V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN

dokumen-dokumen yang mirip
IX. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1) Simpulan

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

VIII. DAYA SAING EKSPOR KARET ALAM. hanya merujuk pada ketidakmampuan individu dalam menghasilkan setiap barang

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat adalah salah satu negara tujuan utama ekspor produk

BAB I PENDAHULUAN. perikanan. Luas wilayah laut Indonesia sangat luas yaitu sekitar 7,9 juta km 2 dan

VII. STRUKTUR PASAR KARET ALAM DI PASAR INTERNASIONAL. besarnya penguasaan pasar oleh masing-masing negara eksportir. Penguasaan

AGRITECH : Vol. XVI No. 1 Juni 2014 : ISSN :

Struktur Pasar Dan Peringkat Indonesia Pada Perdagangan Tuna Segar Dan Beku Di Pasar Dunia, Jepang, USA, Dan Korea Selatan

VI. STRUKTUR PASAR DAN PERSAINGAN KOMODITI TEH DI PASAR INTERNASIONAL. 6.1 Analisis Struktur Pasar dan Persaingan Komoditi Teh Hijau HS

IV. METODE PENELITIAN

DETERMINAN PERMINTAAN EKSPOR UDANG BEKU JAWA TIMUR KE AMERIKA SERIKAT PENDAHULUAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

PERNYATAAN ORISINALITAS...

1.I. Latar Belakang lkan tuna sebagai salah satu sumber bahan baku bagi perekonomian

STRUCTURE OF THE MARKET AND INDONESIA S STATUS AS FRESH AND FROZEN TUNA S EXPORTER IN WORD MARKETS, WHICH ARE JAPAN, USA, AND REP OF KOREA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. sehingga terjamin mutu teknisnya. Penetapan mutu pada karet remah (crumb

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN , , , , ,4 10,13

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 70% wilayah perairan dengan daya dukung lingkungan yang

III. KERANGKA PEMIKIRAN. ekonomi internasional (ekspor dan impor) yang meliputi perdagangan dan

V. TINJAUAN UMUM RUMPUT LAUT DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Udang windu (Penaeus monodon, Fabr.) merupakan salah satu. makanan sumber protein hewani yang banyak digemari masyarakat baik

BAB I PENDAHULUAN. angka tersebut adalah empat kali dari luas daratannya. Dengan luas daerah

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KOPI INDONESIA DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DAYA SAING KOMODITAS KOPI INDONESIA TAHUN JURNAL

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

V. GAMBARAN UMUM RUMPUT LAUT. Produksi Rumput Laut Dunia

III KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II PROFIL PERUSAHAAN. A. Sejarah Ringkas PT. Agung Sumatera Samudera Abadi

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

DAMPAK PERUBAHAN LINGKUNGAN USAHA TERHADAP STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

ANALISIS DAYA SAING EKSPOR TOMAT INDONESIA DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

KOPI ANDALAN EKSPOR INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. anggota ASEAN pada ASEAN Summit di Singapura pada Juni Pertemuan tersebut mendeklarasikan pembentukan Asian Free Trade Area

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. dari penangkapan ikan di laut. Akan tetapi, pemanfaatan sumberdaya tersebut di

V GAMBARAN UMUM EKSPOR UDANG INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan PDB Kelompok Pertanian di Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam situasi pasca krisis ekonomi saat ini, sub sektor perikanan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

IV. METODE PENELITIAN

: Arief Budiman Npm : Fakultas : Ekonomi Jurusan : Manajemen Dosen Pemb : Sri Kurniasih Agustin, SE., MM

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

VII. PRODUKTIVITAS TAMBAK TAHUN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOTAL FACTOR PRODUCTIVITY

I. PENDAHULUAN. (Bahari Indonesia: Udang [29 maret 2011Potensi]

BAB II KAJIAN PUSTAKA. struktur perekonomian suatu negara (Nopirin, 2012: 2). Perdagangan internasional

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. tercermin dari kegiatan perdagangan antar negara. Perdagangan antar negara

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

V. PERKEMBANGAN MAKROEKONOMI INDONESIA. dari waktu ke waktu. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi merupakan proses

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. nasional. Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat rata-rata penyerapan tenaga

III. METODE PENELITIAN. yang terdiri dari data time series tahunan ( ). Data sekunder diperoleh

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi berarti peluang pasar internasional bagi produk dalam negeri dan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

OUTLINE PENDAHULUAN METODOLOGI PERKEMBANGAN PRODUKSI IKAN TUNA PANGSA PASAR KOMODITAS TUNA DINAMIKA DAYA SAING SIMPULAN

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komoditas Udang di Pasaran Internasional

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian

ANALISIS USAHATANI PEMBENIHAN UDANG VANNAMEI DAN PENGEMBANGANYA DI CV. GELONDONGAN VANNAMEI DESA BANJARSARI KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK SKRIPSI

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat dalam pertanian Indonesia. Jenis tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. (competitiveness) menjadi topik yang banyak diperdebatkan. Fagerberg (1988)

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU. Perdagangan luar negeri adalah perdagangan barang-barang suatu negara

RINGKASAN EKSEKUTIF ARIEF RAHMAN,

I. PENDAHULUAN. di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN DAN METODOLOGI

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, yaitu sekitar 14,43% pada tahun

Transkripsi:

143 V. POSISI DAYA SAING UDANG INDONESIA, TAHUN 1989-2008 Tujuan penelitian pertama yaitu mengetahui posisi daya saing Indonesia dan Thailand dalam mengekspor udang ketiga pasar utama akan dilakukan menggunakan indeks RCA dan model CMSA sebagai berikut. 5.1. Analisis Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif menggunakan indeks RCA dibandingkan antara periode tahun 1989-2003 dengan periode 2004-2008, untuk mengetahui perubahan daya saing setelah pergantian varietas udang yang dibudidayakan dari sebelumnya mayoritas memelihara udang windu menjadi udang vaname. Tahun 2004 dipilih sebagai tahun pemisah/dasar, karena sejak tahun tersebut data produksi udang vaname mulai disajikan pada buku Statistik Perikanan Budidaya, walaupun introduksi udang vaname itu sendiri sudah dimulai sejak tahun 2000-2001. Penggantian udang vaname disebabkan pengembangan udang windu terkendala serangan penyakit. Hasil perhitungan RCA untuk Indonesia dan Thailand dalam mengekspor tiga produk udang (segar, beku, dan olahan) ke tiga pasar utama (Jepang, AS, dan EU-27) disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan data pada Tabel 18, pada dua periode yang diteliti, Indonesia dan Thailand mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor tiga jenis produk udang ekspor ke tiga pasar utama yang diindikasikan dengan nilai indeks RCA lebih dari satu, kecuali ekspor udang segar Indonesia ke Jepang pada periode 2004-2008 yang nilainya kurang dari satu. Selanjutnya, Tabel 18 juga menunjukkan bahwa keunggulan komparatif Indonesia dan

144 Thailand di pasar Jepang pada ketiga jenis produk udang (segar, beku, dan olahan) mengalami penurunan. Thailand walaupun menurun akan tetapi mempunyai nilai RCA jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Tabel 18. Nilai Rata-Rata Indeks RCA Tiga Produk Udang Indonesia dan Thailand di Tiga Pasar Utama, Periode Tahun 1989-2003 dan Tahun 2004-2008 Produk Dari Indonesia Thailand udang Tujuan 1989-2003 2004-2008 1989-2003 2004-2008 Udang Jepang 2.95 0.52 2.79 1.35 Segar AS 3.44 1.58 16.41 4.52 UE-27 5.57 2.40 4.01 3.40 Udang beku Jepang 5.47 4.53 6.31 3.23 AS 8.11 14.05 18.77 15.72 UE-27 3.06 3.58 3.88 1.38 Udang Olahan Jepang 4.33 2.64 26.32 12.22 AS 1.10 7.04 62.39 45.85 UE-27 1.22 4.18 6.58 6.10 Sumber: UNComtrade (diolah) Berikut disajikan beberapa indikasi dari data yang disajikan pada Tabel 18. Pertama, terjadi penurunan di pasar Jepang untuk Indonesia dan Thailand serta nilai RCA yang lebih rendah dari satu untuk udang segar Indonesia. Hal tersebut diduga terkait dengan perubahan komposisi produk ekspor yang mayoritas menjadi vaname. Menurut Briggs et al., (2005) salah satu kelemahan udang vaname dibandingkan udang windu adalah ukuran panen lebih kecil sehingga harganya relatif lebih murah. Sebaliknya, udang vaname mempunyai beberapa kelebihan antara lain: produktivitas lebih tinggi karena dapat dipelihara pada padat tebar tinggi (60-150 ekor/m 2 bahkan sampai 400 ekor/m 2 ) dibandingkan padat penebaran udang windu yang hanya 40-50 ekor/m 2, lebih toleran terhadap salinitas rendah, kandungan protein pakan yang dibutuhkan lebih rendah (20-35% dibandingkan 36-42% untuk windu),

145 kandungan daging lebih tinggi yaitu 66-68% dibandingkan udang windu yang hanya 62% dan relatif tahan penyakit. Di sisi lain, Jepang merupakan pasar tradisional ekspor udang Indonesia dan Thailand karena letak geografisnya relatif dekat dibandingkan ke AS dan UE-27, serta harga yang diterima juga relatif baik. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. Indonesia lebih diuntungkan dengan udang windu karena induk udang windudi perairan Indonesia termasuk yang terbaik di dunia. Kedua, keunggulan komparatif mengekspor udang segar Indonesia pada tiga pasar ekspor utama menurun pada periode 2004-2008 dibandingkan periode 1989-2003. Sebaliknya, keunggulan komparatif Indonesia meningkat di pasar AS dan UE-27 untuk udang beku dan olahan. Peningkatan lebih besar di pasar AS, diduga karena konsumen AS lebih menyukai udang berukuran kecil. Hasil studi di atas didukung hasil studi lain seperti Cong Sach (2003) yang menganalisis keunggulan komparatif udang tambak periode 1985-2001 menggunakan RCA. Hasilnya, nilai RCA udang tambak Indonesia menurun dari 10.03 menjadi 8.50, sedangkan Thailand meningkat dari 17.90 menjadi

146 23.50. Vietnam walaupun menurun dari 46.30 ke 22.30 akan tetapi nilainya masih jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Menggunakan metode yang sama, Munandar et al., (2006) menganalisis udang Indonesia dan memprediksi 10 tahun ke depan. Dengan skenario perekonomian stabil, udang masih mempunyai daya saing, walaupun menurun dengan presentase penurunan 13.4% per tahun. Tingkat persaingan ekspor secara statistik signifikan dipengaruhi oleh tingkat suku bunga, upah, pendapatan per kapita negara domestik, pendapatan per kapita negara importir, dan prosentase anggaran untuk diferensiasi produk, sedangkan harga produk ikan olahan dan produktivitas modal tidak berpengaruh signifikan. Hutabarat et al., (2000) menganalisis daya saing menggunakan pendekatan nilai Biaya Manfaat Sosial (BMS) untuk tambak di Sulawesi Selatan. Nilai yang diperoleh berturut-turut 0.62, 0.63, dan 0.57 untuk sistem tradisional, semi-intensif, dan intensif. Artinya, udang tambak di Sulawesi Selatan masih mempunyai daya saing karena bernilai < 1. Kusumastanto dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB (2007) menggunakan Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), hasilnya menunjukkan bahwa udang Indonesia berada pada kondisi pertumbuhan ke kematangan. Ketiga, keunggulan komparatif Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, namun terjadi penurunan indeks daya saing Thailand. Hal tersebut mengindikasikan bahwa persaingan sesama produsen semakin ketat. Diantara tiga produk udang ekspor, Thailand mempunyai keunggulan pada produk udang olahan dibandingkan udang beku dan udang segar. Mengacu pada Kagawa dan Bailey (2003), tingginya diferensiasi produk udang Thailand

147 antara lain disebabkan pengaruh letak geografis. Thailand berada di daerah semi periphery sehingga mempunyai biaya lebih tinggi dibandingkan Vietnam yang berada di daerah periphery. Oleh karena itu Thailand lebih fokus memproduksi udang bermutu tinggi, sekaligus mengantisipasi penurunan harga akibat kelebihan penawaran (the Nation, 2008). Keempat, Indonesia dan Thailand mempunyai kesamaan pada udang segar yaitu keunggulan komparatif udang segar menurun di ketiga pasar. Penurunan tersebut diduga karena udang segar memerlukan penanganan lebih cepat dibandingkan udang beku dan olahan sehingga diperlukan infrastruktur seperti jaringan pengapalan/pengiriman, kemasan, dan transportasi yang lebih baik. Berbeda dengan Leung dan Cai (2005) yang menganalisis berdasarkan negara tujuan ekspor periode 1990 sampai dengan awal 2000, nilai RCA Indonesia untuk pasar AS menurun dan untuk pasar UE nilai RCA lebih rendah, akan tetapi pertumbuhannya positif. Senada dengan hal tersebut, Aisya et al., (2005b) ekspor Indonesia masih tergantung pada udang segar (SITC 34) dengan RCA mencapai 7.18 di tahun 2004, namun harga udang segar lebih rendah dibandingkan dengan udang olahan (SITC 37). Upaya mendorong ekspor produk udang olahan menjadi penting, namun terkendala oleh nilai RCA udang olahan yang hanya 1.17. Artinya, perlu kerja keras dari pemerintah untuk mendorong peningkatan ekspor udang olahan. Swaranindita (2005), menggunakan teori Berlian Porter, Herfindahl Index dan RCA untuk pasar AS, menghasilkan bahwa struktur pasar udang beku yang dihadapi Indonesia tahun 1984-1989 dan 2000 berbentuk pasar

148 persaingan monopolistik dan pada tahun 1990-2000 berbentuk pasar oligopoli. Selanjutnya, struktur pasar pada perdagangan udang segar adalah oligopoli untuk periode 1984 sampai dengan 1999 dan pasar persaingan monopolistik pada periode 1997-2000. Dalam hal ini, posisi Indonesia adalah market follower. Cai dan Leung (2006) menyebutkan bahwa tingkat persaingan di ketiga pasar utama makin kompetitif pada tahun 2000 dibandingkan 1990. Market power makin kurang terkonsentrasi di ketiga pasar tersebut. Udang di pasar Jepang didominasi oleh pengekspor dari negara-negara Asia Fasifik, di pasar AS oleh Amerika Latin, sedangkan untuk UE tidak nampak adanya dominasi regional. Ringkasnya, faktor penentu tingkat keunggulan komparatif dari negara produsen di Asia adalah biaya oportunitas dari biaya operasional dan harga yang diterima di pasar internasional. Keunggulan komparatif dapat ditingkatkan melalui perbaikan pajak, pinjaman pada tingkat bunga rendah, pengurangan tarif impor tepung ikan, dan bahan pembuat pakan lainnya. Selain itu, penting melakukan koordinasi dibidang ekspor dan pemasaran terkait aturan internasional, pengembangan produk, informasi pasar karena fluktuasi harga udang di pasar internasional. 5.2. Constant Market Share Analysis Analisis RCA selanjutnya dilengkapi dengan menggunakan model CMSA dan hasilnya disajikan pada Tabel 19 (nilai ekspor) dan Tabel 20 (kuantitas ekspor). Berdasarkan Tabel 19, perubahan nilai ekspor Indonesia dan Thailand bernilai positif. Hasil dekomposisi tahap pertama udang

149 Indonesia berdaya saing, tercermin dari nilai efek kompetitif yang bernilai positif. Nilai efek kompetitif yang positif menunjukkan perubahan ekspor terkait dengan perubahan daya saing negara pengekspor. Sebaliknya Thailand bernilai negatif. Kontribusi negatif efek kompetitif menunjukkan menurunnya kinerja ekspor suatu negara karena turunnya daya saing. Tabel 19. Dekomposisi CMSA Perubahan Nilai Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008 Unsur Dekomposisi Indonesia Thailand Nilai (US$) % Nilai (US $) % Perubahan Nilai Ekspor 172 197 247 100.0 153 853 341 100.0 Dekomposisi Tahap-Pertama - Efek Struktural 34 553 428 20.1 1 651 252 275 1073.3 - Efek Kompetitif 4 791 940 2.8-769 637 350-500.2 - Efek Ordo-kedua 132 851 879 77.2-727 761 584-473.0 Dekomposisi Tahap-Kedua - Efek Pertumbuhan 528 002 487 306.6 1 300 436 483 845.2 - Efek Distribusi Pasar -329 564 173-191.4 59 092 810 38.4 - Efek Komposisi Komoditas -90 981 960-52.8 357 282 544 232.2 - Efek Interaksi -72 902 925-42.3-65 559 562-42.6 - Efek Kompetitif Umum -214 576 312-124.6-691 472 621-449.4 - Efek Kompetitif Spesifik 219 368 252 127.4-78 164 729-50.8 - Efek Orde Kedua Murni 3 153 939 1.8-506 556 652-329.2 - Struktural Dinamik 129 697 940 75.3-221 204 932-143.8 Akan tetapi apabila dilanjutkan dengan dekomposisi tahap pertama dan tahap kedua, nampak perbedaan. Hasil dekomposisi tahap kedua, menunjukkan bahwa efek struktural Indonesia yang positif tersebut disebabkan oleh efek pertumbuhan perdagangan dunia. Artinya, negara Indonesia mendapat manfaat dari pertumbuhan impor dunia. Sebaliknya, efek komposisi komoditas dan efek

150 distribusi pasar bernilai negatif. Artinya, Indonesia kurang memperhatikan komposisi produk (segar, beku, olahan) karena mayoritas ekspor didominasi udang beku. Efek distribusi pasar yang negatif menunjukkan bahwa Indonesia mengekspor ke negara-negara yang pertumbuhan impor rendah. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. Menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA), daya saing ekspor Indonesia ternyata lebih disebabkan karena efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada produk dan tujuan ekspor tertentu akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk udang yang diekspor dan ketidakstabilan pasar tersebut. Thailand mempunyai keunggulan komparatif pada ketiga produk udang yang diekspor di ketiga pasar. Berdasarkan nilainya angka indeks RCA Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks RCA Indonesia. Selain itu, Thailand memiliki efek komoditas dan distribusi pasar yang lebih baik. Meskipun demikian, indeks daya saing Thailand mengalami penurunan, artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat

151 Efek daya saing khusus Indonesia nilainya lebih besar dibandingkan efek daya saing umum. Efek daya saing umum yang negatif menunjukkan bahwa perubahan pangsa pasar Indonesia terhadap total ekspor produk udang dalam pasar dunia mengalami penurunan. Efek daya saing spesifik udang Indonesia yang bernilai positif, artinya bahwa keunggulan daya saing udang Indonesia lebih karena mengekspor produk spesifik (udang beku) ke pasar spesifik (AS dan Jepang). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada satu produk dan pada pasar tertentu berpotensi mengancam capaian target ekspor jika terjadi terjadi gangguan di pasar tersebut. Delgado et al., (2003) menambahkan bahwa diversifikasi tujuan pasar diperlukan karena kecenderungan perdagangan udang akan bergeser dari South ke North menjadi South ke South. Berbeda dengan Indonesia, Thailand mempunyai efek distribusi pasar dan efek komposisi komoditas yang bernilai positif. Artinya diferensiasi produk dan diversifikasi pasar telah dilakukan dengan baik oleh Thailand. Kondisi di atas didukung oleh hasil studi Aisya et al., (2006) yang menggunakan metode CMSA, efek pasar dari udang segar bertanda negatif, artinya terdistribusi pada jenis-jenis komoditas yang permintaannya relatif lambat di negara tujuan ekspor utama, dan sebaliknya udang olahan. Ditinjau dari efek daya saing udang segar tandanya positif, artinya memiliki daya saing yang kuat. udang olahan (SITC 37) mempunyai tanda positif. Artinya, naiknya pertumbuhan dunia mengakibatkan ekspor komoditas udang olahan Indonesia meningkat. Udang olahan yang nilai tambahnya lebih tinggi, efek pertumbuhan dan daya saingnya menguntungkan, akan tetapi masih kalah dibanding dengan

152 udang segar. Hasil agak berbeda apabila analisis didasarkan pada perubahan kuantitas ekspor seperti ditunjukkan oleh Tabel 20. Tabel 20. Dekomposisi CMSA Perubahan Kuantitas Ekspor Indonesia dan Thailand, Tahun 1989-2003 dan 2004-2008 Unsur Dekomposisi Indonesia Thailand Kuantitas (ton) % Kuantitas (ton) % Perubahan Ekspor 39675499 100 99 326 184 100 Dekomposisi Tahap-Pertama - Efek Struktural 41 940 756 106 109 249 436 110 - Efek Kompetitif 15 169 375 38 157 403 127 158 - Efek Ordo-kedua -17 434 633-44 -167 326 379-168 Dekomposisi Tahap-Kedua - Efek Pertumbuhan 84 143 254 212 157 836 616 159 - Efek Distribusi Pasar -31 653 744-80 -80 152 673-81 - Efek Komposisi Komoditas -8 047 058-20 -44 618 368-45 - Efek Interaksi -2 501 696-6 76 183 861 77 - Efek Kompetitif Umum -25 245 845-64 -33 218 347-33 - Efek Kompetitif Spesifik 40 415 221 102 190 621 474 192 - Efek Orde Kedua Murni 11 549 796 29 119 845 017 121 - Struktural Dinamik -28 984 430-73 -287 171 397-289 Berdasarkan Tabel 20, hasil dekomposisi tahap pertama, Indonesia dan Thailand mempunyai efek kompetitif yang bernilai positif, namun Thailand mempunyai nilai lebih tinggi. Terjadinya perbedaan hasil analisis berdasarkan nilai ekspor dan berdasarkan kuantitas (terutama untuk Thailand) mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan komposisi ekspor. Semula, mayoritas yang diekspor adalah udang windu menjadi udang vaname yang rata-rata berukuran relatif lebih kecil, sehingga dari sisi kuantitas meningkat dan dari sisi nilai relatif stabil.

153 5.3. Rangkuman 1. Berdasarkan angka indeks RCA, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam mengekspor udang bentuk segar, beku, dan olahan di ketiga pasar (UE-27, Jepang, dan AS). Namun demikian, ekspor udang segar ke Jepang periode 2004-2008 mengalami penurunan dan tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar tersebut. Tidak hanya terjadi pada udang segar, keunggulan komparatif Indonesia juga mengalami penurunan pada periode 2004-2008 untuk udang beku dan udang olahan di pasar Jepang. Penurunan tersebut diduga terkait dengan komposisi produk yaitu pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname yang relatif berukuran lebih kecil. Di lain pihak, konsumen di Jepang lebih menyukai udang yang berukuran relatif besar. 2. Meskipun terjadi penurunan di pasar Jepang, hal positif dari pergantian varietas dari udang windu ke udang vaname adalah bahwa Indonesia masih berada pada posisi sebagai eksportir utama udang di dunia. Oleh karena itu, dalam rangka mempertahankan pangsa pasar di Jepang maka perlu mendorong pengembangan budidaya udang windu dengan menyiapkan benur unggul dan induk bermutu. Implikasinya, broodstock center dan riset perlu didorong dan didukung anggaran memadai. 3. Menggunakan model Constant Market Share Analysis (CMSA), daya saing ekspor Indonesia lebih disebabkan karena efek daya saing spesifik, yaitu mengekspor spesifik produk (udang beku) ke spesifik pasar (Jepang dan AS). Implikasi dari ketergantungan yang tinggi pada produk dan

154 tujuan ekspor tertentu akan berbahaya jika terjadi guncangan pada produk udang yang diekspor dan ketidakstabilan pasar tersebut. 4. Thailand mempunyai keunggulan komparatif pada ketiga produk udang yang diekspor di ketiga pasar. Berdasarkan nilainya angka indeks RCA Thailand jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka indeks RCA Indonesia. Selain itu, Thailand memiliki efek komoditas dan distribusi pasar yang lebih baik. Meskipun demikian, indeks daya saing Thailand mengalami penurunan, artinya persaingan sesama produsen udang makin ketat.