BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Pernikahan Pada Masa Awal Pernikahan. dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. adalah intimancy versus isolation. Pada tahap ini, dewasa muda siap untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang tiap elemen bangsanya sulit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran sebagai suami dan istri dengan tugasnya masing-masing. Pada keluarga

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini setiap individu pasti pernah mengalami

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kebahagiaan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

menjadi bagian dari kelompoknya dengan mengikuti norma-norma yang telah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan terus-menerus mendorong manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 LANDASAN TEORI. tahun 1996 yang merupakan ahli teori pembelajaran sosial. Locus of control dapat

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup mempunyai kebutuhan demi

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, terdapat berbagai macam agama dan kepercayaan- kepercayaan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Feist (2010:134) kajian mengenai sifat manusia pertama kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. satunya ditentukan oleh komunikasi interpersonal suami istri tersebut. Melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Undang-Undang No.1 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. sering mendengar kasus-kasus penganiyaan suami atau istri karena berselingkuh

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dengan transisi adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. meneliti sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada satu

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan-hubungan yang terjalin tersebut dapat berupa pertemanan, persahabatan, pacaran dan hubungan perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain,

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

memberi-menerima, mencintai-dicintai, menikmati suka-duka, merasakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadikannya sebagai insal kamil, manusia utuh atau kaffah. Hal ini dapat terwujud

BAB I PENDAHULUAN. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua,

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang efektif (Yukl, 2010). Tidak ada organisasi yang mampu berdiri tanpa adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

2. TINJAUAN PUSTAKA. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Perawat atau Nurse berasal dari bahasa Latin yaitu dari kata Nutrix yang berarti

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB I PENDAHULUAN. Dalam tiga tahun terakhir angka perceraian di Indonesia meningkat secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi tantangan hidup, terkadang orang akan merasakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. juga merupakan calon intelektual atau cendikiawan muda dalam suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. kerugian terjadi ketika dua belah pihak yang terlibat tidak dapat mencapai

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial ditakdirkan untuk berpasangan yang lazimnya dilakukan melalui sebuah pernikahan. Hurlock (2009) menyatakan bahwa pernikahan adalah salah satu tugas perkembangan yang idealnya dicapai oleh manusia dewasa baik laki-laki maupun perempuan. Menurut UU Pernikahan No 1 tahun 1974 pasal 1 pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hubungan pernikahan melibatkan hal-hal personal yang bersifat emosional dan dapat memberikan kebahagiaan dengan pasangannya seperti pernyataan Handayani, dkk (dalam Indriani, Rian, 2014) yang mengungkapkan bahwa salah satu ciri dari pasangan pernikahan yang bahagia adalah dalam hubungan pernikahan perlu keterbukaan dan kejujuran terhadap pasangan hidup, mampu mengevaluasi kelemahan, kekuatan, kelebihan atau kekurangan diri sendiri secara objektif dan tidak menyalahkan orang lain atas permasalahan yang muncul. Namun dalam pernikahan tidak jarang pula menimbulkan permasalahan dan konflik di dalamnya yang sangat sulit untuk dihindari, karena dalam pernikahan menyatukan dua pribadi dengan latar belakang yang berbeda. Glenn dan Weaver (dalam Rahmah, 1997) mengatakan bahwa kepuasan dalam kehidupan pernikahan akan berperan dalam menciptakan kebahagiaan 1

2 hidup secara keseluruhan daripada kepuasan yang diperoleh dalam aspek kehidupan yang lain termasuk kepuasan yang diperoleh sebagai hasil dari kesuksesan dalam dunia kerja. Lebih lanjut, Fowers (1998) dalam studinya tentang pernikahan yang baik, menyatakan bahwa kebahagiaan pribadi atau kepuasan pribadi merupakan tujuan hidup dari setiap manusia setelah menikah. Clayton (dalam Lailatulshifah, 2003) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang berhubungan dengan pernikahan. Kepuasan pernikahan merupakan persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang didapatkan dalam kurun semester tertentu. Kepuasan pernikahan menurut Hendrick dan Hendrick (Haseley, 2006) adalah pengalaman subjektif terhadap kebahagiaan dan kepuasan di dalam hubungan pernikahan. Tingkat kepuasan pernikahan berubah seiring berjalannya waktu. Secara umum, kepuasan pernikahan mengikuti kurva bentuk U. Dari point yang tinggi di awal, menurun hingga usia tengah baya dan kemudian meningkat lagi pada tahap pertama dewasa akhir. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Rollins, dkk (dalam Vembry, 2010) menyimpulkan suatu indikasi kepuasan pernikahan dalam kehidupan pernikahan mengikuti kurva U. Tingkat kepuasan tertinggi dirasakan pada periode sebelum memiliki anak, tingkat kepuasan terendah dirasakan pada saat anak-anak berada pada usia sekolah dan remaja, lalu tingkat kepuasan tertinggi sekali lagi dirasakan pada saat anak-anak telah tumbuh dewasa dan telah meninggalkan rumah (Bradburry & Fincham, dalam Vembry, 2010).

3 Duvall & Miller (dalam Marini & Julinda, 2004)) menyebutkan bahwa masa-masa awal dari pernikahan adalah puncak dari kepuasan pernikahan. Aspek positif dari pernikahan (seperti kerjasama, diskusi, dan berbagi tawa) mengikuti pola kurva U. Aspek negatif (seperti sarkasme, kemarahan, dan ketidak setujuan terhadap masalah-masalah penting) berkurang dari dewasa muda hingga usia 69 tahunan dan mungkin karena banyak konflik pernikahan berakhir begitu saja (Papalia, dkk, 2009). Kepuasan pernikahan yang dirasakan suami istri terkait dengan terpenuhinya kebutuhan dan kemampuan untuk mengatasi rintangan (Walgito, 2002). Namun apabila suami istri menyadari bahwa pernikahannya tidak membawa banyak harapan sedangkan tuntutan suami istri lebih banyak dari yang dihasilkan maka biasanya suami istri saling menyalahkan dan kecendrungan munculnya konflik akan semakin besar yang akan menghadirkan ketidakpuasan dalam pernikahan ( Duval, 1985). Suardiman (1999) menyatakan bentuk ketidak puasan dalam pernikahan antara lain adalah tidak adanya keintiman, kurangnya perhatian antara suami istri dan tidak adanya komunikasi yang mendalam. Menurut Peck (dalam Sari C.E, 2004) semakin tinggi kepuasan pernikahan yang dirasakan suami maupun istri maka akan semakin rendah perilaku agresivitas yang dilakukan oleh suami maupun istri. Begitu pula sebaliknya semakin rendah kepuasan pernikahan yang dirasakan pasangan suami istri maka akan semakin tinggi perilaku agresivitas yang dilakukan oleh suami maupun istri. Namun jika salah satu pasangan atau kedua pasangan merasa tidak puas dengan perkawinannya maka perilaku agresivitas akan semakin tinggi.

4 Hurlock (1980) berpendapat bahwa perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Menurut Verof (Nurpratiwi, A, 2010) mengatakan bahwa peningkatan ketidakpuasan dalam pernikahan pada pasangan berdampak pada perceraian. Jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 324.247, pada tahun 2014 meningkat menjadi 344.237 kasus dan pada tahun 2015 meningkat lagi menjadi 347.256 kasus (www.bps.go.id, 2016). Peningkatan angka perceraian di Indonesia meskipun tidak signifikan tapi menunjukkan jumlah yang besar, sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2013 angka perceraian sebanyak 1575 kasus, angka tersebut menurun pada tahun 2014 menjadi 954 dan meningkat lagi pada tahun 2015 sebanyak 1201 kasus (Badan Pusat Statistik Provinsi D.I. Yogyakarta, 2016). Kepuasan dalam pernikahan sangat penting untuk menciptakan kebahagiaan secara menyeluruh dalam kehidupan rumah tangga. Menurut Eddington dan Shuman (2005) kepuasan pernikahan merupakan salah satu landasan bagi terciptanya kepuasan dalam diri individu sekaligus menghambat munculnya perasaan negatif seperti ketakutan akan masa depan, kecemasan, rasa gelisah dan putus asa. Pentingnya kepuasan dalam pernikahan juga dipertegas oleh Lavenson dkk (dalam Lavenson,dkk, 1994) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepuasan pernikahan bisa mempengaruhi kesehatan mental

5 dan fisik, dengan kata lain bahwa pasangan yang merasa puas dengan pernikahannya akan memiliki tingkat kesehatan mental dan fisik yang lebih baik dibandingkan dengan pasangan yang merasa tidak puas dengan pernikahannya. Ketidakpuasan dalam pernikahan akan memicu terjadinya perceraian dan perceraian sendiri akan memicu terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh anak. Menurut Pribudiarta, anak-anak korban perceraian akan mengalami dampak psikologis seperti trauma atau kondisi mental yang tidak stabil. Selain itu, mereka juga rawan menerima bentuk-bentuk kekerasan akibat ego dari orangtua yang sudah bercerai (www.republika.com, 2016). Berdasarkan data yang dilansir oleh KPAI, sepanjang periode 2011-2016, tercatat 4.294 pengaduan kasus anak korban pengasuhan keluarga dan pengasuhan alternatif. Jika dilihat dari keseluruhan kategori pengaduan, jumlah ini menduduki peringkat kedua setelah kategori laporan kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) yang mencapai 7.698 kasus (www.republika.com, 2016). Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan. Spainer dan Lewis (dalam Lai, 2011) menyebutkan dua faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang menyebabkan kepuasan pernikahan meliputi: pemahaman terhadap pola asuh, penerimaan dan penyesuaian, karakteristik kepribadian, interaksi positif, komunikasi, kesesuaian peran, kebijaksanaan, kerja sama yang baik dan tekad yang sama dalam pernikahan. Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kepuasan pernikahan

6 meliputi : adanya kesamaan antara suami dan istri, bekal sebelum menikah serta kemampuan sosial ekonomi yang memadai. Dalam penelitian ini peneliti akan memfokuskan pada faktor internal yaitu karakteristik kepribadian sebagai variabel yang mempengaruhi kepuasan pernikahan karena karakteristik kperibadian mempengaruhi cara pasangan dalam berinteraksi, menerima satu sama lain, menilai, serta memberi penjelasan tentang peristiwa-peritiwa yang terjadi dalam pernikahan (Bradburry & Fincham, dalam Barelds, 2005). Trait kepribadian seseorang akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungan mereka dengan pasangannya di sepanjang hidup mereka. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa kepribadian seseorang akan mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya dan bukan sebaliknya (Brehm, 2002). Aspek kepribadian ini sangat penting agar masing-masing pasangan mampu saling memahami satu sama lain. Jenis kepribadian merupakan faktor utama dalam perkawinan, karena jenis kepribadian akan mempengaruhi bagaimana cara bersikap, berperilaku dan berkomunikasi yang bisa diterima oleh pasangan maupun keluarga pasangannya sehingga masing-masing pasangan bisa sama-sama merasakan kepuasan dalam perkawinannya. Jenis kepribadian juga dapat menentukan sikap atau proses dalam mengelola konflik. Ketika pasangan mampu mengelola konflik dengan baik maka mereka dapat memperkuat ikatan hubungannya dan meningkatkan solidaritas antar pasangan yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dalam perkawinannya.

7 Menurut Burger (dalam Syaifa dan Supriyadi, 2013) kepribadian adalah pola perilaku yang konsisten dan proses interpersonal yang terjadi dalam diri individu. Menurut Feist dan Feist (dalam Syaifa dan Supriyafi, 2013) kepribadian didefinisikan sebagai pola watak yang relatif permanen dan karakter yang unik dimana keduanya memiliki konsistensi dan keunikan pada perilaku individu. Kepribadian menurut Allport (dalam Suryabarata, 2006) adalah organisasi dinamis individu sebagai sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Huston dan Houts (Donellan, dkk, 2014) menyatakan bahwa kepribadian berkontribusi terhadap infrastruktur psikologis dalam mempertahankan hubungan dan juga sebagai prediktor kunci keberhasilan maupun disfungsi suatu hubungan terutama dalam kaitannya dengan hubungan pernikahan. Menurut Brehm kepribadian dapat mempengaruhi hubungan seseorang dengan pasangannya, karena setiap jenis kepribadian akan menunjukkan dan mempengaruhi mood serta emosi yang ditunjukkan pada pasangannya. Individu dengan mood yang baik tentu bisa berinteraksi dengan baik dengan pasangannya dan akan berpengaruh pada kepuasan pernikahan mereka. Sebaliknya, individu dengan mood yang negatif akan menimbulkan interaksi yang negatif dengan pasangannya yang juga sangat berpengaruh pada kepuasan pernikahan (dalam Indriani, Rian, 2014). Trait kepribadian biasanya diukur dengan menggunakan lima dimensi atau yang sering disebut dengan Big Five Personality (Baumeister, 2007). Big five personality merupakan trait kepribadian dimana setiap individu tidak dapat

8 dikategorikan hanya memiliki satu jenis trait kepribadian saja, namun setiap individu memiliki kelima trait kepribadian tersebut, hanya saja ada satu trait kepribadian yang lebih dominan. Trait kepribadian menurut McCrae (2008) adalah neuriticism, extraversion, opennesss to experience, agreeableness dan conscientiousness. Neurocitisme merupakan kecenderungan dari kumpulan pengalaman yang berisi emosi negatif seperti cemas, marah, sedih, kecil hati dan kondisi yang memalukan (Costa & McCrae dalam Maria, dkk 2014). Pasangan yang memiliki skor tinggi pada neurocitism cenderung mengalami ketidakpuasan dalam perkawinannya, sedangkan pasangan dengan skor rendah pada neuroticism akan lebih gembira dan puas dengan kehidupan pernikahannya karena suami atau istri yang memiliki skor tinggi pada neuroticism memiliki kecenderungan mudah cemas, marah, depresi, dan emotionally reactive yang memungkinkan seringnya timbul konflik dengan pasangan (Maria, 2014). Trait extraversion menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, dkk, 2014) merupakan faktor yang mencakup kualitas suka bergaul, berhubungan dengan orang lain, mau berusaha dan banyak bicara. Pasangan yang memiliki skor tinggi pada extraversion akan mudah beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, mudah berteman dengan keluarga pasangannya yang bisa meningkatkan kebahagiaan dalam pernikahannya. Bowen, dkk (dalam Minnote,dkk, 2008) menyatakan bahwa hubungan dengan masyarakat dan tetangga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan karena dapat membantu pasangan dalam

9 beradaptasi dengan tuntutan dan menghadapi tekanan hidup seperti membantu saat ada salah satu anggota keluarga yang sedang sakit atau meninggal. Menurut Costa dan McCrae (dalam Maria, 2014) bahwa trait oppenes meliputi daya imajinasi, mau menerima ide-ide baru, dan terbuka terhadap berbagai hal hal baru. Pasangan dengan skor tinggi pada oppeness akan mudah berkomunikasi dengan pasangannya maupun keluarga pasangannya. Komunikasi interaktif yang positif pada pasangan akan meningkatkan kepuasan pada pernikahannya sesuai dengan pernyataan Donan dan Jhonson (dalam Stanley,dkk, 2002) yang menjelaskan bahwa pasangan yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan komunikasi yang baik akan menciptakan suatu keadaan yang lebih terbuka dan dapat menerima kekurangan dari pasangannya yang akan meningkatkan kepuasan dalam pernikahan. McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa agreeableness mengindikasikan seseorang yang ramah, rendah hati, tidak menuntut, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain. Pasangan dengan skor tinggi pada agreeableness memiliki kemampuan yang baik dalam menghadapi konflik dalam pernikahan sehingga frekuensi atau intensitas interaksi negatif pun rendah (Donnellan, dkk, 2004). McCrae & Costa (dalam Beaumont & Stout, 2003) berpendapat bahwa Conscientiousness mendeskripsikan individu yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, dan memprioritaskan tugas. Pasangan dengan trait conscientiousness lebih berfokus pada keteraturan dan pencapaian diri,

10 sedangkan kepuasan pernikahan tidak dapat diukur dengan keteraturan sehingga seseorang yang teratur dalam bertindak dapat bahagia maupun tidak bahagia dengan pernikahannya (Erbie, 2014). Dari uraian permasalahan diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut Adakah hubungan antara dimensi kepribadian big five dengan kepuasan pernikahan pada masa awal pernikahan?. B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara tipe kepribadian big five dengan kepuasan pernikahan.penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritik maupum praktis sebagai berikut : Manfaat Teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunam ilmu pengetahuan terutama dalam bidang psikologi sosial tentang hubungan tipe keprinadian big five dengan kepuasan pernikahan. Manfaat Praktis: Penelitian ini bisa memberikan gambaran bagaimana kepribadian mempengaruhi kepuasan perkawinan dan bisa digunakan sebagai acuan bagi pasangan suami istri dalam memahami karakter atau kepribadian pasangannya masing-masing sehingga pasangan suami istri bisa mencapai kepuasan dalam pernikahannya.