LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2016

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2015

PROFIL BADAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2016

RINGKASAN EKSEKUTIF. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2012

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2010

DUKUNGAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017 TERHADAP INDIKATOR KINERJA KEMENTERIAN PERTANIAN

Sekretaris Badan Ketahanan Pangan

LAPORAN KINERJA (LKJ) BADAN KETAHANAN PANGAN DAERAH TAHUN ANGGARAN 2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2018 NOMOR : SP DIPA /2018

B ADAN K E T AHANAN PANG AN J l. Ha rs ono rm no 3 ra guna n ja ka rta s ela ta n

DUKUNGAN KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017 TERHADAP INDIKATOR KINERJA KEMENTERIAN PERTANIAN

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

FOKUS PROGRAM DAN KEGIATAN KETAHANAN PANGAN TA.2015

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN KALIMANTAN SELATAN TAHUN 2015

BAB II PERENCANAAN KINERJA

PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN BERDASARKAN KEMANDIRIAN DAN KEDAULATAN PANGAN

Ketahanan Pangan dan Pertanian. disampaikan pada : Workshop Hari Gizi Nasional (HGN) ke-55

LAPORAN TAHUNAN Badan Ketahanan Pangan 2016

BAB I PENDAHULUAN. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun A. Latar Belakang

Revisi ke 01 Tanggal : 13 Maret 2018

PEMANTAUAN DAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA KEGIATAN PENGEMBANGAN PERAMALAN SERANGAN ORGANISME PENGGANGGUN TUMBUHAN TRIWULAN II 2016

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN. Pertanian. Konsumsi Pangan. Sumber Daya Lokal.

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

Pasal 3 (1) Susunan Organisasi Dinas Pangan dan Perkebunan terdiri dari : a. Kepala; b. Sekretariat, terdiri dari : 1. Sub Bagian Perencanaan; 2.

Revisi ke 01 Tanggal : 16 Januari 2017

LAPORAN KINERJA TAHUN 2017

Oleh : Sekretaris Badan Ketahanan Pangan

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Strategis Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Lumajang 1

Kata Pengantar. Padang, Januari 2016 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI SUMATERA BARAT,

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 85 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2012

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

Bab 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Badan Ketahanan Pangan Prov Kalimantan Selatan

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 101 TAHUN 2016 T E N T A N G

PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

SINKRONISASI OPERASIONAL KEGIATAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA. 2017

Lingkup program/kegiatan KKP untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga berbasis sumberdaya lokal

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

LAPORAN. (LKj-IP) KINERJA INSTANSI PEMERINTAH TAHUN ANGGARAN 2016

PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 59 TAHUN 2016 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI DINAS KETAHANAN PANGAN KABUPATEN MUSI RAWAS

LAPORAN KINERJA (LKJ)

I. PENDAHULUAN. pangan dan rempah yang beraneka ragam. Berbagai jenis tanaman pangan yaitu

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

SAMBUTAN DAN ARAHAN KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN pada RAPAT TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH TA.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Plan), Rencana Kinerja (Performace Plan) serta Laporan Pertanggungjawaban

KATA PENGANTAR. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2011

BUPATI WAY KANAN PROVINSI LAMPUNG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 71 TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Maksud dan Tujuan C. Gambaran Umum 1. Organisasi Perangkat Daerah

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 16 TAHUN 2011

RENCANA KINERJA TAHUNAN BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

I. LATAR BELAKANG POKOK BAHASAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI KETAHANAN PANGAN NASIONAL Posisi Pangan dalam Pembangunan Nasional

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN PETIKAN TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

BUPATI PULANG PISAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI PULANG PISAU NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 60 TAHUN 2010 TENTANG PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBERDAYA LOKAL GUBERNUR JAWA BARAT,

BAB II RENCANA STRATEGIS DAN PENETAPAN KINERJA Perencanaan Strategis Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKPPP)

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Rencana Kerja Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan BAB I PENDAHULUAN

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2013

BAB II GAMBARAN PELAYANAN DINAS KETAHANAN PANGAN

DAFTAR ISI Halaman BAB IV. PENUTUP... 24

KATA PENGANTAR. Padang, Desember 2016 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI SUMATERA BARAT

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

BKP LAHAT RENCANA STRATEGIS (RENSTRA)

LAPORAN EVALUASI RENJA BADAN KETAHANAN PANGAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG TA. 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

RENCANA KINERJA TAHUNAN SEKRETARIAT BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2013

KATA PENGANTAR. Ungaran, Desember 2014 KEPALA BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TENGAH. Ir. Gayatri Indah Cahyani, M.Si NIP

(%) 1% 1,73% Data capaian penduduk rawan pangan tergambar pada akhir tahun dan capaian tersebut tergantung pada instansi lain

KATA PENGANTAR. Semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua. Samarinda, April 2016 Kepala, Ir. Fuad Asaddin, M.Si. Nip

PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI SUKAMARA PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN BERBASIS SUMBER DAYA LOKAL

PROGRAM PRIORITAS PENGEMBANGAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2018

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN DINAS KETAHANAN PANGAN DAERAH

DAFTAR ISI Halaman BAB IV. PENUTUP...28

LAPORAN TAHUNAN. Badan Ketahanan Pangan Tahun Kementerian Pertanian

RENCANA KINERJA TAHUN 2015

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pencapaian indikator kinerja antara lain:

INDIKATOR KINERJA UTAMA TAHUN

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF

PENGUATAN KOORDINASI DINAS/INSTANSI DALAM PEMANTAPAN KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG

KATA PENGANTAR. Muara Beliti, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Musi Rawas,

DAYA DUKUNG PERTANIAN LAHAN KERING TERHADAP KETERSEDIAAN PANGAN DI PROVINSI NTT

PEMERINTAH KOTA BINJAI TAHUN

Transkripsi:

LAPORAN KINERJA BADAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2017 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2018

i

RINGKASAN EKSEKUTIF Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 disusun sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan dan kinerja yang dicapai oleh Badan Ketahanan Pangan selama tahun 2017. Dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian melaksanakan tugas pengkajian, pengembangan, dan koordinasi di bidang ketahanan pangan, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan (DKP), BKP juga ditetapkan secara ex-officio sebagai Sekretariat DKP yang diketuai oleh Presiden dengan Menteri Pertanian sebagai Ketua Harian. DKP diarahkan untuk memperkuat koordinasi peningkatan ketahanan pangan antar sektor, antar wilayah, dan antar waktu. Berdasarkan Rencana Strategis Badan Ketahanan Pangan 2015-2019, Visi Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian adalah: Terwujudnya ketahanan pangan melalui penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal berlandaskan kedaulatan pangan dan kemandirian pangan. Untuk mencapai visi tersebut, maka disusun misi Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian yaitu: (1) Meningkatkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal; (2) Memantapkan penanganan kerawanan pangan; (3) Meningkatkan keterjangkauan pangan masyarakat untuk pangan pokok (4) Mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan masyarakat berbasis sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; dan (5) Mewujudkan keamanan pangan segar. Badan Ketahanan Pangan telah menyusun Penetapan Kinerja (PK) Tahun 2017 sebagai acuan tolok ukur evaluasi akuntabilitas kinerja yang akan dicapai pada tahun 2017 sebagai berikut : (1) Skor PPH Ketersediaan sebesar 92,04; (2) Penurunan jumlah penduduk rawan pangan sebesar 1 persen; (3) Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen lebih besar atau sama dengan HPP; (4) Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen untuk komoditas beras adalah kurang dari 10%, cabai merah adalah kurang dari 27%, dan bawang merah adalah kurang dari atau sama dengan 17%; (5) Konsumsi Energi sebesar 2.077 Kkal/kap/hr; (6) Konsumsi Pangan Hewani sebesar 208 Kkal/kap/hr (7) Skor PPH Konsumsi sebesar 88,4; (8) Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras sebesar 5,87%; (9) Peningkatan produksi pangan segar yang tersertifikasi sebesar 10%; dan (10) Tingkat keamanan pangan segar yang diuji lebih besar atau sama dengan 80%. Pengukuran tingkat capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 dilakukan dengan cara membandingkan antara target indikator kinerja sasaran dengan realisasinya, serta dibandingkan capaian beberapa tahun sebelumnya. Berdasarkan Perjanjian Kinerja Tahun 2017, capaian kinerja BKP tahun 2017 dari 10 indikator adalah: 8 indikator memperoleh capaian di atas 100% (Sangat Berhasil) dan 2 indikator ii

lainnya dengan capaian 80-100% (Berhasil). Capaian dari indikator koefisien variasi harga beras jauh di bawah ambang yang ditetapkan yang mengindikasikan bahwa harga beras selama tahun 2017 berada dalam kondisi yang stabil. Demikian juga, koefisien variasi harga bawang merah dan cabai merah masih berada di bawah ambang yang ditetapkan, sehingga harga kedua komoditas tersebut juga relatif stabil sepanjang tahun 2017. Perwujudan diversifikasi pangan terkait sangat erat dengan perilaku masyarakat. Berbagai hambatan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan diversifikasi pangan pada tahun 2017 adalah: (1) Daya beli masyarakat yang rendah; (2) Konsumsi beras per kapita cenderung turun, tetapi konsumsi gandum (terigu) cenderung meningkat; (3) Teknologi pengolahan pangan lokal belum banyak berkembang; (4) Kampanye dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan masih kurang; (5) Beras sebagai komoditas superior ketersediaannya masih terjamin dengan harga yang murah; (6) Kualitas konsumsi pangan masih rendah, kurang beragam dan masih didominasi pangan sumber karbohidrat; (7) Adanya semboyan yang salah di tengah masyarakat, yaitu belum makan kalau belum makan nasi ; (8) Pemanfaatan dan produksi sumber-sumber pangan lokal seperti aneka umbi, jagung, dan sagu masih rendah; dan (9) Bencana alam dan perubahan iklim yang sangat ekstrim. Berbagai inovasi dan perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan dan tantangan dalam upaya peningkatan kinerja Badan Ketahanan Pangan ke depan antara lain: (1) Meningkatkan dukungan dan komitmen dari seluruh pemangku kepentingan dalam upaya perwujudan ketahanan pangan; (2) Meningkatkan peranan eksekutif dan legislatif dalam penentuan kebijakan ketahanan pangan wilayah, serta peningkatan pemahaman daerah dalam pembangunan ketahanan pangan; (3) Meningkatkan kemampuan dan kualitas SDM aparatur, khususnya dalam pengembangan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan; (4) Mensinkronkan kebijakan pembangunan ketahanan pangan pusat dan daerah melalui berbagai upaya pemberdayaan masyarakat; (5) Mengembangkan sistem kordinasi dan pembinaan dalam pemupukan cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan masyarakat yang bersifat pokok sesuai pola pangan setempat, guna mengantisipasi terjadinya kasus rawan pangan kronis dan transien, serta mendukung stabilisasi harga pangan pokok; dan (6) Meningkatkan sosialisasi, advokasi, dan pembinaan bagi daerah dalam mengimplementasikan berbagai peraturan dan pedoman ketahanan pangan. Pencapaian target capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan memerlukan dukungan dari berbagai sektor dan instansi terkait. Dukungan tersebut antara lain adalah : (1) Peningkatan produksi tanaman khusus tanaman pangan selain padi; (2) Peningkatan produksi komoditas hortikultura dan bimbingan teknis budi daya untuk kelompok wanita dalam pemanfaatan pekarangan; (3) Pengembangan produk olahan sebagai bahan pangan pengganti beras dan terigu; (4) Pelatihan bagi aparat, kelompok melalui penyuluh pertanian, serta penyuluhan di pedesaan; (5) Teknologi tepat guna untuk iii

optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan pengolahan pangan lokal berbasis tepungtepungan; dan (6) Penyediaan benih unggul dan bersertifikat untuk komoditas tanaman pangan dan hortikultura. Jakarta, Februari 2018 iv

DAFTAR ISI Kata Pengantar... Ringkasan Eksekutif... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... i ii v vi viii ix BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi... 4 BAB II PERENCANAAN KINERJA... 6 A. Rencana Strategis... 6 B. Perjanjian Kinerja... 12 BAB III AKUNTABILITAS KINERJA... 16 A. Capaian Kinerja Organisasi... 16 B. Realisasi Anggaran... 67 BAB IV PENUTUP... 71 A. Simpulan Umum... 71 B. Permasalahan dan UpayaTindak Lanjut... 72 v

DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019. Target Indikator Kinerja Program (IKP) Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019..... Tabel 3 Pendanaan APBN Kegiatan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 11 Tabel 4 Perjanjian Kinerja Tahun 2017 Badan Ketahanan Pangan Awal 13 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Perjanjian Kinerja Badan Ketahanan PanganTahun 2017 Revisi Terakhir Keselarasan Indikator Kinerja Renstra dengan Penetapan Kinerja Penjelasan Hasil Penghitungan Keberhasilan Pencapaian Kinerja Badan Ketahanan Pangan Pencapaian Sasaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017... Metode Penghitungan Skor PPH Ketersediaan... Perkembangan Ketersediaan Energi dan Protein serta Skor PPH Ketersediaan Tahun 2013-2017... 23 Tabel 11 Perkembangan Skor PPH Tahun 2013-2017.. 24 Tabel 12 Tabel 13 Perkembangan Dana Bansos dan Realisasi Kawasan Mandiri Pangan Tahun 2013-2017... 28 Harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) di Tingkat Produsen Tahun 2014 2017. 33 Tabel 14 Perkembangan Harga GKP dan GKG per Provinsi Tahun 2017 34 Tabel 15 Perkembangan Harga Beras Medium Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017 36 Tabel 16 Perkembangan Harga Bawang Merah Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017. 38 Tabel 17 Perkembangan Harga Bawang Merah per Bulan Tahun 2017.. 39 Tabel 18 Perkembangan Harga Cabai Merah Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017. 41 Tabel 19 Perkembangan LDPM Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian Tahun 2013-2017 43 Tabel 20 Kinerja Distribusi Gapoktan P-LDPM Tahun 2017 45 Tabel 21 Progres Kegiatan PUPM dan TTI Tahun 2015-2017 51 Tabel 22 Perkembangan Konsumsi Energi Tahun 2013-2017... 55 6 8 14 15 16 19 21 vi

Tabel 23 Tabel 24 Tabel 25 Tabel 26 Tabel 27 Tabel 28 Tabel 29 Tabel 30 Tabel 31 Perkembangan Konsumsi Energi Penduduk Indonesia Tahun 2013-2017 Menurut Kelompok Pangan. Konsumsi Energi Kelompok Pangan Hewani Tahun 2017 Perkembangan Skor PPH 2013-2017 Perkembangan Rasio Konsumsi Pangan Lokal Beras Terhadap Beras Tahun 2013-2017.. Sasaran Kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari Tahun 2014-2017 Peningkatan Produk Pangan Segar Yang Tersertifikasi Tahun 2015-2017 Perkembangan Pengawasan Pangan Segar Alokasi Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2013-2017.. Pagu dan Realisasi Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 per Kegiatan 56 57 58 61 62 64 66 67 68 vii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Perkembangan Angka Rawan Pangan Tahun 2013-2017... 27 Gambar 2 Perubahan Kondisi Kecukupan Pangan... 30 Gambar 3 Gambar 4 Tingkat Pendapatan Penerima dan Bukan Penerima Manfaat SOLID...... 31 Perkembangan LDPM Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian Tahun 2013-2017... 44 Gambar 5 Perkembangan Harga Beli Komoditas... 46 Gambar 6 Perkembangan Harga Jual Komoditas... 47 Gambar 7 Perkembangan Stok Cadangan Pangan Gapoktan... 48 Gambar 8 Kriteria Penerima Kegiatan Toko Tani Indonesia... 49 Gambar 9 Kerangka Pikir Pelaksanaan Toko Tani Indonesia... 50 Gambar 10 Alasan Utama Belanja ke TTI Center... 53 Gambar 11 Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)... 63 Gambar 12 Realisasi Anggaran Terhadap Pagu Renstra dan Pagu Anggaran Tahunan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2013-2017... 68 viii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Struktur Organisasi Badan Ketahanan Pangan... 77 Lampiran 2 Target Kinerja Kegiatan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019... 78 Lampiran 3 Matriks Kinerja dan Pendanaan Badan Ketahanan Pangan... 80 Lampiran 4 Perjanjian Kinerja Tahun 2017 Awal... 86 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Perjanjian Kinerja Tahun 2017 Revisi... Sasaran Jumlah Desa dan KM Program SOLID Tahun 2011-2018... Capaian KM dan KK Program SOLID Tahun 2011-2017... 88 90 92 Lampiran 8 Perkembangan Harga GKP, GKG per Provinsi Tahun 2017... 93 Lampiran 9 Perkembangan Harga Beras Tingkat Konsumen tahun 2017... 94 Lampiran 10 Perkembangan Harga Bawang Merah di Tingkat Konsumen... 95 Lampiran 11 Lampiran 12 Perkembangan Harga Cabai Merah di Tingkat Konsumen... Dukungan Instansi Lainnya... 96 97 ix

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu program Kementerian Pertanian yang sedang digalakkan adalah mewujudkan kedaulatan pangan, melalui program utama swasembada pangan yang didukung oleh program lainnya. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan pangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembangunan bangsa karena pemenuhan pangan merupakan hak azasi setiap manusia. Ketahanan pangan juga merupakan salah satu pilar ketahanan nasional yang menunjukkan eksistensi kedaulatan suatu bangsa. Ketahanan pangan dapat terwujud melalui keterlibatan seluruh komponen bangsa, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan dirumuskan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, halal. merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sejalan dengan amanat Undang-Undang Pangan, peningkatan kedaulatan pangan ditempatkan sebagai salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan tersebut, kebijakan umum dalam RPJMN 2015-2019 diarahkan pada: (1) pemantapan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dengan peningkatan produksi pangan pokok; (2) stabilisasi harga pangan; (3) perbaikan kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat; (4) mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan; dan (5) peningkatan kesejahteraan pelaku usaha pangan. Dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, pada tahun 2015-2019 Kementerian Pertanian fokus pada peningkatan produksi pangan pokok strategis, yaitu padi, jagung, kedelai, gula (tebu) dan daging sapi-kerbau serta komoditas lainnya untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pemantapan ketahanan pangan tersebut, 1

berlandaskan kemandirian dan kedaulatan pangan yang didukung oleh subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan yang terintegrasi. Dalam rangka mencapai ketahanan pangan yang mantap dan berkesinambungan, ada 3 (tiga) komponen pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (1) Ketersediaan pangan yang cukup dan merata; (2) Keterjangkauan pangan yang efektif dan efisien; dan (3) Konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, aman dan halal. Ketiga komponen tersebut diwujudkan sampai tingkat rumah tangga, dengan : (1) Memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang beragam untuk peningkatan ketersediaan pangan dengan teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan; (2) Mendorong masyarakat untuk mau dan mampu mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman untuk kesehatan; (3) Mengembangkan perdagangan pangan regional dan antar daerah, sehingga menjamin pasokan pangan ke seluruh wilayah dan terjangkau oleh masyarakat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); (4) Memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana bagi pemenuhan konsumen yang beragam; dan (5) Memberikan jaminan bagi masyarakat miskin di perkotaan dan perdesaan dalam mengakses pangan yang bersifat pokok. Ketahanan pangan merupakan isu strategis dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesejahteraan masyarakat, karena akan menentukan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu negara. Upaya pemantapan ketahanan pangan yang dilandasi oleh kedaulatan dan kemandirian pangan masih menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan dalam berbagai aspek. Berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi antara lain: (1) Sistem pertanian pangan yang dilakukan oleh petani saat ini sebagian besar belum memberikan kesejahteraan dan keuntungan yang memadai; (2) Pendapatan masyarakat masih rendah dibandingkan harga kebutuhan pangan secara umum, sehingga daya belinya juga rendah; (3) Jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi (1.39%/tahun); (4) Konsumsi beras per kapita cenderung turun, tetapi konsumsi gandum (terigu) cenderung meningkat; (5) Belum maksimalnya teknologi pengolahan pangan lokal; (6) Kampanye dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan masih kurang; (7) Beras sebagai komoditas superior ketersediaannya masih terjamin dengan harga yang murah, 2

sementara pemanfaatan dan produksi sumber-sumber pangan lokal seperti aneka umbi, jagung, dan sagu masih rendah; (8) Kualitas konsumsi pangan masih rendah, kurang beragam dan masih didominasi pangan sumber karbohidrat, serta masih rendahnya konsumsi protein hewani, umbi-umbian, aneka kacang, serta sayur dan buah; (9) Hingga saat ini masih berkembang konsep makan belum makan kalau belum makan nasi ; (10) Bencana alam dan perubahan iklim yang sangat ekstrim, sehingga mempengaruhi produksi pangan.(11) Konversi lahan pertanian yang terus berlanjut; (12) Perluasan lahan pertanian di luar Jawa masih terkendala kualitas tanah maupun kepemilikan lahan; serta (13) Agribisnis pangan yang belum optimal sangat mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani. Situasi ekonomi dan perdagangan bebas di dunia internasional juga berpengaruh cukup kuat terhadap ketahanan pangan di dalam negeri, terutama harga dan pasokan pangan yang begitu dinamis mempengaruhi ketersediaan pangan di dalam negeri. Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebagai salah satu unit kerja Eselon I Kementerian Pertanian, berupaya mengatasi permasalahan dalam mewujudkan ketahanan pangan tersebut. Upaya tersebut dijabarkan melalui berbagai program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan. Berbagai program dan kegiatan tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan, baik di pusat maupun di daerah melalui Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) Badan Ketahanan Pangan, mulai dari perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, hingga capaian kinerja. Untuk mengetahui kinerja pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan selama tahun 2017, disusunlah Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017. Penyusunan Laporan Kinerja tersebut didasarkan pada : (1) Peraturan Presiden No 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; (2) Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999; (3) Permenpan RB Nomor 53 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja,Pelaporan Kinerja, dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah; dan (4) Permentan No 50 tahun 2016 tentang Pengelolaan Sistem Akuntabilitas Kinerja Kementerian Pertanian. 3

Laporan Kinerja tahun 2017 disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban kinerja Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian kepada Menteri Pertanian selaku pimpinan tertinggi di Kementerian Pertanian. Adapun tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk: (1) Mengetahui sejauhmana kinerja Badan Ketahanan Pangan tahun 2017; (2) Memenuhi kewajiban Badan Ketahanan Pangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya selama tahun 2017; dan (3) Sebagai salah satu bahan penyusunan laporan kinerja Kementerian Pertanian. B. Tugas, Fungsi, dan Struktur Organisasi Sesuai dengan Peraturan Presiden No 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian, Badan Ketahanan Pangan mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan diversifikasi dan pemantapan ketahanan pangan. Pelaksanaan tugas diselenggarakan secara efektif dan efisien berdasarkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Ketahanan Pangan menyelenggarakan fungsi: 1. Koordinasi, pengkajian, penyusunan kebijakan, pemantauan dan pemantapan di bidang ketersediaan pangan, penurunan kerawanan pangan, pemantapan distribusi pangan dan akses pangan, penganekaragaman konsumsi pangan, dan peningkatan keamanan pangan segar; 2. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang ketersediaan pangan, penurunan kerawanan pangan, pemantapan distribusi pangan dan akses pangan, penganekaragaman konsumsi pangan, dan peningkatan keamanan pangan segar; 3. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi di bidang ketersediaan pangan, penurunan kerawanan pangan, pemantapan distribusi pangan dan akses pangan, penganekaragaman konsumsi pangan. dan peningkatan keamanan pangan segar; 4. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang ketersediaan pangan, penurunan kerawanan pangan, pemantapan distribusi pangan dan akses pangan, penganekaragaman konsumsi pangan, dan peningkatan keamanan pangan segar; 4

5. Pelaksanaan administrasi Badan Ketahanan Pangan; dan 6. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri. Struktur organisasi Badan Ketahanan Pangan terdiri atas: 1. Sekretariat Badan; 2. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan; 3. Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan; dan 4. Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan. Bagan struktur organisasi Badan Ketahanan Pangan berdasarkan Permentan Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Mengingat luasnya substansi dan banyaknya pelaku yang berperan dalam pembangunan ketahanan pangan, maka sangat diperlukan kerjasama yang sinergis dan terarah antar institusi dan komponen masyarakat serta koordinasi program dan kegiatan berbagai subsektor dan sektor. Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dibentuk dengan tujuan untuk mewujudkan sinergitas dan harmonisasi kebijakan dan program, serta memperkuat koordinasi peningkatan ketahanan pangan antar sektor, antar wilayah, dan antar waktu. DKP mempunyai tugas merumuskan kebijakan serta melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sesuai Perpres Nomor 83 Tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan (DKP), DKP diketuai oleh Presiden RI, sedangkan Menteri Pertanian bertindak sebagai Ketua Harian, dan BKP secara ex-officio ditetapkan sebagai Sekretariat DKP. Sekretariat DKP memfasilitasi pelaksanaan tugas Menteri Pertanian dalam membantu Presiden RI untuk : (1) Merumuskan kebijakan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional; dan (2) Melaksanakan evaluasi dan pengendalian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. 5

BAB II PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Dalam penyusunan Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017, Rencana Strategis (Renstra) yang dipergunakan adalah Renstra Badan Ketahanan Pangan (BKP) Tahun 2015-2019 yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran, dan program BKP. Visi, misi, tujuan, dan sasaran BKP dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 VISI MISI TUJUAN SASARAN Terwujudnya 1. Memantapkan 1. Memperkuat 1. Meningkatnya ketahanan ketersediaan dan penyediaan pangan ketersediaan pangan pangan yang penanganan yang beragam berbasis yang beragam berlandaskan kerawanan pangan sumber daya lokal Kedaulatan dan Kemandirian Pangan 2. Menurunkan jumlah penduduk rawan 2. Menurunnya jumlah penduduk rawan pangan pangan 2. Meningkatkan 3. Memperkuat sistem 3. Stabilinya harga pangan keterjangkauan distribusi pangan pokok di tingkat produsen masyarakat dan konsumen terhadap pangan 3. Mewujudkan 4. Meningkatkan 4. Meningkatnya kuantitas penganekaragaman konsumsi pangan dan kualitas konsumsi konsumsi pangan masyarakat untuk pangan masyarakat masyarakat memenuhi kecukupan berbasis sumber gizi yang bersumber daya, kelembagaan dari pangan lokal dan budaya lokal 4. Mewujudkan 5. Meningkatkan 5. Meningkatnya pangan pangan segar yang keamanan dan mutu segar yang aman dan aman dan bermutu pangan segar bermutu 6

Dalam rangka mengukur kinerja Badan Ketahanan Pangan untuk mencapai tujuan strategis tersebut di atas maka ditetapkan indikator kinerja tujuan dan target kinerja jangka menengah yang harus dicapai pada akhir tahun kelima (2019). Indikator kinerja tersebut merupakan indikator kinerja utama (IKU) Badan Ketahanan Pangan, yaitu: 1. Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam sehingga mencapai skor Pola Pangan Harapan (PPH) ketersediaan sebesar 96,32 pada tahun 2019; 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan sebesar 1% per tahun; 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen yang stabil, yaitu lebih besar atau sama dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP); 4. Koefisien variasi harga pangan di tingkat konsumen (CV) pada 3 komoditas, yaitu beras, bawang merah, dan cabai merah. Target CV yang ditetapkan untuk masingmasing komoditas, yaitu kurang dari 10% untuk beras, kurang dari 25% untuk cabai merah, dan kurang dari 15% untuk bawang merah pada tahun 2019; 5. Konsumsi energi sebesar 2.150 kkal/kap/hr pada tahun 2019; 6. Konsumsi pangan hewani sebesar 225 kkal/kap/hr pada tahun 2019; 7. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) konsumsi sebesar 92,50 pada tahun 2019; 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras sebesar 6,23% pada tahun 2019; 9. Peningkatan produk pangan segar yang terdaftar dan/atau tersertifikasi sebesar 10%; 10. Tingkat keamanan pangan segar yang diuji lebih besar atau sama dengan 80%. Berdasarkan dokumen Rencana Strategis (Renstra) BKP Tahun 2015-2019, telah ditetapkan pula target indikator kinerja program Badan Ketahanan Pangan tahun 2015-2019. Target indikator kinerja program Badan Ketahanan Pangan tahun 2015-2019 secara rinci dapat dilihat pada tabel 2. 7

Tabel 2 Target Indikator Kinerja Program (IKP) Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 No. Rincian IKP 2015 2016 2017 2018 2019 1. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Ketersediaan 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan (%/Tahun) 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) 4. Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen (CV) 87,52 89,71 92,04 94,25 96,32 1 1 1 1 1 HPP HPP HPP HPP HPP - Beras 10% 10% 10% 10% 10% - Cabe Merah 29% 28% 27% 26% 25% - Bawang Merah 19% 18% 17% 16% 15% 5. Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 2.004 2.040 2.077 2.113 2.150 6. Konsumsi Pangan Hewani (kkal/kap/hr) 191 200 208 217 225 7. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Konsumsi 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras (%) 9. Peningkatan produk pangan segar yang terdaftar dan/atau tersertifikasi (%) 10. Tingkat keamanan pangan segar yang diuji (%) Sumber: Badan Ketahanan Pangan 84,1 86,2 88,4 90,5 92,5 5,54 5,70 5,87 6,05 6,23 10 10 10 10 10 80 80 80 80 80 Target kinerja kegiatan adalah tingkat sasaran kinerja spesifik yang akan dicapai oleh Badan Ketahanan Pangan dalam periode 2015-2019 yang berupa output. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) tersebut secara rinci dapat dilihat pada lampiran 2. Berdasarkan indikator kinerja dan arah kebijakan ketahanan pangan, serta mempertimbangkan penanganan ketahanan pangan lintas pelaku dan wilayah, maka dirumuskan Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat. Program tersebut diwujudkan melalui koordinasi dan sinkronisasi dalam perencanaan dan penyiapan program, partisipasi pemangku kepentingan dan masyarakat, 8

identifikasi dan intervensi pangan dan gizi, serta pengembangan model kebijakan guna pencapaian sasaran pemantapan ketahanan pangan masyarakat sampai tingkat perseorangan. Untuk menyelenggarakan Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat, sesuai dengan tugas dan fungsinya, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 4 (empat) kegiatan yaitu: 1. Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan; 2. Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan; 3. Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Keamanan Pangan; 4. Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Badan Ketahanan Pangan. Rencana aksi dalam rangka mencapai sasaran dibagi ke dalam beberapa sub kegiatan yang akan menghasilkan output sebagai sarana untuk mencapai sasaran program (outcome). Kegiatan dan sub kegiatan yang dilaksanakan Badan Ketahanan Pangan tahun 2017 diuraikan sebagai berikut: 1. Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan upaya memantapkan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi dalam negeri sekaligus pengurangan jumlah penduduk rawan pangan. Sasaran output dari kegiatan ini adalah (1) Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam dan menurunnya jumlah penduduk rawan pangan setiap tahun; serta (2) Meningkatnya ketahanan pangan rumah tangga melalui pengembangan model pemberdayaan masyarakat /Smallholder Livelihood Development (SOLID). 2. Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan Kegiatan ini ditujukan untuk mendorong pengembangan sistem distribusi dan stabilitas harga pangan dalam rangka meningkatkan keterjangkauan pangan masyarakat, serta untuk mengantisipasi kebutuhan pangan masyarakat. Sasaran output dari kegiatan ini adalah meningkatnya kemampuan kelembagaan distribusi dan cadangan pangan serta stabilitas harga pangan. Kegiatan ini terdiri dari 7 (tujuh) sub kegiatan. yaitu: (1) Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat/Toko Tani Indonesia; (2) Lembaga 9

distribusi pangan masyarakat; (3) Lumbung pangan masyarakat; (4) Panel harga pangan nasional dan pemantauan harga dan pasokan pangan HBKN; (5) Pemantauan pasokan, harga, distribusi dan cadangan pangan; (6) Kajian Responsif dan Antisipatif Distribusi Pangan; dan (7) Kajian Distribusi Pangan. 3. Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas konsumsi pangan dan memasyarakatkan pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman (B2SA) dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal. Sasaran output dari kegiatan ini adalah meningkatnya pemantapan penganekaragaman konsumsi pangan dan keamanan pangan segar. Kegiatan ini terdiri dari 6 (enam) sub kegiatan, yaitu: (1) Pemberdayaan pekarangan pangan; (2) Pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan; (3) Gerakan Diversifikasi Pangan; (4) Analisis pola dan kebutuhan konsumsi pangan; (5) Model pengembangan pangan pokok lokal; dan (6) Pengawasan keamanan dan mutu pangan; 4. Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya Badan Ketahanan Pangan Kegiatan ini dimaksudkan untuk memfasilitasi dan melayani administrasi, keuangan dan aset terhadap penyelenggaraan operasional kantor. Sasaran output dari kegiatan ini adalah (1) Terselenggaranya pelayanan administrasi dan pelayanan teknis lainnya secara profesional dan berintegritas di lingkungan Badan Ketahanan Pangan; dan (2) Meningkatnya koordinasi perumusan kebijakan, evaluasi dan pengendalian ketahanan pangan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Kegiatan tersebut dijabarkan ke dalam 5 (lima) sub kegiatan, yaitu: (1) Perencanaan, penganggaran, dan kerja sama ketahanan pangan; (2) Pelayanan keuangan dan perlengkapan; (3) Pemantauan dan evaluasi program dan kegiatan ketahanan pangan; (4) Penanganan organisasi, kepegawaian, humas, tata usaha, dan hukum; dan (5) koordinasi perumusan kebijakan, evaluasi dan pengendalian ketahanan pangan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dibutuhkan pendanaan yang sangat besar. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari APBN, tetapi perlu ditunjang dari 10

sumber pendanaan lain seperti APBD prov/kab/kota, keterlibatan swasta, perbankan (skim kredit dan kredit komersial) serta dari swadaya masyarakat. Selain itu, tidak menutup kemungkinan adanya pendanaan yang bersumber dari kerjasama internasional. Dukungan pendanaan dibutuhkan untuk memfasilitasi proses koordinasi, supervisi, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi program/kegiatan. Program dan kegiatan pemantapan ketahanan pangan lingkup Badan Ketahanan Pangan 2015-2019 yang dibiayai APBN, adalah prioritas nasional. Sebagaimana terlihat pada tabel 3, pada tahun 2015, anggaran Badan Ketahanan Pangan adalah sebesar Rp635.258.600.000,00 dan pada tahun 2019 kebutuhan anggarannya diperkirakan sebesar Rp1.439,900.470.000,00. Alokasi anggaran tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan kajian, analisis dan perumusan kebijakan ketahanan pangan serta pengembangan model pemberdayaan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat terutama di lokasi rentan terhadap kerawanan pangan. Tabel 3. Pendanaan APBN Kegiatan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 No Kegiatan 1814 Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga pagan 1815 Pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pagan 1816 Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan 1817 Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya Badan Ketahanan Pangan Sumber: BKP, Kementan Alokasi (Milyar Rupiah) 2015 2016 2017 2018 2019 107,26 285,41 466,02 675,59 1.081,80 111,61 268,43 285,36 320,38 71,261 132,89 125,71 98,52 138,60 149,08 283,49 103,49 113,84 125,23 137,75 TOTAL 635,25 783,06 963,76 1.259,82 1.439,90 Target dan anggaran Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat 2015-2019, secara lengkap ditampilkan dalam Matrik Kinerja dan Pendanaan Badan Ketahanan Pangan pada Lampiran 3. Rencana pendanaan 11

tersebut akan disesuaikan dengan arah kebijakan nasional dan Kementerian Pertanian pada tahun berjalan. B. Perjanjian Kinerja Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 53 Tahun 2014 merupakan Pedoman Teknis Perjanjian Kinerja dan Pelaporan dan Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Sebagai tindak lanjut dari peraturan tersebut, Badan Ketahanan Pangan telah menyusun Perjanjian Kinerja (PK) Kepala Badan Ketahanan Pangan hingga Eselon IV lingkup Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017. Dalam Laporan Kinerja Badan Ketahanan Pangan, Perjanjian Kinerja yang disusun merupakan acuan tolok ukur evaluasi akuntabilitas kinerja yang akan dicapai pada tahun 2017. Dalam perjalanannya, Perjanjian Kinerja Badan Ketahanan Pangan mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut disebabkan oleh adanya perubahan dalam hal fokus kegiatan, sasaran, perubahan anggaran, dan perubahan pimpinan. Sebagaimana terlihat pada tabel 4, program yang dilaksanakan Badan Ketahanan Pangan tahun 2017 mempunyai 5 sasaran program. Kelima sasaran tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam 10 indikator yang disertai dengan target yang akan dicapai dari masing-masing indikator tersebut. Pada awal tahun 2017, Perjanjian Kinerja Badan Ketahanan Pangan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp451.885.901.000,00. 12

Tabel 4 Perjanjian Kinerja (PK) Awal Tahun 2017 Badan Ketahanan Pangan SASARAN PROGRAM INDIKATOR TARGET 1. Peningkatan ketersediaan pangan yang beragam 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Stabilitas harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen 4. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat 5. Peningkatan pangan segar yang aman dan bermutu 1. Skor PPH Ketersediaan 92,04 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) 4. Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen (CV) - Beras - Cabai merah - Bawang merah 1% HPP < 10% < 27 % < 17 % 5. Konsumsi Energi 2.077 Kkal/Kap/hr 6. Konsumsi Pangan Hewani 208 Kkal/Kap/hr 7. Skor PPH Konsumsi 88,4 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras 9. Peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi 10. Kegiatan Tingkat keamanan pangan segar yang diuji 5,87 % 10% 80% Anggaran Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan Rp 142.792.888.000,00 Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan Rp 169.934.327.000,00 Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Badan Ketahanan Pangan Rp 67.634.500.000,00 Rp 71.524.186.000,00 JUMLAH Rp 451.885.901.000,00 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, berbagai perubahan yang ada menyebabkan dilakukannya perubahan terhadap Perjanjian Kinerja. Namun demikian, perubahan tersebut tidak merubah besarnya anggaran yang dialokasikan. Perubahan yang terjadi adalah pergeseran alokasi anggaran antara kegiatan yang satu dengan kegiatan 13

lainnya. Perjanjian Kinerja Badan Ketahanan Pangan 2017 hasil revisi terakhir dapat dilihat pada tabel 5 dengan alokasi anggaran yang tidak mengalami perubahan, yaitu sebesar Rp451.885.901.000,00. Tabel 5 Perjanjian Kinerja (PK) Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 Revisi Terakhir SASARAN PROGRAM INDIKATOR TARGET 1. Peningkatan ketersediaan pangan yang beragam 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pagan 3. Stabilitas harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen 1. Skor PPH Ketersediaan 92,04 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) 4. Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen (CV) - Beras - Cabai merah - Bawang merah 1% HPP < 10% < 27 % < 17 % 4. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat 5. Peningkatan pangan segar yang aman dan bermutu 5. Konsumsi Energi 2.077 Kkal/Kap/hr 6. Konsumsi Pangan Hewani 208 Kkal/Kap/hr 7. Skor PPH Konsumsi 88,4 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras 9. Peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi 10. Kegiatan Tingkat keamanan pangan segar yang diuji Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya pada Badan Ketahanan Pangan 5,87 % 10% 80% Anggaran Rp 137.334.658.000,00 Rp 174.753.407.000,00 Rp 67.776.250.000,00 Rp 72.021.586.000,00 JUMLAH Rp 451.885.901.000,00 14

Keselarasan antara indikator kinerja dalam Renstra BKP tahun 2015-2019 dengan indikator penetapan kinerja tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Keselarasan Indikator Kinerja Renstra dengan Penetapan Kinerja Sasaran Program Indikator Renstra Tahun 2015-2019 Target 2017 Indikator Penetapan Kinerja tahun 2017 Target 1. Peningkatan ketersediaan pangan yang beragam 3. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 4. Stabilitas harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Ketersediaan 92,04 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Ketersediaan 92,04 Penurunan jumlah penduduk 1% Penurunan jumlah 1% rawan pangan (%/Tahun) penduduk rawan pangan (%/Tahun) Harga gabah kering panen HPP Harga gabah kering panen HPP (GKP) di tingkat produsen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) (Rp/Kg) Koefisien variasi pangan di Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen (CV) tingkat konsumen (CV) - Beras 10% - Beras < 10% - Cabe Merah 27% - Cabe Merah < 27 % - Bawang Merah 17% - Bawang Merah < 17 % 5. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat 6. Peningkatan pangan segar yang aman dan bermutu Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) Konsumsi Pangan Hewani (kkal/kap/hr) Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Konsumsi Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras (%) Peningkatan produk pangan segar yang terdaftar dan/atau tersertifikasi (%) 2.077 Konsumsi Energi (kkal/kap/hr) 208 Konsumsi Pangan Hewani (kkal/kap/hr) 88,4 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Konsumsi 5,87 Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras (%) 10 Peningkatan produk pangan segar yang terdaftar dan/atau tersertifikasi (%) 2.077 208 88,4 5,87 10 Tingkat keamanan pangan segar yang diuji (%) 80 Tingkat keamanan pangan segar yang diuji (%) 80 15

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA A. Capaian Kinerja Organisasi Metode yang digunakan untuk menghitung keberhasilan pencapaian kinerja adalah dengan membandingkan realisasi indikator dengan target indikator. Kriteria keberhasilan pencapaian kinerja dalam akuntabilitas kinerja dalam laporan ini diindikasikan dengan nilai pencapaian sebagai berikut: 1. Sangat berhasil : jika capaian kinerja>100% 2. Berhasil : 80-99,99% 3. Cukup Berhasil : 60-79,99% 4. Tidak Berhasil : <60% Penjelasan secara rinci mengenai metode perhitungan keberhasilan pencapaian kinerja Badan Ketahanan Pangan dari masing-masing indikator, dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7 Penjelasan Hasil Penghitungan Keberhasilan Pencapaian Kinerja Badan Ketahanan Pangan INDIKATOR TARGET KETERANGAN 1. Skor PPH Ketersediaan 92,04 - Semakin besar capaian keberhasilan Skor PPH Ketersediaan, semakin beragam ketersediaan pangan bagi masyarakat, sehingga capaian kinerja semakin baik. 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) 1% - Capaian tahun berjalan dikurangi capaian tahun sebelumnya. - Semakin besar selisih penurunan jumlah penduduk rawan pangan. maka semakin sedikit jumlah penduduk rawan pangan, sehingga capaian kinerja semakin baik. HPP - Berdasarkan HPP Rp3.700/Kg - Semakin tinggi harga gabah diatas HPP, maka semakin tinggi pendapatan petani, sehingga kesejahteraannya semakin meningkat. Dengan demikian capaian kinerja semakin baik 16

INDIKATOR TARGET KETERANGAN 4. Koefisien variasi harga pangan di tingkat konsumen (CV) Beras Cabe Merah Bawang Merah < 10% < 27 % < 17 % 5. Konsumsi Energi 2.077 Kkal/Kap/hr - Semakin kecil CV harga pangan di bawah CV harga pangan yang ditetapkan, semakin stabil harga pangan di tingkat konsumen, sehingga semakin baik capaian kinerja. - Semakin besar capaian keberhasilan konsumsi energi, maka semakin terpenuhi konsumsi energi masyarakat, sehingga capaian kinerja semakin baik. Diharapkan terjadi penurunan konsumsi beras yang diimbangi konsumsi umbi-umbian. 6. Konsumsi Pangan Hewani 208 Kkal/Kap/hr - Semakin besar capaian keberhasilan konsumsi pangan hewani, maka semakin terpenuhi tingkat konsumsi pangan hewani masyarakat, sehingga capaian kinerja semakin baik. Diharapkan terjadi peningkatan konsumsi pangan hewani yang diimbangi konsumsi pangan nabati. 7. Skor PPH Konsumsi 88,4 - Semakin besar capaian keberhasilan Skor PPH Konsumsi, maka semakin beragam dan seimbang konsumsi pangan masyarakat, sehingga capaian kinerja semakin baik. 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras 9. Peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi 10. Tingkat keamanan pangan segar yang diuji 5. 87% - Semakin besar capaian rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras, maka tingkat konsumsi energi masyarakat yang bersumber dari pangan lokal non beras semakin tingggi, sehingga capai kinerja semakin baik. Diharapkan terjadi penurunan konsumsi beras yang diimbangi konsumsi umbi-umbian. 10% - Semakin banyak produk pangan segar yang tersertifikasi, maka pelaku pertanian semakin paham tingkat keamanan produk pangan segar, sehingga capaian kinerja semakin baik. 80% - Semakin tinggi persentase keamanan pangan segar yang diuji, maka semakin aman pangan segar di masyarakat, sehingga capaian kinerja semakin baik. Berdasarkan Indikator Kinerja Utama (IKU) Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian tahun 2017, sasaran Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat BKP adalah meningkatnya ketahanan pangan melalui pengembangan ketersediaan, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan. Adapun 17

sasaran kegiatan utamanya adalah sebagai berikut: (1) Meningkatnya pemantapan penganekaragaman konsumsi pangan dan keamanan pangan; (2) Meningkatnya pemantapan distribusi dan harga pangan; (3) Meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan; (4) Meningkatnya manajemen dan pelayanan administrasi dan keuangan secara efektif dan efisien dalam mendukung pengembangan dan koordinasi kebijakan ketahanan pangan. Masing-masing sasaran tersebut selanjutnya diukur dengan menggunakan indikator kinerja. Pengukuran tingkat capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 dilakukan dengan cara membandingkan antara target indikator kinerja sasaran dengan realisasinya. Keberhasilan Badan Ketahanan Pangan dalam menjalankan Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat diukur berdasarkan pencapaian outcome. Pengukuran tersebut dilakukan mengingat outcome merupakan hasil dari berfungsinya output yang telah dilaksanakan unit kerja Eselon II, yaitu Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan, Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, serta Sekretariat Badan Ketahanan Pangan. Pengukuran capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan tersebut dilaksanakan secara bulanan, triwulanan dan tahunan, sedangkan pengukuran realisasi keuangan dan fisik output kegiatan dipantau secara mingguan, bulanan dan triwulanan. Pemantauan dilakukan melalui SMS Panel Harga, Sistem Pemantauan LUPM dan TTI (SITANI), SMS Pemantauan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat, Laporan Sistem Monitoring Anggaran Terpadu (SMART) secara online, Laporan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), Laporan Kegiatan Utama dan Strategis, Laporan Penetapan Kinerja (PK) dan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Badan Ketahanan Pangan dan Kementerian Pertanian, Laporan e-kinerja SAKIP, serta Laporan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) Kementerian Hukum dan HAM. Pengukuran kinerja didasarkan pada indikator kinerja yang terstandarisasi untuk memperoleh hasil evaluasi kinerja yang relevan dan handal sebagai bahan pertimbangan perencanaan selanjutnya. Hasil pengukuran menjadi dasar menyimpulkan kemajuan kinerja, mengambil tindakan dalam rangka mencapai target 18

kinerja yang ditetapkan dan menyesuaikan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Tingkat capaian kinerja masing-masing indikator sasaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8 Pencapaian Sasaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 Sasaran Program Indikator Target Realisasi Persentase Capaian 1. Peningkatan ketersediaan pangan yang beragam 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Stabilitas harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen 4. Peningkatan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan masyarakat 5. Peningkatan pangan segar yang aman dan bermutu 1. Skor PPH Ketersediaan 92,04 83,04 - Capaian 90,22% (Berhasil) 2. Penurunan jumlah penduduk rawan pangan 3. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/kg) 4. Koefisien variasi pangan di tingkat konsumen (CV) Beras Cabai Merah Bawang Merah 1% 4,78 - Capaian 478% (Sangat Berhasil) HPP (Rp3.700/kg) < 10% < 27% < 17% 5. Konsumsi Energi 2.077 Kkal/Kap/hr Rp4.266/kg - Capaian 115,30% (Sangat Berhasil) 2,85% 23,18% 15,60 % 2.153 Kakal/kap/hr - Capaian CV harga Beras 350,88% (Sangat Berhasil) - Capaian CV harga Cabai Merah 116,48% (Sangat Berhasil) - Capaian CV harga Bawang Merah 108,97% (Sangat Berhasil) - Capaian 104% (Sangat Berhasil) 6. Konsumsi Pangan Hewani 208 Kkal/Kap/hr 225 Kakl/Kap/hr - Capaian 108% (Sangat Berhasil) 7. Skor PPH Konsumsi 88,4 88 - Capaian 99,95% (Berhasil) 8. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras 5,87% 7,48 - Capaian 127% (Sangat Berhasil) 9. Peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi 10 Tingkat keamanan pangan segar yang diuji Sumber : Badan Ketahanan Pangan, 2017 10% 13,06% - 130,6% (Sangat Berhasil) 80% 90,47% - 113,09% (Sangat Berhasil) Berdasarkan tabel 8, capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan sesuai dengan Perjanjian Kinerja Tahun 2017 adalah: (1) 8 (delapan) indikator dengan nilai pencapaian diatas 100% (Sangat Berhasil), yaitu penurunan jumlah penduduk rawan 19

pangan, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen, koefisien variasi harga pangan di tingkat konsumen (CV), konsumsi energi, konsumsi pangan hewani, rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras, peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi, dan tingkat keamanan pangan segar yang diuji; dan (2) 2 (dua) indikator dengan nilai pencapaian 80-100% (Berhasil), yaitu indikator Skor PPH Ketersediaan dan Skor PPH Konsumsi. Penjelasan secara lengkap atas capaian kinerja organisasi Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian tahun 2017 dari masing-masing indikator adalah sebagai berikut: 1. Skor PPH Ketersediaan PPH Ketersediaan didefinisikan sebagai susunan beragam pangan atau kelompok pangan yang didasarkan atas sumbangan energinya, baik secara absolut atau relatif terhadap total energi. Skor PPH ketersediaan dihitung dengan menggunakan metode perhitungan sebagaimana terlihat pada tabel 9 dengan urutan sebagai berikut: a. Mengelompokkan ketersediaan energi bahan pangan dari 11 kelompok di NBM ke dalam 9 kelompok PPH (Kolom 1), b. Menjumlahkan energi bahan pangan ke dalam masing-masing kelompok bahan pangan (Kolom 2), c. Menghitung persentase Angka Kecukupan Energi (AKE) kelompok bahan pangan dengan cara membandingkan ketersediaan energi aktual dengan tingkat Angka Kecukupan Gizi (AKG) tingkat ketersediaan sebesar 2.400 kkal/kapita/hari (Kolom 3), d. Menghitung skor AKE kelompok bahan pangan (Skor riil, Kolom 5) dengan cara prosentase AKE ( Kolom 3) dikalikan dengan bobot kelompok bahan pangan (Kolom 4), e. Menghitung skor PPH kelompok bahan pangan (Kolom 6) dengan cara membandingkan skor AKE kelompok bahan pangan (Kolom 5) dengan skor maksimal kelompok bahan pangan (Kolom 7), 20

f. Menghitung skor PPH dengan cara menjumlahkan skor dari setiap kelompok bahan pangan (Total Kolom 6). Tabel 9 Contoh Penghitungan Skor PPH Ketersediaan No. Kelompok Bahan Pangan Energi (Kkal) 1 2 % AKE Bobot Skor riil (%) Skor PPH (%) Skor Maks (%) 3 4 5 6 7 1. Padi-padian 2.331 97,1 0,5 48,6 25,0 25,0 2. Umbi-umbian 227 9,5 0,5 4,7 2,5 2,5 3. Pangan Hewani 186 7,7 2,0 15,5 15,5 24,0 4. Minyak dan Lemak 828 34,5 0,5 17,2 5,0 5,0 5. Buah/biji berminyak 74 3,1 0,5 1,5 1,0 1,0 6. Kacang-kacangan 118 4,9 2,0 9,8 9,8 10,0 7. Gula 138 5,8 0,5 2,9 2,5 2,5 8. Sayuran dan buah 104 4,3 5,0 21,7 21,7 30,0 9. Lain-lain - - - - - - Jumlah 4.006 166,9 122,0 83,04 100,0 Ketersediaan pangan merupakan aspek penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Penyediaan pangan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi masyarakat, rumah tangga, dan individu secara berkelanjutan. Target pencapaian angka ketersediaan pangan per kapita per tahun sesuai dengan angka kecukupan gizinya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dan meningkatkan kuantitas serta kualitas konsumsi pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) X tahun 2012 merekomendasikan kriteria ketersediaan pangan minimal 2.400 kkal/kapita/hari untuk energi dan minimal 63 gram/kapita/hari untuk protein. Data perkembangan ketersediaan energi dan protein serta skor PPH ketersediaan tahun 2013-2017 disajikan pada tabel 10. Rata-rata ketersediaan energi selama 5 21

tahun tersebut sebesar 3.797 kkal/kap/hari, jauh melebihi rekomendasi ketersediaan energi WNPG X tahun 2012 sebesar 2.400 kkal/kap/hari. Ketersediaan energi tersebut mengalami peningkatan rata-rata 1,4%/tahun. Peningkatan ketersediaan energi disebabkan adanya peningkatan produksi beberapa komoditas pangan.sementara itu, rata-rata ketersediaan protein pada tahun 2017 adalah sebesar 91,97 gram/kapita/hari. Angka tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan rekomendasi WNPG X tahun 2012, yaitu sebesar 63 gram/kapita/hari. Ketersediaan pangan tidak hanya dinilai dari kecukupan gizinya dalam bentuk energi dan protein, tetapi juga dinilai dari keberagaman ketersediaan gizi tersebut berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH). Sebagaimana tersaji dalam tabel 10, ratarata skor PPH tingkat ketersediaan berdasarkan Neraca Bahan Makanan tahun 2013-2017 adalah sebesar 82.69. Dari perkembangan yang ada terlihat adanya kecenderungan penurunan skor PPH dalam 5 tahun terakhir dengan rata-rata laju penurunan sebesar 0,42%/tahun. Penurunan tersebut salah satunya disebabkan oleh perbedaan metode penghitungan angka PPH ketersediaan. Sejak tahun 2014 angka ketersediaan energi yang dijadikan acuan adalah 2.400 kkal/kap/hari sesuai dengan rekomendasi WNPG X tahun 2012. Pada tahun sebelumnya, angka ketersediaan energi yang dijadikan acuan untuk menghitung skor PPH ketersediaan adalah sebesar 2.200 kkal/kap/hari. Perbedaan metode perhitungan yang digunakan tersebut menyebabkan adanya perbedaan hasil perhitungan. Metode baru yang digunakan menghasilkan skor PPH yang lebih rendah dibanding metode perhitungan yang lama. 22

Tabel 10 Perkembangan Ketersediaan Energi dan Protein serta Skor PPH Ketersediaan berdasarkan Neraca Bahan Makanan Nasional 2013-2017 Tahun Energi (Kalori/Hari) Protein (Gram/Hari) Skor PPH Total Nabati Hewani Total Nabati Hewani Ketersediaan 2013 3,770 3,586 184 89.59 71.82 17.76 84.46 2014 3,731 3,559 172 91.87 74.09 17.78 82.80 2015 3,515 3,337 178 90.86 72.33 18.53 81.59 2016 3,964 3,772 191 94.76 75.13 19.63 81.52 2017* 4,006 3,807 199 92.75 70.33 21.42 83.04 Total Pertumbhn 0.070 0.070 0.085 0.036-0.017 0.194-0.016 Rata-rata Pertumbhn (%) 1.402 1.395 1.692 0.723-0.347 3.877-0.330 Rata-rata 3,797 3,612 184.8 91.97 72.74 19.02 82.68 Sumber: Badan Ketahanan Pangan (BKP), Kementerian Pertanian Keterangan : *) Angka Sangat Sementara; (2016 angka sementara) Berdasarkan perkembangan skor PPH yang disajikan pada tabel 11, untuk mencapai keberagaman ketersediaan pangan yang ideal dan memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG) tingkat ketersediaan yang dianjurkan, ketersediaan kelompok pangan hewani serta sayuran dan buah perlu ditingkatkan. Skor PPH ketersediaan tahun 2017 (Angka Sangat Sementara) dibandingkan dengan skor PPH tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 1,86%. Capaian Skor PPH ketersediaan tahun 2017 sebesar 83,04 atau 92,22% dari target yang ditetapkan, yaitu 92,04. Capaian tersebut dikategorikan berhasil atau hampir mendekati target yang mengindikasikan semakin baiknya capaian kinerja. Sementara itu, jika dibandingkan dengan target jangka menengah sebagaimana terdapat dalam dokumen perencanaan strategis, capaian kinerja tahun 2017 ini masih terpaut cukup besar. Dalam dokumen perencanaan strategis, pada akhir tahun 2019 skor PPH yang ditargetkan adalah sebesar 96,32. 23

Tabel 11 Perkembangan Skor PPH Tahun 2013-2017 No. Kelompok Skor PPH (%) Bahan Pangan 2013 2014 2015 2016 2017 1. Padi-padian 25,00 25,00 25,00 25,00 25,00 2. Umbi-umbian 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50 3. Pangan Hewani 14,30 13,30 13,84 14,85 15,49 4. Minyak dan Lemak 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5. Buah/biji berminyak 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 6. Kacang-kacangan 10,00 10,00 10,00 10,00 9,81 7. Gula 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50 8. Sayuran dan buah 24,20 23,50 21,75 20,67 21,74 9. Lain-lain 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Jumlah 84,50 82,80 81,59 81,52 83,04 Rata-Rata Skor PPH 82,69 Rata-Rata Pertumbuhan -0,42 Skor PPH tahun 2017 belum mencapai target yang ditetapkan, karena masih rendahnya skor PPH kelompok bahan pangan hewani dan sayuran dan buah. Tidak tercapainya skor PPH maksimal untuk kelompok bahan pangan hewani dan sayuran dan buah tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Pertanian pada tahun 2017 yang fokus pada beberapa komoditas pangan strategis nasional seperti padi, jagung dan kedelai. Meskipun upaya swasembada daging melalui program SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting) telah dilakukan, namun hasilnya belum terlihat pada data produksi yang digunakan sebagai dasar penyusunan NBM dan PPH Ketersediaan Pangan. Oleh karena itu, untuk mencapai target skor PPH yang ditetapkan, ketersediaan kelompok bahan lain selain padi-padian dan umbi-umbian harus ditingkatkan. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan dalam mendukung capaian skor PPH Ketersediaan Pangan antara lain: (a) Pengembangan Desa/Kawasan Mandiri Pangan di 78 kawasan, (b) Pengembangan KRPL dan (c) Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara pada 11 kabupaten melalui kegiatan yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran di 26.880 KK. Kegiatan-kegiatan di atas mendukung pencapaian Skor PPH Ketersediaan karena berkontribusi pada peningkatan produksi pertanian yang menjadi salah satu sumber penyediaan pangan nasional. 24

2. Penurunan Penduduk Rawan Pangan Kemiskinan dan kerawanan pangan merupakan dua fenomena yang saling terkait, bahkan dipandang sebagai hubungan sebab akibat. Kondisi ketahanan pangan yang rentan menjadi sumber kemiskinan, sebaliknya kemiskinan bisa menjadi penyebab terjadinya rawan pangan. Tingkat perkembangan penduduk rawan pangan merupakan gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan masyarakat dicerminkan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat. Sejak tahun 2011 Badan Ketahanan Pangan telah bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) menyusun perhitungan penurunan penduduk rawan pangan dengan metode Angka Rawan Pangan (ARP) yaitu kecukupan konsumsi kalori per kapita per hari kurang atau lebih kecil dari 70 persen dari AKG dengan nilai AKG 2.000 kkal/kapita/hari (setara 1.400 kkal/kapita/hari). Data dasar yang digunakan untuk untuk perhitungan ARP adalah data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) berdasarkan pangsa pengeluaran dan konsumsi pangan yang dilaksanakan oleh BPS. Sejalan dengan agenda pembangunan global pada kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) khususnya pada Goals 2 adalah mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Salah satu indikator yang digunakan adalah Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan/Prevalence of Undernourishment (PoU). Oleh karena itu, mulai tahun 2017 metode perhitungan persentase penduduk rawan pangan (ARP) dilakukan dengan pendekatan PoU. Prevalensi Kekurangan Gizi (Prevalence of Undernourishment/PoU) merupakan proporsi populasi penduduk yang mengalami ketidakcukupan konsumsi pangan terhadap populasi penduduk secara keseluruhan. Seseorang dikategorikan sebagai kekurangan gizi jika konsumsi pangannya berada di bawah kebutuhan minimum energi/minimum dietary energy requirement (MDER). MDER adalah kebutuhan minimum kalori yang diperlukan seseorang sesuai dengan umur dan jenis kelaminnya yang diukur dalam satuan Kkal. Perhitungan PoU didasarkan pada metode perhitungan standar yang digunakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Hasil perhitungan indikator tersebut merupakan tanggung jawab bersama Badan Pusat 25

Statistik, Kementerian Kesehatan dan Badan Perancanaan Pembangunan Nasional, Badan Ketahanan Pangan dan Sekretariat SDGs. Data dasar yang digunakan untuk perhitungan PoU adalah: (a) data konsumsi kalori dan pengeluaran rumah tangga bersumber dari Susenas BPS (b) data tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin dari hasil survei Riskesdas Kementerian Kesehatan, (c) FAO/WHO joint expert consultation untuk data referensi standar internasional tentang Indeks Masa Tubuh dan perubahan berat badan (Weight Gain). Berdasarkan hal tersebut di atas maka definisi penurunan penduduk rawan pangan per tahun adalah persentase laju penurunan populasi penduduk yang mengkonsumsi makanan kurang dari standar minimum yang dibutuhkan menurut jenis kelamin dan umur pada tinggi badan dan berat badan tertentu. Persentase penurunan tersebut ditetapkan sebesar 1 persen tiap tahun searah dengan kebijakan Suitanable Development Goals (SDG s) pada tahun 2030. Dalam menghitung penurunan jumlah penduduk rawan pangan, dengan cara: persentase penduduk rawan pangan pada tahun y-1 dikurangi presentase penduduk rawan pangan pada tahun y dibagi dengan persentase penduduk rawan pangan pada tahun y-1. Satuan penurunan jumlah penduduk rawan pangan adalah persen/tahun. Perkembangan persentase penduduk rawan pangan menunjukan penurunan dari tahun ke tahun. Perkembangan angka penduduk rawan pangan di Indonesia tahun 2012-2017 secara grafis dapat dilihat dalam gambar 1. Sebagaimana terlihat pada gambar 1, angka rawan pangan penduduk dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Jika dibandingkan dengan capaian tahun 2016, angka rawan pangan tahun 2017 turun dengan persentase yang sangat tinggi, yaitu dari 12,69% di tahun 2016 menjadi 7,91 di tahun 2017. Demikian juga, apabila dibandingkan dengan capaian tahun-tahun sebelumnya, angka rawan pangan tahun 2017 sudah mengalami banyak penurunan. 26

Gambar 1 Perkembangan Angka Rawan Pangan Tahun 2013-2017 Sumber data Susenas BPS dan Riskesdas Kementerian Kesehatan diolah BPS, Kemenkes, Bappenas dan BKP Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan dalam mendukung keberhasilan indikator adalah: (a) Pengembangan Desa/Kawasan Mandiri Pangan sebanyak 78 KMP; dan (b) Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Provinsi Maluku dan Maluku Utara. Kegiatan-kegiatan tersebut mendukung pencapaian indikator penurunan penduduk rawan pangan karena berkontribusi pada pendapatan anggota kelompok. Peningkatan pendapatan tersebut berkontribusi pada meningkatnya daya beli para anggota kelompok, sehingga akses pangan mereka juga meningkat. a. Kawasan Mandiri Pangan Dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penanggulangan kerawanan pangan yang bersifat kronis, BKP mengembangkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan (KMP). KMP adalah kawasan yang dibangun dengan melibatkan keterwakilan masyarakat yang berasal dari desa-desa atau kampung-kampung terpilih (terdiri dari 5 kampung/desa). Kegiatan ini bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin di daerah rawan pangan menjadi kaum mandiri. Untuk mendukung kegiatan 27

pemberdayaan dalam KMP, maka dialokasikan dana bantuan sosial (bansos)/bantuan pemerintah (banper), serta anggaran pembinaan dan pendampingan bagi daerah. Sasaran kegiatan KMP adalah Rumah Tangga Miskin (RTM) yang dipilih berdasarkan hasil analisa DDRT/Data Kemiskinan BPS/Data Kemiskinan lainnya di daerah yang rentan terhadap rawan pangan yang mempunyai potensi pengembangan komoditas unggulan. Penentuan lokasi kegiatan Kawasan Mandiri Pangan dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan yaitu: 1. Seleksi Kabupaten/Kota, didasarkan pada hasil peta FSVA tahun 2009 dan/atau Angka Rawan Pangan 2. Seleksi Kecamatan, didasarkan pada Indeks Potensi Kawasan (IPK) 3. Seleksi Desa, didasarkan pada Survey Data Dasar Rumah Tangga (DDRT) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahun 2017 dialokasikan di 78 kawasan, 77 Kabupaten, 23 Provinsi yang memasuki tahap pengembangan dengan fokus kegiatan pada pengolahan pangan dan usaha lainnya. Jumlah dana Bantuan Pemerintah (Banper) yang dialokasikan adalah sebesar Rp100.000.000,00 untuk 5 desa. Dari alokasi sebanyak 78 kawasan tersebut, yang terealisasi hanya sebanyak 77 kawasan, sedangkan 1 kawasan yaitu di Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah tidak mencairkan dana Banper. Hal tersebut disebabkan anggota kelompok di kawasan tersebut tidak membuat RUK. Capaian dana Bantuan Pemerintah di Kawasan Mandiri Pangan dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12 Perkembangan Dana Bansos dan Realisasi Kawasan Mandiri Pangan Tahun 2013-2017 Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 Total Rata-rata/ tahun Bansos/Banper 21.800 21.400 20.600 7.800 7.800 79.400 15.880 (juta) Penerima 109 107 188 181 78 663 133 Manfaat Sumber : Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa cakupan lokasi kegiatan Kawasan Mandiri Pangan mendukung penurunan jumlah penduduk rawan pangan, meskipun masih berfluktuasi. 28

b. Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara Sasaran lokasi desa kegiatan PKPK/SOLID sampai akhir Tahun 2018 sebanyak 224 desa. Desa yang terpilih telah memenuhi kriteria desa sasaran, dengan populasi penduduk miskin atau KK miskin di lokasi daratan maupun kawasan pantai paling tidak 75-80%, berstatus penduduk asli dan atau migran lokal yang belum banyak tersentuh program pembangunan. Lokasi desa dan KK miskin ditetapkan sesuai kriteria desa dan KK miskin dengan mempertimbangkan kearifan lokal di 5 kabupaten di Provinsi Maluku dan 6 kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Sasaran jumlah desa dan kelompok mandiri (KM) kegiatan SOLID tahun 2011-2018 secara lebih detail dapat dilihat pada lampiran 6. Sampai dengan tahun 2017, Program SOLID telah dilaksanakan di 224 desa (100% dari target) dan dirasakan manfaatnya oleh 27.115 rumah tangga (81% dari target sasaran 33.600 KK). Capaian jumlah KK penerima manfaat yang kurang dari target disebabkan oleh beberapa hal, antara lain terbatasnya populasi penduduk, pengunduran diri, perpindahan penduduk, dan juga oleh adanya penduduk yang meninggal dunia. Rumah tangga sasaran pada Program SOLID tergabung ke dalam 2.192 Kelompok Mandiri (KM) (98% dari target 2240 KM). Capaian jumlah KM dan anggota KM secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 7. Apabila dilihat dari perubahan kondisi ketahanan pangan selama 12 bulan terakhir, Program SOLID mempunyai pengaruh terhadap berkurangnya jumlah dan durasi kekurangan pangan pada rumah tangga penerima manfaat program. Sebagaimana terlihat pada gambar 2, jumlah rumah tangga penerima manfaat SOLID yang mengalami peningkatan ketahanan pangan (56%) lebih besar dibandingkan rumah tangga yang tidak menjadi penerima manfaat Program SOLID (18%). 29

Perubahan Kondisi Kecukupan Pangan Pemanfaat SOLID Perubahan Kondisi Kecukupan Pangan Bukan Pemanfaat SOLID 3% 14% 18% 41% 56% Peningkatan 68% Peningkatan Sama Sama Gambar 2 Perubahan Kondisi Kecukupan Pangan Selanjutnya, berdasarkan diagram yang disajikan pada gambar 3 diketahui bahwa hampir semua responden penerima manfaat SOLID (95%) memperoleh pendapatan dari penjualan hasil pertanian. Sedangkan responden yang bukan merupakan pemanfaat SOLID yang memperoleh pendapatan dari penjualan hasil pertanian adalah sebanyak 79%. Namun demikian, jumlah rumah tangga penerima manfaat SOLID yang mengalami peningkatan pendapatan dari penjualan hasil pertanian (68%) jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah tangga bukan pemanfaat SOLID (24%). Dengan melihat peningkatan kondisi kecukupan dan pangan dan pendapatan penerima manfaat SOLID, sehingga dapat diindikasikan penurunan jumlah penduduk rawan pangan di wilayah pelaksana SOLID mengalami penurunan. Berdasarkan hasil perhitungan, tingkat efisiensi penggunaan anggaran untuk mendukung kegiatan penurunan penduduk rawan pangan adalah sebesar 0,90. Dengan tingkat efisiensi sebesar itu dapat dikatakan bahwa penggunaan anggaran untuk mendukung 30

penurunanan penduduk rawan pangan sudah cukup efisien. Perubahan Pendapatan Pemanfaat SOLID dari Penjualan Hasil Pertanian (%KK) Perubahan Pendapatan Bukan Pemanfaat SOLID dari Penjualan Hasil Pertanian (%KK) 11% 25% 24% 21% 68% Meningkat Tidak berubah Menurun 51% Meningkat Tidak berubah Menurun Pendapatan Pemanfaat SOLID dari penjualan hasil pertanian Pendapatan Bukan Pemanfaat SOLID dari penjualan hasil pertanian Tidak 21% Ya 79% Gambar 3 Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Penerima dan Bukan Penerima Manfaat Program SOLID 3. Stabilnya Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Tingkat Produsen Stabilnya harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen didefinisikan sebagai besaran harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen/petani yang lebih besar atau sama dengan harga pembelian pemerintah (HPP). HPP gabah kering panen di tingkat produsen adalah sebesar Rp3.700/kg. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen dihitung dengan cara menghitung rata-rata harga harga gabah kering panen di tingkat produsen pada 22 provinsi. 31

Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja subsistem distribusi pangan. Stabilnya harga pangan sangat dipengaruhi beberapa aspek antara lain kemampuan memproduksi bahan pangan, kelancaran arus distribusi pangan, dan pengaturan impor pangan. Ketidakstabilan harga pangan dapat memicu tingginya harga pangan di dalam negeri sehingga aksesibilitas masyarakat terhadap pangan secara ekonomi akan menurun yang pada akhirnya dapat meningkatkan angka kerawanan pangan. Perkembangan Harga GKP, GKG dan Beras Tingkat Petani Berdasarkan data Panel Harga Pangan, Badan Ketahanan Pangan 2017 relatif sama dengan pantauan BPS Tahun 2017. Data harga gabah kering panen (GKP) berdasarkan panel harga pangan Badan Ketahanan Pangan diambil dari data harga di 22 provinsi sentra produksi padi. Selama Tahun 2017 sebagian besar petani di lokasi panel menjual gabah dalam bentuk GKP dan GKG. Data perkembangan harga GKP dan GKG di tingkat produsen (petani)tahun 2014-2017 dapat dilihat pada tabel 13. Sebagaimana terlihat pada tabel 13, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani pada tahun 2017 berkisar antara Rp4.111/kg s.d Rp4.499/kg. Harga tertinggi terjadi pada bulan Desember 2017 senilai Rp4.499/kg, sedangkan harga terendah terjadi pada Bulan Maret 2017 senilai Rp4.111/kg. Perubahan harga GKP di tingkat petani relatif kecil, yaitu naik 0,19% per bulan dan harga GKP di tingkat petani cenderung stabil dengan koefisien variasi (CV) sebesar 3,22%. Sementara itu, harga Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat penggilingan berkisar antara Rp4.999/kg s.d Rp5.428/kg. Harga tertinggi terjadi pada bulan Januari 2017 senilai Rp5.428/kg dan harga terendah pada bulan Agustus 2017 senilai Rp4.994/kg. Sama halnya dengan perubahan harga GKP, perubahan harga GKG di tingkat penggilingan relatif kecil, yaitu naik 0,01% per bulan dan harga GKG tahun 2017 relatif stabil yang diindikasian dengan nilai koefisien varian (CV) sebesar 3,22%. Harga gabah dan beras dikatakan berfluktuasi apabila koefisien varian di atas 10 persen dalam periode tertentu. Dari hasil data panel dan BPS, diketahui bahwa harga gabah kering panen maupun gabah kering giling relatif stabil, dimana koefisien variasi di bawah 10%. 32

Lonjakan harga GKP di tingkat petani selama kurun waktu tahun 2014-2017 terjadi pada bulan Desember-Januari, kecuali pada tahun 2015. Pada bulan Februari tahun 2015 terjadi lonjakan harga, sedangkan pada bulan April terjadi tren penurunan harga GKP di tingkat petani yang mengindikasikan adanya panen raya pada bulan Maret- April. Perkembangan harga GKG di tingkat pengilingan pada periode 2014-2017 mempunyai pola yang hampir sama dengan harga GKP di tingkat petani. Pada tahun 2014-2016, peningkatan harga terjadi pada bulan Desember-Januari, sedangkan pada tahun 2017 peningkatan harga sudah terjadi pada bulan November. Harga GKG tingkat penggilingan terendah terjadi pada bulan Mei, sementara pada tahun 2015 dan 2017 terjadi pada bulan Agustus dan Maret. Harga gabah kering panen maupun kering giling di tingkat penggilingan relatif stabil, dimana koefisien varian di bawah 10%. Stabilnya harga GKP dan GKG dapat juga terlihat dari laju perubahan harga setiap tahun yang di bawah 1%. Tabel 13 Harga Gabah Kering Panen (GKP) dan Gabah Kering Giling (GKG) di Tingkat Produsen Tahun 2014-2017 No Bulan GKP Tk. Petani GKG Tk. Penggilingan 2014 2015 2016 2017 2014 2015 2016 2017 1 Jan 4.338 4.713 4.420 5.331 5.630 5.391 2 Feb 4.537 4.620 4.339 5.379 5.500 5.291 3 Mar 3.837 4.168 4.247 4.111 5.061 5.016 5.289 5.023 4 Apr 3.710 3.972 4.080 4.210 4.989 4.764 5.158 5.079 5 Mei 3.725 3.969 4.094 4.147 4.976 4.682 5.106 5.036 6 Jun 3.738 4.091 4.110 4.161 5.074 4.941 5.151 5.122 7 Jul 3.800 4.098 4.116 4.122 4.989 4.889 5.190 5.111 8 Agust 3.794 4.184 4.205 4.129 4.964 5.001 5.149 5.098 9 Sep 3.791 4.361 4.293 4.272 4.901 5.283 5.290 5.274 10 Okt 3.851 4.413 4.319 4.361 4.804 5.354 5.302 5.322 11 Nov 3.978 4.529 4.346 4.421 4.988 5.537 5.245 5.422 12 Des 4.061 4.461 4.328 4.499 5.185 5.571 5.196 5.411 Rerata 3.828 4.260 4.289 4.266 4.993 5.146 5.267 5.215 HPP 3.300 3.700 3.700 3.700 4.150 4.600 4.600 4.600 Maksimum 4.061 4.537 4.713 4.499 5.185 5.571 5.630 5.422 Minimum 3.710 3.969 4.080 4.111 4.804 4.682 5.106 5.023 Pert/Bln (%) 0,01 0,45-0,25-0,07-0,11 0,03-0,42 0,06 CV (%) 2,93 4,83 4,70 3,22 2,04 5,84 2,95 2,91 33

Perkembangan harga gabah di tingkat produsen per provinsi pada tahun 2017, dapat dilihat pada tabel 14. Sebagaimana tersaji dalam tabel 14, pada tahun 2017 harga GKP tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp5.433 per kg atau lebih tinggi sebesar 27,29% dari harga rata-rata nasional. Sementara itu, harga Gabah Kering Panen (GKP) terendah Provinsi Sulawesi Tengah sebesar Rp3.319/kg atau lebih rendah sebesar 21,85% dari harga rata-rata nasional. Tabel 14 Perkembangan Harga GKP dan GKG per Provinsi Tahun 2017 No Provinsi Rata-Rata GKP Rata-Rata GKG 1 Sumatera Utara 4.405 5.451 2 Jambi 4.042 4.987 3 Jawa Barat 4.422 5.273 4 DI Yogyakarta 3.860 4.980 5 Kalimantan Tengah 5.433 6.921 6 Aceh 4.431 4.966 7 Lampung 4.087 4.997 8 Jawa Tengah 4.134 5.050 9 Jawa Timur 4.269 5.087 10 Banten 4.201 5.029 11 Kalimantan Barat 4.246 5.193 12 Kalimantan Selatan 4.698 5.588 13 Sumatera Selatan 4.000 4.891 14 Sulawesi Tenggara 4.140 4.848 15 Gorontalo 3.972 4.390 16 Bengkulu 4.378 4.863 17 Sumatera Barat 5.070 5.990 18 Nusa Tenggara Barat 3.908 4.657 19 Sulawesi Utara 4.112 5.750 20 Sulawesi Tengah 3.319 4.814 21 Sulawesi Selatan 3.964 4.624 22 Bali 4.332 5.296 Rata-Rata 4.247 5.166 Sumber : Panel 2107, Badan Ketahanan Pangan Rata-rata Harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat produsen adalah sebesar Rp4.266/kg atau 15,30% di atas HPP. Capaian tersebut menunjukkan tercapainya sasaran kinerja sesuai dengan target yang ditetapkan. Apabila dibandingkan dengan target jangka menengah sebagaimana tercantum dalam dokumen perencanaan 34

strategis (akhir tahun RPJMN 2015-2019), capaian kinerja harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen tahun 2017 secara umum telah mencapai di atas target, kecuali di Provinsi Sulawesi Tengah. Target harga GKP di tahun 2019 yang ditetapkan adalah di atas HPP (Rp3.700/kg). Beberapa hal yang menyebabkan Harga GKP di atas HPP adalah: 1. Pemerintah berhasil menjaga harga GKP di atas HPP sehingga pendapatan petani meningkat. 2. Kualitas GKP yang dihasilkan lebih baik karena dukungan pemerintah dalam usahatani seperti bantuan benih unggul, saprotan, penyuluhan, dll. 3. Posisi tawar petani naik. Akses informasi petani yang makin terbuka sehingga kondisi harga antar wilayah dapat dengan mudah diketahui. 4. Pendapatan petani akan meningkat apabila harga jual GKP di atas HPP, sehingga capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan semakin baik. 4. Koefisien Variasi Harga Pangan di Tingkat Konsumen Koefisien variasi (CV) adalah perbandingan antara simpangan baku harga (STD) dengan harga rata-rata (average) di tingkat konsumen yang dinyatakan dengan persentase (%). Koefisien variasi (CV) harga pangan (beras, cabai merah, dan bawang merah) digunakan untuk melihat sebaran harga di tingkat konsumen pada suatu wilayah dari rata-rata harga. Harga beras di tingkat konsumen dikatakan stabil apabila CV < 10%, harga cabai merah di tingkat konsumen dikatakan stabil apabila CV < 27%, dan harga bawang merah di tingkat konsumen dikatakan stabil apabila CV < 17%. Koefisien variasi (CV) harga pangan di tingkat konsumen merupakan rata-rata CV harga pangan di tingkat konsumen/pedagang di 34 provinsi. a. Koefisien Variasi Harga Beras Berdasarkan data panel harga pangan Badan Ketahanan Pangan di 34 Provinsi sebagaimana terlihat pada tabel 15, rata-rata harga beras medium sebesar Rp10.935/kg. Sementara Koefisien Variasi harga beras medium di tingkat konsumen (eceran) adalah sebesar 2,85%. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa harga beras di tingkat konsumen secara nasional relatif stabil, karena koefisien variasi harganya 35

masih dibawah 10%. Apabila dibandingkan terhadap target koefisien variasi harga beras pada tahun 2019 (akhir RPJMN tahun 2015-2019) sebesar < 10%, maka capaian tahun 2017 telah melampaui target yang ditetapkan. Tabel 15 Perkembangan Harga Beras Medium Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017 No. Provinsi Rerata (Rp/Kg) Harga Eceran Tertinggi* (Rp/Kg) CV (%) 1 Sumatera Selatan 9.926 3,72 2 Lampung 9.505 3,66 3 Banten 9.925 2,61 4 DKI Jakarta 11.279 2,75 5 Jawa Barat 10.024 3,12 6 DI Yogyakarta 9.721 1,52 7 Jawa Tengah 9.480 4,31 8 Jawa Timur 9.813 9.450 5,03 9 Bali 10.046 1,17 10 Nusa Tenggara Barat 9.192 2,61 11 Sulawesi Barat 9.637 4,07 12 Sulawesi Selatan 9.284 1,20 13 Sulawesi Tengah 10.078 2,21 14 Sulawesi Tenggara 9.321 0,75 15 Sulawesi Utara 10.579 1,83 16 Aceh 11.235 6,13 17 Bengkulu 9.933 2,26 18 Gorontalo 9.750 3,91 19 Jambi 10.711 0,95 20 Kalimantan Barat 12.290 1,05 21 Kalimantan Selatan 12.306 2,89 22 Kalimantan Tengah 13.748 1,88 23 Kalimantan Timur 11.853 9.950 1,05 24 Kalimantan Utara 12.218 1,49 25 Bangka Belitung 11.644 3,22 26 Kepulauan Riau 12.762 1,17 27 Nusa Tenggara Timur 10.783 1,74 28 Riau 12.262 1,06 29 Sumatera Utara 10.860 1,32 30 Sumatera Barat 11.658 1,54 31 Maluku 12.615 5,14 32 Maluku Utara 11.606 1,76 10.250 33 Papua 12.147 12,36 34 Papua Barat 13.607 5,50 Rata-Rata 10.935 2,85 Sumber: Panel Harga Pangan (diolah), Badan Ketahanan Pangan, 2017 36

Harga beras medium di tingkat konsumen dikatakan stabil jika nilai CV harga beras medium di tingkat konsumen (eceran) di bawah 10%. Dilihat dari perkembangan harga beras medium di tingkat konsumen, maka harga beras medium Provinsi Sulawesi Tenggara (CV=0,75%) dan Jambi (CV = 0,95%) dapat dikatakan stabil, sedangkan harga beras yang fluktuatif terjadi di Provinsi Papua (CV = 12,36%). Sebagaimana tersaji dalam tabel 15, koefisien variasi harga beras tahun 2017 adalah sebesar 2,85%. Besarnya nilai koefisien variasi harga beras di tahun 2017 sedikit mengalami peningkatan dibanding koefisien variasi harga di tahun 2016, yaitu sebesar 1,74%. Namun demikian, jika dibandingkan dengan target jangka menengah yang ditetapkan dalam dokumen strategis (Renstra 2015-2019), capaian kinerja koefisien variasi harga beras tahun 2017 sudah jauh melebihi target yang ditetapkan. Dalam dokumen strategis jangka menengah ditetapkan target koefisien variasi harga beras ditetapkan di bawah 10%. Kegiatan Badan Ketahanan pangan yang mendukung tercapaianya stabilitas harga beras di tingkat konsumen adalah kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat melalui Toko Tani Indonesia. Kegiatan tersebut memberikan dampak terhadap stabilisasi harga, sehingga harga beras menjadi lebih stabil dan terjangkau oleh masyarakat. b. Koefisien Variasi Harga Bawang Merah Berdasarkan data panel harga BKP tahun 2017 yang disajikan pada tabel 16, koefisien variasi harga (CV) bawang merah sebesar 15,60%. Hal ini menunjukan bahwa harga bawang merah di tingkat konsumen stabil, karena target CV harga bawang merah pada tahun 2017 dibawah 17%. Apabila dibandingkan terhadap target koefisien variasi harga bawang merah pada tahun 2019 (akhir RPJMN tahun 2015-2019) sebesar < 15%, maka capaian tahun 2017 sedikit lebih tinggi dari target, artinya harga bawang merah di tingkat konsumen, relatif masih stabil. Harga rata-rata nasional bawang merah di tingkat konsumen pada tahun 2017 sebesar Rp32.195/kg. Harga rata-rata nasional ini lebih tinggi 0,61% dari Harga Acuan Pemerintah (HAP) yang ditetapkan sebesar Rp32.000/kg. Harga tertinggi terjadi di 37

Provinsi Papua Barat sebesar Rp53.344kg atau lebih tinggi 66,67% dari HAP dan harga terendah di Provinsi Sumatera Barat sebesar Rp22.771/kg atau lebih rendah 28,84% dari HAP. Tabel 16 Perkembangan Harga Bawang Merah Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017 No. Provinsi Harga (Rp/kg) CV 1 Aceh 25.803 11,67 2 Bali 26.174 24,29 3 Banten 29.731 17,70 4 Bengkulu 29.934 12,18 5 DI Yogyakarta 26.586 22,49 6 DKI Jakarta 35.703 13,25 7 Gorontalo 32.657 20,35 8 Jambi 24.167 8,89 9 Jawa Barat 28.587 17,23 10 Jawa Tengah 26.597 19,51 11 Jawa Timur 25.405 23,35 12 Kalimantan Barat 35.778 11,75 13 Kalimantan Selatan 29.860 23,96 14 Kalimantan Tengah 34.136 16,27 15 Kalimantan Timur 40.924 13,35 16 Kalimantan Utara 38.780 12,27 17 Kepulauan Bangka Belitung 35.971 13,46 18 Kepulauan Riau 30.547 6,50 19 Lampung 27.097 13,57 20 Maluku 42.033 16,30 21 Maluku Utara 42.932 14,48 22 Nusa Tenggara Barat 24.298 26,64 23 Nusa Tenggara Timur 32.254 14,52 24 Papua 52.497 15,18 25 Papua Barat 53.344 10,92 26 Riau 25.625 11,27 27 Sulawesi Barat 28.625 18,91 28 Sulawesi Selatan 26.402 18,26 29 Sulawesi Tengah 32.599 15,88 30 Sulawesi Tenggara 33.141 16,20 31 Sulawesi Utara 36.942 17,62 32 Sumatera Barat 22.771 10,57 33 Sumatera Selatan 29.853 14,32 34 Sumatera Utara 26.881 7,15 Rata-Rata 32.195 15,60 Harga Acuan Pemerintah (HAP) 32.000 Sumber: Panel Harga Pangan (diolah), Badan Ketahanan Pangan, 2017 38

Harga bawang merah yang berfluktuasi diindikasikan dengan nilai CV yang lebih dari 15%. Kondisi ini menunjukan bahwa harga bawang merah di Nusa Tenggara Barat, Bali dan Kalimantan Selatan cukup fluktuatif karena CV masing-masing provinsi sebesar 26,64%, 24,29% dan 23,96%. Sementara harga bawang merah yang relatif stabil terjadi di Kepulauan Riau (6,50%), Sumatera Utara (7,15%) dan Jambi (8,89%). Perkembangan harga dan Koefisien Variasi bawang merah per provinsi pada tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 16. Sebagaimana tersaji pada tabel 16, koefisien variasi harga bawang merah tahun 2017 adalah sebesar 15,56%. Koefisien variasi harga bawang merah tersebut apabila dibandingkan dengan data tahun 2016 mengalami penurunan. Hal ini bisa dikatakan bahwa harga bawang merah sepanjang 2017 lebih stabil dibanding tahun 2016. Sebagaimana tersaji pada tabel 17, laju rata-rata harga bawang merah pada tahun 2017 mengalami penurunan sebesar 1,44%. Penurunan harga tertinggi terjadi pada Bulan September 2017 sebesar 12,65% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara peningkatan harga bawang merah tertinggi terjadi pada bulan Maret sebesar 12,36%. Tabel 17 Perkembangan Harga Bawang Merah per Bulan Tahun 2017 No Bulan Harga (Rp/kg) Laju (%) 1 Januari 33.541 2 Februari 33.865 0,96 3 Maret 38.050 12,36 4 April 34.288 (9,89) 5 Mei 33.672 (1,80) 6 Juni 33.621 (0,15) 7 Juli 36.871 9,67 8 Agustus 32.868 (10,86) 9 September 28.711 (12,65) 10 Oktober 26.183 (8,80) 11 November 26.881 2,67 12 Desember 27.599 2,67 Rata-Rata 32.195 (1,44) Sumber: Panel Harga Pangan (diolah), Badan Ketahanan Pangan, 2017 39

Rata-rata harga bawang merah di tingkat konsumen di Toko Tani Indonesia Center (TTI-C) sebesar Rp17.000 /kg. Harga bawang merah tertinggi di TTIC pada bulan Juli sebesar Rp26.000/kg dan termurah pada bulan Oktober sebesar Rp18.000/kg. Harga bawang merah di TTIC yang jauh lebih murah dibandingkan dengan rata-rata harga nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia memberikan dampak terhadap stabilisasi harga bawang merah, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat. c. Koefisien Variasi Harga Cabai Merah Pada tahun 2017, harga cabai merah di tingkat konsumen relatif stabil dengan capaian koefisien variasi sebesar 23,18%, yang berarti lebih rendah dari target CV harga cabai merah tahun 2017 sebesar 27%. Apabila dibandingkan terhadap target koefisien variasi harga cabai merah pada tahun 2019 (akhir RPJMN tahun 2015 2019) sebesar < 25 %, maka capaian tahun 2017 melampaui target yang mengindikasikan harga cabai merah di tingkat konsumen relatif stabil. Harga rata-rata nasional cabai merah di tingkat konsumen pada tahun 2017 sebesar Rp36.256/kg, dimana harga tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar Rp57.472/kg dan harga terendah di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp24.317/kg. Harga cabai merah yang cukup fluktatif diindikasikan dengan nilai CV lebih dari 25%. Kondisi ini menunjukan bahwa harga bawang di Bali (50,37%), Jawa Timur (39,51%) dan Jawa Tengah (38,51%) cukup fluktuatif. Sementara harga cabai merah yang relatif stabil terjadi di Kalimantan Utara (6,23%) dan Papua Barat (10,08%). Perkembangan harga dan Koefisien Variasi harga cabai merah di tingkat konsumen per provinsi pada tahun 2017 dapat dilihat pada tabel 18. Sebagaimana terlihat pada tabel 18, koefisien variasi harga cabai merah tahun 2017 adalah sebesar 23,18%, turun dibandingkan dengan tahun 2016 yang sebesar 23,90%. Hal ini berarti harga cabai merah di sepanjang tahun 2017 lebih stabil jika dibandingkan dengan tahun 2016. Capaian ini tidak terlepas dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan, yaitu Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani 40

Indonesia. Kegiatan tersebut memberikan dampak terhadap stabilisasi harga cabai merah, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat. Tabel 18 Perkembangan Harga Cabai Merah Tingkat Konsumen per Provinsi Tahun 2017 No. Provinsi Harga (Rp/kg) CV 1 Aceh 30.501 32,95 2 Bali 29.235 50,76 3 Banten 30.555 24,84 4 Bengkulu 28.798 19,78 5 DI Yogyakarta 25.989 38,68 6 DKI Jakarta 39.917 24,35 7 Gorontalo 29.149 22,61 8 Jambi 29.677 36,15 9 Jawa Barat 29.911 15,80 10 Jawa Tengah 26.156 38,51 11 Jawa Timur 27.819 39,51 12 Kalimantan Barat 49.644 10,86 13 Kalimantan Selatan 37.334 21,61 14 Kalimantan Tengah 57.472 21,99 15 Kalimantan Timur 45.198 13,77 16 Kalimantan Utara 47.686 6,23 17 Kepulauan Bangka Belitung 37.518 17,51 18 Kepulauan Riau 50.278 13,09 19 Lampung 31.892 20,31 20 Maluku 45.501 23,37 21 Maluku Utara 39.137 15,82 22 Nusa Tenggara Barat 27.261 34,21 23 Nusa Tenggara Timur 45.658 22,88 24 Papua 46.854 18,94 25 Papua Barat 61.353 10,08 26 Riau 36.517 28,80 27 Sulawesi Barat 28.964 17,99 28 Sulawesi Selatan 24.317 20,57 29 Sulawesi Tengah 30.965 14,44 30 Sulawesi Tenggara 33.792 11,22 31 Sulawesi Utara 34.785 20,95 32 Sumatera Barat 31.380 30,58 33 Sumatera Selatan 31.860 14,54 34 Sumatera Utara 29.616 34,44 Rata-Rata 36.256 23,18 Sumber: Panel Harga Pangan (diolah), Badan Ketahanan Pangan, 2017 41

Berdasarkan pantauan data harga BPS periode Januari-Desember 2017, rata-rata harga cabai merah Rp33.355/kg. Harga tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar Rp46.828/kg dan harga terendah pada bulan September sebesar Rp26.715/kg. Pertumbuhan harga cabai merah sebesar -2,14% per bulan dan harga cabai merah tahun 2017 dapat dikatakan relatif stabil karena nilai koefisien variasi harga (CV) sebesar 5,95%. Harga cabai merah dikatakan berfluktuasi apabila koefisien varian diatas 27%. Sedangkan harga cabai merah di tingkat konsumen melalui Toko Tani Indonesia Center rata-rata sebesar Rp16.000/kg, dimana harga tertinggi terjadi pada Bulan Oktober November sebesar Rp26.000/kg dan terendah pada bulan Juli - Agustus sebesar Rp18.000/kg. Dalam mendukung stabilisasi harga beras, cabai merah, dan bawang merah tersebut, Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan kegiatan Penguatan LDPM, Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) melalui Toko Tani Indonesia (TTI), dan Panel Harga Pangan Nasional dan Pemantauan Harga dan Pasokan Pangan (HBKN). Berdasarkan capaian kinerja sasaran stabilnya harga beras, bawang merah dan cabai merah di tingkat eceran, ada beberapa hal yang menyebabkan stabilnya harga komoditas tersebut, yaitu: 1. Peningkatan produksi/ketersediaan antara lain dengan pola manajemen tanam sehingga panen tersebar sepanjang tahun 2. Kegiatan stabilisasi harga, antara lain melalui Toko Tani Indonesia (TTI), gelar pangan murah, bazar oleh berbagai Kementerian/Lembaga khususnya selama Harihari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). 3. Keterbukaan informasi publik terutama harga dari tingkat produsen sampai harga tingkat konsumen tersedia sehingga pihak spekulan tidak memainkan harga. 4. Sebaran produksi yang semakin merata di semua wilayah, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. 42

Penjelasan secara lengkap terkait kegiatan pendukung yang dilaksanakan dalam rangka stabilisasi harga pangan di tingkat produsen dan konsumen adalah sebagai berikut : a. Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM). Kegiatan Penguatan LDPM dilaksanakan secara bertahap mulai dari Tahap Penumbuhan, Tahap Pengembangan, Tahap Kemandirian dan Tahap Pasca Kemandirian. Pada tahun 2017, target kelembagaan distribusi pangan masyarakat yang diberdayakan (tahap pengembangan) adalah sebanyak 98 Gapoktan Tahap Pengembangan. Meskipun untuk Gapoktan Tahap Kemandirian sudah tidak menerima bantuan dana bantuan pemerintah, tetapi masih dilakukan pembinaan yang didanai APBN maupun APBD. Perkembangan target dan realisasi bansos LDPM tahap penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian, selama tahun 2013-2017 dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19 Perkembangan LDPM Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian Tahun 2013-2017 Tahun Tahap Penumbuhan Tahap Pengembangan Alokasi Realisasi % Alokasi Realisasi % 2013 75 74 98,67 281 210 74,73 2014 38 38 100,00 117 102 87,18 2015 203 203 100,00 38 36 94,74 2016 100 98 98 203 189 93,10 2017 - - 98 94 95,92 Total 416 413 99,28 737 631 85,62 Sumber : Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Berdasarkan Realisasi, pemberdayaan Gapoktan selaku lembaga distribusi pangan pada tahun 2017 adalah 94 Gapoktan atau mencapai 95,92% dari target 98 Gapoktan. Realisasi kegiatan Penguatan-LDPM tidak mencapai 100 persen Terdapat 4 Gapoktan yang tidak mencairkan dana bantuan pemerintah yaitu: (1) 1 (satu) Gapoktan di Provinsi Bengkulu karena terjadinya permasalahan pengurus Gapoktan; 43

(2) 2 (dua) Gapoktan di Jawa Timur karena sampai batas waktu yang ditentukan belum berhasil memenuhi persyaratan, yaitu putaran modal dari dana yang telah diterima sebelumnya belum mencapai 1 kali putaran; (3) 1 (satu) Gapoktan di Kalimantan Selatan, karena tidak berhasil memenuhi persyaratan. Secara grafis, perkembangan LDPM tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian Tahun 2013-2017 dapat dilihat pada gambar 4. Chart Title 800 700 600 500 400 300 200 100 0 2013 2014 2015 2016 2017 Total Tahap Penumbuhan Alokasi Tahap Penumbuhan Realisasi Tahap Penumbuhan % Tahap Pengembangan Alokasi Tahap Pengembangan Realisasi Tahap Pengembangan % Gambar 4 Perkembangan LDPM Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian Tahun 2013-2017 Rata-rata harga gabah di tingkat gapoktan LDPM periode bulan April sebesar Rp3.483/kg (94% dari HPP), karena pada bulan tersebut terjadi panen raya. Sementara itu, pada bulan Agustus harga GKP mencapai Rp3.788/kg atau atau 102% dari HPP, karena pada bulan-bulan berikutnya mengalami musim tanam dan produksi menurun. Hal tersebut dapat diartikan bahwa harga gabah di tingkat LDPM relative stabil, tidak terjadi fluktuasi harga secara signifikan. Berdasarkan hasil pemantauan dan pelaporan pelaksanaan kegiatan Penguatan- LDPM, secara nasional, Gapoktan P-LDPM Tahun 2017 telah melakukan pembelian gabah/beras/jagung sebanyak 221.215 kg GKP, 263.285 kg GKG, 176.219 kg beras, 22.000 kg jagung tongkol dan 11.000 kg jagung pipil. Rincian pembelian 44

gabah/beras/jagung oleh unit distribusi/pengolahan/pemasaran yang merupakan kinerja distribusi Gapoktan P-LDPM tahun 2017 di masing-masing provinsi dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20 Kinerja Distribusi Gapoktan P-LDPM Tahun 2017 Komoditas N Volume Beli (Rp) Harga beli (Rp/kg) Volume Jual (Rp) Harga Jual (Rp/kg) GKP 37 221.215 4.115 62.200 4.289 GKG 42 263.285 4.748 198.188 9.360 Beras 61 176.219 8.283 292.716 8.596 Jagung Tongkol 24 22.000 2.900 - - Jagung Pipil 23 11.000 3.428 385.025.1 4.194 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk komoditas beras aktifitas pembelian oleh Gapoktan P-LDPM paling banyak dalam bentuk GKG dibandingkan GKP dan beras. Aktifitas membeli GKG, mengolah dan menjual dalam bentuk beras dapat memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dibandingkan beli beras kemudian menjual beras. Namun demikian di beberapa wilayah, petani mempunyai kebiasaan tidak akan menjual hasil produksi dalam bentuk gabah tetapi beras. Di wilayah-wilayah dengan karakteristik seperti ini, Gapoktan dapat meningkatkan nilai tambah melalui sortasi, grading dan pengemasan. Perkembangan harga beli komoditas gabah, beras, dan jagung selama Bulan April- Desember 2017 dapat dilihat pada gambar 5. 45

Perkembangan Harga Beli 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des GKP GKG Beras Jagung Tongkol Jagung Pipil Gambar 5 Perkembangan Harga Beli Komoditas Sebagaimana terlihat pada Gambar 5 di atas, pada periode Bulan April-Desember 2017, harga beli gabah dan beras mempunyai kecenderungan meningkat pada akhir tahun, sementara harga beli jagung telihat mempunyai kecenderungan menurun. Harga pembelian GKP dan GKG terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu sebesar Rp 3.849/kg untuk GKP dan Rp4.539/kg untuk GKG. Penurunan harga beras pada bulan Oktober antara lain dipengaruhi oleh pemberlakuan Permendang 57 Tahun 2017 tentang HET Beras yang mulai efektif diberlakukan pada akhir Bulan September. Namun demikian penurunan harga beras ini tidak diikuti penurunan harga GKP dan GKG, hal ini mengindikasikan jika harga beli gabah di tingkat petani tetap terjaga. Sedangkan perkembangan harga jual komoditas beras, bawang merah, dan jagung dapat dilihat pada gambar 6. 46

Perkembangan Harga Jual 8500 6500 4500 2500 500 Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des GKP GKG Beras Jagung Tongkol Jagung Pipil Gambar 6 Perkembangan Harga Jual Komoditas Analisis terhadap perkembangan harga jual gabah, beras dan jagung yang dilaksanakan oleh Gapoktan memperlihatkan jika selisih harga GKP dan GKG berfluktuasi sepanjang Bulan April-Desember. Pada Bulan Juli, September dan November terjadi selisih harga yang relatif tinggi antara GKP dengan GKG. Harga jual beras relatif lebih stabil jika dibandingkan harga jual gabah, kecuali harga jual beras pada bulan Desember sebesar Rp9.500/kg. Gapoktan harus terus didorong untuk mampu meningkatkan kemampuan dalan pengolahan dan pemasaran, sehingga tidak lagi terbatas membeli gabah dan menjual dalam bentuk gabah. Adanya aktifitas Gapoktan yang menjual gabah dalam bentuk GKP memperlihatkan masih adanya Gapoktan yang mempunyai aktifitas distribusi terbatas. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah keterbatasan sarana pengolahan yang dimiliki Gapoktan, maupun keterbatasan pengembangan jejaring pemasaran yang harus dilakukan Gapoktan. Tindak lanjut dari permasalahan ini adalah agar pembinaan lanjutan dapat lebih mengarahkan kepada pengembangan usaha Gapoktan, serta bagi Gapoktan yang mempunyai kelembagaan yang telah terbangun dengan baik dapat difasilitasi dan disinergikan dengan bantuan mesin pengolah padi dari instansi terkait. Peningkatan peran Gapoktan dalam Distribusi Pangan menuntut pengembangan kemampuan Gapoktan dalam agribisnis pangan terutama pada subsistem pemasaran hasil sehingga nilai tambah dapat juga dinikmati oleh petani melalui Gapoktan. 47

Dampak kegiatan Penguatan-LDPM juga terlihat dari peningkatan peran Gapoktan dalam pengelolaan cadangan pangan, yang meningkatkan kemudahan petani (anggota) dalam mengakses pangan pada saat terjadi kelangkaan pangan. Cadangan pangan LDPM diperuntukkan bagi anggota Gapoktan, dengan tujuan untuk meningkatkan akses pangan terutama pada saat terjadi paceklik atau di luar musim panen. Pengelolaan cadangan pangan pada Gapoktan P-LDPM diharapkan juga dapat memperkuat cadangan pangan masyarakat. Perkembangan Stok Cadangan Pangan Gapoktan dapat dilihat pada gambar 7. 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 Total Rata-Rata Gambar 7 Perkembangan Stok Cadangan Pangan Gapoktan Dari Gambar 7 di atas dapat diketahui bahwa stok cadangan pangan tertinggi terjadi pada Bulan September dan cenderung menurun pada bulan-bulan selanjutnya. Tingginya stok cadangan pada bulan Juli-September antara lain dipengaruhi oleh tingginya panen pada periode tersebut. Sebaliknya memasuki trismester keempat (Oktober-Desember), stok cadangan mengalami penurunan yang cukup signifikan, yang dipengaruhi rendahnya panen pada bulan tersebut serta terjadinya gagal panen di beberapa wilayah. 48

Tingginya pemanfaatan cadangan pangan oleh anggota memperlihatkan bahwa manfaat dari pengadaan cadangan pangan dapat dirasakan anggota. Pengelolaan cadangan pangan juga harus dapat meminimalkan kehilangan dan susut penyimpanan, antara lain melalui peremajaan cadangan pangan jika dalam periode yang cukup lama gabah atau beras Gapoktan tidak dipinjam oleh anggota. b. Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat melalui Toko Tani Indonesia Dalam menciptakan stabilitas harga pangan di tingkat produsen dan konsumen, Kementerian Pertanian melalui Badan Ketahanan Pangan telah melaksanakan kegiatan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat melalui Toko Tani Indonesia (TTI). Kriteria penerima kegiatan TTI dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 Kriteria Penerima Kegiatan Toko Tani Indonesia Sementara itu, kerangka pikir pelaksanaan Toko Tani Indonesia (TTI) dapat dilihat pada gambar 9. 49

STAKEHOLDE Gambar 9 Kerangka Pikir Pelaksanaan Toko Tani Indonesia Sasaran kegiatan pelaksanaan PUPM melalui TTI pada tahun 2017 sebesar 406 LUPM di 7 provinsi yaitu Sumsel, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, dan NTB, mendapatkan bantuan pemerintah sebesar Rp160.000.000,00, terdiri dari Rp100.000.000,00 untuk modal dan biaya operasional Rp60.000.000,00. Realisasi pelaksanaan kegiatan PUPM telah tercapai 406 LUPM atau 100 %. Sedangkan gapoktan kegiatan PUPM tahap pengembangan berjumlah 492 gapoktan dan sudah tercapai 486 gapoktan atau 98,78 % dari target. LUPM Tahap Pengembangan mendapatkan bantuan pemerintah untuk biaya operasional sebesar Rp60.000.000,00. Belum tercapainya pada LUPM Tahap Pengembangan, disebabkan beberapa Provinsi tidak mencairkan dana bantuan pemerintah tahap pengembangan yaitu Provinsi Aceh sebanyak 1 gapoktan, Bengkulu sebanyak 2 Gapoktan, Kalimantan Tengah sebanyak 1 Gapoktan, dan Sulawesi Tenggara sebanyak 2 Gapoktan. Pelaksanaan kegiatan PUPM Tahun 2017, gapoktan/lupm pemasok pangan berasal dari 7 (tujuh) provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat sesuai dengan karakteristik sentra pangan yang dimiliki, berkewajiban memasok bahan pangan ke TTI di wilayah Jabodetabek dan wilayahnya yang menjadi fokus stabilisasi harga pangan di tingkat 50

konsumen. Komoditas pangan yang wajib dipasok oleh gapoktan/lupm adalah beras, cabai merah, dan bawang merah. Sedangkan sasaran TTI sebanyak 1.000 toko baik di wilayah Jabodetabek maupun di wilayahnya, sedangkan TTI telah tercapai 1.113 toko. TTI Wilayah Jabodetabek yang layak mendapatkan dana bantuan pemerintah berdasarkan evaluasi tim Pembina provinsi terdapat 84 TTI di wilayah Tangerang Raya, 98 TTI di wilayah DKI Jakarta dan 198 TTI di wilayah Jawa Barat (Kab/Kota Bogor, Depok, dan Kab/Kota Bekasi). Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan PUPM melalui TTI secara umum adalah : (a) Harga gabah diatas HPP, (b) Kemasan gambar/branding kemasan diubah, termasuk kemasan mudah pudar, (c) Diindikasi penyimpangan dana oleh Pengurus, dana dipinjam pengurus bukan kepentingan PUPM, (d) Dana PUPM berada pada 2 (dua) rekening yaitu rekening LUPM dan rekening Ketua LUPM/Kepala Desa, (e) Hasil penjualan TTI tidak segera disetorkan ke Gapoktan atau LUPM, (f) Pendamping tidak melakukan tugas pendampingan ke Gapoktan - TTI sebagaimana mestinya, serta Pendamping tidak rutin & tidak tepat waktu dalam mengirimkan laporan mingguan, (g) Jumlah perputaran penjualan beras TTI minim dikarenakan lokasi yang tidak strategis dan harga gabah diatas HPP. Sementara itu, progres kegiatan PUPM dan TTI Tahun 2015-2017 dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 21 Progres Kegiatan PUPM dan TTI Tahun 2015-2017 No Uraian Tahun 2015 2016 2017 T R T R T R 1 Lembaga Usaha Pangan Masyarakat (LUPM) 0 0 500 492 898 891 2 Toko Tani Indonesia (TTI) 39 1.000 1.320 2.000 2.433 Sumber: Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan Keterangan: data tahun 2017 berupa akumulasi dengan tahun 2016 Dalam mendukung stabilisasi harga, Badan Ketahanan Pangan membuka model Toko Tani Indenesia Center (TTIC) di Pasar Minggu Provinsi DKI Jakarta. Komoditas 51

pangan yang dijual TTIC antara lain: beras premium dengan harga Rp7.900/kg, daging sapi Rp75.000/kg, daging kerbau Rp65.000/ kg, bawang merah Rp25.000/kg, cabe merah keriting Rp30.000/kg, gula pasir Rp12.500/kg, daging ayam Rp30.000/kg, dan minyak goreng Rp12.500/liter. Kontribusi TTI maupun TTIC dalam stabilisasi harga adalah harga yang diberikan kepada konsumen relatif lebih murah dibandingkan dengan pasar atau ritel. Bahkan, harga tersebut sudah terbukti melalui riset dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu pada minggu kedua Oktober dibanding September 2017. Pergerakan harga pangan sampai minggu kedua Oktober relatif stabil dengan kenaikan harga berkisar 0,05%-1,15%, bahkan terdapat penurunan harga di level -1,78%- -18,14% pada beberapa komoditas. Adapun kondisi harga pangan yang mengalami kenaikan tidak signifikan di antara beras umum Rp13.297/kg (0,63%), minyak goreng curah Rp12.473/lt (0,44%), daging sapi Rp114.795/kg (0,05%), dan cabai merah Rp29.551/kg (1,15%). Sedangkan beberapa harga pangan yang mengalami penurunan di antaranya gula pasir Rp14.217/kg (-1,84%), daging ayam Rp30.331/kg (-3,84%), telur ayam Rp20.796/kg (- 1,78%), cabai rawit Rp24.893/kg (18,14%), dan bawang merah Rp24.875/kg (-7,55%). Kondisi tersebut diperkuat dengan angka inflasi yang terkoreksi di level 0,13% di mana kontribusi pangan dalam inflasi tersebut sangat minim. Hasil survei lainnya juga menunjukkan bahwa yang menjadi daya tarik masyarakat untuk berkunjung/belanja ke TTI mayoritas sebesar 44% karena harga yang murah, selanjutnya diikuti 18% karena tempat yang nyaman, 16% karena lokasi terjangkau, 8% produk yang bervariasi, 6 % masa promosi dan sisanya lain-lain. Alasan utama masyarakat berbelanja di TTIC dapat dilihat pada gambar 10. 52

Alasan utama belanja ke TTI Center 6% 7% 1% 18% 44% 16% 8% Gambar 10 Alasan Utama Belanja ke TTI Center Berdasarkan penjelasan dari tabel dan gambar tersebut di atas, dapat diketahui bahwa animo masyarakat untuk berkunjung serta belanja di TTI Center sangat tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keberadaan TTI Center sangat diperlukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, jumlah maupun cakupan TTI Center perlu ditambah diperluas dan jika memungkinkan diperluas di daerah lain di luar di DKI Jakarta. Perluasan dapat dilakukan pada daerah-daerah lain yang menjadi barometer fluktuasi harga pangan pokok strategis. Berdasarkan panel harga konsumen dan TTI, maka dapat disimpulkan bahwa harga beras di tingkat konsumen pada tahun 2017, sangat stabil. Merespon perkembangan ekonomi digital dan tuntutan kemudahan berbelanja bagi masyarakat, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian merancang aplikasi Toko Tani Indonesia (TTI) online dalam aplikasi e-commerce (business to business) yang melibatkan petani, masyarakat, lembaga keuangan, dan transportasi. Hal ini sebagai wujud transformasi dalam pelayanan TTI agar dapat melayani masyarakat secara lebih luas, mudah dan murah. Manfaat aplikasi ini adalah: (1) ketersediaan informasi stok di sisi Gapoktan dan TTI, (2) kepastian pengiriman dan monitoring proses pengiriman, (3) jaminan kontinuitas pasokan, (4) minimalisasi biaya 53

distribusi, (5) adanya kepastian harga dan stok yang dapat dibeli masyarakat, dan (6) informasi akses lokasi TTI terdekat bagi masyarakat. Output dari sistem e-commerce berupa Bank Data terkait pola produksi serta pola transaksi, yang kedepannya bisa sebagai bahan penyusunan kebijakan Kementerian Pertanian, terutama terkait pemasaran hasil pertanian dan program stabilisasi harga dan pasokan pangan. Ke depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan sehingga masyarakat dapat ikut mengakses layanan TTI secara online. Dalam konteks ini, peran perbankan akan terus dikembangkan dlm sistem ini. Bank Rakyat Indonesia (BRI) berkomitmen mendukung pengembangan cashless payment antara TTI dengan Gapoktan. Peran perbankan juga akan diperluas sebagai pemberi pinjaman mikro/ritel bagi petani, gapoktan dan Toko Tani Indonesia. Selain itu juga akan dikembangkan Cash Management Transaction (Traffic) keuangan TTI Center. Dengan adanya sistem manajemen informasi e-commerce TTI akan semakin mengokohkan ketersediaan stok dan pasokan yang ada di TTI. Sistem ini juga akan memudahkan transaksi antara Gapoktan LUPM dengan TTI melalui dukungan BRI cashless payment traffic management, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat. 5. Konsumsi Energi Konsumsi energi per kapita per hari didefinisikan sebagai nilai pangan yang dikonsumsi per kapita per hari dengan satuan Kkal. Sesuai dengan rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi/WNPG ke X Tahun 2012, Angka Kecukupan Energi(AKE) adalah sebesar 2.150 Kkal/kapita/hari. Konsumsi energi per kapita per hari dihitung dengan cara membagi total konsumsi energi rumah tangga per hari dengan jumlah angka rumah tangga (ART). Perkembangan konsumsi energi per kapita per hari tahun 2013-2017 disajikan pada tabel 22. Sebagaimana terlihat dalam tabel 22, konsumsi energi masyarakat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dengan laju peningkatan sebesar 2,8% per tahun. Pada tahun 2013, konsumsi energi masyarakat hanya sebesar 1.930 kkal/kap/hari dan meningkat menjadi 2.153 Kkal/kap/hari pada tahun 2017. Capaian ini masih dalam batas normal, dengan kisaran 90%-110% dari Angka Kecukupan Energi (AKE), yaitu sebesar 2.150 kkal/kap/hari. Jika dibandingkan tahun 2016, konsumsi energi tahun 54

2017 mengalami peningkatan sebesar 6 poin atau 0,28%. Capaian konsumsi energi tahun 2017 ini juga sudah melebihi target yang ditetapkan untuk tahun 2017, yaitu sebesar 2.077 Kkal/kap/hr. Sementara itu, jika dibandingkan dengan target jangka menengah yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan strategis, capaian kinerja konsumsi energi tahun 2017 sudah melampaui target yang ditetapkan. Dalam dokumen perencanaan strategis, ditetapkan target konsumsi energi sebesar 2.150 Kkal/kap/hari pada tahun 2019, sedangkan konsumsi energi tahun 2017 sudah mencapai 2.153 kkal/kap/hari. Tabel 22 Perkembangan Konsumsi Energi tahun 2013 2017 Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 1.930 1.949 2.099 2.147 2.153 Sumber : Susenas 2013 2017; BPS.diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Secara nasional, sumber konsumsi energi masyarakat pada tahun 2017 masih didominasi oleh kelompok padi-padian, yaitu sebesar 1.318 kkal/kap/hari. Angka tersebut mencapai 122,6% jika dibandingkan dengan standar konsumsi energi kelompok padi-padian, yaitu sebesar 1.075 kkal/kap/hari. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi per kelompok pangan belum mencapai kondisi ideal, yang ditandai dengan masih tingginya konsumsi padi-padian terutama beras dan terigu, serta masih rendahnya konsumsi pangan hewani, umbi-umbian, serta sayur dan buah. Perkembangan Konsumsi Energi Penduduk Indonesia Tahun 2013-2017 menurut kelompok pangan disajikan pada tabel 23. Untuk mencapai konsumsi energi yang ideal perlu diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-umbian dan sumber karbohidrat lainnya. Meskipun tren konsumsi umbi-umbian mengalami peningkatan, namun konsumsi beras masih mendominasi kontribusi energi dari pangan sumber karbohidrat. Hal ini menyebabkan jumlah agregat kebutuhan konsumsi beras masyarakat masih tinggi. Kondisi ini menunjukkan konsumsi energi penduduk masih belum memenuhi kaidah gizi seimbang yang 55

dianjurkan. Untuk itu, di masa mendatang pola konsumsi pangan masyarakat diarahkan pada pola konsumsi pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman. Tabel 23 Perkembangan Konsumsi Energi Penduduk Indonesia Tahun 2013-2017 Menurut Kelompok Pangan Kelompok Pangan Konsumsi Energi (Kkal/kap/hari) 2013 2014 2015 2016 2017 I. Padi-padian 1164 1164 1253 1274 1.318 II. Umbi-umbian 39 38 48 49 60 III. Pangan Hewani 174 183 201 211 225 IV. Minyak dan Lemak 233 243 257 265 233 V. Buah/biji berminyak 39 38 44 42 24 VI. Kacang-kacangan 58 57 57 60 62 VII. Gula 93 90 102 111 76 VIII. Sayuran dan buah 96 101 99 96 101 IX. Lain-lain 35 36 38 37 53 Total Energi 1930 1949 2099 2147 2.153 Tk.Konsumsi Energi (TKE) 89,8 90,7 97,6 99,9 107,6 Skor PPH (berdasarkan AKE 2.000 Kkal/kap/hari) 81,4 83,4 85,2 86,0 88,0 Upaya Badan Ketahanan Pangan dalam rangka mensubsitusi konsumsi beras berkoordinasi dengan instansi terkait dalam hal peningkatan konsumsi pangan sumber karbohidrat lain seperti umbi-umbian, sosialisasi/edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan, serta kegiatan Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. 6. Konsumsi Pangan Hewani Definisi konsumsi pangan hewani per kapita per hari adalah nilai pangan hewani yang dikonsumsi per kapita tiap hari dengan satuan kkal, dengan memperhatikan rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi/WNPG ke X Tahun 2012, yaitu Angka Kecukupan Energi/EKE 2.150 kkal/kap/hari. Konsumsi pangan hewani per kapita per hari, dengan cara membagi jumlah konsumsi pangan hewani rumah tangga per hari dengan jumlah angka rumah tangga (ART). 56

Data terkait capaian konsumsi energi pangan hewani tahun 2013-2017 disajikan pada tabel 24. Sebagaimana tersaji dalam tabel 24, konsumsi energi pangan hewani dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan sebesar 6,7% per tahun. Apabila dibandingkan dengan tahun 2016, capaian konsumsi energi pangan hewani tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 6,63%. Capaian tahun 2017 sebesar 225 kkal/kap/hari telah melampaui dari target yang ditetapkan, yaitu sebesar 208 kkal/kap/hari (108,2%). Artinya secara kuantitas konsumsi pangan hewani masyarakat sudah terpenuhi sehingga capaian kinerja semakin baik. Konsumsi energi pangan hewani didominasi oleh konsumsi energi dari daging unggas (daging ayam) dan ikan, sedangkan konsumsi daging ruminansia (daging sapi, kambing, dll) masih tergolong rendah. Sementara itu, jika dibandingkan dengan target jangka menengah yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan strategis, capaian kinerja tahun 2017 sudah memenuhi target yang ditetapkan, yaitu sebesar 225 KKal/kap/hari. Lebih lanjut, jika dilihat berdasarkan kelompok pangannya peningkatan terbesar konsumsi energi pangan hewani berasal dari daging unggas. Hal ini kemungkinan disebabkan relatif stabilnya harga daging unggas, sehingga lebih terjangkau oleh masyarakat. Faktorfaktor yang mempengaruhi capaian konsumsi pangan hewani antara lain kondisi sosial-budaya, ekonomi dan juga ketersediaan pangan di wilayah tersebut. Tabel 24 Konsumsi Energi Kelompok Pangan Hewani Tahun 2017 Kelompok Pangan Konsumsi Energi (Kkal/kap/hari) 2013 2014 2015 2016 2017 Pangan Hewani 174 183 201 211 225 a. Daging ruminansia 14 14 18 20 18 b. Daging ungags 42 46 56 61 85 c. Telur 28 28 27 27 27 d. Susu 32 33 39 41 34 e. Ikan 59 62 62 61 62 Sumber : Data Susenas, diolah BKP Upaya Badan Ketahanan Pangan dalam rangka peningkatan konsumsi pangan hewani adalah berkoordinasi dengan instansi terkait, sosialisasi/edukasi kepada masyarakat 57

tentang pentingnya diversifikasi pangan, serta kegiatan Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari. 7. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur pencapaian kualitas konsumsi pangan adalah melalui skor PPH. Skor PPH Konsumsi didefinisikan sebagai proporsi kelompok pangan yang menggambarkan keragaman dan keseimbangan pangan dalam kondisi konsumsi pangan. Skor PPH Konsumsi dihitung dengan cara mengalikan persentase Angka Kecukupan Energi (AKE) tingkat konsumsi dengan bobot setiap kelompok pangan yang sudah ditetapkan. Pola konsumsi pangan yang ideal digambarkan dengan skor PPH 100. Sebagaimana terlihat dalam tabel 25, capaian keberhasilan Skor PPH tahun 2013-2017 mengalami peningkatan yaitu dari 81,4 menjadi 88,0 dengan peningkatan ratarata sebesar 2,0%/tahun seperti dalam tabel 27. Capain ini menunjukkan kualitas konsumsi pangan masyarakat semakin baik. Skor PPH tahun 2017 sebesar 88,0 atau mencapai 99,6% dari target sebesar 88,4. Jika dibandingkan dengan capaian tahuntahun sebelumnya, capaian kinerja skor PPH konsumsi tahun 2017 sudah banyak mengalami peningkatan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan target jangka menengah yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan strategis masih belum memenuhi target. Dalam dokumen perencanaan strategis, target yang ditetapkan terkait dengan skor PPH konsumsi adalah sebesar 92,5. Tabel 25 Perkembangan Skor PPH 2013 2017 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 T R T R T R T R T R Skor Pola Pangan Harapan (PPH) 91,5 81,4 93,3 83,4 84,1 85,2 86,2 86,0 88,4 88,0 Sumber: Susenas 2013-2017 BPS. diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Keterangan : Target berdasarkan Renstra Revisi BKP 2010-2014 dan Renstra BKP 2015-2019 58

Realisasi capaian skor PPH di tahun 2013 dan 2014 mempunyai kesenjangan yang cukup besar dengan target yang ditetapkan. Adanya kesenjangan tersebut telah dievaluasi dan ditindaklanjuti dengan review target sasaran merujuk pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X tahun 2012 yaitu merekomendasikan pencapaian target skor PPH sebesar 95 menjadi target capaian tahun 2025 yang sebelumnya (sesuai Perpres 22 tahun 2009), dijadikan target capaian tahun 2015. Dengan demikian, telah dilakukan penghitungan ulang terhadap target pencapaian kualitas konsumsi pangan dengan baseline data tahun 2014 menghasilkan target skor PPH 92,5 pada tahun 2019. Jika dibandingkan dengan tahun 2016, skor PPH konsumsi tahun 2017 mengalami peningkatan sebesar 2,32%. Kondisi saat ini, konsumsi pangan masyarakat masih kurang beragam, yang ditunjukkan dengan masih tingginya konsumsi padi-padian, dan rendahnya konsumsi sayur dan buah, pangan hewani, kacang-kacangan, serta umbi-umbian. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: (a) perilaku masyarakat yang masih merasa belum makan jika belum makan nasi; (b) masih rendahnya daya beli masyarakat. rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pola pangan beragam dan bergizi seimbang.dan masih adanya keterbatasan aksesibilitas terhadap pangan; (c) kurang berkembangnya teknologi untuk memproduksi maupun mengolah bahan pangan terutama pangan lokal non beras dan non terigu; (d) produksi umbiumbian masih belum stabil, sehingga mempengaruhi harga umbi-umbian di pasar; (d) keterlibatan swasta dan pemerintah dalam teknologi pengolahan pangan lokal/umbiumbian (seperti tepung-tepungan, berasan/butiran, dan lain-lain) belum memasuki tahap industrialisasi (scaling up production), sehingga harga pangan lokal sumber karbohidrat masih tinggi di tingkat pasaran dan masyarakat belum mampu mengaksesnya; (e) teknologi penyimpanan pangan lokal/umbi-umbian dalam jangka waktu yang panjang belum banyak dan belum tersosialisasikan ke masyarakat; (f) berbagai produk olahan pangan lokal belum tersosialisasi dengan baik di masyarakat dan masih dianggap sebagai pangan inferior; (g) komitmen aparat dalam mengimplementasi program dan kegiatan diversifikasi dirasa masih belum kuat; dan 59

(h) belum optimalnya kerjasama antar kementerian/lembaga serta lemahnya partisipasi masyarakat. Untuk meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat, perlu terus didukung dengan upaya mempercepat terwujudnya konsumsi pangan masyarakat yang beragam dan bergizi seimbang melalui : 1) Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengonsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA) melalui Komunikasi, Informasi, Edukasi KIE (penyusunan KIT dan Modul Penyuluhan di tingkat lapangan, Lomba Cipta Menu, serta penyebarluasan informasi melalui media cetak dan elektronik); 2) Upaya penurunan konsumsi beras dilakukan dengan meningkatkan produksi serta konsumsi pangan karbohidrat berbasis sumberdaya lokal; 3) Peningkatan konsumsi melalui penyediaan sayuran dan buah, pangan hewani, dan kacang-kacangan yang cukup dan dapat diakses oleh seluruh anggota keluarga. Upaya diatas merupakan daya ungkit yang cukup besar untuk dapat meningkatkan skor PPH. 8. Rasio Konsumsi Pangan Lokal Non Beras Terhadap Beras Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras didefinisikan sebagai jumlah konsumsi energi pangan lokal yang dihitung dari konsumsi singkong, ubi jalar, kentang, sagu, umbi lainnya dan jagung dibandingkan dengan konsumsi energi beras pada kurun waktu tertentu. Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras dihitung dengan cara membagi jumlah konsumsi energi pangan lokal yang dihitung dari konsumsi singkong, ubi jalar, kentang, sagu, umbi lainnya dan jagung dengan knsumsi energi yang berasal dari beras. Capaian rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras tahun 2013-2017 disajikan dalam tabel 26. Sebagaimana tersaji dalam tabel 26, rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras mengalami tren peningkatan dari tahun ke tahun. Jika dibandingkan tahun 2016, rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras pada tahun 2107 mengalami peningkatan sebesar 18,73%. Demikian juga, apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, rasio konsumsi pangan lokal terhadap beras terus mengalami peningkatan. 60

Tabel 26 Perkembangan Rasio Konsumsi Pangan Lokal Non Beras terhadap Beras Tahun 2013-2017 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 Rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras 5,53 5,39 6,37 6,30 7,48 Sumber : Susenas 2013 2017; BPS.diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Capaian tahun 2017 sebesar 7,48% telah melebihi target sebesar 5,87%. Hal ini berarti bahwa konsumsi pangan masyarakat bersumber dari pangan lokal yaitu umbiumbian dan jagung mengalami peningkatan, sehingga capaian kinerja semakin baik. Namun demikian perlu terus didorong kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman (B2SA). Salah satunya melalui sosialisasi/gerakan/kampanye diversifikasi pangan sehingga pola konsumsi masyarakat tidak hanya bergantung pada satu sumber pangan yaitu beras saja. Capaian kinerja rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras tahun 2017 jika dibandingkan dengan capaian-capaian tahun sebelumnya sudah banyak mengalami peningkatan. Capaian ini juga sudah melampaui target jangka menengah yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan strategis. Dalam dokumen perencanaan strategis, target rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras yang ditetapkan adalah sebesar 6,23%. Diversifikasi konsumsi pangan ini tidak sebatas hanya diartikan sebagai penganekaragaman konsumsi karbohidrat saja, akan tetapi juga sumber pangan zat gizi lainnya yang diarahkan pada terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi secara seimbang, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas. Upaya untuk mewujudkan pemenuhan konsumsi energi, konsumsi pangan hewani, PPH, dan rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras merupakan kegiatan lintas sektor yang dipengaruhi oleh kinerja berbagai unit kerja/instansi lain. Kegiatan yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan untuk mendukung pencapaian konsumsi energi, konsumsi pangan hewani, PPH, dan rasio konsumsi pangan lokal 61

non beras terhadap beras antara lain: (a) Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dalam bentuk kegiatan Optimalisasi Pemanfaatan Pekarangan, (b) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), (c) Sosialisasi dan Promosi P2KP, (d) Gerakan Diversifikasi Pangan, dan (e) Pemantauan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Selain itu juga, diperlukan replikasi kegiatan agar dapat memberikan dampak yang lebih luas di masyarakat. Selain itu, untuk meningkatkan keberagaman pangan juga diperlukan dukungan sosialisasi/promosi tentang pentingnya penganekaragaman pangan. a. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) berbasis Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan wanita untuk mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan sebagai sumber pangan dan gizi keluarga. Pendekatan pengembangan ini dilakukan dengan mengembangkan pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), antara lain dengan membangun kebun bibit dan mengutamakan sumber daya lokal disertai dengan pemanfaatan pengetahuan lokal (local wisdom) sehingga kelestarian alam pun tetap terjaga. Selain pemanfaatan pekarangan, juga diarahkan untuk pemberdayaan kemampuan kelompok wanita membudayakan pola konsumsi pangan Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA), termasuk kegiatan usaha pengolahan pangan rumah tangga untuk menyediakan pangan yang lebih beragam. Di setiap desa dibangun kebun bibit untuk memasok kebutuhan bibit tanaman, ternak, dan/atau ikan bagi anggota kelompok dan masyarakat, sehingga tercipta keberlanjutan kegiatan. Data perkembangan sasaran kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari Tahun 2014-2017 disajikan pada tabel 27. Tabel 27 Sasaran Kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari Tahun 2014-2017 Uraian Tahun 2014 2015 2016 2017 RKT 6.264 3.810 4.894 1.691 Realisasi 4.303 2.599 4.877 1.691 62

Desa Laporan Kinerja Badan ketahanan Pangan Tahun 2017 Pelaksanaan KRPL dapat membantu peningkatan konsumsi pangan keluarga dan pendapatan keluarga. Percepatan penganekaragaman konsumsi pangan dapat dilihat dalam gambar 11. Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) 8000 6000 4000 2000 0 2014 2015 2016 2017 Tahun RKT Realisasi Gambar 11 Perkembangan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan b. Gerakan Diversifikasi Pangan Gerakan Diversifikasi Pangan adalah upaya Badan Ketahanan Pangan dalam mensosialisasikan program dan kegiatan penganekaragaman konsumsi pangan, antara lain (1) mengenalkan pangan lokal kepada masyarakat bahwa sumber karbohidrat tidak selalu berasal dari beras padi, (2) mengenalkan pangan Beragam Bergizi Seimbang dan Aman, dengan slogan Isi Piringku. 9. Peningkatan Produk Pangan Segar yang Tersertifikasi Definisi peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi adalah jumlah pangan segar yang telah diberikan jaminan tertulis oleh lembaga yang telah diakreditasi pada tahun tertentu (y) dibandingkan dengan tahun sebelumnya (y-1). Peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi tiap tahun ditetapkan sebesar 10%. Jumlah peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi pada tahun tertentu dihitung dengan cara : jumlah pangan segar pada tahun tertentu dikurangi dengan jumlah pangan segar pada tahun sebelumnya dan selanjutnya dibagi jumlah pangan segar pada tahun sebelumnya dikalikan 100%. 63

Tabel 29 memuat perkembangan peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi tahun 2015-2017. Sebagaimana terlihat pada tabel tersebut, capaian kinerja peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi tahun 2017 mencapai 13% (di atas target yaitu 10%). Berdasarkan pencapaian target peningkatan 1% mengindikasikan bahwa sebanyak produk pangan segar yang tersertifikasi, hal ini menunjukkan peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaku usaha PSAT terhadap keamanan produk pangan segar, sehingga capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan semakin baik. Namun capaian tahun 2017 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2016 maupun tahun 2015, hal tersebut disebabkan penambahan varian produk sebagai target sertifikasi/registrasi relatif kecil sedangkan sebagian besar produk yang sudah ada telah disertifikasi atau registrasi, untuk itu perlu adanya usaha pengembangan mendorong pelaku usaha agar dapat meningkatkan varian produknya sebagai target sertifikasi. Apabila dibandingkan terhadap target peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi pada tahun 2019 (akhir RPJMN tahun 2015 2019) sebesar 10%, maka capaian tahun 2017 telah melebihi target yaitu 130%. Tabel 28 Peningkatan Produk Pangan Segar YangTersertifikasi Tahun 2015-2017 Uraian Peningkatan Produk Pangan Segar (%) 2015 2016 2017 T R T R T R >10 48,9 >10 26,04 >10 13,06 Pengawasan pangan segar yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2017, salah satunya adalah pengawasan pada proses produksi (On Farm), yaitu dengan melakukan sertifikasi prima 1, 2 dan 3 serta surveilens oleh Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah/Pusat (OKKPD/OKKPP) kepada petani/kelompok tani/pelaku usaha. Sertifikasi prima 3 diberikan untuk produk pertanian yang memenuhi persyaratan dari aspek keamanan pangan; prima 2 diberikan untuk produk pertanian yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan; sedangkan prima 1 diberikan untuk produk pertanian yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan serta sosial dan lingkungan. 64

Selain melakukan pengawasan keamanan pangan segar dengan sertifikasi prima, dilakukan juga pengawasan pangan segar di rumah kemas (packing house) dan pelaku usaha melalui pendaftaran rumah kemas dan pendaftaran Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) oleh OKKPD/OKKPP. Pengawasan ini bersifat sukarela, dimana hanya rumah kemas/pelaku usaha yang menginginkan produknya didaftar. 10. Tingkat Keamanan Pangan Segar yang Diuji Definisi tingkat keamanan pangan segar yang diuji adalah jumlah sample pangan yang aman dikonsumsi dibandingkan dengan total sampel pangan disuatu tempat pada kurun waktu tertentu. Tingkat keamanan pangan segar yang aman adalah di atas atau sama dengan 80% dari kondisi yang ada. Tingkat keamanan pangan segar yang diuji dihitung dengan cara: jumlah sampel pangan yang aman dikonsumsi di suatu tempat sesuai standar yang berlaku dalam kurun waktu tertentu dibagi jumlah total sampel pangan yang diambil di suatu tempat dalam kurun waktu tertentu, dikalikan 100%. Capaian kinerja keamanan pangan segar yang diuji, sudah mencapai 90,47 % atau di atas target yaitu 80%, maka semakin aman pangan segar di masyarakat, sehingga capaian kinerja Badan Ketahanan Pangan semakin baik. Apabila dibandingkan terhadap target keamanan pangan segar yang diuji pada tahun 2019 (akhir RPJMN tahun 2015-2019) sebesar > 80%, maka capaian tahun 2017 telah melebihi target, yaitu sebesar 113%. Badan Ketahanan Pangan telah melakukan beberapa kegiatan terkait pengawasan keamanan pangan segar, antara lain pengambilan contoh pangan segar dan pengujian di laboratorium. Obyek pengawasan keamanan pangan segar yang dilakukan oleh BKP difokuskan pada pangan segar asal tumbuhan di peredaran. Dalam pengawasan tersebut, Badan ketahanan Pangan bekerjasama dengan instansi lain. Mandat pengawasan keamanan pangan segar juga dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian (Barantan) khususnya dalam mengawal lalu lintas pangan segar asal tumbuhan dari dan ke luar negeri. Pengawasan keamanan pangan segar asal hewan secara khusus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Keswan) 65

melalui Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Ruang lingkup pengujian adalah residu pestisida, mikroba dan logam berat. Hasil pengawasan pada proses produksi (sertifikat Prima 1, 2, 3), registrasi PD/PL, dan packing house. Sedangkan hasil pengawasan pangan segar di peredaran yang dilakukan melalui monitoring/inspeksi baik di pasar tradisional maupun ritail modern pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 90,47% aman dikonsumsi. Tabel 29 Perkembangan Hasil Pengawasan Pangan Segar Uraian Hasil pengawasan Pangan Segar di Pasar Tradisional maupun Ritel (%) 2016 2017 99,16 90,47 Ruang lingkup pengujian adalah residu pestisida, mikroba dan logam berat. Pengujian residu pestisida sudah dilaksanakan sejak tahun 2005. Mengingat keamanan pangan sangat penting dalam peningkatan kualitas manusia. maka diperlukan petugas/sdm di bidang pengawasan keamanan pangan yang memiliki kompetensi yang terstandarkan. Beberapa kompetensi untuk petugas yang menangani keamanan pangan segar sudah merujuk pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) sebagai standar komptensi profesi, yaitu SKKNI Pengawas Keamanan Pangan Segar dan SKKNI Petugas Pengambil Contoh (PPC) pangan segar.untuk memenuhi kompetensi petugas yang menangani keamanan pangan. BKP telah melatih petugas dengan berbagai kompetensi dari tahun ke tahun, hingga tahun 2016 petugas yang menangani keamanan pangan. sebagai berikut : (1) PPC sebanyak 295 orang; (2) Auditor sebanyak 92 orang; (3) Inspektor sebanyak 36 orang; (4) PMHP sebanyak 20 orang; (5) PPNS sebanyak 20 orang; dan (6) Pengawas sebanyak 61 orang. Dalam menyelenggarakan fungsi pengawasan keamanan pangan segar di Indonesia, banyak tantangan yang dihadapi oleh Badan Ketahanan Pangan, antara lain : (1) Cakupan wilayah pengawasan yang sangat luas; (2) jumlah dan jenis pangan segar cukup beragam; (3) Rendahnya pengetahuan dan keterampilan produsen untuk 66

memproduksi pangan yang aman dan bermutu; (4) Kesadaran konsumen dan retail yang masih perlu ditingkatkan; dan (5) Keterbatasan jumlah dan kompetensi pengawas keamanan pangan segar. Dari kelima tantangan tersebut, butir ke 1 dan 2 menunjukkan bahwa diperlukan penguatan sarana dan prasarana pengawasan yang memadai. Untuk mendukung hal tersebut.diperlukan kendaraan operasional yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pengawasan keamanan pangan segar seperti pengambilan sampel dan wahana respon cepat terhadap kejadian ketidakamanan pangan (seperti terjadinya kasus keracunan pangan segar) serta sarana pendukung untuk penyebaran informasi tentang keamanan pangan di daerah. B. Realisasi Anggaran Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian dalam menjalankan pembangunan ketahanan pangan pada tahun 2017 mendapat alokasi anggaran yang bersumber dari APBN senilai Rp451.885.901.000,00. Alokasi anggaran tersebut berkurang sebesar 277,04 milyar atau turun 38% dibandingkan alokasi anggaran tahun 2016, yaitu sebesar Rp728,93 milyar. Pada tahun 2017 terjadi penambahan anggaran, sehingga total anggaran berubah menjadi Rp452,13 milyar. Dana tersebut tersebar pada Satker Pusat (BKP) Rp115,75 milyar atau 25,60%, dan Satker Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) Rp336,38 milyar atau 74,39%. Tabel 30 Alokasi Anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2013 2017 Rp. Milyar Uraian Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 Renstra 829,86 940,92 635,26 783,06 963,76 Pagu 647,16 458,55 635,26 671,86 452,13 Realisasi 605,93 419,93 563,65 638,58 432,09 Sumber : Badan Ketahanan Pangan Secara grafis, realisasi anggaran dibandingkan dengan Pagu Renstra dan Pagu Anggaran Tahunan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2013-2017 dapat dilihat pada gambar 12. 67

Rp. Miliyar Laporan Kinerja Badan ketahanan Pangan Tahun 2017 Realisasi Anggaran 2013-2017 1000 800 600 400 200 0 2013 2014 2015 2016 2017 Tahun Renstra Pagu Realisasi Gambar 12 Realisasi Anggaran Dibandingkan Dengan Pagu Renstra dan Pagu Anggaran Tahunan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2013 2017 Secara lengkap, pagu dan realisasi anggaran Badan Ketahanan Pangan tahun 2017 per kegiatan dapat dilihat pada tabel 31. Sebagaimana terlihat pada tabel 31, pada tahun 2017 anggaran yang dialokasikan untuk Badan Ketahanan Pangan adalah sebesar Rp452.129.796.000,00. Sementara itu, realisasi anggaran dari pagu anggaran tersebut adalah sebesar Rp432.091.961.268,00 atau mencapai 95,57%. Tabel 31 Pagu dan Realisasi Anggaran BKP Tahun 2017 per Kegiatan Persentase No. Nama Jenis Kegiatan Pagu Total (Rp) Realisasi Total (Rp) (%) 1 Pengembangan Sistem 168.663.407.000,00 157.989.092.976,00 93,67 Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan 2 Pengembangan 134.834.658.000,00 131.481.072.884,00 97,51 Ketersediaan dan Penenganan Rawan Pangan 3 Pengembangan Penganekaragaman 68.880.145.000,00 67.679.468.940,00 98,26 Konsumsi pangan dan Peningkatan Keamanan Pangan Segar 4 Dukungan Manajemen dan 79.751.586.000,00 74.942.326.468,00 93,97 Teknis lainnya Badan Ketahanan Pangan Total 452.129.796.000,00 432.091.961.268,00 95,57 68

Secara umum realisasi anggaran Badan Ketahanan Pangan (BKP) Tahun 2017 sudah relatif tinggi. Dari total anggaran yang dialokasikan sebesar Rp452.129.796.000,00 dapat direalisasikan sebesar Rp432.091.961.268,00 atau sebesar 95,57%. Meskipun realisasi anggaran BKP tahun 2017 sudah relatif tinggi, tetapi ada kegiatan yang realisasinya belum optimal, terutama yang di daerah. Beberapa hal yang menyebabkan belum optimalnya penyerapan tanggaran tersebut adalah : 1. Seringnya terjadi revisi DIPA yang mengakibatkan perubahan POK. 2. Mutasi pegawai atau pejabat pengelola keuangan. 3. Terlambatnya penerbitan SK Pengelola Keuangan (KPA. PPK. Bendahara Pengeluaran). 4. Pegawai pindahan kurang memahami mekanisme pencairan anggaran dan adanya kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran; 5. Mutasi dan serah terima jabatan tidak disertai dengan serah terima berkas/dokumen pelaksanaan kegiatan; 6. Keterlambatan proses adminsitrasi di kab/kota yang masuk dana Dekonsentrasi. 7. Perubahan sasaran akibat perubahan anggaran dan tidak sesuai dengan pedoman/kriteria sasaran. 8. Lokasi sasaran yang jauh dari penduduk. 9. Infrastruktur dan kondisi alam. 10. Kendala SOLID : (1) Beberapa kegiatan yang harusnya dilakukan di awal tahun harus tertunda karena adanya pemblokiran, (2) Beberapa kegiatan yang harusnya dilakukan diawal tahun harus tertunda karena adanya pemblokiran, dan (3) proses identifikasi yang agak terlambat karena belum siapnya masyarakat dalam penyusunan Rencana Usaha. 69

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan menggunakan formula sesuai dengan PMK No. 249 Tahun 2011, efisiensi penggunaan anggaran Badan Ketahanan Pangan Tahun 2017 adalah sebesar 3,76. Dengan nilai efisiensi penggunaan anggaran sebesar itu dapat dikatakan bahwa penggunaan anggaran Badan ketahanan pangan tahun 2017 cukup efisien. Keberhasilan pencapaian pembangunan ketahanan pangan nasional, dipengaruhi pula oleh peran serta unit kerja eselon I lingkup Kementerian Pertanian, Kementerian lainnya, dan pemangku kepentingan lainnya yang peduli terhadap ketahanan pangan. Dukungan instansi tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 22 tahun 2009 dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 43 Tahun 2009, instansi tersebut juga sebagai anggota Dewan Ketahanan Pangan. Adapun kegiatan instansi lain yang mendukung keberhasilan ketahanan pangan dapat dilihat pada lampiran 12. 70

BAB IV PENUTUP A. Simpulan Umum Pelaksanaan program diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat tahun 2017, secara khusus telah berhasil menimbulkan perubahan di wilayah/kelompok sasaran. Program tersebut berhasil : (a) membangun kesadaran kelompok sasaran untuk mendukung pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman; (b) mendukung mewujudkan stabilitasi harga gabah/ beras, dan jagung di wilayah gapoktan dan masyarakat melalui Penguatan LDPM, Lumbung Pangan Masyarakat, dan Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat/Toko Tani Indonesia; (c) membantu dalam pemenuhan kebutuhan pangan tingkat rumah tangga/kelompok masyarakat; serta (d) mendukung dalam menurunkan KK miskin di Desa/Kawasan Mandiri Pangan. Capaian IKU dan sasaran kegiatan utama secara umum sudah sesuai dengan Renstra kecuali pada tahun tahun terakhir sebagai akibat kebijakan pemotongan anggaran dan refocusing program BKP. Refocusing diarahkan pada peningkatan kegiatan PUPM/TTI dengan merealokasi anggaran pada kegiatan yang lain (P2KP/KRPL, Demapan, LDPM, dan LPM). Berdasarkan indikator kinerja, capaian kinerja Perjanjian Kinerja Tahun 2017, dari 10 indikator, sebanyak 8 indikator berhasil memperoleh nilai pencapaian di atas 100% (Sangat Berhasil). Kedelapan indicator tersebut, yaitu penurunan penduduk rawan pangan, stabilnya harga GKP di tingkat produsen, koefisien variasi harga pangan di tingkat konsumen, konsumsi energi, konsumsi pangan hewani, rasio konsumsi pangan lokal non beras terhadap beras, peningkatan produk pangan segar yang tersertifikasi, dan tingkat keamanan pangan segar yang tersertifikasi. Nilai pencapaian 80-100% (Berhasil) sebanyak 2 indikator, yaitu Skor PPH Ketersediaan dan Skor PPH Konsumsi, dan nilai pencapaian dibawah 60 persen kurang sebanyak 1 indikator yaitu penurunan rawan pangan, meskipun mengalami penurunan jumlah penduduk rawan pangan. 71

Upaya perbaikan yang telah dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan SKPD daerah dan pihak-pihak terkait, mengoptimalkan sumberdaya yang ada, serta memperbaiki fungsi manajemen mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi. B. Permasalahan dan Upaya dan Tindak Lanjut 1. Permasalahan Dalam rangka mewujudkan diversifikasi pangan terkait erat dengan perilaku masyarakat/manusia. Secara umum hambatan dan kendala yang dihadapi dalam mewujudkan diversifikasi pangan pada tahun 2017 adalah : (1) pendapatan masyarakat masih rendah dibandingkan harga kebutuhan pangan secara umum, sehingga menurunnya daya beli masyarakat disebabkan oleh kenaikan harga pangan daripada masalah ketersediaan; (2) konsumsi beras per kapita cenderung turun.tetapi konsumsi gandum (terigu) cenderung meningkat; (3) teknologi pengolahan pangan lokal masih rendah; (4) kampanye dan promosi penganekaragaman konsumsi pangan masih kurang; (5) beras sebagai komoditas superior ketersediaannya masih terjamin dengan harga yang murah; (6) kualitas konsumsi pangan masih rendah. kurang beragam dan masih didominasi pangan sumber karbohidrat; (7) terdapatnya konsep makan belum makan kalau belum makan nasi yang salah dalam masyarakat; (8) pemanfaatan dan produksi sumber-sumber pangan lokal seperti aneka umbi, jagung, dan sagu masih rendah; dan (9) bencana alam dan perubahan iklim yang sangat ekstrim. Berdasarkan aspek ketahanan pangan, permasalahan dalam capaian kinerja program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat tahun 2017 adalah : a. Aspek Ketersediaan Pangan 1) Produksi dan kapasitas produksi pangan nasional semakin terbatas. 2) Jumlah permintaan pangan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. dan berkembangnya penggunaan pangan seiring maraknya perkembangan pariwisata, hotel, dan restoran. 72

3) Adanya persaingan penggunaan bahan pangan untuk bio energi dan pakan ternak. 4) Kerawanan pangan karena adanya kemiskinan, terbatasnya penyediaan infrastruktur dasar pedesaan, potensi sumber daya pangan yang rendah, rentannya kesehatan masyarakat di daerah terpencil, dan sering terjadinya bencana alam. b. Aspek Keterjangkauan Pangan 1) Sifat produksi yang musiman, berpengaruh terhadap harga pangan. 2) Melonjaknya harga pangan dunia karena ketergantungan terhadap ekspor pangan tertentu. 3) Terbatasnya dan/atau kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi, kondisi iklim yang tidak menentu yang dapat mengganggu transportasi bahan pangan. 4) Permasalahan teknis dalam proses distribusi ini berdampak terhadap melonjaknya ongkos angkut, mengakibatkan aksesibilitas konsumen secara ekonomi menurun. 5) Walaupun pemerintah telah menjamin kecukupan stok beras, namun kecukupan stok pangan tersebut tidak dapat menjamin stok pangan di pasar. c. Aspek Konsumsi Pangan 1) Keterbatasan kemampuan ekonomi atau daya beli dari keluarga; 2) Keterbatasan pengetahuan dan kesadaran tentang pangan dan gizi, serta teknologi pengolahan pangan lokal untuk meningkatkan kepraktisan dalam pengolahan, nilai gizi, nilai ekonomi, nilai social, citra, dan daya terima; 3) Adanya kecenderungan penurunan proporsi konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal, karena pengaruh globalisasi industri pangan siap saji, dan berkurangnya produksi sumber pangan lokal; 4) Adanya pengaruh nilai-nilai budaya kebiasaan makan yang tidak selaras dengan prinsip konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang, dan aman; 5) Berbagai kasus gangguan kesehatan manusia akibat mengkonsumsi pangan yang tidak aman; 73

6) Belum efektifnya penanganan dan pengawasan keamanan pangan. karena sistem yang dikembangkan, SDM, serta penerapan saksi yang tegas; 7) Koordinasi lintas sektor dan subsektor terkait dengan keamanan pangan belum optimal; 8) Kurangnya kesadaran pihak pengusaha/pengelola pangan untuk menerapkan peraturan/standar yang telah ada. d. Dukungan Kelembagaan dan Manajemen Ketahanan Pangan 1) Perubahan arah kebijakan yang berdampak pada refokusing kegiatan, sasaran dan anggaran. 2) Rotasi pimpinan dan staf Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pegawai sering; 3) Komitmen dan langkah nyata pemerintah daerah masih rendah untuk membangun ketahanan pangan berkelanjutan; 4) Pelaksanaan monitoring dan pelaporan program ketahanan pangan kurang optimal. baik secara online dan manual; 5) Hasil analisis ketahanan pangan belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan program; 6) Belum sepenuhnya terlaksananya kegiatan ketahanan pangan yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Ketahanan Pangan. 7) Belum optimalnya peran dan fungsi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sebagai lembaga fungsional koordinator dalam penanganan ketahanan pangan di daerahnya; Secara teknis program dan kegiatan ketahanan pangan, hambatan dan kendala yang dihadapi adalah : 1. Revisi DIPA dan POK baik di pusat maupun daerah. 2. Terlambatnya penerbitan SK Pengelola Keuangan (KPA. PPK. Bendahara Pengeluaran). 3. Mutasi pegawai atau pejabat pengelola keuangan, pegawai pindahan kurang memahami mekanisme pencairan anggaran dan adanya kehati-hatian dalam pengelolaan anggaran; 74

4. Mutasi dan serah terima jabatan tidak disertai dengan serah terima berkas/dokumen pelaksanaan kegiatan; 5. Keterlambatan proses adminsitrasi di kab/kota yang masuk dana Dekonsentrasi. 6. Satuan harga yang diterapkan sering tidak sesuai kebutuhan riil; 7. Sasaran tidak sesuai dengan Pedoman, 8. Infrastruktur dan kondisi alam, 9. Kurang optimalnya partisipasi aparat provinsi dan kabupaten/kota dalam pembinaan dan pemenuhan kebutuhan peralatan yang diperlukan kelompok unit usaha kecil untuk pengembangan tepung-tepungan sebagai bahan baku olahan pangan lokal di lokasi penerima manfaat. 2. Upaya dan Tindak Lanjut Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan upaya dan tindak lanjut sebagai berikut: 1) BKP Pusat telah menghimbau kepada Badan/Dinas/Instansi/Unit Kerja Ketahanan Pangan di Provinsi dan Kab/Kota dalam rangka percepatan pelaksanaan kegiatan dan anggaran. 2) BKP berupaya memberikan informasi dan sosialisasi tentang perubahan nomenklatur dan penghematan kepada daerah. 3) Pendampingan dan pembinaan dalam rangka mengawal pelaksanaan kegiatan dan proses administrasi dengan membentuk Tim Pembinaan dan Percepatan Kegiatan dan Anggaran Ketahanan Pangan 4) Fasilitasi kepada kelompok penerima manfaat untuk pengembangan bisnis pangan lokal dan makanan tradisional. 5) Mendorong peran aktif swasta dan dunia usaha dalam pengembangan industri dan bisnis pangan lokal. 6) Peningkatan kerjasama antara Perguruan Tinggi dengan institusi yang menangani Ketahanan Pangan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. 75

7) Sinkronisasi kebijakan baik antar kementerian maupun dengan pihak swasta yang diwujudkan dalam bentuk programdan kegiatan sesuai kewenangan masing-masing namun saling mendukung. 8) Mengembangkan dan atau relikasi kegiatan prioritas seperti KRPL, Kawasan Mapan, Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat, Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat melalui Toko Tani Indonesia, Lumbung Pangan Masyarakat. 9) Melaksanakan kegiatan Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L). 10) Mendorong upaya kampanye, promosi, sosialisasi, gerakan secara terstruktur dan komprehensif guna mempercepat terjadinya diversifikasi pangan. 11) Meningkatkan peran swasta dalam memanfaatkan keragaman sumberdaya lokal. 12) Mengembangkan bisnis dan industri pangan lokal, melalui fasilitasi UMKM untuk pengembangan bisnis pangan lokal, industri bahan baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis sumberdaya lokal dan advokasi, sosialisasi dan penerapan standar keamanan dan mutu pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha rumah tanggadan UMKM. 13) Meningkatkan investasi agroindustri pangan berbasis pangan lokal dilakukan melalui pengembangan bisnis pangan lokal bagi UKM, pengembangan kemitraan dengan dunia usaha, pengembangan gerai atau outlet pangan lokal, pengembangan teknologi pengolahan pangan lokal (bekerja sama dengan Balitbang dan Perguruan Tinggi) dan memastikan peningkatan keanekaragaman pangan sesuai karakteristik daerah. 76

Lampiran 1 Struktur Organisasi Badan Ketahanan Pangan 77

Lampiran 2 Target Kinerja Kegiatan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 No Rincian IKK 1814 Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan Jumlah lembaga distribusi pangan masyarakat (Gapoktan) Target 2015 2016 2017 2018 2019 358 241 248 90 135 Jumlah lumbung pangan masyarakat (Unit) 1.724 1.628 800 1.492 1.492 Jumlah lokasi panel harga pangan nasional dan pemantauan harga dan pasokan pangan HBKN (Lokasi) Jumlah hasil pemantauan pasokan, harga, distribusi dan cadangan pangan (Lokasi) Jumlah Usaha Pangan Masyarakat (UPM)/Toko Tani Indonesia (TTI) (Gap/TTI) Jumlah kajian responsif dan antisipatif distribusi pangan (Judul) 35 35 35 35 35 3 3 3 3 3 20 1.000 2.000 3.000 5.000 1 1 1 1 1 Jumlah kajian distribusi pangan (Rekomendasi) 27 27 27 27 27 1815 Pengembangan ketersediaan dan penanganan rawan pangan Jumlah hasil analisis neraca bahan makanan 35 35 35 35 35 Jumlah lokasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi (Lokasi) Jumlah hasil kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan (Judul) Jumlah analisis peta ketahanan dan kerentanan pangan (Peta FSVA) 456 456 456 456 456 27 27 27 27 27 35 1 1 1 1 Jumlah kawasan mandiri pangan (Kawasan) 192 190 110 135 75 Jumlah hasil pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan (Lokasi) 35 35 35 35 35 Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender (KK) 33.600 33.600 33.600 33.600 0 Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran (KK) Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan (Desa) Jumlah dukungan manajemen dan administrasi SOLID (Bulan Layanan) 1816 Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan 26.880 26.880 26.880 26.880 0 224 224 224 224 0 12 12 12 12 0 Jumlah pemberdayaan pekarangan pangan (Desa) 4.410 2.894 1.306 2.612 2.612 Jumlah pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan (Lokasi) 35 34 34 34 34 Jumlah lokasi gerakan diversifikasi pangan (Lokasi) 35 35 35 35 35 Jumlah hasil analisis pola dan kebutuhan konsumsi pangan (Rekomendasi) 35 35 35 35 35 78

No Rincian IKK Target 2015 2016 2017 2018 2019 Jumlah model pengembangan pangan pokok lokal 27 29 27 27 27 (Unit) Jumlah rekomendasi pengawasan keamanan dan mutu pangan (Rekomendasi) 65 86 106 126 146 1817 Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya Badan Ketahanan Pangan Jumlah dokumen rencana program, anggaran dan 35 35 35 35 35 kerja sama (Dokumen) Jumlah dokumen keuangan dan perlengkapan 35 35 35 35 35 (Dokumen) Jumlah hasil pemantauan dan evaluasi program 35 35 35 35 35 (Laporan) Jumlah dokumen kepegawaian, organisasi, humas dan 3 3 3 3 3 hukum (Dokumen) Jumlah perumusan kebijakan Dewan Ketahanan 1 1 1 1 1 Pangan (Rekomendasi Kebijakan) Jumlah layanan manajemen dan administrasi (Bulan 12 12 12 12 12 Layanan) Jumlah Layanan Perkantoran (Bulan Layanan) 12 12 12 12 12 79

Lampiran 3 Matriks Kinerja dan Pendanaan Badan Ketahanan Pangan Tahun 2015-2019 PROGRAM/ KEGIATAN PROGRAM PENINGKATAN DIVERSIFIKASI DAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT SASARAN INDIKATOR TARGET ALOKASI (juta rupiah) Terwujudnya pemantapan ketahanan pangan melalui pengembangan ketersediaan, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan 2015 2016 2017 2018 2019 2015 2016 2017 2018 2019 635.258.60 783.064,32 963.760,70 1.259.823,7 6 1.439.900,4 7 Meningkatnya keragaman konsumsi pangan yang sehat dan aman bagi seluruh masyarakat Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Konsumsi 84,10 86,20 88,40 90,50 92,50 Meningkatnya konsumsi pangan masyarakat sesuai angka kecukupan gizi (AKG) Konsumsi (kkal/kap/hr) Energi 2.004 2.040 2.077 2.113 2.150 Konsumsi (gram/kap/hr) Protein 56,10 56,40 56,60 56,80 57,00 Jumlah pengawas keamanan pangan segar yang tersertifikasi (org/thn) 81 160 245 330 400 Stabilnya harga pangan pokok di tingkat produsen dan konsumen Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat produsen (Rp/Kg) HPP HPP HPP HPP HPP Koefisien variasi pangan (beras) di tingkat konsumen (CV) CV 10% CV 10% CV 10% CV 10% CV 10% Menurunnya jumlah penduduk rawan pangan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Ketersediaan 87,52 89,71 92,04 94,25 96,32 80

Penurunan jumlah penduduk rawan pangan (%/Tahun) 1% 1% 1% 1% 1% Pengembangan Sistem Distribusi dan Stabilitas Harga Pangan 107.265,01 285.414,00 466.027,77 675.598,62 1.081.802,2 6 Meningkatnya Kelembagaan Distribusi dan Cadangan Pangan Serta Stabilitas Harga Pangan Jumlah lembaga distribusi pangan masyarakat (Gapoktan) 358 241 248 90 135 45.944,91 17.801,00 18.318,04 6.647,68 9.971,51 Jumlah lumbung pangan masyarakat (Unit) 1.724 1.628 800 1.492 1.492 45.720,20 17.801,00 18.318,04 6.647,68 9.971,51 Jumlah lokasi panel harga pangan nasional dan pemantauan harga dan pasokan pangan HBKN (Lokasi) 35 35 35 35 35 5.185,27 15.150,00 16.665,00 18.331,50 20.164,65 Jumlah hasil pemantauan pasokan, harga, distribusi dan cadangan pangan (Lokasi) 3 3 3 3 3 6.132,31 4.050,00 4.455,00 4.900,50 5.390,55 Jumlah Toko Tani Indonesia/TTI (Unit) Jumlah kajian responsif dan antisipatif distribusi pangan (Judul) 0 1.000 2.000 3.000 5.000-200.000,00 400.000,00 600.000,00 1.000.000,0 1 1 1 1 1 2.262,44 1.500,00 1.650,00 1.815,00 4.126,10 0 81

Jumlah kajian distribusi pangan (Rekomendasi) 27 27 27 27 27 2.019,89 3.100,00 3.410,00 3.751,00 4.126,10 Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan 111.609,25 268.436,50 285.365,28 320.385,98 71.261,48 Meningkatnya ketersediaan penanganan pangan dan rawan Jumlah unit penggilingan padi menunjang stok beras nasional (Unit) Jumlah hasil analisis neraca bahan makanan (Laporan) Jumlah lokasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi (Lokasi) Jumlah hasil kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan (Judul) Jumlah analisis peta ketahanan dan kerentanan pangan (Peta FSVA) Jumlah kawasan mandiri pangan (Kawasan) - 50.000 75.000 100.000 125.000-12.500,00 18.750,00 25.000,00 31.250,00 35 35 35 35 35 14.078,52 3.044,00 3.344,00 3.678,40 4.046,24 456 35 35 35 35 13.340,87 7.422,00 8.164,20 8.980,62 9.878,68 27 27 27 27 27 7.061,86 2.360,00 2.596,00 2.855,60 3.141,16 35 1 1 1 1 1.825,10 900,00 990,00 1.089,00 1.197,90 192 190 110 135 75 66.503,63 28.624,50 16.572,08 20.338,46 11.299,14 Jumlah pemantauan ketersediaan kerawanan (Lokasi) hasil dan pangan 35 35 35 35 35 8.799,27 7.850,00 8.635,00 9.498,50 10.448,35 82

Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender (KK) Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran (KK) Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan (Desa) Jumlah dukungan manajemen dan administrasi SOLID (Bulan Layanan) 33.600 33.600 33.600 33.600 - - 19.588,60 21.547,46 23.702,21 26.880 26.880 26.880 26.880 - - 130.578,05 143.635,86 157.999,44 224 224 224 224-4.953,15 5.448,47 5.993,31 12 12 12 12-50.620,20 55.682,22 61.250,44 Pengembangan Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan 132.894,73 125.717,39 98.521,58 138.608,48 149.082,98 Meningkatnya Pemantapan Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Keamanan Pangan Jumlah pemberdayaan pekarangan pangan (Desa) Jumlah pemantauan penganekaragaman konsumsi pangan (Lokasi) Jumlah lokasi gerakan diversifikasi pangan (Lokasi) Jumlah hasil analisis pola dan kebutuhan konsumsi pangan (Rekomendasi) 4.410 2.894 1.306 2.612 2.612 92.886,73 66.314,00 29.926,08 59.852,17 59.852,17 35 34 34 34 34 11.247,68 9.000,00 9.900,00 10.890,00 11.979,00 35 35 35 35 35 5.173,29 9.800,30 10.780,33 11.858,36 13.044,20 35 35 35 35 35 4.832,86 5.950,00 6.545,00 7.199,50 7.919,45 83

Jumlah model pengembangan pangan pokok lokal (Unit) 27 29 27 27 27 8.041,23 4.450,00 4.143,10 4.55,41 5.013,16 Jumlah rekomendasi pengawasan keamanan dan mutu pangan (Rekomendasi) 65 86 106 126 146 10.712,94 30.203,09 37.227,06 44.251,04 51.275,01 Dukungan Manajemen dan Teknis Lainnya Badan Ketahanan Pangan Terselenggaranya Pelayanan Administrasi dan Pelayanan Teknis Lainnya Secara Profesional dan Berintegritas di Lingkungan Badan Ketahanan Pangan Jumlah dokumen rencana program, anggaran dan kerja sama (Dokumen) 35 35 35 35 35 10.629,63 11.586,67 12.745,34 14.019,87 15.421,86 Jumlah keuangan perlengkapan (Dokumen) Jumlah pemantauan evaluasi (Laporan) dokumen dan hasil dan program 35 35 35 35 35 5.794,81 7.600,00 8.360,00 9.196,00 10.115,60 35 35 35 35 35 26.096,21 26.750,00 29.425,00 32.367,50 35.604,25 Jumlah dokumen kepegawaian, organisasi, humas dan hukum (Dokumen) Jumlah perumusan kebijakan Dewan Ketahanan Pangan (Rekomendasi Kebijakan) 3 3 3 3 3 17.377,18 5.450,00 5.995,00 6.594,50 7.253,95 1 1 1 1 1 7.245,69 7.400,00 8.140,00 8.954,00 9.849,40 Jumlah manajemen administrasi Layanan) layanan dan (Bulan 12 12 12 12 12 20.656,09 16.320,00 17.952,00 19.747,20 21.721,92 84

Jumlah Perkantoran Layanan) Layanan (Bulan 12 12 12 12 12 32.610,00 28.389,76 31.228,74 34.351,61 37.786,77 Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender (KK) Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran (KK) Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan (Desa) Jumlah dukungan manajemen dan administrasi SOLID (Bulan Layanan) 33.600 33.600 33.600 33.600-21.732,46 19.588,60 21.547,46 23.702,21 2.370,22 26.880 26.880 26.880 26.880-70.729,75 130.578,05 143.635,86 157.999,44 15.799,94 224 224 224 224-33.610,88 4.953,15 5.448,47 5.993,31 599,33 12 12 12 12-37.007,18 50.620,20 55.682,22 61.250,44 6.125,04 85

Lampiran 4 Perjanjian Kinerja Tahun 2017 Awal 86

87