensi reformasi yang harus. dihadapi oleh setiap daerah di Indonesia, terutama kabupaten dan kota

BAB I PENDAHULUAN. perubahan regulasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disahkannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

KATA PENGANTAR Drs. Helmizar Kepala Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

BAB I PENDAHULUAN. memberikan proses pemberdayaan dan kemampuan suatu daerah dalam. perekonomian dan partisipasi masyarakat sendiri dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai unit pelaksana otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

DIPA BADAN URUSAN ADMINISTRASI TAHUN ANGGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta

BAB I PENDAHULUAN. Adanya perkembangan teknologi dan otonomi daerah menuntut

BAB I PENDAHULUAN. satu dasar penting dalam pengambilan keputusan. Steccolini (2002;24) mengungkapkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. Pajak erat sekali hubungannya dengan pembangunan, pembangunan dan

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah melakukan reformasi pengelolaan keuangan dengan. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, yang diukur melalui elemen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pemerintah daerah sekarang ini dihadapkan oleh banyaknya tuntutan baik dari

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal, saat ini Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, peran akuntansi semakin dibutuhkan, tidak saja untuk kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Selama ini dominasi Pusat terhadap Daerah menimbulkan besarnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Gambaran Obyek Penelitian. Jawa Barat adalah salah satu provinsi terbesar di Indonesia dengan ibu

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Mahi (2001)

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB I PENDAHULUAN. penting. Otonomi daerah yang dilaksanakan akan sejalan dengan semakin

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peraturan Pemerintah No. 108 Tahun 2000 tentang pertanggungjawaban Kepala Daerah menyarankan agar setiap akhir tahun anggaran, Kepala daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban yang terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Norma Perhitungan APBD, Laporan Arus Kas, dan Neraca Daerah yang dilengkapi dengan penilaian kinerja. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada pasal 31 ayat 2 Undang- Undang No. 17 Tahun 2003 juga menjelaskan bahwa Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan belanja juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah. Salah satu hal yang dapat dijadikan alat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah daerah (gubernur atau bupati) adalah dengan melihat kinerja keuangan daerahnya melalui perhitungan dan analisis terhadap target dan realisasi dari penerimaan dan pengeluaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah-nya (APBD), baik dari sisi input, output, outcome, impact, dan benefit. Seiring dengan perkembangan zaman pula, sistem pemerintahan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan ini adalah proses pencarian formula yang tepat untuk melakukan sistem pemerintahan yang tepat. Dulu hal ini terkenal dengan istilah government, governance hingga saat ini menjadi good governance

Otonomi daerah merupakan salah satu wujud nyata untuk mendukung terselenggaranya good governance, karena dengan adanya otonomi daerah maka pemerintah yang semula bersifat sentralisasi berubah menjadi desentalisasi, itu berarti bahwa pemerintah memiliki hak untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan undang-undang dan pemerintah pun dapat mengoptimalkan pembangunan daerah agar berjalan dengan baik. Salah satu bentuk baik atau tidaknya pembangunan sebagai perwujudan dari good governance dapat dilihat dari segi keuangan, sebagaimana negara juga pemerintah mengaturnya dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Masyarakat menghendaki ada pertanggungjawaban mengenai pelaksanaan kinerja sektor publik, termasuk kinerja Pemda Jawa Barat. Menurut Mardiasmo (2002), Value for money (VFM) yang merupakan ekspresi pelaksanaan kinerja sektor publik berdasarkan tiga elemen : yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Ketiga hal tersebut diatas merupakan elemen pokok dari konsep value for money. Penerapan konsep Value For Money (VFM) penting bagi pemerintah sebagai pelayan masyarakat, karena implementasi konsep tersebut akan memberi manfaat menilai: 1) efektivitas pelayanan publik, 2) mutu pelayanan publik, 3) alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan 4) meningkatkan public cost awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik.

Dengan adanya sistem performance budgeting, setiap pengeluaran negara dituntut untuk memiliki value for money yang optimal. Value for money adalah sebuah terminologi yang menilai sejauh mana keuntungan maksimal yang diperoleh organisasi dari penggunaan sumber daya yang tersedia. Erlendsson (2002) mendefinisikan value for money adalah : a term used to assess whether or not an organisation has obtained the maximum benefit from the goods and services it both acquires and provides, within the resources available to it. Artinya yaitu: Value for money tidak sekedar memperhitungkan biaya yang dikeluarkan dalam memproduksi barang atau jasa, namun juga menghubungkan biaya dengan kualitas, penggunaan sumber daya, ketepatan waktu dan capaian sasaran, dan aspek lainnya hingga produk dan jasa dapat memiliki nilai atau value. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang No 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikam keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarakat. Maka Pemerintahan Provinsi Jawa Barat perlu memperhatikan lebih baik lagi agar kinerja keuangannya memenuhi kriteria ekonomi, efisien dan efektif.

TABEL 1.1 EKONOMI Tahun Kota/Kabupaten Realisasi Pendapatan Anggaran Pendapatan Rasio (%) 2007 Kab. Ciamis 1.052.791.391,00 1.138.897.182,77 Kab. Majalengka 747.247.306,00 765.514.570,40 98 2008 Kab. Ciamis 1.052.791.387,00 1.100.705.743,00 96 Kab. Cirebon 1.014.368.234,00 1.097.241.819,00 92 Kab. Garut 1.202.655.285,00 1.275.131.268,00 94 Kab. Kuningan 766.796.217,00 817.462.922,00 94 Kab. Majalengka 796.759.306,00 850.877.936,00 94 Kab. Purwakarta 564.495.061,00 613.850.889,00 92 Kota Cirebon 552.563.198,00 559.689.039,00 99 2009 Kab. Majalengka 966.481.044,00 994.188.000,00 97 2010 Kab. Purwakarta 848.949.139,00 926.967.776 92 Kota Bekasi 1.582.441.085,00 1.657.240.919 95 2011 Kab. Ciamis 1.362.234.737,00 1.382.692.736 99 Kota Bekasi 1.582.441.085,00 1.657.240.919 95 2011 Kab. Ciamis 1.362.234.737,00 1.382.692.736 99 Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah. 92 Berdasarkan Tabel diatas Kinerja Keuangan di Jawa Barat dalam tingkat ekonominya masih banyak yang belum memenuhi rasio diatas 100%. Rata rata Kota/Kabupaten diatas hanya memilihi rasio 95% yang berarti kinerja keuangannya kurang ekonomi. Karena dilihat dari kriteria kineja keuangan jika diperoleh rasio 60% - 99% dikatakan kurang ekonomi, dan selaras dengan teori Mardiasmo (2002) Dikatakan ekonomi jika rasio dicapai sama dengan 100% atau diatas 100%.

TABEL 1.2 EFISIEN Realisasi Rasio Biaya Tahun Kota/ Kabupaten Pendapatan (%) 2007 Kab. Bandung 1.351.912.000,00 1.851.603.232,05 73 Kab. Tasikmalaya 718.561.000,00 956.896.501,00 75 Kab. Kuningan 550.002.395,00 766.796.217,00 72 Kab. Majalengka 555.540.000,00 747.247.306,00 74 Kab. Ciamis 775.730.000,00 1.052.791.391,00 74 Kab. Cianjur 757.052.000,00 1.066.807.490,00 71 Kab. Cirebon 730.885.992,00 1.014.368.236,00 72 Kab. Garut 911.801.000,00 1.202.655.284,00 76 2008 Kab. Cirebon 730.885.992,00 1.014.368.234,00 72 Kab. Garut 911.801.000,00 1.202.655.285,00 76 Kab. Ciamis 775.730.000,00 1.052.791.387,00 74 Kab. Kuningan 550.002.396,00 766.796.217,00 72 Kab. Majalengka 600.795.440,00 796.759.306,00 75 2009 Kab. Kuningan 684.974.237,00 950.664.908,00 72 2010 Kab. Tasikmalaya 981.384.109,00 1.349.511.937,00 73 Kab. Majalengka 817.458.879,00 1.122.795.910,00 73 2011 Kab. Ciamis 953.515.826,00 1.362.234.737,00 70 Kab. Tasikmalaya 981.979.959,00 1.327.292.191,00 74 Kab. Majalengka 882.567.369,00 1.221.520.889,00 72 Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah. dan Berdasarkan Tabel diatas dengan melihat perkembangan dan dihitung dengan menggunakan Rasio Efisien dari tahun ke tahun kinerja finansial di Provinsi Jawa Barat kurang efisien, bisa dilihat dari Rasio yang rata rata masih tinggi dan Menurut Mardiasmo (2002) Kinerja Pemerintah daerah akan dikatakan efisien bila rasionya

kurang dari 1 atau semakin kecil rasio efisiensi berarti rasio kinerja akan semakin baik, dan Kriteria dari kinerja keuangan yang memiliki nilai rasio 60% - 99% dikatakan kurang efisien. Tabel 1.3 EFEKTIF Tahun Kota/Kabupaten Anggaran Pengeluaran Realisasi Pengeluaran Rasio (%) 2007 Kab. Garut 1.174.647.112,00 1.185.778.461,00 99 Kab. Karawang 1.049.282.343,00 1.052.226.000,00 99 Kab. Kuningan 730.371.661,00 744.820.000,14 98 Kab. Majalengka 788.749.322,00 808.033.721,00 97 Kab. Sumedang 771.522.670,00 782.247.567,00 98 Kota Tasikmalaya 509.991.372,00 534.863.201,17 95 2008 Kab. Indramayu 1.058.920.920,00 1.060.866.951,00 99 Kab. Sukabumi 1.203.542.915,00 1.245.147.219,00 96 Kab. Sumedang 887.137.523,00 905.768.891,00 97 Kota Tasikmalaya 601.640.396,00 636.029.992,87 94 2009 Kab. Bandung 1.704.152.000,00 1.746.674.817,38 97 Kab. Cianjur 1.230.945.000,00 1.238.556.022,48 99 Kab. Garut 1.345.088.000,00 1.414.967.696,00 95 Kab. Kuningan 849.687.000,00 854.737.145,00 99 Kab. Subang 1.045.615.000,00 1.074.026.971,00 97 Kota Sukabumi 521.106.000,00 557.821.518,00 93 Kota Tasikmalaya 623.745.000,00 687.947.280,19 90 2010 Kota Tasikmalaya 696.343.644,00 880.339.919,00 79 Kab. Ciamis 1.297.816.893,00 1.382.077.938,00 93 Kab. Cianjur 1.309.832.257,00 1.434.371.875,00 91 Kab. Karawang 1.478.725.476,00 1.548.841.832,00 95 Kab. Kuningan 1.009.871.494,00 1.127.654.918,00 89 Kota Sukabumi 500.384.788,00 568.645.337,00 88 Kota Banjar 319.154.801,00 384.144.291,00 83

2011 Kota Tasikmalaya 721.227.644,00 941.474.814,00 76 Kab. Sumedang 1.178.666.753,00 1.278.666.753,00 92 Sumber : Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (www.djpk.depkeu.go.id), data diolah. Berdasarkan Tabel diatas Kinerja Keuangan di Jawa Barat dalam tingkat efektif masih banyak yang belum memenuhi rasio diatas 100%. Rata rata Kota/Kabupaten diatas hanya memilihi rasio 93% yang berarti kinerja keuangannya kurang efektif. Karena Menurut kriteria kinerja keuangan bahwa nilai 60% - 99% dikatakan kurang efektif dan selaras menurut teori dari Mardiasmo (2002) Dikatakan efektif jika rasio dicapai sama dengan 100% atau diatas 100%. Untuk menjaga akuntabilitas, hal tersebut tidaklah cukup. Setiap instansi harus melaksanakan kegiatan melalui perencanaan yang lebih matang dan pelaksanaan kegiatan yang terkendali. Tanpa kehati hatian dan kesungguhan, kegiatan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan mencapai outcome yang diharapkan. Pembelanjaan uang negara yang tergesa gesa umumnya akan mendorong pengelola keuangan negara untuk melakukan kecurangan terhadap prosedur, meremehkan perencanaan, menurunkan kualitas proses dan keluaran kegiatan, dan pada akhirnya tidak tercapainya outcome kegiatan. Jika rendahnya penyerapan anggaran disikapi dengan pemaksaan pelaksanaan kegiatan yang tidak perlu, hal ini akan mendorong adanya kegiatan yang tidak jelas arah dan sasarannya. Kedua bentuk ini mendorong penurunan kualitas belanja, dan tentunya tidak memberikan value for money yang optimal. Kondisi di atas menjadi tantangan yang tidak mudah bagi penyelenggara pemerintahan.

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Otonomi daerah merupakan tantangan yang tidak ringan, karena otonomi daerah yang didasari atas kesadaran bahwa peluang bagi daerah untuk membuktikan kemandiriannya. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah akan diikuti oleh pengaturan pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah (Soleh & Rochmansjah, 2010). Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memepengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004).

TABEL 1.4 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT TAHUN 2007-2011 (Ribu Rupiah) Tahun PDRB 2007 254.772.000.000 2008 268.870.000.000 2009 607.318.000.000 2010 682.304.000.000 2011 762.280.000.000 Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat (Data diolah) Propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 25 kabupaten (Kabupaten Bandung Barat tidak dihitung karena baru dimekarkan pada tahun 2007) yang memiliki PDRB yang bervariasi dan dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi meningkat pada masing masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Faktor Faktor yang menyebabkan bervariasinya Pendapatan regional Bruto daerah di masing masing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat juga cukup bervariasi, antara lain pengembangan sektoral yang berbeda antar daerah, jumlah penduduk dan tenaga kerja yang berebeda antar daerah, sumber sumber penerimaan yang berbeda antar daerah, dan lain sebagainya. Konsekuensi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama delapan tahun salah satunya dihadapkan pada fenomena semakin timpangnya tingkat pembangunan di wilayah Indonesia. Pemerintah daerah harus memiliki sumbersumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaran otonominya. Daerah yang tertinggal akan semakin tertinggal dalam pembangunan karena ketidakmampuannya dalam menghadapi tantangan globalisasi. Tantangan daerah yang tertinggal, juga diantaranya disebabkan ketidakmampuan daerah dalam

menggali potensi fiskal dari pajak dan retribusi daerah yang potensial, sehingga berakibat pada perbedaan dalam penerimaan maupun pengeluaran antar daerah. Negara membutuhkan belanja pemerintah semaksimal mungkin untuk mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi tingginya. Dengan belanja Pemerintah, sektor bisnis dapat bergerak dan terpicu untuk tumbuh kembang, bahkan pada sektor sektor tertentu, belanja pemerintah menjadi satu satunya harapan. Pada sisi lain, ketergesa gesaan dan pemaksaan dalam melakukan kegiatan dan pengeluaran belanja negara dapat meningkatkan risiko terjadinya penyimpangan keuangan negara atau rendahnya value for money. Sesuai ketentuan yang berlaku, setiap pengeluaran belanja negara memiliki birokrasi yang panjang dan rumit, serta membutuhkan kehati hatian. Pengeluaran keuangan negara berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal memiliki prosedur yang ketat agar tidak terjadi penyimpangan. Karena setiap pengeluaran keuangan negara akan diperoleh manfaat sebesarbesarnya atau mendapatkan value for money bagi negara, yang selanjutnya akan membawa dampak adanya pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun kondisi yang dihadapi pengelola keuangan saat ini menjadi unik. Pengelola keuangan seperti dihadapkan pada pilihan yang sulit, pertumbuhan ekonomi atau value for money Berdasarkan uraian latar belakang dan Fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kinerja keuangan menggunakan konsep Value for Money terutama pada tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola

keuangannya sendiri dituangkan dalam bentuk APBD yang secara langsung mencerminkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan, pelayanan sosial masyarakat dan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pemda Jawa Barat merupakan salah satu instansi pemerintah yang diberikan kewenangan dalam mengelola keuangannya dan untuk mengetahui penilaian kinerja Pemda Jawa Barat dan bermaksud menuangkannya kedalam bentuk skripsi dengan judul: Pengaruh Penilaian Kinerja Keuangan Menggunakan Konsep Value For Money Terhadap Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang penulisan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah yang dapat diidentifikasikan yaitu : 1. Apakah penilaian kinerja keuangan dengan menggunakan konsep Value For Money berpengaruh terhadap Pertumbuhan Ekonomi? 2. Bagaimana penilaian kinerja keuangan Pemda Jawa Barat dengan menggunakan konsep Value for Money? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian yang akan peneliti lakukan adalah untuk memperoleh data dan informasi yang akan memberikan gambaran tentang penerapan konsep Value for Money di Jawa Barat. Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui adanya pengaruh antara penilaian kinerja keuangan konsep Value For Money dengan Pertumbuhan Ekonomi 2. Mengetahui penilaian kinerja finansial Pemda Jawa Barat dengan menggunakan konsep Value for Money 1.4 Kegunaan Penelitian Beberapa kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut a. Kegunan Akademis 1. Bagi Penulis Penelitian yang dilakukan secara langsung ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang masalah yang akan diteliti yaitu penilaian kinerja keuangan menggunakan konsep Value for Money di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 2. Bagi pembaca Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan dan digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya. b. Kegunaan Praktis

Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Jawa Barat dalam penilaian kinerja finansial Pemda Jawa Barat dengan menggunakan konsep Value for Money sebagai salah satu sarana peningkatan kualitas kinerja yang dihasilkan. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dan pengumpulan data ini dilakukan pada Kantor Badan Pusat Statistik jawa Barat yang berlokasi di Jl. P.H.H. Mustofa No. 43, Bandung 40124 Telp./Fax: (022)7272595, 7201696 / 7213572. Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari 2013 sampai dengan bulan Mei 2013.