BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

Sri Mulyani Hardiyanto Wibowo Universitas Muhammadiyah Purwokerto ABSTRACT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Melalui Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang telah

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi landasan utama dalam melaksanakan otonomi daerah pada

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I. Kebijakan tentang otonomi daerah di Indonesia, yang dikukuhkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah,

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 terjadi perubahan di

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. provinsi terbagi atas daerah-daerah dengan kabupaten/kota yang masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. antarsusunan pemerintahan. Otonomi daerah pada hakekatnya adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perekonomian dan menuntut pemerintah agar mampu melaksanakan reformasi di segala bidang. Hal ini mendorong pendelegasian sebagai wewenang pemerintah pusat untuk pengelolaan keuangan kepada daerah, agar daerah mampu membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri. Selain hal tersebut, pemerintah daerah ingin memberikan pelayanan yang lebih berorientasi pada kepuasan masyarakat serta kebutuhan dan keinginan rakyat mengenai kinerja pemerintah daerah semakin besar dan kritis. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah seperti tertuang dalam UU No.32/2004 pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Untuk menyelenggarakan wewenangnya, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk menggali sumber penerimaan berupa pendapatan sendiri yang berasal dari potensi yang ada di daerah. Belanja modal adalah belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan manambah aset atau kekayaan 1

daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang sifatnya rutin seperti biaya pemeliharaan kepada kelompok belanja administrasi umum (Halim, 2004). Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk menambah aset tetap. Dalam penyusunan APBD, belanja modal harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah dengan mempertimbangkan pendapatan asli daerah yang diterima, sehingga apabila pemerintah daerah ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, maka pemerintah daerah harus menggali PAD yang sebenarbenarnya (Ardhani, 2011). Sehingga peningkatan pendapatan asli daerah akan mempengaruhi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran belanja modal. UU Nomor 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa yang menjadi sumber-sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) antara lain berasal dari PAD dan dana perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain itu juga terdapat sumber lain yang menjadi pembiayaan berupa pinjaman daerah. DAU merupakan salah satu dana perimbangan dari pemerintah yang pengalokasiannya menekankan aspek pemertaan dan keadilan yang selaras dengan penyelengaraan urusan pemerintahan. DAK yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah 2

tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana perimbangan dan memenuhi belanja daerah (Wandira, 2013). Pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan PAD hendaknya didukung upaya pemerintah daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002). Daerah dengan PAD rendah kemungkinan dikarenakan kurangnya penggalian sumber-sumber penerimaan baru, seharusnya setiap daerah meningkatkan PAD melalui upaya yaitu dengan meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat, upaya ini harus diarahkan dengan mempertahankan dan menggali potensi daerah agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan indikator keuangan. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut (Nugroho, 2012). Menurut Halim (2008) dalam Nugroho (2012) analisis keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan berdasarkan laporan keuangan yang tersedia. Dalam organisasi pemerintah untuk mengukur kinerja keuangan ada beberapa ukuran kineja, yaitu derajat desentralisasi, ketergantungan 3

keuangan, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio kesersian dan pertubuhan (Sularso &Resianto, 2011) dalam Nugroho (2012). Dari penjelasan kinerja keuangan tersebut dapat juga ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan kinerja keuangan adalah kemampuan suatu perusahaan dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari suatu periode ke periode berikutnya. Perlambatan terutama berasal dari belanja dalam bentuk bagi hasil kepada kabupaten/kota yang pada triwulan ini baru terealisasi 3,16%, lebih rendah dibandingkan realisasi triwulan I 2015 yang sebesar 6,01%. Lebih jauh, belanja bagi hasil ini mengalami penurunan 40,15% setelah tumbuh 6,22% ada triwulan sebelumnya. Rendahnya realisasi ini dikarenakan pendapatan daerah untuk disalurkan ke kabupaten/kota masih dalam level terbatas. Realisasi pendapatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 4

triwulan laporan tercatat 18,54%, lebih rendah dari realisasi pada triwulan I 2015 yang sebesar 20,83%. Laporan keuangan pemerintah disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dengan sistem pengendalian penggunaan anggaran berbasis kinerja. Tanggungjawab penyusunan dari laporan keuangan tersebut, harus ditegaskan secara eksplisit dengan membuat surat pernyataaan bahwa laporan keuangan disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan sesuai dengan SAP yang memadai. Dalam pelaksanaannya, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) berdasarkan konsolidasi laporan keuangan yang disusun oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Pemerintah daerah ataupun provinsi, kabupaten dan kota mempunyai wewenang penuh untuk meningkatkan dan memajukan wilayahnya berdasarkan pendanaan dan penghasilan dari pendapatan daerah dalam meningkatkan APBD, apabila pemerintah daerah masih ketergantungan terhadap pemerintah pusat dengan mengharapkan dana perimbangan dari pemerintah pusat, maka hal ini dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap penyelenggaraan pemerintah sehingga pelayanan tidak dapat berjalan dengan maksimal karena belanja aparaturnya belum dapat dibiayai oleh diri sendiri. Menilai kinerja pemerintah daerah melalui beberapa aspek rasio keuangan yang diperoleh dari presentase serapan penggunaan anggaran, 5

termasuk peningkatan jumlah pengangguran anggaran masing-masing daerah. Sesuai dengan kebutuhan daerah, maka dengan meningkatnya tuntutan kebutuhan dana sebagai konsekuensi penyerahan wewenang pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemeritah Daerah, melalui otonomi daerah, menuntut berbagai upaya penyesuaian manajemen keuangan daerah termasuk arah pengelolaan pendapatan dan belanja daerah untuk mengelola keuangan daerah. Kemakmuran suatu negara atau daerah ditentukan dengan besarnya nilai tambah yang tercipta berupa pendapatan yang diperoleh dari daerah tersebut. Pertumbuhan nilai tambah yang positif mendorong adanya investasi sehingga secara bersamaan investasi tersebut akan mendorong adanya perbaikan infrastruktur daerah, infrastruktur daerah yang baik serta investasi yang tinggi di suatu daerah akan meningkatkan PAD dan intergovernmental revenue juga menambah belanja modal pemerintah daerah tersebut. Dalam penelitian ini laporan keuangan yang digunakan adalah laporan realisasi APBD Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2012-2015. Komponen-komponen yang terdapat dalam laporan tersebut dapat dijadikan sebagai variabel untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Laporan realisasi APBD tediri dari pendapatan dan belanja daerah. Pendapatan itu sendiri terdiri dari PAD, dana perimbangan dan dana lainya. Sedangkan belanja daerah terdiri dari belanja operasi, belanja modal, belanja tak 6

terduga dan transfer atau bagi hasil. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah belanja modal, ukuran pemerintah daerah, intergovernmental revenue dan pendapatan asli daerah. Beberapa penelitian yang terkait dengan pengaruh terhadap kinerja keuangan telah dilakukan, namun hasilnya masih belum konsisten. Diantaranya adalah hasil penelitian simanullang (2013) dalam penelitianya menguji pengaruh belanja modal, intergovernmental revenue dan pendapatan asli daerah terhadap kinerja keuangan daerah kota dan kabupaten di provinsi kepualain riau tahun 2008-2012. Hasil penelitianya menunjukan bahwa belanja modal tidak berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja satuan kerja perangkat daerah di Provinsi Kepulauan Riau, intergovernmental revenue dan PAD berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja satuan kerja perangkat daerah di Provinsi Kepulauan Riau sedangkan secara bersamaan berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah kota dan kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau. Sesotyaningtyas (2012), menguji pengaruh leverage, ukuran legislatif, intergovernmental revenue dan pendapatan pajak daerah terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di pulau Jawa, dalam penelitianya menyebutkan bahwa leverage, ukuran legislatif, intergovernmental revenue dan pendapatan pajak daerah secara simultan memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan rasio efisiensi. Sedangkan secara persial variabel leverage, ukuran legislatif, intergovernmental revenue berpengaruh positif terhadap 7

kinerja keuangan pemerintah daerah dan variabel pendapatan pajak daerah berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah berdasarkan rasio efisiensi kinerja. Penelitian selanjutnya oleh puspa (2016) mengenai pengaruh ukuran pemerintah daerah, PAD, leverage, dana perimbangan dan ukuran legislatif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Pulau Sumatera. Hasilnya menunjukan bahwa ukuran pemerintah daerah, PAD dan dana perimbangan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah, sedangkan leverage dan ukuran legislatif tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Febria (2014), menguji pengaruh belanja modal, intergovernmental revenue dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap kinerja keuangan daerah kabupaten/kota di Sumatera barat. Hasil penelitian menunjukan belanja modal, intergovernmental revenue tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan, sedangkan PAD berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan. Hasil ini berbeda dengan riesty (2016), menguji pengaruh ukuran pemerintah daerah, kemakmuran, intergovernmental revenue, temuan opini audit BPK pada kinerja keuangan di kabupaten/ kota se-bali. Hasilnya adalah ukuran pemerintah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan sedangkan kemakmuran, intergovernmental revenue dan temuan opini audit BPK tidak berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan. 8

Adanya inkonsistensi hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan kinerja keuangan, penelitian ini penting untuk dilakukan kembali terkait pengaruh belanja modal, ukuran pemerintah daerah, intergovernmental revenue dan PAD terhadap kinerja keuangan daerah khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini mereplikasi penelitian simanullang (2013) yang meneliti pengaruh belanja modal, intergovernmental revenue dan pendapatan asli daerah terhadap kinerja keuangan daerah dengan objek penelitian kota dan kabupaten di provinsi kepulauan riau tahun 2008-2012. Untuk membedakan dengan penelitian sebelumnya peneliti menambah variabel ukuran pemerintah daerah dan objek penelitian yaitu kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012-2015. Alasan peneliti menambah variabel ukuran pemerintah daerah karena diduga akan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan karena karakteristik setiap provinsi berbeda-beda, dan alasan memilih Provinsi Jawa Tengah yaitu berdasarkan grafik, presentase realisasi pendapatan masih belum stabil itu dibuktikan masih naik turunnya presentase dari tahun ke tahun begitupun dengan belanja pemerintah, serta alasan memilih tahun penlitian 2012-2015 untuk mengetahui perkembangan dari kinerja keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota di Peovinsi Jawa Tengah. Penelitian ini penting dilakukan untuk memberikan informasi kinerja keuangan daerah selain itu, juga dapat dijadikan bahan evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah Jawa Tengah pada setiap periode 9

untuk tujuan perbaikan kinerja dimasa mendatang dan bermanfaat menambah pengetahuan mengenai organisasi pada sektor publik dan akuntansi pemerintahan. Berdasarkan uaraian diatas peneliti akan melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Belanja Modal, Ukuran Pemerintah Daerah, Intergovernmental Revenue, Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. B. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang akan diteliti selanjutnya dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah belanja modal berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan? 2. Apakah ukuran pemerintah daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan? 3. Apakah Intergovernmental revenue berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan? 4. Apakah pendapatan asli daerah berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja keuangan? 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sesuai latar belakang dan rumusan masalah yang telah disusun, maka tujuan dari penelitian ini adalah : a. Menguji dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh negatif belanja modal terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. b. Menguji dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh negatif ukuran pemerintah daerah terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. c. Menguji dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh negatif Intergovernmental revenue terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. d. Menguji dan memberikan bukti empiris tentang pengaruh negatif pendapatan asli daerah terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. 11

2. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak antara lain : a. Bagi Peneliti Memperoleh tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan pemerintah daerah. b. Bagi Pemerintah Daerah Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi berupa masukan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan keuangan pemerintah daerah masa yang akan datang yang berkaitan dengan kinerja keuangan pemerintah daerah. c. Bagi Masyarakat Umum Penelitian ini dapat memberikan informasi yang akan digunakan sebagai penilaian terhadap pelaksanaan kinerja pemerintah daerah. d. Bagi Akademisi Penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur dalam melaksanakan penelitian berikutnya dan dapat melengkapi penelitian-penelitian yang sebelumnya. 12